• Tidak ada hasil yang ditemukan

berdasarkan tingkat risiko masing-masing

Dalam dokumen 2006 Laporan Tahunan (Halaman 116-120)

Dengan sistem ini pemegang saham dapat melihat apakah manajemen dalam periode kerja tertentu berhasil memberikan nilai tambah yang memadai bagi Bank. parameter yang dipakai antara lain eVa (economic Value added) atau raroc (risk adjusted return on capital). karena rumusan eVa dan raroc mengandung unsur modal, dan modal diperlukan untuk meng-cover risiko pasar, risiko kredit dan risiko operasional, maka sistim erm harus mempunyai kemampuan untuk menghitung modal untuk meng-cover risiko-risiko tersebut. eVa atau raroc bank-wide selanjutnya diuraikan dalam masing-masing sBU, sehingga pada akhirnya Bank akan dapat menilai dengan tepat sBU yang memberikan nilai tambah paling tinggi bagi Bank, dan sBU yang mengurangi nilai perusahaan.

aspirasi Bank untuk dapat memberikan nilai tambah yang optimal membutuhkan best practice capital management bagi para shareholders.

115 corporate center • manajemen risiko

sejalan dengan tujuan ini dan dalam rangka memenuhi ketentuan Basel ii, sejak tahun 2004 Bank telah memulai pembentukan enterprise risk management (erm) melalui pembentukan Basel ii compliance committee dengan berbagai inisiatif yang dicanangkan sampai dengan tahun 2010.

perhitungan modal untuk mengcover risiko

Untuk dapat mengukur nilai tambah Bank, terlebih dahulu perlu dihitung kebutuhan modal untuk mengcover risiko. Dengan demikian, pengukuran berbasis risiko perlu masukan berupa besar pendapatan, pengendalian biaya dan biaya modal. Dengan demikian perlu dihitung berapa modal yang dibutuhkan untuk mengcover risiko yang timbul dari aktivitas bisnis yang dijalankan, yaitu risiko pasar, risiko kredit dan risiko operasional.

adapun proses pengukuran risiko serta alokasi modal untuk masing-masing jenis risiko, adalah sebagai berikut:

risiko pasar

pengelolaan risiko pasar Bank difokuskan pada risiko yang timbul karena pergerakan nilai tukar dan suku bunga yang dapat merugikan Bank, baik yang terdapat pada portfolio perdagangan

(trading book) maupun banking book. tujuan dari

pengelolaan risiko pasar adalah meminimalkan kerugian dengan melakukan hedge untuk risiko

yang tidak dikehendaki, dan mengoptimalkan penggunaan modal yang dialokasikan untuk risiko pasar residual.

Trading Book

pengelolaan risiko pasar dilakukan melalui penetapan kebijakan, limit trading, identifikasi

risiko, pengukuran risiko, monitoring risiko dan mitigasi risiko pasar. pengukuran risiko pada

trading book dilakukan dengan menggunakan

standard model sesuai ketentuan regulator

(Bank indonesia), paralel dengan perhitungan internal model, yaitu Value at Risk (Var) untuk

kepentingan pengelolaan internal Bank. Dari nilai Var dapat ditentukan modal yang diperlukan untuk mengcover risiko pasar.

Untuk model internal, saat ini untuk produk

plain vanilla, Bank menggunakan metode variance-covariance dengan holding period

1 (satu) hari dan tingkat keyakinan 99%. sesuai dengan rencana bank untuk mengembangkan aktivitas perdagangan derivatif, sejak tahun 2006 Bank juga menerapkan metode Historical Simulation pada instrument derivatif dan structured product yang risikonya bersifat

tidak linier. agar validasi model terjaga Bank telah melakukan proses back-testing dan untuk

dapat memperhitungkan kondisi stres, bank juga melakukan prosedur stress-testing secara reguler

sesuai ketentuan Basel. Berdasarkan back testing

yang dilakukan per Desember 2006, seperti pada gambar dibawah, terlihat bahwa model Var yang digunakan masih dinilai baik.

sebagai upaya pengendalian risiko, Bank telah menetapkan Var Limit berdasarkan toleransi risiko dan target laba bisnis Treasury. Limit Var

menjadi dasar bagi penetapan limit nominal trading (dealer limit), seperti maximum open position dan loss limit yang bertujuan untuk

meminimalisir terjadinya eksposure yang

berlebihan terhadap risiko pasar.

Dengan mengukur besarnya risiko tersebut, Bank dapat menghitung besarnya modal yang dibutuhkan untuk mengcover risiko pasar (capital charge) terutama atas seluruh aktivitas trading

Bank. Besarnya modal tersebut selanjutnya dialokasikan kepada masing-masing unit bisnis yang menciptakan risiko tersebut, sebagai dasar bagi Bank untuk mengukur kinerja berbasis risiko yang akan diimplementasikan sejalan dengan penerapan sistim sBU.

Risiko Suku Bunga (Banking Book)

risiko suku bunga timbul karena adanya gap pada posisi portfolio pada banking book yang

sensitif terhadap perubahan suku bunga. posisi Banking book terdiri dari antara lain posisi

kredit, surat utang negara (sUn), dana pihak ketiga (tabungan, deposito dan giro) dan dana pinjaman. Untuk mengukur sensitivitas nii terhadap perubahan suku bunga,

Bank menggunakan metodologi Repricing Gap, yang memberikan nilai ear (Earning at Risk), yaitu dampak perubahan nii terhadap

perubahan bunga. Untuk menentukan sensitivitas perubahan nilai ekuitas terhadap perubahan bunga, bank menggunakan Duration Gap, yang memberikan nilai car (Capital at Risk),

yaitu dampak perubahan nilai ekonomis ekuitas akibat perubahan bunga

risiko suku bunga dikelola dan dimitigasi dengan menggunakan limit internal yang ditetapkan oleh aLco. Limit yang digunakan pada banking book meliputi limit repricing gap, sensitivitas Economic Value of Equity (eVe), Earning at Risk

(ear) dan Capital at Risk (car).

model simulasi dan teknik estimasi digunakan untuk menilai sensitivitas pendapatan bunga bersih dan modal terhadap perubahan yield curve.

pengukuran sensitivitas dari pendapatan bunga bersih dan ekuitas terhadap perubahan suku bunga dilakukan dengan melakukan rate shocks

sebesar 100 bps selama periode 12 bulan. Hasil analisa sensitivitas menunjukkan bahwa perubahan suku bunga rupiah dan valas akan berdampak terhadap nii 12 bulan sebesar 1,32% dari target nii rupiah dan 0,80% dari target nii valas serta eVe sebesar 2,03% dari equity.

Bank menggunakan pendekatan statistik untuk menentukan earning at risk dan capital at risk

berdasarkan data historis volatilitas suku bunga. per Desember 2006 earning at risk untuk periode

3 bulan sebesar 0,75% dari ekuitas, sedangkan

capital at risk untuk periode satu tahun sebesar

1,81% dari ekuitas.

Bank juga melakukan simulasi untuk menghitung sensitivitas pendapatan dan nilai ekuitas Bank terhadap perubahan suku bunga dalam

116 corporate center • manajemen risiko

kondisi ekstrim (stress test), sehingga dapat dilakukan langkah mitigasi secara proaktif. Untuk menhindarkan dari risiko yang tidak dikehendaki, Bank menggunakan instrumen derivatif, seperti transaksi forward, swaps dan options dengan

tujuan untuk melindungi exposure Bank terhadap

perubahan suku bunga.

Risiko Likuiditas

posisi dana pihak ketiga, likuiditas asset, kewajiban kepada counter-parties dan komitmen

kredit kepada nasabah debitur merupakan potensi risiko likuiditas bagi Bank. ketidakmampuan untuk menghimpun dana dengan biaya wajar akan berdampak kepada profitabilitas Bank. Bank mengelola risiko likuiditas agar dapat memenuhi setiap kewajiban finansial yang sudah diperjanjikan secara tepat waktu, dan agar senantiasa dapat memelihara tingkat likuiditas yang memadai dan optimal. kebijakan pengelolaan risiko likuiditas mencakup antara lain pemeliharaan cadangan likuiditas yang optimal, pengukuran dan penetapan limit risiko likuiditas, merancang analisa skenario (scenario analysis) dan contingency plan, penetapan strategi pendanaan

serta memelihara akses pasar yang mencukupi.

Likuiditas Bank saat ini diukur melalui posisi

primary reserve dan secondary reserve.

Bank memelihara primary reserve dan secondary reserve untuk memenuhi kebutuhan operasional

harian serta sebagai cadangan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas baik penarikan dana tidak terduga maupun ekspansi aktiva.

Bank memelihara primary reserves dalam bentuk

Giro Wajib minimum (GWm) di Bank indonesia dan kas di cabang-cabang. sesuai ketentuan Bank indonesia, Bank wajib memelihara GWm secara harian minimum sebesar 11% dari dana pihak ketiga rupiah (untuk Bank dengan total dana masyarakat di atas rp 50 triliun dan Loan to Deposit ratio antara 50% s.d. 60%) dan minimum 3% dari dana pihak ketiga valuta asing. per 31 Desember 2006 Bank memelihara GWm sebesar 11.73% untuk rupiah dan 3.01% untuk valuta asing.

kebijakan pengelolaan risiko likuiditas disusun sesuai dengan aktivitas bisnis yang dilaksanakan unit bisnis.

secondary reserve Bank ditempatkan dalam sertifikat Bank indonesia (sBi), penempatan

ValUe at rISK per 31 DeSeMBer 2006 (dalam rp miliar)

value at risk Year end maximum minimum average

FX Var 9.27 57.11 0.96 15.14 interest rate Var 18.13 28.60 1.30 14.25 correlation effect (7.28) (15.57) 5.82 (4.58) comprehensive Var 20.12 70.14 8.08 24.81 credit spread Var 1.85 12.39 1.51 5.96

Total VAR 21.97 82.53 9.59 30.77 BacK teStInG per 31 DeSeMBer 2006 Periode 25 des 06 11 des 06 27 nov 06 13 nov 06 30 oct 06 16 oct 06 2 oct 06 18 sep 06 4 sep 06 21 aug 06 7 aug 06 24 jul 06 10 jul 06 26 jun 06 12 jun 06 29 may 06 15 may 06 1 may 06 17 apr 06 3 apr 06 20 mar 06 6 mar 06 20 feb 06 6 feb 06 23 jan 06 9 jan 06 26 des 05 PL (20,000.00) (40,000.00) (60,000.00) (80,000.00) 80,000.00 60,000.00 40,000.00 20,000.00 12 des 05 net revenue value at risk

117 corporate center • manajemen risiko

antar bank dan surat berharga yang mudah diperjualbelikan (portofolio yang diperdagangkan dan yang tersedia untuk dijual). Bank menetapkan limit internal untuk secondary reserve minimal 5% dari dana masyarakat. per 31

Desember 2006 Bank memelihara secondary reserve sebesar rp 23.20 triliun atau 11.43% dari total dana masyarakat sebesar rp 203.03 triliun. potensi risiko likuiditas yang akan dihadapi Bank di masa mendatang diukur melalui

analisa liquidity gap, yang merupakan proyeksi

kelebihan/kekurangan likuiditas atas dasar jatuh tempo asset/liability, setelah memperhitungkan kebutuhan untuk ekspansi bisnis. Berdasarkan rencana bisnis Bank dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan 2007, proyeksi likuiditas Bank berada dalam kondisi surplus untuk periode 12 bulan ke depan. proyeksi defisit likuiditas dibatasi limit maximum cumulative outflow (mco)

berdasarkan proyeksi liquidity gap. Untuk mengetahui kemampuan Bank dalam menghadapi situasi likuiditas yang berbeda, Bank melakukan serangkaian skenario likuiditas yang mencakup kondisi normal dan tidak normal termasuk kondisi ekstrim/krisis dan selanjutnya menyusun contingency plan.

selain melalui dana pihak ketiga, Bank dapat memenuhi kebutuhan likuiditas melalui sumber-sumber dana alternatif seperti repurchase agreements, pendanaan bilateral, collateralized facility agreements, foreign exchange swaps,

ataupun melalui penjualan surat berharga seperti surat Utang negara (government bonds).

Risiko Nilai Tukar

Bank mengelola risiko nilai tukar struktural untuk menilai pengaruh perubahan nilai tukar terhadap pendapatan dan modal Bank. posisi valuta asing Bank didominasi valuta Us Dollar yang sebagian besar terdiri dari dana pihak ketiga (giro dan deposito) dan dana pinjaman di sisi pasiva dan penempatan inter bank, surat berharga dan kredit di sisi aktiva. pemberian kredit dan penempatan dalam valuta asing diutamakan dibiayai oleh sumber dana dalam valuta yang sama, sedangkan untuk melindungi posisi terbuka nilai tukar dalam jumlah signifikan dilakukan lindung nilai (hedging) dengan menggunakan instrumen derivatif, seperti transaksi forward, swaps

dan options.

posisi Devisa neto (pDn) Bank dipelihara untuk selalu memenuhi ketentuan Bank indonesia yang mensyaratkan bahwa pDn (absolut) secara konsolidasi untuk semua mata uang asing tidak melebihi 20% modal (modal inti dan modal pelengkap). selain berpedoman pada ketentuan Bi, secara internal Bank juga menetapkan pDn intern sebesar 10% dari modal. kebijakan limit pDn internal ditetapkan oleh aLco dengan berpedoman pada prediksi Bank mengenai arah pergerakan nilai tukar. per 31 Desember 2006 pDn absolut Bank adalah sebesar 5,00% dari modal.

risiko kredit

pengelolaan risiko kredit Bank terutama diarahkan untuk meningkatkan ekspansi kredit yang sehat dan mengelola kredit yang telah diberikan agar terhindar dari penurunan kualitas atau menjadi non performing Loan (npL). nilai npL yang terkendali pada akhirnya dapat meminimalkan kerugian dan mengoptimalkan penggunaan modal yang dialokasikan untuk risiko kredit. proses manajemen risiko kredit dimulai dari identifikasi risiko kredit, meningkatkan kontrol untuk memperkecil risiko kredit, dan menghitung kebutuhan modal untuk mengcover risiko kredit residual. Untuk upaya meningkatkan kontrol terhadap risiko kredit, Bank melaksanakan inisiatif antara lain:

Proses pemberian kredit baru atau perpanjangan

• sistem scoring dan rating.

sistem scoring digunakan untuk debitur segmen Ukm (small medium enterprise) dan micro melalui sistem sme scoring system (smess) dan sistem rating digunakan untuk debitur korporasi dan komersial besar (large commercial). penerapan scoring khusus untuk kredit Usaha mikro sangat membantu pengusaha kecil yang umumnya tidak memiliki data/ informasi usaha yang memadai sehingga harus diupayakan agar proses kredit tidak berbelit-belit. melalui scoring, fasilitas kredit dapat diberikan sesuai kebutuhan dengan hanya menyampaikan data/informasi yang relatif sederhana dan mudah untuk dipenuhi calon pemohon dibandingkan dengan scoring untuk Ukm maupun middle commercial. Demikian pula pengembangan scoring khusus untuk segmen tertentu seperti kepada nasabah tki diharapkan

dapat membantu tenaga kerja indonesia yang akan berangkat ke luar negeri untuk diberikan kemudahan dalam rangka membantu mereka memenuhi persyaratan finansialnya. Hal ini diharapkan akan memperlancar proses keberangkatannya. selain pengembangan sistem scoring untuk nasabah tki, pengembangan scoring system

untuk bisnis mikro lainnya akan terus dilakukan, misalnya scoring system dalam pemberian fasilitas kredit kepada pengecer/ depo minyak tanah dimana konsumen utamanya adalah pengguna akhir minyak tanah tersebut.

sistem rating yang digunakan untuk debitur korporasi dan large commercial secara

periodik dilakukan kalibrasi terhadap model ratingnya dan terus disempurnakan agar faktor-faktor kualitatif dalam penilaian kredit lebih obyektif.

penerapan scoring dan rating tools yang

lebih obyektif dapat membedakan nasabah-nasabah yang berisiko rendah untuk mendapatkan perlakuan (treatment) yang

berbeda dibandingkan dengan nasabah yang berisiko tinggi. perbedaan perlakuan tersebut bisa berupa antara lain: - jumlah fasilitas kredit

- tingkat suku bunga (risk based pricing)

- tarif

- persyaratan kredit (covenant)

- proses pemutusan

perbedaan perlakuan tersebut akan dapat meningkatkan hubungan bisnis yang saling menguntungkan bagi nasabah dan Bank. Disamping itu bagi Bank dengan pengembangan

scoring khusus untuk pengusaha kecil akan

membuka kemungkinan pertumbuhan pangsa pasar kredit baru (new targeted customer) yang

lebih sehat, sehingga diharapkan memberikan tambahan keuntungan dalam bentuk pendapatan bunga dan fee.

sistem scoring dan rating terus disempurnakan

agar terjaga kemampuan model dengan membandingkan realitas default yang terjadi.

Risk Based Pricing

Bank menerapkan perhitungan tingkat suku bunga berdasarkan risiko (risk based pricing). struktur penetapan suku bunga terdiri dari

Cost of Funds, Overhead Costs,

118 corporate center • manajemen risiko

Risk Premium tergantung dari penggolongan

debitur atau segmen kredit berdasarkan tingkat risiko masing-masing.

• Bank menetapkan Required Yield sebagai

tingkat imbal hasil minimum dalam menetapkan suku bunga kredit. Pricing strategy bertujuan menjaga tingkat

profitabilitas bank dan menetapkan suku bunga yang kompetitif dalam rangka mendukung unit bisnis untuk melakukan ekspansi kredit.

• penerapan Loan Origination System (Los)

terus dikembangkan untuk segmen sme/micro, consumer, commercial dan corporate. penggunaan Los ini selain menjamin proses pemutusan kredit menjadi lebih tertib dan terukur waktu penyelesaiannya, juga lebih menjamin proses data capture yang detail dan

berkesinambungan. seperti diketahui, data yang detail dan kontinyu mutlak dibutuhkan untuk pengelolaan risiko dan pembuatan model sesuai Basel ii. • revisi pedoman pelaksanaan kredit (ppk)

dan kebijakan perkreditan Bank mandiri (kpBm).

pedoman pelaksanaan kredit (ppk) Bank bukan merupakan pedoman yang statis, melainkan merupakan bagian yang dinamis dari aktivitas perkreditan Bank. Dalam hal ini, kajian dan penyempurnaan ppk dan juga kebijakan perkreditan Bank mandiri (kpBm) selalu mengacu kepada ketentuan dan kebutuhan bisnis Bank yang tentunya juga harus selalu sejalan dengan prinsip kehati-hatian.

Pemeliharaan kredit dalam portfolio Bank

Untuk memelihara kualitas portfolio, Bank melakukan insiatif sebagai berikut: • sistem Watch List Debitur yang intensif.

sistem ini dimaksudkan untuk memonitor secara intensif debitur-debitur

Pengelolaan risiko yang terpadu

Dalam dokumen 2006 Laporan Tahunan (Halaman 116-120)