Pada pelayanan dengan konseli Kristen, secara relatif, keadaan ini mudah dicapai. Untuk seorang konseli yang kuatir, apakah Allah mau menerimanya karena masih ada dosa-dosa yang dirahasiakan, belum diampuni karena belum minta ampun, konselor Kristen mempunyai kedudukan yang unik untuk menawarkan pengampunan Allah. Hal ini lebih mudah lagi dilakukan apabila konseli sudah percaya kepada konselor pada masa lampau (misalnya konselor adalah pendeta konseli), atau seorang konselor yang baru ditemuinya tetapi sudah mempunyai hubungan komunikasi (rapport) yang baik dengannya.
Tugas konselor akan lebih sukar lagi kalau konseli semasa hidupnya menolak Allah dan pada saat ini, rasa bersalahnya menghalanginya untuk datang kepada Kristus dan pengakuan Kristus sebagai Tuhan dan Allahnya. Ia mungkin berkata: "Saya sudah berbuat jahat seumur hidup saya, mengapa Allah mau mengampuni saya sekarang ini?" Kesukaran mungkin juga dialami bila konselor menghadapi konseli yang tidak pernah peduli akan Allah dan hal-hal rohani pada masa lampaunya, atau yang mempunyai pengertian yang kabur tentang Kristus. Pelayanan konselor menjadi penginjilan dengan penuh kasih dan kesabaran. Konselor Kristen pada saat ini perlu menawarkan
anugerah Allah, kasih Allah, pengampunan Allah, dan keselamatan Allah melalui anak- Nya, Yesus Kristus.
Dalam hal ini, seorang konselor Kristen tidak perlu ragu-ragu untuk bersikap injili dengan menawarkan keselamatan dalam Kristus. Ini adalah keyakinan yang Alkitabiah tentang kehidupan kekal atau kebinasaan kekal yang harus dialami seorang. Seorang konselor Kristen yang melayani seorang yang menderita penyakit terminal dan orang itu belum bertuhankan Kristus, harus menawarkan Kristus sebagai Tuhan dan
Juruselamatnya. Perbuatan ini berdasarkan atas kata-kata Kristus sendiri dalam Matius 16:26, "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya ...."
43
Meskipun dalam beberapa bulan, minggu, atau hari terakhir seorang konseli dapat menerima kenyataan secara psikologis bahwa ia akan meninggal, apa gunanya kalau ia, setelah itu, celaka dan binasa selama-lamanya?
Tentunya, bila konseli mau menerima Kristus sebagai Tuhannya, konselor tidak perlu mengharuskan konseli untuk mengucapkan kata- kata klise seperti: "Aku menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatku...." Sering dalam keadaan
penyakitnya yang parah, konseli mungkin hanya dapat mengangguk atau memberi sinyal lain bahwa ia menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya. Kalau keadaan konseli tidak memungkinkan, konselor juga tidak perlu memintanya mengulangi DOA ORANG BERDOSA. Konselor hanya memintanya percaya dan meyakini doa yang diucapkan konselor. Memang, bila konseli masih mampu dan kuat, konselor sebaiknya memintanya berdoa bersamanya. yang terutama adalah konselor mencoba membawanya dalam hubungan yang beres dengan Allah, damai dengan Allah dan penyerahan kepada-Nya. Konselor, mungkin, merupakan orang terakhir dalam hidup konseli itu yang dipakai Allah untuk menawarkan keselamatan-Nya.
Kita juga mengakui bahwa apa yang dapat dilakukan konselor sebagai manusia biasa adalah sangat terbatas. Keselamatan tidak tergantung dari konselor, tetapi dari Allah dan orang itu sendiri. Konselor tidak dapat memaksakan pada konseli mengenai penyerahannya kepada Allah. Penolakan dan penerimaan Kristus sebagai Tuhannya adalah keputusan konseli itu sendiri dengan tarikan dan dorongan Roh Allah. Ada saatnya konselor harus mengakui bahwa usahanya sudah maksimal dan kemudian menyerahkan segalanya kepada Allah. Kalaupun konseli menolak tawaran anugerah keselamatan Allah, pelayanan konselor pada konseli harus tetap ada. Konselor tidak boleh kecewa dan tidak mau melayani konseli lagi. Kita tidak dapat tahu, apakah pada saat-saat terakhir sebelum menghembuskan nafas penghabisan, konseli tidak
menerima Kristus sebagai Tuhannya.
Suatu keyakinan penulis berdasarkan pengalamannya sebagai pendeta rumah sakit (hospital chaplain) di Kansas City, Missouri, USA., ketika melayani mereka yang menderita penyakit terminal ialah bahwa manusia tidak mudah patah. Manusia adalah liat/ulet (people are tough). Seorang pribadi tidak akan terus berantakan setelah mengetahui keadaan sebenarnya dari diri dan penyakitnya. Mungkin, ketika pertama kali mengetahui keadaannya, ia akan terkejut (shock), tetapi ia akan dapat bangkit kembali.
Pelayanan konselor kepada orang yang menderita penyakit terminal sebenarnya lebih efektif bila konseli tahu bahwa ia menderita penyakit terminal. Bila konseli tidak tahu atau sengaja dibohongi oleh keluarga atau dokternya (karena kuatir, konseli akan
berantakan bila mengetahui keadaannya yang sebenarnya), sedangkan konselor sudah diberitahu, maka pelayanan konselor akan terhambat. Konselor tidak dapat dengan bebas menginjili dan menyatakan kegawatan situasi konseli untuk dapat membawa konseli pada keadaan beres dengan Allah, diri sendiri, dan sesama.
44
Dalam hal ini, penulis berbeda pendapat dengan beberapa pendeta dan pelayan Tuhan. Ada yang berpendapat bahwa sebaiknya orang yang menderita sakit tidak diberi tahu keadaannya yang sebenarnya karena banyak penderita penyakit terminal merasakan parahnya keadaannya setelah ia tidak sembuh-sembuh dan meminta dokter atau keluarganya memberitahu keadaannya yang sesungguhnya. Ada juga yang berpendapat, apabila perlu orang itu dibohongi. Pembicaraan tentang kematian dialihkan. Kalau penderita bertanya-tanya tentang kemungkinannya sembuh dan
menyatakan kekuatirannya, temannya berkata: "Jangan dipikir terus penyakitnya. Nanti tidak sembuh-sembuh. Mungkin bulan depan bapak sudah bisa lari pagi lagi seperti dulu."
Ada pula pendeta yang berpendapat bahwa si penderita tidak perlu diberi tahu tentang penyakit terminalnya karena kita harus percaya terus dan mendoakan agar ia sembuh seperti sediakala. Sebab itu, pelayanan seperti yang dibahas di sini tidak perlu
dilakukan. Penulis berpendapat bahwa pandangan-pandangan seperti ini merugikan penderita yang sakit terminal itu dan terlalu berasumsi bahwa Allah tidak mungkin membolehkan seorang anaknya pulang melalui penyakit (apakah hanya bisa melalui kecelakaan atau martir?) Pandangan ini juga menyangkal kenyataan bahwa lebih
banyak orang Kristen mati karena penyakit dan ketuaan daripada karena bencana alam, kecelakaan, dan martir.
Penulis tidak setuju dengan pendapat-pendapat di atas. Penulis yakin bahwa manusia adalah ulet/liat. Jika suatu luka harus diobati, maka kita harus mengerti keadaan luka itu. Luka itu harus dibersihkan dahulu dari segala kotoran dan setelah itu diberi obat. Kita tidak dapat mengabaikan luka itu dan menutupinya dengan kertas merah, seakan-akan tidak ada dan berharap luka itu seakan-akan sembuh dengan sendirinya. Hal yang sama terjadi seperti luka rohani. Jika ada rasa bersalah karena dosa, kata-kata manis dan penghiburan tidak akan membebaskan orang itu dari dosanya. Kita tidak dapat berkata kepada orang yang akan meninggal, yang telah hidup dalam banyak dosa, dan menolak Kristus selama hidupnya: "Bapak jangan memikirkan kematian. Pikirkan sembuh saja. Bapak akan sembuh seperti dulu." Dengan penghiburan palsu ini, kita sebenarnya tidak mengasihinya, tetapi malah membencinya. Kita tidak menawarkan jalan keselamatan baginya, tetapi malah menipunya ketika sebentar lagi, ia akan celaka kekal.
Memang, dalam hal ini konselor yang akan menerapkan pelayanan pada orang yang akan meninggal mungkin menghadapi hambatan dari keluarga konseli itu sendiri. Misalnya, mereka mungkin memberi pesan kepada konselor agar tidak memberi tahu kepada ayah mereka bahwa ia akan segera meninggal. Apa yang dapat dilakukan konselor pada saat itu adalah berusaha meyakinkan para anggota keluarga bahwa kebutuhan sang ayah pada saat kritis adalah untuk menerima keselamatan. Juga perlu diyakinkan betapa egoisnya mereka kalau mereka tetap melarang ayah mereka
mendengar, mungkin untuk terakhir kalinya, jalan keselamatan. Ataupun bila ia sudah diselamatkan, membereskan segalanya dengan Allah, diri sendiri, dan orang lain. Sekali lagi, manusia ulet, berarti ia tidak mudah patah dan berantakan dalam proses kesembuhan rohani yang bersifat kekal seperti ini, termasuk mengetahui situasinya
45
yang sebenar-benarnya (yaitu akan mati), bertobat, mengakui dosa-dosanya serta menerima Kristus sebagai Tuhannya.