• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II URAIAN TEORITIS

II.2.5. Berita Harus Hangat

Berita adalah padanan dari kata News dalam bahasa Inggris. Kata News itu sendiri telah menunjukkan adanya unsur waktu – apa new, apa yang

baru, yaitu lawan dari lama. Penekanan pada konteks waktu dalam berita

kini dianggap sebagai hal yang biasa. Konsumen berita tidak pernah mempertanyakan hal itu. Dunia bergerak dengan cepat, dan manusia harus berlari untuk mengikuti kecepatan geraknya. Peristiwa – peristiwa bersifat tidak kekal. Apa yang nampak pada hari ini belum tentu benar pada esok hari. Karena konsumen berita menginginkan informasi segar, informasi

hangat, kebanyakan berita berisi laporan peristiwa – peristiwa “hari ini” (dalam harian sore), atau paling lama, “tadi malam” atau “kemarin” (dalam harian pagi). Media berita sangat spesifik tentang faktor waktu ini untuk menunjukkan bahwa berita – berita yang mereka buat bukan hanya “hangat” tetapi paling tidak “yang paling terakhir”.

“Ketua MPR Hidayat Nurwahid menilai penundaan eksekusi Tibo cs, sebagai bentuk keraguan dari pemerintah untuk menegakkan hukum. Jika hal itu terus terjadi dikhawatirkan berdampak buruk bagi proses penegakan hukum.

‘Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum. Jadi hukum di Indonesia ini memang harus dilaksanakan setegak-tegaknya, seadil-adilnya, sesuai dengan keputusan dari hukum itu,’ ujar Hidayat kepada pers usai menerima anggota Paskibraka di Gedung MPR, Jakarta, Selasa (22/8).

Dia menegaskan penegakan hukum tidak hanya terkait kasus Tibo cs, tetapi semua kasus hukum harus ditegakkan agar jangan sampai satu keputusan yang telah mempunyai keputusan hukum yang tetap, kemudioan diabaiklan atau tidak dilaksanakan.” (Waspada, Kamis 24 Agustus 2006)

Pelaksanaan eksekusi Tibo cs merupakan berita cukup hangat dan sering diberitakan oleh media massa. Setiap perkembangan yang terjadi seiring proses hukum, tidak akan luput dari wartawan masing – masing media massa. Kalau boleh dikatakan, bagaikan artis, Tibo cs sangat populer di tengah masyarakat pada waktu itu.

II.3. PARADIGMA KONSTRUKSIONIS

Mohammad A.S. Hikam mengatakan dalam studi mengenai pemakaian bahasa terdapat tiga pandangan, yaitu pertama, pandangan positivis-empiris. Ciri dari pemikiran ini adalah adanya pemisahan antara pemikiran dan realitas. Tata bahasa, kebenaran sintaksis adalah bidang utama dari positivis-empiris. Yang

yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya. Karena sangat berhubungan dan dikuasai oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat.

Ketiga, yang akan dipakai dalam peneliti dalam penelitian ini, adalah

pandangan konstruksionisme. Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi. Aliran ini menolak pandangan positivis-empiris yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Dalam pandangan konstruksionisme ini, bahasa tidak lagi dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Pandangan ini justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan – hubungan sosialnya. Oleh karena itu, studi analisis bahasa-dalam pandangan konstruksionisme- dimaksudkan untuk membongkar maksud dan makna – makna tertentu dari teks berita/bahasa. Sebuah upaya pengungkapan maksud tersembunyi (implisit) dari sang subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. Pandangan ini memandang berita merupakan sebuah konstruksi dari realitas. Berita bukan peristiwa atau fakta yang riil. Realitas bukan dioper begitu saja sebagai berita. Ia adalah hasil interaksi antara wartawan dengan peristiwa/fakta.

Bahasa merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas dalam konstruksi realitas ini. Begitu pentingnya bahasa, maka tak ada cerita, ataupun ilmu pengetahuan tanpa bahasa. Dan jika dicermati lebih teliti, seluruh isi media (cetak, elektronik) menggunakan bahasa, baik bahasa verbal (kata – kata tertulis atau lisan) maupun bahasa non-verbal (gambar, foto, gerak-gerik, grafik, angka, dan tabel).

Keberadaan bahasa bukan hanya sebagai alat untuk menggambarkan sebuah realitas, namun juga menjadi gambaran (makna citra) mengenai realitas (media) yang akan muncul di benak para konsumen media. Terdapat beberapa cara media massa dalam mempengaruhi bahasa dan makna ini, seperti mengembangkan kata- kata baru beserta makna asosiatifnya, memperluas makna dari istilah – istilah yang ada, mengganti makna lama dari sebuah istilah, ataupun memantapkan konvensi makna yang telah ada dalam suatu sistem bahasa.

Kaum konstruksionis pun memiliki beberapa penilaian terhadap proses berita – berita bentukan dari realitas tersebut. Di bawah ini adalah penilaian terhadap media dan wartawan itu sendiri, yang memproduksi makna melalui bahasa tersebut.

Fakta/Peristiwa Adalah Hasil Konstruksi. Realitas dihadirkan oleh konsep

subjektifitas wartawan. Realitas tercipta lewat sudut pandang tertentu yang dimiliki oleh wartawan. Di sini tidak ada realitas yang objektif. Oleh karena itu, realitas dapat berbeda – beda, tergantung kepada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan yang berbeda. Fakta bukanlah sesuatu yang tinggal ambil, ada, dan menjadi bahan dari berita. Fakta bukan sesuatu yang terberi, melainkan ada dalam benak kita, yang melihat fakta tersebut. Karena kita lah yang aktif memberikan defenisi, memberi makna dan menentukan fakta tersebut sebagai kenyataan.

Media Adalah Agen Konstruksi. Dalam pandangan konstruksionis, saluran

juga tidak bebas. Saluran (media) dapat pula mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Berita yang kita baca bukan cuma menggambarkan realitas, bukan hanya menunjukkan pendapat sumber berita,

tetapi juga konstruksi oleh media itu sendiri. Sebab, media memilih realitas mana yang diambil dan mana yang dibuang. Media, lewat berbagai instrumen yang dimilikinya ikut membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaannya. Apa yang tersaji itu merupakan hasil konstruksi.

Berita Bukan Refleksi dari Realitas. Ia Hanyalah Konstruksi dari Realitas.

Layaknya drama, di dalam berita pun terdapat pemenang dan pecundang. Berita juga selalu melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai – nilai dari wartawan atau media. Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat tergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai. Proses konstruksi (memilih fakta, sumber, pemakaian kata, gambar, penyuntingan) memberi andil bagaimana realitas itu hadir di depan khalayak. Yang mana proses ini selalu melibatkan nilai – nilai tertentu sehingga mustahil berita merupakan pencerminan dari realitas.

Berita Bersifat Subjektif/Konstruksi Atas Realitas. Berita tidak bisa dinilai

dengan menggunakan sebuah standar yang rigid. Hal ini karena berita adalah produk dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Di mana pemaknaan seseorang terhadap realitas bisa jadi berbeda dengan orang yang lain, yang tentunya menghasilkan “realitas” yang berbeda pula. Karenanya, ukuran baku/standar tidak bisa dipakai. Kalau ada perbedaan antara berita dengan realitas yang sebenarnya, tidak bisa disalahkan, tetapi memang seperti itu lah pemaknaan atas realitas.

Wartawan Bukan Pelapor. Ia Agen Konstruksi Realitas. Seorang yang

jurnalis yang baik adalah jurnalis yang mampu memindahkan realitas itu ke dalam berita. Namun konstruksionis berpandangan berbeda. Wartawan tidak bisa menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakannya, karena ia merupakan

bagian yang intrinsik dalam pembentukan berita. Lagipula, berita bukan hanya produk individual, melainkan juga bagian dari proses organisasi dan interaksi antara wartawannya. Topik apa yang akan diangkat, siapa narasumbernya, itu semuanya disediakan oleh kebijakan redaksional tempat wartawan bekerja, bukan semata – mata bagian dari pilihan profesional individu. Wartawan adalah agen konstruksi. Tidak hanya melaporkan fakta, melainkan juga turut mendefenisikan peristiwa. Seperti yang dikatakan oleh Judith Lichtenberg, realitas hasil konstruksi itu selalu terbentuk melalui konsep dan kategori, tanpa konsep dan kategori kita tidak bisa melihat dunia. Artinya, ketika wartawan menulis berita, sesungguhnya ia membuat dan membentuk dunia, membentuk realitas.

Etika, Pilihan Moral, dan Keberpihakan Wartawan Adalah Bagian yang Integral dalam Produksi Berita. Aspek etika, moral, dan nilai – nilai tertentu tidak

mungkin dihilangkan dari pemberitaan media. Wartawan bukan robot yang hanya melihat secara apa adanya. Wartawan bukan hanya bertugas sebagai pelapor, karena disadari atau tidak, ia menjadi partisipan dari keragaman penafsiran dan subjektifitas dalam publik. Dengan fungsi yang seperti itu, wartawan menulis berita bukan hanya untuk menjelaskan, tetapi juga mengkonstruksi peristiwa dari dirinya sendiri dengan realitas yang diamati.

Nilai, Etika, dan Pilihan Moral Peneliti Menjadi Bagian yang Integral dalam Penelitian. Penelitian yang bersifat konstruksionis berpandangan peneliti

bukanlah subjek yang bebas nilai. Pilihan etika, moral, keberpihakan peneliti menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses penelitian. Hal ini sukar untuk dihilangkan. Peneliti bukan makhluk yang netral, menilai realitas apa adanya.

Karena itu, dengan konstruksinya masing – masing, peneliti yang berbeda akan menghasilkan temuan yang berbeda terhadap objek penelitian yang sama.

Khalayak Mempunyai Penafsiran Tersendiri Atas Berita. Khalayak adalah

makhluk yang aktif dalam menafsirkan sebuah berita. Dan makna tidak secara otomatis berada di dalam berita. Makna selalu potensial mempunyai banyak arti (polisemi). Makna jangan dipahami sebagai transmisi (penyebaran), melainkan lebih tepat dengan pemahaman sebagai praktik penandaan. Karenanya, berbeda orang dapat berbeda pula makna yang timbul, walaupun terhadap hal yang sama. Kalau terjadi perbedaan seperti ini, bukan berarti berita tersebut buruk.

Prinsip dalam proses konstruksi realitas adalah upaya “menceritakan” (konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan, atau benda. Begitulah, setiap hasil laporan adalah hasil dari konstruksi realitas atas kejadian yang dilaporkan. Karena sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa – peristiwa, maka kesibukan utama media massa adalah mengkonstruksikan berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna. Pembuatan yang berdasar pada penyusunan realitas – realitas hingga membentuk sebuah cerita atau wacana yang bermakna. Dengan demikian seluruh isi media massa tiada lain adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality) dalam bentuk wacana yang bermakna.

Paradigma konstruksionis ingin menjelaskan adanya sesuatu di balik hal itu semua. Paradigma ini ingin menjelaskan isi media, wartawannya, menjelaskan tentang media itu sendiri, sampai dengan hal – hal yang berkaitan dengan proses pembentukan isi media tersebut.

Terdapat tiga pendekatan untuk menjelaskan sesuatu yang berada di balik hasil konstruksi tersebut. Pertama, pendekatan politik-ekonomi (the political-economy approach). Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan – kekuatan politik dan ekonomi di luar pengelolaan media. Faktor – faktor seperti pemilik media, modal, dan pendapatan media, dapat menentukan wujud isi media. Menentukan peristiwa seperti apa yang dapat dan tidak dapat diberitakan, serta ke arah mana kecenderungan pemberitaan hendak diarahkan.

Kedua, pendekatan organisasi (organisational approaches). Pendekatan ini

bertolak belakang dengan pendekatan sebelumnya. Pendekatan organisasi mengatakan bahwa pihak pengelola media yang aktif dalam proses pembentukan dan produksi media. Praktik kerja, profesionalisme, dan tata aturan yang ada dalam ruang organisasi adalah unsur – unsur dinamik yang mempengaruhi pemberitaan. Terdapat mekanisme pemilihan nilai – nilai berita di dalamnya.

Ketiga, pendekatan kulturalis (culturalist approach). Pendekatan ini

merupakan gabungan antara pendekatan ekonomi-politik dengan pendekatan organisasi. Proses pembentukan berita merupakan mekanisme yang rumit, karena melibatkan selain adanya rutinitas media, terdapat pula faktor eksternal media. Media yang memiliki pola aturannya sendiri tidak dapat dilepaskan dari kekuatan – kekuatan ekonomi-politik di luar media. Hanya, pengaruh eksternal media terhadap internal media pada pendekatan kulturalis berbeda dengan pengaruh eksternal pada pendekatan ekonomi-politik. Pengaruh eksternal pada pendekatan kulturalis tidaklah secara langsung (pengaruhnya seperti tidak disadari oleh media). Sedangkan pada pendekatan ekonomi-politik, pengaruh eksternalnya

langsung dan koersif. Sehingga produk media tersebut kental dengan pengaruh eksternal tadi.

Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese (dalam Agus Sudibyo, 2001:7) juga meringkas berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam proses pemberitaan. Pertama, faktor individual. Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek – aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Seperti, jenis kelamin, umur, agama, suku bangsa, sedikit banyak mempengaruhi apa yang akan ditampilkan oleh media. Selain itu level individu ini juga berhubungan dengan segi profesionalisme. Latar belakang pendidikan atau kecenderungan orientasi pada partai politik, sedikit banyak juga dapat mempengaruhi pemberitaan.

Kedua, level rutinitas media (media routine). Rutinitas media berhubungan

dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media tentu memiliki ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri – ciri berita yang baik, atau apa kriteria berita yang baik. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung setiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang ada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketika ada peristiwa yang hendak diliput, akan ditentukan bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja sebelum sampai ke proses cetak, siapa yang akan menjadi penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya. Ini semua akan mempengaruhi bagaimana bentuk akhir sebuah berita.

Ketiga, level organisasi. Level ini berhubungan dengan strukutur organisasi

yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang tunggal yang ada di dalam organisasi berita. Mereka hanya merupakan bagian kecil dari organisasi media itu sendiri. Dalam organisasi media terdapat, selain redaksi, ada bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya. Bagian – bagian ini tidak selalu sejalan satu sama lain, karena mempunyai tujuan dan target masing – masing. Sekaligus strategi yang berbeda – beda pula dalam mewujudkan target itu. Ketika bagian redaksi menginginkan agar berita tertentu yang menjadi headline, belum tentu bagian sirkulasi ataupun bagian lain,ssss menginginkan berita yang sama.

Keempat, level ekstramedia. Level ini berhubungan dengan hal – hal di luar

lingkungan media. Ada beberapa faktor pula yang termasuk ke dalam level ini, yaitu :

1. Sumber berita. Sumber berita bukan sebagai pihak yang netral yang memberikan informasi apa adanya. Ia juga mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan. Sumber berita melakukan politik pemberitaan. Ia akan memberikan informasi yang baik bagi dirinya, dan mengembargo informasi tidak baik bagi dirinya. Kepentingan mereka sering tidak disadari oleh media. Lalu, media secara tidak sadar pula, telah menjadi corong dari sumber berita untuk menyampaikan apa yang dirasakan oleh sumber berita tersebut.

2. Sumber penghasilan media. Sumber penghasilan ini bisa berupa iklan, ataupun pelanggan/pembeli produk media. Sumber ini dibutuhkan oleh media untuk dapat “bertahan hidup”. Kadangkala media harus

berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka. Media mungkin akan mengesampingkan untuk meliput peristiwa buruk (kasus) yang berkaitan dengan pihak pengiklan mereka. Pihak pengiklan sendiri pun dapat memaksakan versinya (tentang kasus) kepada media. Media juga tidak akan menyia – nyiakan untuk meliput peristiwa yang disenangi banyak khalayak. Walaupun terkadang tidak masuk dalam kriteria kelayakan berita media tersebut.

3. Pihak eksternal (pemerintah atau lingkungan bisnis). Pengaruh ini sangat bergantung pada lingkungan eksternal media itu sendiri. Media – media yang tumbuh di dalam negara yang otoriter, akan merasakan pengaruh pemerintah yang sangat dominan dalam menentukan berita yang disajikan. Negara akan menentukan mana yang boleh diberitakan, dan mana yang tidak boleh diberitakan. Media harus mengikuti berbagai lisensi yang dikeluarkan pemerintah, jika masih ingin terbit. Hal ini berbeda pada media yang tumbuh di dalam negara yang demokratis ataupun liberal. Campur tangan pemerintah minim, bahkan praktis tidak ada. Pengaruh yang besar malah datang dari lingkungan bisnis/pasar. Akan muncul persaingan – persaingan antar media untuk menjadi media yang lebih baik, yang diminati khalayaknya.

4. Ideologi. Ideologi di sini diartikan sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Level ini level yang abstrak. Ia berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas. Pada level ideologi akan dilihat kepada yang

berkuasa di masyarakat dan bagaimana media menentukannya. Media hanya akan beradaptasi dengan ideologi yang sudah ada di dalam masyarakat.

Hal – hal ini lah yang selalu berpengaruh kepada hasil akhir dari bentukan media – media. Hal – hal yang dipaparkan oleh Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese, serta yang diungkapkan dari studi media di atas yang akan dianalisis teks berparadigma konstruksionis ini.

Dokumen terkait