• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berkurangnya Ketersediaan Air untuk Kebutuhan Sehari-Har

DAYA AIR

3. Berkurangnya Ketersediaan Air untuk Kebutuhan Sehari-Har

Lima tahun sejak perusahaan mengeksploitasi sumber daya air atau tepatnya sejak tahun 1999 masyarakat sekitar sumber air mulai merasakan kesulitan untuk mendapatkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari. Kesulitan mendapatkan air ini sangat dirasakan masyarakat pada musim kemarau. Sebelum perusahaan melakukan eksploitasi terhadap sumber daya air di desa, masyarakat tidak merasakan kesulitan untuk mendapatkan air bersih. Lima belas persen dari responden yang ditanya mengalami kesulitan mendapatkan air bersih sebelum perusahaan melakukan kegiatan eksploitasinya di desa. Jumlah orang yang merasakan kesulitan mendapatkan air bersih meningkat menjadi 62.5% setelah perusahaan melakukan kegiatan eksploitasi di desa seperti yang digambarkan dibawah ini:

16

76

Gambar 7. Kesulitan mendapatkan air bersih sebelum dan sesudah kehadiran perusahaan.

Saat ini beberapa kampung di Desa Babakan Pari seperti Kampung Pasir dalam, kampung Kuta dan lain-lain mengalami kesulitan mendapatkan air bersih. Kesulitan mendapatkan air digambarkan oleh salah satu informan dalam petikan wawancara di bawah ini :

“ Sebelum ada perusahaan tidak ada kesulitan air di musim kemarau, air-air subur, kering di sumur, semua pergi kebawah, ke sumber air, sekarang airnya sudah tidak ada. Dulu di bawah ada bendungan, ada air sumber, sekarang sudah tidak ada, mungkin sudah kesedot ke sana ke sini. Mata-mata air sudah tidak ada, dulukan pinggiran jalan ini air semua, ada air mengalir, sekarang mah tidak ada, dulu banyak kolam di sini, tapi sekarang aliran air sudah seperti di Jakarta, airnya kotor, hanya air yang berasal dari limbah rumah tangga saja. Kalau kemarau ibu pakai air di mesjid atau lari ke tetangga yang masih punya air, kemarau tahun lalu cukup panjang, airnya diepet-epet, kadang-kadang saya pakai air galon untuk mandi dan memasak, sumur hanya berair pagi hari, siang dan sore suka tidak ada air sehingga memakainya harus diirit-irit”.(T, Pasir Dalam)

Perubahan-perubahan lingkungan fisik atau kekeringan, terjadi sejak kehadiran perusahaan di desa. Eksploitasi air tanah dalam yang dilakukan oleh perusahaan sesungguhnya bukan menjadi penyebab utama dari kekeringan dan hilangnya sumber-sumber air permukaan yang dulunya tersedia berlimpah di ketiga desa. Perusahaan dalam operasinya mengambil air tanah dalam, melakukan pengeboran sedalam 50-100 m ke dalam permukaan tanah. Sedangkan air yang dipergunakan masyarakat adalah air permukaan yang berada pada lapisan berbeda dengan air tanah yang diambil oleh perusahaan.

Kehadiran perusahaan/industri di tengah-tengah masyarakat mendorong terjadinya perubahan lingkungan fisik wilayah desa, bentang alam (landscape). Pertambahan jumlah bangunan pabrik, perumahan, kos-kosan, toko-toko, tempat parkir, gudang dan bangunan lain menyebabkan berkurangnya daerah resapan air

15 78.75 62.5 37.5 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 ya tidak ya tidak

sebelum ada perusahaan Sesudah ada perusahaan

Kesulitan Mendapatkan Air Bersih

77 dan pada jangka panjang telah menyebabkan terjadinya kekeringan dan kesulitan untuk mendapatkan air bersih.

4. Pemagaran

Pemagaran dilakukan oleh perusahaan untuk mengamankan sumber-sumber air, lahan konservasi beserta jalur-jalur pipa yang dipergunakan untuk menyalurkan air ke pabrik-pabrik air minum dalam kemasan. Namun pemagaran yang dilakukan di Papisangan Lio, justru membelah kampung tersebut menjadi dua bagian. Rumah-rumah masyarakat dipisahkan oleh pagar panel setinggi 3 meter.

Pagar-pagar pembatas ini dibangun perusahaan pada tahun 2007 setelah meminta izin kepada warga, diawali dengan pembebasan tanah seluas 5.5 ha untuk penghijauan dan jalur pipa. Proses pembebasan lahan ini diikuti pula dengan kesepakatan yang dibuat antara masyarakat dengan perusahaan satu diantaranya adalah setelah masyarakat memberi izin lingkungan untuk pembuatan pagar setinggi 3 meter, perusahaan berjanji akan menerima karyawan dari RT 4 RW 4 kampung Papisangan Lio, Desa Caringin dan akan memberi masyarakat fasilitas air bersih, tapi sampai akhir tahun 2008 janji ini belum ditepati oleh perusahaan. Tahun 2012, janji memberikan fasilitas air bersih kepada masyarakat Papisangan Lio akhirnya dipenuhi dengan membangunkan bak penampungan dan penyaluran air secara langsung dari sumber air yang dieksploitasi.

Perubahan Peluang Bekerja dan Berusaha Peluang Bekerja

Perubahan kepemilikan terhadap sumber daya air menyebabkan masyarakat kehilangan akses terhadap sumber daya air tersebut dan kehilangan hak untuk memanfaatkan sumber air. Seperti telah diuraikan di atas, perubahan penguasaan sumber daya air dan eksploitasi yang dilakukan oleh perusahaan telah menyebabkan kekeringan dan berubahnya lahan-lahan pertanian (sawah) menjadi tegalan/lahan-lahan kering yang tidak produktif. Selain itu penguasaan lahan oleh perusahaan dan oleh orang luar desa menyebabkan petani/penggarap kehilangan mata pencaharian.

Idealnya ketika terdapat banyak industri di desa maka masyarakat di desa tersebut mendapatkan peluang yang lebih besar untuk mengakses pekerjaan- pekerjaan yang tersedia di perusahaan. Berdasarkan data demografi desa Babakan Pari hanya 300 orang yang tercatat bekerja sebagai karyawan di perusahaan- perusahaan air minum dan di industri garmen. Di Kampung Kubang Jaya, ada 35 orang dari 125 KK yang bekerja di perusahaan air minum dalam kemasan. Sedangkan di kampung Papisangan Lio hanya 3 orang yang bekerja di perusahaan AMDK.

Pada proses awal kehadiran perusahaan di desa, karena berharap mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan didorong oleh perasaan bahwa bekerja sebagai petani tidak begitu menguntungkan, masyarakat melepaskan tanah-tanah di sekitar mata air. Dalam perjalanannya, tidak mudah untuk mengakses pekerjaan di perusahaan-perusahaan air minum karena ada beberapa syarat yang harus di penuhi seperti syarat pendidikan dan keahlian, yang sangat

78

sulit untuk di penuhi oleh masyarakat. Pada waktu itu hanya ada beberapa orang saja yang bisa menamatkan pendidikan setingkat SLTA di ketiga desa seputar perusahaan air minum. Salah seorang informan yang diwawancarai harus menunggu sampai dua tahun untuk mendapatkan pekerjaan sebagai satpam setelah dia menjual tanah milik orang tuanya kepada salah satu perusahaan air minum. Setelah rekrutmen karyawan di ambil alih oleh yayasan, persyaratan penerimaan karyawan semakin diperketat dan semakin banyak warga masyarakat yang tidak bisa mengakses pekerjaan di perusahaan air minum. Alasan perusahaan tidak menerima masyarakat sekitar perusahaan air untuk bekerja adalah karena masyarakat sekitar tidak memenuhi kualifikasi yang di tetapkan.

Penerapan teknologi baru yang lebih efektif dan efisien memungkinkan air yang telah di proses langsung masuk ke kemasan / galon, bahkan langsung naik ke truk-truk pengangkut, ikut pula mengakibatkan terseingkirnya masyarakat yang dulu menjadi buruh muat dari pekerjaannya. Penerapan teknologi menuntut karyawan dengan spesifikasi tinggi, sementara pada umumnya penduduk di ketiga desa di lingkaran perusahaan air minum dalam kemasan sampai saat ini hanya mampu menamatkan pendidikan setingkat SMP dan SLTA. Dalam beberapa wawancara dengan tokoh masyarakat dan masyarakat lainnya, keluhan tidak bisa bekerja di perusahaan selalu dipertentangkan dengan jumlah air yang dieksploitasi setiap harinya di kawasan sumber air.

Peluang Berusaha

Masyarakat yang kehilangan pekerjaan di sektor pertanian beralih bekerja di sektor informal dengan menjadi tukang ojek dan pedagang keliling. Sebagian lainnya tidak memiliki pekerjaan tetap. Pekerjaan-pekerjaan ini tidak secara signifikan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Bagi sebagian kecil masyarakat keberadaan perusahaan di desa justru sangat menguntungkan secara ekonomi. Orang-orang ini berprofesi sebagai Biyong yaitu orang yang berperan sebagai makelar dalam proses pelepasan tanah-tanah masyarakat untuk kepentingan perusahaan maupun pihak lain. Para Biyong dalam kasus ini tidak saja berperan sebagai perantara antara pembeli (perusahaan) dengan penjual (masyarakat) tapi juga melakukan pembelian tanah-tanah masyarakat dengan harga murah untuk tujuan spekulasi.

Akses informasi ke dalam perusahaan yang dimiliki oleh para biyong,

menyangkut rencana pembelian tanah masyarakat, memungkinkan biyong untuk melakukan spekulasi – spekulasi untuk kepentingan pribadi. Biyong yang memiliki modal besar untuk membeli tanah-tanah yang sudah dibidik perusahaan dengan harga yang lebih murah untuk dijual kembali kepada perusahaan dengan harga berlipat ganda.

Beberapa orang pemillik lahan yang berlokasi di sekitar sumber air yang ditanya tentang bagaimana proses terjadinya pelepasan hak, sebagian besar mereka menjawab, pemilik lahan tidak menjual langsung lahan/tanahnya tersebut ke perusahaan tapi menjualnya kepada orang lain sebelum berpindah tangan kepada perusahaan. Tak heran, jika kemudian ditemukan salah seorang yang menjadi biyong di Kampung Papisangan, Desa Caringin, bisa membeli tanah berhektar-hektar di Desa Bangbayang dan mampu membeli vila dari seorang pengusaha dari Jakarta.

79 Diantara biyong bekerja sebagai perangkat di desa, sehingga memudahkan mereka mengetahui rencana-rencana yang sedang disusun oleh perusahaan. Praktek biyong ini mendongkrak dengan cepat kesejahteraan dan penghasilan mereka. Seorang mantan pejabat desa yang terlibat langsung dalam proses pengalihan hak tanah di sekitar mata air menjadi kaya raya dalam sekejab karena selisih keuntungan yang dia dapatkan dari penjualan tanah-tanah milik masyarakat tersebut.

Perubahan Makna Air Bagi Masyarakat

Selama lebih kurang 30 tahun masyarakat di sekitar sumber air minum dalam kemasan melihat, dan mengalami berbagai perubahan–perubahan yang terjadi seperti perubahan lingkungan, mata pencaharian dan merasakan dampak negatif maupun positif dari kehadiran perusahaan. Kehadiran perusahaan di desa, membeli tanah yang ada sumber airnya, untuk selanjutnya diproduksi dan dijual kepada konsumen untuk mendapatkan keuntungan mempengaruhi makna sumber air bagi masyarakat. Sebelum tahun 1993 tidak satupun masyarakat yang pernah berfikir tentang keuntungan besar yang akan didapatkan jika seseorang memiliki mata air.

Dulu, air yang berasal dari mata air dianggap sebagai barang milik bersama tidak diperjualbelikan dan dapat dimiliki secara bebas, bahkan sumber air Kubang dan tanah di sekitarnya dianggap masyarakat sebagai tanah yang tidak produktif yang airnya dingin sehingga padi tidak bisa tumbuh dengan baik disana. Tanah sekitar sumber air Kubang dianggap tidak bernilai dan dengan mudah dipindah tangankan oleh pemiliknya kepada orang lain dengan harga murah. Kuantitas air yang sangat tinggi sebelum ada perusahaan membuat masyarakat tidak pernah dirisaukan oleh ketersediaan sumber air.

Sebelum keberadaan perusahaan, masyarakat hanya menggunakan tiga jenis sumber air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan untuk pengairan yaitu air selokan, mata air dan air sumur. Keberadaan perusahaan memunculkan kebiasaan baru dalam masyarakat desa yaitu mulai mengkonsumsi air minum dalam kemasan, dengan jalan membeli air-air yang dulunya mereka manfaatkan dengan gratis. Sumber air yang digunakan masyarakat menjadi lebih beragam yaitu sumur, air bersih dari perusahaan yang disebut masyarakat dengan air Aqua, air galon, mata air dan air selokan. Makna air bagi masyarakat dibedakan berdasarkan jenis sumber air dan dilihat dari aspek kualitas, kuantitas dan akses untuk mendapatkannya dengan menggunakan metode semantik (bahasa) untuk menangkap makna masyarakat terhadap satu jenis sumber air.

Makna sumber air bagi masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah eksploitasi AMDK disajikan pada lampiran 1. Dari beberapa jenis air yang digunakan oleh masyarakat, masyarakat memaknai air yang berasal dari air sumur mereka sebagai air yang sangat berharga, murah dan mudah didapat serta paling bersih. Air yang berasal dari sumur dapat mereka akses dan gunakan setiap hari. Bagi mereka yang sudah tidak dapat lagi mengakses air bersih dari sumber mata air akan melakukan berbagai cara untuk memelihara agar air sumur tetap mengalir misalnya dengan menggali sumur lebih dalam pada musim kemarau. Mereka tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mendapatkan air sumur kecuali biaya listrik.

80

Hampir setiap rumah menggunakan sumur untuk keperluan sehari-hari, berbeda dengan sebelum tahun 1993, rumah-rumah yang memiliki sumur dapat dihitung dengan jari. Sumur-sumur ini menggantikan fungsi air selokan dan mata air yang dulunya digunakan untuk mandi, mencuci, dan untuk minum. Bagi masyarakat air sumur ini tidak boleh diperjualbelikan, harus dilindungi, dan dipelihara. Artinya dari sekian banyak jenis sumber air yang mereka gunakan air sumur sangat berperan dalam kehidupan mereka. Makna sumber air bagi masyarakat dapat dilihat pada grafik dibawah ini :

Gambar 8. Makna sumber air bagi masyarakat 0 20 40 60 80 67.5 48.75 63.75 67.5 67.5 60 52.5 68.75 71.25 32.5 11.3 21.3 25 11.3 21.25 10 11.25 11.25 13.75 3.75 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 20 21.3 25 11.3 21.25 10 11.25 11.25 13.75 3.75 0 0 7.5 15 8.75 20 0 0 2.5 3.75 1.25 8.75 0 0 1.25 0 0 0 0 2.5

81

Gambar 9. Makna sumber air bagi masyarakat

Mata air mereka anggap sebagai barang yang sudah langka dan sulit untuk didapatkan, walaupun begitu jenis sumber air ini dinilai berharga dari sisi ekonomi dan boleh diperjualbelikan kepada orang lain untuk mendapatkan keuntungan. Seperti telah diuraikan di atas, mata air yang dulunya banyak terdapat di desa, setelah kehadiran perusahaan dan perubahan kondisi lingkungan

(landscape) berubah menjadi lahan kering. Walaupun masyarakat mengalami kesulitan air dan tidak bisa lagi mengakses sumber air Kubang, sebanyak 39 orang (48,75%) dari responden masih ingin menjual mata air seandainya mereka memiliki mata air tersebut di tanahnya. Tanah yang di dalamnya terdapat mata air akan menghasilkan uang dalam jumlah besar, karena pengusaha air minum dalam kemasan tidak segan-segan membayar tanah tersebut dengan harga mahal. Uang hasil penjualan tanah tersebut nantinya akan dipergunakan untuk memperbaiki rumah, naik haji dan membeli tanah yang lebih luas di tempat lain.

Responden yang menolak menjual mata air sebanyak 51,25 % adalah mereka yang sadar dengan dampak yang ditimbulkan oleh eksploitasi air yang dilakukan oleh perusahaan. Mereka menilai jika air diambil terus menerus maka air di dalam tanah akan menjadi kosong, dan tidak ada lagi air yang menyangga tanah, menurut mereka otomatis suatu hari nanti tanah permukaan akan amblas ke dalam. Pemberitaan media tentang bencana lumpur Sidoarjo sering diasosiasikan dengan kondisi desa mereka saat ini. Air selokan dianggap sebagian besar responden tidak berharga (63,8%) karena menurut mereka air selokan tidak bisa mereka manfaatkan karena ketiadaan lahan pertanian. Namun bagi petani, air selokan jauh lebih berharga dari pada air lainnya karena dengan air selokan petani

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 3.75 0 0 5 0 3.75 0 0 3.75 2.5 1.25 0 80 5 78.8 82.5 0 0 0 0 2.5 0 8.8 6.3 6.25 1.25 0 0 1.25 1.25 2.5 0 1.25 2.5 1.25 3.75 1.25 0 2.5 3.75 63.8 100 6.25 0 5 2.5 85 75 60 50 48.75 0 3.75 81.3 8.75 6.25 13.75 25 32.5 42.5

82

bisa melakukan proses produksi. Sumber air yang dianggap paling mahal adalah air gallon karena masyarakat harus mengeluarkan uang untuk membeli air tersebut.

Di beberapa kampung yang sudah difasilitasi air oleh Aqua, maka air Aqua merupakan air yang cukup penting. Setelah mendapatkan fasilitas air bersih, sumur milik mereka tidak lagi difungsikan karena sangat dalam (mencapai 17 meter) dan airnya hanya sedikit. Air dari Aqua digunakan untuk keperluan sehari- hari, untuk mandi, mencuci dan lain sebagainya tapi tidak untuk minum. Masyarakat terutama ibu-ibu tidak mau menggunakan air ini untuk minum karena dinilai tidak terlalu bersih (hanya 21,3 % responden yang menyatakan air dari Aqua ini bersih), dan jika dijadikan air teh, airnya kelihatan keruh seperti teh yang sudah basi.

Sulit untuk menyelidiki bagaimana masyarakat memaknai sumber air pada masa lalu, penelitian ini kemudian mengambil masyarakat desa lain sebagai pembanding, dengan kriteria di kampung tersebut belum ada perusahaan air minum dalam kemasan dan sebagian besar masih bisa mengakses mata air yang ada di kampung. Berikut disajikan makna air bagi masyarakat kampung Cisaat, Sukabumi :

Gambar 10. Makna sumber air bagi masyarakat Cisaat (Pembanding) Bagi mereka mata air merupakan sumber air penting dan sangat berharga yang perlu dijaga dan dipelihara dan tidak untuk diperjual belikan karena air tersebut merupakan anugerah Tuhan. Kuantitas air yang berasal dari mata air di Kampung Cisaat sangat berlimpah dan terletak dekat dengan pemukiman masyarakat sehingga sangat mudah diakses. Air yang berasal dari mata air ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dengan cuma-cuma, sehingga keberadaan dan keberlangsungan sumber air ini perlu dipelihara dan dilindungi.

35 35 40 10 40 20 15 35 40 30 60 60 40 80 55 50 80 65 60 55 5 5 5 0 0 5 0 0 0 0 0 0 15 10 5 5 5 0 0 15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

83

Gambar 11. Makna sumber air bagi masyarakat Cisaat (pembanding)

Gambar diatas memperlihatkan bahwa sumber air yang paling tidak bernilai bagi masyarakat Kampung Cisaat adalah air galon, air PAM dan air selokan. Air galon dinilai tidak berharga karena mereka harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan air tersebut dan harus membelinya di pasar Cicurug. Begitu juga dengan air PAM, karena harus mengeluarkan uang untuk mendapatkannya masyarakat menilainya tidak berharga. Sedangkan air selokan dinilai tidak berharga karena kotor, tapi diperlukan untuk pengairan.

Perlawanan Masyarakat

Menurut Polanyi dalam Rahman (2013) memperlakukan tanah dan sumber daya alam sebagai barang dagangan akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan akan memunculkan gerakan tandingan untuk melindungi masyarakat dari kerusakan yang lebih parah. Ekspansi penguasaan lahan dan sumber air di kecamatan Cidahu dan Cicurug dan eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber air di wilayah tersebut memicu munculnya reaksi yang berbeda dari masyarakat. Sebagian masyarakat yang mengalami kesulitan air melancarkan aksi-aksi protes secara diam-diam kepada pihak perusahaan.

Konflik terbuka yang berujung pada bentrokan dan kontak fisik tidak pernah terjadi antara masyarakat dan perusahaan. Konflik kepentingan ini tidak pernah meletus menjadi konflik terbuka (manifes). Perbedaan kepentingan antara masyarakat dan perusahaan terjadi dalam bentuk pengrusakan pipa-pipa dan sarana milik perusahaan lainnya. Setelah perusahaan memagari sumber air dan kawasan konservasi dengan pagar tinggi, dan masyarakat tidak bisa lagi mengakses air, ketidaksenangan masyarakat terhadap kehadiran perusahaan mulai muncul. Komplain-komplain yang dilancarkan kepada perusahaan dilakukan sendiri-sendiri oleh tiap kampung, dan kebanyakan terjadi pada musim kemarau. Masing-masing kampung mempunyai cara/strategi yang berbeda untuk

0 0 15 0 10 10 0 0 0 0 30 0 20 50 35 40 10 15 20 25 30 100 0 0 5 5 50 40 30 30 40 0 50 50 40 5 40 45 50 45 0 20 40 60 80 100 120

84

memperjuangkan kepentingannya tersebut. Air yang diperjuangkan adalah air untuk kebutuhan sehari-hari, bukan untuk keperluan pengairan.

Konflik antara masyarakat dengan perusahaan mulai muncul sejak tahun 1995, pada saat itu terjadi kemarau panjang dan masyarakat merasakan kesulitan untuk mendapatkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari. Masyarakat melalui RT mulai menagih janji salah satu perusahaan AMDK yang berjanji akan memperhatikan lingkungan sekitar perusahaan yaitu untuk membantu masyarakat sekitar bila mereka kekurangan air bersih dan akan mempekerjakan masyarakat sekitar di perusahaan. Dalam melancarkan aksi protesnya tidak semua masyarakat terlibat hanya kalangan masyarakat kelas atas dan cukup terdidik yang memiliki akses dan pengetahuan untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintahan desa (RT/RW) bahkan langsung kepada perusahaan. Masyarakat dari kelas bawah yang tidak berpendidikan cenderung menunggu dan menjadi penonton proses yang berlangsung.

Menurut masyarakat, sumber air Cikubang merupakan sumber air bebas yang tidak dimiliki oleh siapapun, hanya tanah-tanah yang di dekat sumber Cikubang yang ada pemiliknya. Masyarakat mengancam kalau tidak diberi fasilitas air bersih maka perusahaan tidak akan aman menjalankan usahanya di Babakan Pari. Di Kampung Kubang Jaya yang sangat dekat dengan lokasi sumber air perusahaan AMDK, masyarakat melakukan beberapa strategi untuk masuk dan mengakses sumber air Cikubang di antaranya dengan melompati pagar setinggi 3 meter atau membuat lubang di bawah pagar beton yang memungkinkan mereka tetap bisa menyelinap masuk ke dalam sumber air. Awalnya di dekat lokasi sumber tersebut disediakan MCK untuk masyarakat, namun setelah dipagar, masyarakatpun tidak bisa mengakses MCK tersebut sehingga mereka harus melompati pagar agar sampai di sana.

Ancaman–ancaman dari masyarakat terhadap perusahaan ini berlanjut dengan pengrusakan pipa-pipa, penjebolan pintu dan pagar milik perusahaan, pembuatan lubang di bawah pagar di sekitar sumber air Kubang dan tindakan lain yang memungkinkan masyarakat tetap bisa mengakses air bersih dari sumber. Pengrusakan pagar dan penjebolan pintu untuk masuk ke lahan konservasi terjadi juga di kampung Papisangan Lio, tapi tidak pernah diketahui siapa yang merusak karena tindakan-tindakan pengrusakan dilakukan secara sendiri-sendiri dan tidak terorganisir.

Antara tahun 1995-1997 ibu-ibu di kampung Pojok yang berbatasan langsung dengan pabrik TBP berdemo ke perusahaan untuk meminta fasilitas air bersih, karena mereka tidak bisa lagi pergi ke sungai sebab sungai yang selama ini mereka manfaatkan ikut ditutup/dipagari oleh perusahaan AMDK. Kemarau panjang pada tahun 1997 menyebabkan sawah-sawah di Babakan Pari tidak lagi berproduksi secara normal, sehingga masyarakat kekurangan bahan pangan. Masyarakat melalui ketua RT (Rukun Tetangga) dan Kepala desa meminta kepada Aqua untuk menyediakan fasilitas air bersih dan bahan pangan berupa beras. Pihak perusahaan langsung merespon permintaan masyarakat dengan mengirimkan 4 truk beras, yang dibagikan kepada masyarakat Babakan Pari.

Masyarakat sekitar perusahaan punya taktik dan strategi sendiri dalam melakukan perlawanan yang dalam bahasa lokal diistilahkan sebagai caina benang, ikannya herang yang dapat diartikan sebagai airnya tidak keruh tapi ikannya dapat ditangkap (tidak melakukan kegaduhan tapi bisa mendapatkan

85 keuntungan). Menurut masyarakat Papisangan Lio tidak perlu ribut ribut yang

Dokumen terkait