• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontestasi Aktor dan Kepentingan Terhadap Sumber Daya Air di Sukabumi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kontestasi Aktor dan Kepentingan Terhadap Sumber Daya Air di Sukabumi"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

KONTESTASI AKTOR DAN KEPENTINGAN TERHADAP

SUMBER DAYA AIR DI SUKABUMI

NINING ERLINA FITRI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kontestasi Aktor dan Kepentingan Terhadap Sumber Daya Air di Sukabumi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, July 2014

Nining Erlina Fitri

(4)

RINGKASAN

NINING ERLINA FITRI. Kontestasi Aktor dan Kepentingan Terhadap Sumber Daya Air di Sukabumi. Dibimbing oleh SOERYO ADIWIBOWO dan NURMALA K PANDJAITAN.

Tonggak perubahan penguasaan dan pengelolaan sumber daya air di Indonesia oleh swasta dilegitimasi dengan ditetapkannya Undang-Undang No.7 tahun 2004 tentang sumber daya air. Undang-undang ini memberi kewenangan kepada swasta untuk mengusahakan sumber daya air untuk kepentingan komersial. Akibat liberalisasi sumber daya air tersebut beragam akses masyarakat pedesaan berkurang, bahkan hilang dan berimplikasi pada hilangnya sumber mata pencaharian petani dan ikut berkontribusi besar pada perubahan lingkungan di pedesaan. Eksploitasi sumber daya air yang berlebihan menyebabkan terjadinya kelangkaan sumber daya air yang berujung pada terjadinya konflik perebutan sumber daya air antara masyarakat dengan perusahaan.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis latar belakang terjadinya konflik dan menganalisis berbagai kepentingan yang bertarung dalam memperebutkan akses terhadap sumber daya air di Cidahu dan Cicurug, Kabupaten Sukabumi. Penelitian dilakukan dari bulan Februari sampai September 2013 di tiga desa yang berbatasan langsung dengan lokasi eksploitasi dan pabrik air minum dalam kemasan di Kecamatan Cidahu dan Cicurug. Metode pengumpulan dan analisa data dilakukan dengan mengkombinasikan pendekatan kualitatif dan kuantitatif.

Penelitian ini menunjukkan hilang/berkurangnya akses masyarakat terhadap sumber daya air karena hilangnya hak kepemilikan masyarakat terhadap tanah yang mengandung sumber-sumber air tersebut. Hilangnya akses masyarakat tidak hanya disebabkan oleh hilangnya kepemilikan tapi karena faktor-faktor lain yang saling mempengaruhi. Perusahaan mampu mengontrol masyarakat dengan kekuatan modal, teknologi dan relasi yang terbangun dengan pihak pemerintah lokal (pemda/desa), elit-elit desa dan sebagian LSM lokal.

Kepemilikan sumber air dan tanah di desa terkonsentrasi kepada perusahaan karena kebutuhan perusahaan untuk membangun pabrik, meningkatkan kapasitas produksi, dan kebutuhan untuk melakukan konservasi (perlindungan) terhadap sumber air tanah sesuai dengan yang disyaratkan oleh undang-undang. Dorongan permintaan pasar (market) berkelindan dengan kuasa peraturan (regulation) berhasil menyingkirkan masyarakat dari sumber air, tanah dan mata pencahariannya. Keberadaan perusahaan di desa menyebabkan terjadinya perubahan bentang alam (landscape) karena pembangunan pabrik, perumahan, dan bangunan lain untuk menunjang aktifitas perusahaan di desa. Perubahan lingkungan fisik ini menyebabkan hilang/berkurangnya air permukaan (air sumur), dan mata air di beberapa tempat serta mengubah drastis daerah pertanian menjadi lahan-lahan kering yang tidak produktif.

(5)

pencaharian. Pertarungan tidak saja melibatkan masyarakat dan perusahaan tapi menarik aktor lain seperti LSM untuk terlibat dan ikut memanfaatkan situasi demi kepentingan masing-masing.

Negara sebagai pemilik sumber daya air yang diamanatkan oleh UUD 1945 memiliki peran dalam penyediaan air untuk kepentingan masyarakat justru menyerahkan penyediaan fasilitas air bersih kepada perusahaan dengan memberikan kewenangan kepada swasta untuk mengusahakan dan mengelola sumber daya air dengan menetapkan payung hukum Undang-Undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air beserta peraturan turunannya. Pendelegasian peran negara kepada swasta melalui undang-undang ini mempercepat terjadinya liberalisasi sumber daya air di pedesaan.

(6)

SUMMARY

NINING ERLINA FITRI. Contestation of Actors and the Interests on Water Resources in Sukabumi. Supervised by SOERYO ADIWIBOWO and NURMALA K PANDJAITAN.

Changes in the control and management by private sector of water resources in Indonesia was legitimized by the enactment of Law No 7 of 2004 on water resources. This law gives authority to the private sector to commercialize water resources. Liberalization of water resource have an impact on the demise of people access to resources, with some implications to the reduction of local livelihood source and also contribute to environmental changes in rural areas. Water resources exploitation causing water scarcity and it end up on the water resources conflict between local community and the water company.

The objective of this study is to elaborate the background of the conflict and also analysing the contestation of various people interest in competing water resources access in Cidahu and Cicurug villages, Sukabumi District. The study was conducted from February to September 2013 in three villages. Those three villages were located in adjacent with the water drinking company in Cidahu and Cicurug. The methods employs in this research for data gathering and analysis was a combination of qualitative and quantitave approaches.

This study show that the reduction of people access to water resources due to the loss of land ownership by local people. The land is the area with water resources. The demise of public access is not only causing by the loss of local ownership but also due to other factors may affect each other. The company's ability to control the people with the power of capital, technology and the relationship that was built with the local government (local government / village), village elites and some local NGOs.

Ownership of water resources and land in the village was concentrated to the company because the company needs to build a plant, increasing production capacity, and the need for conservation (protection) against ground water sources as required by law. High market demand intertwined with power regulation got rid the local community from their water sources, land and livelihood. The existence of the company in the village leads to changes in the landscape for the construction of factories, housing, and other structures to support the company's activities in the village. Changes in the physical environment lead to loss / reduction of surface water (well water), and springs in some places, and change drastically agricultural areas into unproductive arid lands.

Contestation to gain access to water resources issues surfaced as drought and difficult to get water, is actually the result of a lack of access to livelihood source by the public in the drinking water company and as a result of loss of livelihood. The fight does not only involve the community and other companies but also other actors such as NGOs, with their engagement and participation in using the situation for their own benefit.

(7)

establish legal protection Law No.7 of 2004 on Water Resources and its derivatives regulation. Delegating role of the state to the private sector through legislation is accelerating the liberalization of water resources in rural areas.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

KONTESTASI AKTOR DAN KEPENTINGAN TERHADAP

SUMBER DAYA AIR DI SUKABUMI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(10)
(11)

Judul Tesis : Kontestasi Aktor dan Kepentingan Terhadap Sumber Daya Air di Sukabumi

Nama : Nining Erlina Fitri NIM : I353110031

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr.Ir.Soeryo Adiwibowo, MS Ketua

Dr.Nurmala K Pandjaitan, MS.DEA Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr.Ir.Arya Hadi Dharmawan, Msc.Agr Dr.Ir.Dahrul Syah, Msc.Agr

Tanggal Ujian: 18 Juli 2014 Tanggal Lulus:

(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini Kontestasi Aktor dan Kepentingan Terhadap Sumberdaya Air di Sukabumi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Soeryo Adiwibowo MS dan Ibu Dr Nurmala K Pandjaitan MS DEA selaku pembimbing, serta Bapak Dr.Ir. Arya Hadi Dharmawan yang telah banyak memberi saran, arahan dan kritikan Penulis beruntung dibimbing dan diuji oleh ketiganya sehingga tesis ini menjadi lebih berbobot.

Secara khusus penulis berterimakasih kepada Gagak (Eko Cahyono) yang telah menjadi reviewer sekaligus editor untuk tesis ini, dan inspirasi awal untuk melaksanakan penelitian di ranah ekologi politik sumber daya air yang belum banyak menjadi perhatian peneliti lain sebelumnya. Terimakasih untuk Umam, dan Ita untuk bantuannya mengolah data kuantitatif yang rumit dan membingungkan.

Terimakasih kepada Khadafi yang telah memudahkan proses wawancara dengan biyong di Sukabumi. Penulis berterimakasih kepada keluarga besar Bapak Cece Supratman di desa Caringin, keluarga besar Pak Zainuddin (Jae) di Papisangan Lio, keluarga umi Mbat Papisangan Tongoh dan Mak OO di Babakan Pari yang telah bersedia berbagi tempat tinggal, informasi dan lainnya selama penulis melakukan penelitian di Cicurug dan Cidahu.

Penulis beruntung mendapatkan kesempatan berdiskusi dengan teman-teman di Sosiologi Pedesaan terutama teman-teman-teman-teman SPD angkatan 2011, hari-hari yang berkejaran akhirnya bisa kita taklukkan bersama-sama. Untuk teman-teman di Bina Desa ( Mbak wiwi, Nisa and the gang), terimakasih telah memberikan kesempatan untuk mendialogkan antara teori dan praktek dalam kehidupan nyata di pedesaan.

Tesis ini didedikasikan untuk Ibunda Yuerlis, Sri, Wandi, Leni, keponakan kecil Atha, Faris dan Zikri untuk semua kasih sayang dan dukungan yang tiada berbatas. Terakhir terimakasih untuk semua teman-teman petani, perempuan di pedesaan dan pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Karya ini tentu saja masih jauh dari sempurna, penulis membuka diri atas kritikan, saran untuk penelitian-penelitian lain di masa yang akan datang.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 6

Manfaat Penelitian 6

2 TINJAUAN PUSTAKA 7

Ekologi Politik 7

Teori Property Rights 11

Teori Akses 13

Konflik, Penyebab dan Bentuk Konflik 15

Perubahan Paradigma tentang Air 17

Kerangka Pemikiran 20

3 METODE 23 Lokasi dan Waktu Penelitian 23 Metode dan Strategi Penelitian 24 Jenis Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data 24 4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26

Kecamatan Cicurug 26 Desa Caringin 28 Desa Mekar Sari 32

Kecamatan Cidahu 34

Desa Babakan Pari 36

Potensi Sumber Daya Air Cekungan Sukabumi 40

5 KEBIJAKAN, AKSES DAN PERUBAHAN PENGUASAAN SUMBER DAYA AIR 43 Kebijakan Sumber Daya Air 43 Masa Orde Lama 43

Masa Orde Baru 44

Masa Orde Reformasi 45

Izin Pengusahaan Air Tanah 47

Akses Perusahaan Terhadap Sumber Daya Air 49

Proses Masuknya Perusahaan AMDK 51

Eksploitasi Air Oleh Perusahaan AMDK 53

Penguasaan Lahan Oleh Perusahaan AMDK 57

Akses Masyarakat Terhadap Sumber Daya Air 61

Perubahan Penguasaan dan Hak Kepemilikan Terhadap Sumber Daya Air 63

Pemenuhan Kebutuhan Masyarakat Terhadap Air 65

6 KONTESTASI KEPENTINGAN TERHADAP SUMBER DAYA AIR 69

Diskursus Politik Sumber Daya Air 69

(15)

Perubahan Lingkungan Fisik 73

Perubahan Peluang Bekerja dan Berusaha 77

Perubahan Makna Air Bagi Masyarakat 79

Perlawanan Masyarakat 83

Peran Lembaga Swadaya Masyarakat 88

Peran Negara/Pemerintah 90

Kondisi Pasca Perlawanan 94

7 SIMPULAN DAN SARAN 97

Simpulan 97

Saran 98

DAFTAR PUSTAKA 100

(16)

DAFTAR TABEL

1 Dimensi-dimensi dari Politicised environment 9

2 Gambaran Tiga Diskursus Dalam Pembuatan Kebijakan 10

3 Status Kepemilikan sumber daya alam 12

4 Karaketristik responden pada lokasi penelitian 25 5 Jumlah rumah tangga pemanfaat sumber air di Kecamatan Cicurug 27 6 Perusahaan pemakai sumber air di Kecamatan Cicurug 27

7 Tingkat pendidikan penduduk Desa Caringin 29

8 Jumlah penduduk Desa Caringin berdasarkan mata pencaharian 30

9 Kepemilikan tanah pertanian di Desa Caringin 31

10 Sumber daya air di Desa Caringin yang dimanfaatkan penduduk untuk

keperluan sehari-hari 32

11 Jumlah penduduk Desa Mekar Sari Berdasarkan Mata Pencaharian 33 12 Kepemilikan lahan pertanian di Desa Mekar Sari 34 13 Jumlah rumah tangga pemakai sumber air untuk keperluan sehari-hari 34 14 Jumlah rumah tangga pemanfaat sumber air di Kecamatan Cidahu 35 15 Perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan sumber daya air di Cidahu 36

16 Jumlah penduduk Babakan Pari menurut umur 38

17 Jumlah penduduk Babakan Pari menurut mata pencaharian 39 18 Rumah tangga pemakai sumber air untuk keperluan sehari-hari 39

19 Mata air di Desa Babakan Pari 42

20 Pertumbuhan Pemanfaatan Sumber Air Tanah Berdasarkan Jenis

Sumber Air Tanah 2009-2012 49

21 Daftar Perusahaan yang Mengeksploitasi Sumber Daya Air di Wilayah

Kubang 50

22 Debit Pengambilan Air Tanah oleh PT. AGM dan PT. TI 54

23 Debit Pengambilan Air oleh PT. TBT 55

24 Penjualan/Pengalihan Tanah kepada Pihak Lain 59

25 Mata air di Wilayah Kubang 62

26 Perubahan Penguasaan dan Kepemilikan Sumber Daya Air 65

27 Alasan Masyarakat Menjual Tanah 75

28 Bentuk-Bentuk Perlawanan 87

29 Penerimaan Pajak Air Tanah Januari-Agustus 2013 dari Eksplorasi

Wilayah Kubang 92

30 Tindakan Perusahaan AMDK dalam Mengontrol Perilaku Masyarakat 93

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran Penelitian 22

2 Lokasi Penelitian 23

3 Peta Potensi Air Tanah Kabupaten Sukabumi 41

4 Perubahan Kepemilikan Lahan Sesudah Keberadaan Perusahaan 60

5 Penggunaan Air Selokan oleh Masyarakat 68

(17)

7 Kesulitan Mendapatkan Air Bersih Sebelum dan Sesudah Keberadaan

Perusahaan 76

8 Makna sumber air bagi masyarakat 80

9 Makna Sumber Air Bagi Masyarakat 81

(18)
(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Air merupakan kebutuhan dasar dan kebutuhan vital untuk menunjang kehidupan, terutama untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari seperti kebutuhan minum, memasak, mencuci dan mandi. Sejalan dengan itu Shiva (2007) dalam tulisannya yang berjudul The Nine principles of Water, menulis sembilan prinsip penting tentang air yaitu : (1) air adalah hadiah dari alam, (2) air sangat penting untuk kehidupan, air merupakan sumber kehidupan bagi semua makhluk (3) hidup saling terhubung dengan menggunakan air, (4) air harus tersedia dengan gratis untuk kelangsungan hidup, (5) air sangat terbatas dan dapat habis, (6) air harus dijaga, (7) air adalah milik umum, (8) Tidak satupun memiliki hak untuk menghancurkannya dan yang terakhir (9) air tidak dapat digantikan. Dengan begitu air sangat penting bagi kehidupan tidak saja bagi kelangsungan hidup manusia tapi juga bagi kelangsungan hidup makhluk lain di muka bumi, dan sampai saat ini belum ditemukan barang lain atau barang subsitusi yang dapat menggantikan fungsi air bagi kehidupan makhluk hidup.

Bagi Negara seperti Indonesia yang sebagian besar penduduknya menggantungkan hidup dari pertanian maka air menjadi kebutuhan penting untuk berproduksi. Lahan pertanian memerlukan air dalam jumlah yang sangat besar. Manusia membutuhkan air sebanyak 3.600 km3 per tahun dan 69 persen di antaranya digunakan untuk sektor pertanian (Air Telapak 2009). Untuk keperluan minum, memasak dan mencuci manusia membutuhkan minimal 50 liter air dalam sehari. Air juga merupakan kebutuhan penting dalam dunia industri dan usaha.

Penggunaan air meningkat menjadi enam kali lipat dalam seratus tahun terakhir (Kruha 2011). Peningkatan kebutuhan terhadap air disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan jumlah industri-industri yang menggunakan air sebagai bahan baku produksi. Sebagai bahan baku utama, air dipergunakan oleh perusahaan air minum dalam kemasan yang berkembang sejak tahun 1980an di Indonesia. Perusahaan-perusahaan ini memanfaatkan sumber daya air yang terdapat di wilayah pedesaan untuk dijual sebagai komoditas.

Air dianggap sebagai emas biru (golden blue) yang diperdagangkan dan dieksploitasi secara bebas (Shiva 2002). Sebelumnya, air merupakan barang publik (public goods) yang dapat diakses dan dimanfaatkan oleh semua pihak yang membutuhkan (open access). Perubahan makna air dari barang publik menjadi barang ekonomi yang dikuasai oleh perusahaan – perusahaan swasta

(privat) untuk menghindari terjadinya tragedy of the commons (Hardin 1968) yaitu terjadinya kerusakan sumber daya karena keinginan semua pihak untuk memanfaatkan dan mengeksploitasi sumber daya alam tersebut. Untuk itu status kepemilikan akses terbuka (open acces property) perlu dialihkan menjadi kepemilikan swasta (privat property). Privatisasi dalam pengelolaan sumber daya air merupakan solusi dari kegagalan publik mengelola sumber daya air secara efektif dan efisien (Rees 1998).

(20)

2

guna air adalah hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan air untuk berbagai keperluan. Hak guna pakai air adalah untuk memperoleh dan memakai air sedangkan hak guna usaha air adalah hak untuk memperoleh dan mengusahakan air.

Penyerahan penguasaan dan pengelolaan sumber daya air ke tangan swasta untuk mendapatkan keuntungan ekonomi menyebabkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya air tersebut yang didorong oleh meningkatnya permintaan terhadap air bersih dari masyarakat perkotaan. Peningkatan permintaan ini dipergunakan oleh perusahaan-perusahaan yang melihat adanya peluang bisnis yang sangat besar dan menguntungkan. Pada tahun 2012 diperkirakan volume konsumsi air minum dalam kemasan (AMDK) mencapai 19.8 miliar liter, sementara tahun 2011, konsumsi air minum dalam kemasan mencapai 17.9 miliar liter, dengan rata-rata kenaikan 11 sampai 12 persen per tahun, yang dihasilkan dari 1500 perusahaan air minum dalam kemasan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia (Pokja AMPL 2012).

Indonesia memiliki cadangan air yang cukup besar yaitu mencapai 3.221 miliar meter kubik/tahun dengan ketersediaan air perkapita 16 800 meter kubik pertahun (Antara News.com 2012). Secara spesifik Indonesia memiliki potensi air tanah yang relatif cukup besar yaitu 4.7 x 109m3 yang tersebar dalam 224 cekungan air tanah (Rejekiningrum 2009). Namun ketersediaan air ini tidak tersebar merata di semua wilayah Indonesia. Khusus untuk pulau Jawa yang penduduknya sangat padat dengan tutupan hutan yang minim, memiliki ketersediaan air sejumlah 30.569.2 juta m3 per tahun sedangkan kebutuhan air pada tahun 2000 mencapai 83.378.2 juta m3 pertahun, pada tahun 2015 diperkirakan kebutuhan air di Pulau Jawa akan mencapai 164.672,0 juta m3 pertahun (KLH dalam Nugroho 2007). Dari data ini dapat disimpulkan adanya indikasi terjadinya krisis air di Pulau Jawa.

Krisis air ditandai dengan terjadinya kelangkaan air (water scarcity),

penurunan kualitas air (water quality) dan bencana alam terkait dengan air (water related disaster) seperti banjir, kekeringan dan pencemaran air tanah (Unesco 2003). Kelangkaan air ini terutama terjadi pada musim kemarau dan pada wilayah-wilayah yang sumber daya airnya dieksploitasi untuk kepentingan bisnis. Penyerahan penguasaan pengelolaan sumber daya air kepada swasta juga menutup akses masyarakat terhadap sumber daya air tersebut. Perusahaan-perusahaan mendapatkan keuntungan dari naiknya permintaan terhadap air sementara masyarakat kehilangan haknya atas air dan kehilangan mata pencaharian (Shiva 2002).

Dalam jangka panjang kelangkaan air mengakibatkan terkendalanya proses produksi pertanian sehingga petani kehilangan pekerjaan yang selama ini menghidupinya dan kesulitan masyarakat mengakses air bersih untuk keperluan sehari-hari. Ancaman terjadinya krisis air dan hilangnya akses masyarakat terhadap sumber daya air dapat memicu terjadinya konflik perebutan sumber daya air baik konflik vertikal maupun konflik horizontal.

(21)

3 daya air dan sumber daya lainnya akan menjadi ancaman terhadap masa depan dunia.

Konflik ini muncul sebagai akibat dari perbuatan manusia yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan langkanya sumber daya; (1) kegiatan manusia dapat menyebabkan penurunan jumlah dan kualitas sumber daya terutama jika sumber daya dieksploitasi dengan tingkat kecepatan yang melebihi daya pulihnya, (2) Penurunan atau kelangkaan sumber daya disebabkan oleh pertumbuhan penduduk, dengan pertambahan penduduk berarti pemakaian tanah dan air semakin berkurang karena tanah dan air tidak bertambah, (3) akses terhadap lingkungan dan sumber daya alam yang tidak seimbang, yang disebabkan oleh pranata hukum atau hak kepemilikan yang tidak seimbang yang terkonsentrasi pada sekelompok kecil masyarakat sehingga menyebabkan kelangkaan hak kepemilikan dan akses bagi kelompok lain (Dixon 1999)

Perumusan Masalah

Sukabumi bagian utara merupakan wilayah yang sangat kaya dengan sumber daya air baik air permukaan maupun air bawah tanah. Pemetaan potensi air bawah tanah yang dilakukan oleh Rejekiningrum (2009) memperlihatkan tingginya potensi air tanah di DAS Cicatih Kabupaten Sukabumi yang meliputi 15 kecamatan dengan debit 2.5 l/dtk/km2 terdapat di Kecamatan Cidahu bagian selatan, Cicurug, Nagrak bagian selatan, Kadudampit bagian selatan, Caringin bagian selatan dan kecamatan Cisaat. Sumber air terbesar terdapat di kecamatan Cidahu, Cicurug dengan 37 buah mata air dengan total debit 1 335 liter perdetik (DGTL dalam Kruha 2007 ).

Ketersediaan air yang berlimpah mengundang perusahaan-perusahaan untuk datang dan ikut memanfaatkan sumber daya air di kedua kecamatan tersebut. Di kedua kecamatan ini beroperasi sebanyak 37 perusahaan yang melakukan eksploitasi terhadap sumber daya air di kedua wilayah tersebut1. Diantara 37 perusahaan tersebut terdapat 11 perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK). Kebanyakan perusahaan-perusahaan itu membeli lahan di kecamatan Cidahu dan Cicurug lalu kemudian membangun sumur bor di daerah-daerah yang menghasilkan air yang besar. Air lalu dialirkan melalui pengolahan dan pengemasan yang letaknya tak jauh dari jalan raya (Amrta 2011).

Di Cidahu beroperasi salah satu perusahaan air minum terbesar di Asia Pasifik. Perusahaan ini mengeksploitasi sumber mata air Cikubang I dan Cikubang II yang terletak di Desa Babakan Pari. Mata air Cikubang dieksploitasi sejak tahun 1992, awalnya yang dieksploitasi adalah air permukaan yaitu air yang langsung keluar tanpa dibor namun pada tahun 1994, perusahaan mulai mengeksploitasi air bawah tanah dengan cara menggali jalur air dengan mesin bor bertekanan tinggi (Nugraha 2012).

Wilayah mata air kubang yang dulunya merupakan kawasan pertanian, mulai dibeli oleh perusahaan dan dirubah menjadi kawasan hutan, di sekitar mata air dipagari tembok oleh perusahaan dan dijaga dengan ketat oleh petugas keamanan selama 24 jam penuh setiap harinya. Perusahaan ini menyedot 24.6

1

(22)

4

liter perdetik air bawah tanah untuk didistribusikan dan dijual ke berbagai wilayah di Jawa. Jumlah air yang dieksploitasi oleh satu perusahaan ini setara dengan jumlah air yang disalurkan oleh PDAM Sukabumi (Amrta 2011). Belum lagi jumlah air yang dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan lain di lokasi tersebut. Perusahaan air minum dalam kemasan dalam operasinya mengantongi izin pengambilan air (SIPA) yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah melalui Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Sukabumi.

Pemerintah sebagai pihak pemberi izin pengambilan air berharap mendapatkan sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang dibayarkan oleh perusahaan dalam bentuk pajak air bawah tanah dan air permukaan. Pada tahun 2012 pemerintah kabupaten memperoleh PAD sebesar 2.3 milyar pertahun yang ditenggarai tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang telah diakibatkan oleh eksploitasi sumber daya air tersebut (Radar Sukabumi 2012). Surat izin pengambilan air dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten dengan disertai kesepakatan yang mewajibkan perusahaan yang melakukan eksploitasi air di wilayah Sukabumi untuk menghijaukan daerah resapan air, namun hanya satu perusahaan saja yang melakukannya.

Fasilitas umum di dua kecamatan ini sangat minim, jalan-jalan desa banyak yang mengalami kerusakan. Sarana pendidikan yang bisa diakses oleh masyarakat juga sangat minim. Di sisi lain keberadaan perusahaan-perusahaan telah mengakibatkan kekeringan, sehingga masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih untuk keperluan rumah tangga dan kesulitan mendapatkan air untuk keperluan pengairan.

Penelitian tentang dampak eksploitasi air yang berlebihan telah dilakukan oleh KRUHA (Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air) pada tahun 2007. Penelitian yang dilakukan di Kecamatan Cicurug dan Cidahu Sukabumi Jawa Barat memperlihatkan terjadinya perubahan kondisi sosio ekologi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Dampak yang paling dirasakan langsung oleh masyarakat adalah kesulitan mendapatkan air bersih untuk keperluan rumah tangga dan untuk pemenuhan kebutuhan irigasi lahan pertanian dan terjadinya penurunan muka air. Sebelum masuknya perusahaan untuk mengeksploitasi air, air sumur bisa dengan mudah didapatkan pada kedalaman 5-8 meter, tapi sejak keberadaan perusahaan kedalaman sumur terpaksa harus di tambah menjadi 17-20 meter, yang pada musim kemarau masih mengalami kekeringan.

Pengalihan penguasaan sumber air berakibat pada kurangnya ketersediaan air untuk kebutuhan pertanian sehingga sawah-sawah menjadi kering dan tidak bisa ditanami. Penelitian yang sama dilakukan pula oleh Endang Indriati (2011) yang menyimpulkan bahwa eksploitasi yang dilakukan oleh perusahaan di Cidahu dan Cicurug telah berdampak pada munculnya masalah lingkungan, ekonomi dan masalah sosial.

(23)

5 tuntutan masyarakat oleh perusahaan.2Tuntutan yang sering diajukan oleh masyarakat kepada pihak perusahaan adalah penyediaan air bersih untuk kebutuhan warga. Permintaan adanya bantuan air bersih kepada perusahaan hanya dapat direalisasikan melalui prosedur-prosedur yang rumit. Bantuan air bersih yang diberikan dinilai tidak mencukupi kebutuhan masyarakat sekitar, bahkan tak jarang bantuan sumur bor dari perusahaan seringkali mengalami kekeringan. Tidak terpenuhinya kebutuhan air bersih semua warga oleh perusahaan memicu pula timbulnya konflik horizontal antar sesama warga.

Belakangan tidak hanya perusahaan dan masyarakat yang menikmati keuntungan dari kekayaan sumber daya air yang berlimpah, kedatangan perusahaan yang memiliki modal besar dan teknologi canggih dalam mengeksploitasi sumber daya air berhadapan dengan masyarakat yang hanya memiliki kemampuan modal, pengetahuan dan teknologi yang terbatas mengundang pihak lain seperti lembaga swadaya masyarakat untuk turut memperjuangkan kepentingan masyarakat terhadap sumber daya air di Sukabumi. Lembaga-lembaga ini beberapa berasal dari luar wilayah Sukabumi, dan sebagian besar merupakan lembaga lokal yang muncul sebagai respon atas keberadaan perusahaan di wilayah Sukabumi.

Pertentangan antar aktor ini berlangsung secara diam-diam (laten) dan masing-masing pihak memainkan strategi masing-masing untuk memperoleh kemenangan atas aktor lain. Pihak masyarakat memainkan strategi caikna herang, ikanna benang (airnya tetap bersih namun ikannya dapat ditangkap), begitu pula pihak perusahaan. Kritik masyarakat terhadap perusahaan mulai terjadi sejak tahun 1999, sejak kemarau panjang, yang menyebabkan masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih. Lembaga swadaya masyarakat memainkan peranan sebagai pembela masyarakat pada awalnya, namun belakangan sebagian dari mereka berkolaborasi dengan perusahaan untuk mengerjakan CSR (corporate social responsibility) perusahaan.

Penelitian tentang perebutan sumber daya air dilakukan oleh Stroma Cole di Bali yang mengkaji tentang perebutan sumber daya air antara sektor pertanian dengan sektor pariwisata dalam tulisannya yang berjudul A Political Ecology of Water Equity and Tourism : A Case Study From Bali memperlihatkan bagaimana

mismanagement pengelolaan air untuk sektor pariwisata di Bali berdampak terhadap kehidupan masyarakat lokal terutama petani dan memicu timbulnya konflik.

Sementara penelitian tentang perebutan sumber daya air antara perusahaan dan masyarakat lokal selama ini belum pernah dilakukan. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji dan menganalisis relasi antara berbagai aktor dan kepentingan yang terlibat dalam perebutan sumber daya air yang terjadi di Cidahu dan Cicurug, terutama mengkaji konflik yang terjadi antara perusahaan yang memiliki modal besar (uang, pengetahuan, akses dll) berhadapan dengan masyarakat yang sama sekali tidak mempunyai kekuatan. Berdasarkan masalah – masalah yang telah disebutkan diatas maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

2

(24)

6

1. Bagaimana latar belakang terjadinya konflik, dan bagaimana hubungan konflik dengan perubahan akses dan kepemilikan sumber daya air serta penurunan ketersediaan air yang diakses oleh masyarakat ?

2. Siapa saja aktor-aktor yang berkepentingan dalam mengakses sumber daya air, dan bagaimana relasi antar aktor dan kepentingan dalam mengakses sumber daya air tersebut ?

3. Bagaimana bentuk perlawanan (resistensi) dari masyarakat lokal terhadap pihak atau aktor lain yang mengakses sumber daya air di Cidahu dan Cicurug? Apa bentuk resistensi tersebut? dan dimana peran pemerintah?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis penyebab konflik antara masyarakat dengan perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK).

2. Mengidentifikasi aktor-aktor yang berkepentingan dalam mengakses sumber daya air, dan menganalisis relasi antar aktor dan kepentingan tersebut dalam mengakses sumber daya air.

3. Menganalisis bentuk-bentuk perlawanan (resistensi) yang dilakukan masyarakat terhadap pihak atau aktor luar yang mengakses sumber daya air di Cidahu dan Cicurug serta menganalisis peran pemerintah.

Manfaat Penelitian

(25)

7

2

TINJAUAN PUSTAKA

Ekologi politik

Kemunculan ekologi politik dimulai dengan tulisan Wolf (1972) seperti dikutip Bryant dan Bailey (1997) dalam bukunya Third World Political Ecology, dan Robbins (2004) dalam buku yang berjudul Political Ecology . Menurut Blaikie (1999), ekologi politik merupakan pendekatan yang menggabungkan pendekatan ekologi dengan geografi tradisional untuk (1) melihat interaksi antara perubahan lingkungan dengan sosial ekonomi dalam wilayah sebagai sebuah dialektika yang berasal dari sejarah dan hubungan antara pemanfaatan sumber daya dengan relasi sosial ekonomi politik yang membentuk, (2) karakteristik dari ekologi politik adalah identifikasi sebagai sebuah pemeriksaan perbedaan kondisi alamiah, perubahannya dari waktu ke waktu, dan diperebutkan dengan kekuatan yang berbeda (un equal power).

Sejak kemunculannya, pengertian ekologi politik terus berkembang sampai sekarang. Robbins (2004) dalam bukunya yang berjudul Political Ecology, mencoba merangkum sejarah dan perkembangan dari ekologi politik sejak tahun 1979 :

 Dimulai dengan Cockburn dan Ridgeway pada tahun 1979 melihat ekologi sebagai suatu cara untuk menggambarkan gerakan radikal di Amerika, Eropa barat, dan negara industri maju lainnya yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran lengkap tentang degradasi lingkungan perkotaan dan pedesaan yang disebabkan oleh aktifitas perusahaan, kesalahan managemen, dan respon aktifis sosial.

 Blaikie dan Brookfield pada tahun 1987 berpendapat bahwa ekologi politik merupakan kombinasi perhatian dari ekologi dan politik dalam arti luas, meliputi dialektika terus menerus antara masyarakat dengan sumber daya dan antara kelas dan kelompok dalam masyarakat dan menjelaskan perubahan lingkungan yang dibatasi oleh pilihan produksi lokal dan regional dalam kekuatan ekonomi politik global.

 Greenberg dan Park tahun 1994 melihat ekologi politik sebagai sintesis ekonomi politik dengan kebutuhan untuk melihat distribusi kekuasaan dengan aktifitas produktif dan ekologi.

 Peet dan Watts pada tahun 1996 mengatakan bahwa ekologi politik adalah pertemuan antara ekologi yang berakar pada ilmu sosial dengan prinsip-prinsip ekonomi politik yang mendorong munculnya gerakan lingkungan untuk mempertahankan hidup dan keadilan sosial sebagai akibat dari kontradiksi dan ketegangan yang terjadi akibat krisis sumber daya alam.

(26)

8

 Watts tahun 2000 menjelaskan bahwa ekologi politik digunakan untuk memahami hubungan yang kompleks antara alam dan masyarakat dengan menggunakan analisis tentang bentuk akses dan kontrol terhadap sumber daya alam dan akibatnya terhadap lingkungan dan kelangsungan hidup dengan menjelaskan konflik lingkungan terutama dalam pertarungan pengetahuan, kekuasaan, praktek, politik, keadilan dan pemerintahan.

 Scott dan Sullivan pada tahun 2000, melihat ekologi politik sebagai proses identifikasi kondisi politik yang menggerakkan kegiatan manusia yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan menggambarkan dimensi politik dari narasi lingkungan dan mendekonstruksi narasi tertentu untuk menunjukkan bahwa ide-ide yang diterima tentang degradasi dan kerusakan lingkungan bukan merupakan kecenderungan sederhana yang mendominasi.

Berbeda dengan Robbins, Bryant (1997) membagi perkembangan ekologi politik menjadi dua fase yaitu :

1. Fase pertama, periode 1970an sampai pertengahan 1980an. Pada fase ini umumnya studi tentang ekologi politik berangkat dari basis teori Neo Marxian yang menganalisis pertautan antara marjinalisasi (penindasan) masyarakat lokal dan kerusakan lingkungan dengan kekuatan ekonomi dan politik supra desa, yang merupakan kritik terhadap Neo-Malthusian dan ekologi budaya. Fokus kajian pada fase pertama ini adalah dengan menggunakan analisis struktural yang melihat konflik atau perubahan timbul sebagai akibat proses produksi global.

2. Fase kedua akhir 1980an sampai 1990an. Fase ini didasarkan pada teori Neo Weberianisme, teori gerakan sosial dan teori feminisme, dan merupakan kritik terhadap Neo-Marxism. Fase ini lebih fokus untuk menjelaskan konflik atau perubahan pada berbagai level sebagai hasil interaksi dari berbagai aktor yang memiliki kekuasaan dan kemampuan yang tidak setara dengan cara mengidentifikasi hubungan yang tidak seimbang (un equal power) antara berbagai aktor, serta mengidentifikasi motivasi dan kepentingan dari berbagai aktor.

(27)

9 Perubahan lingkungan dilihat dalam tiga dimensi yaitu : (1) harian, (2) episodik dan (3) sistemik. Ketiga dimensi ini berhubungan dengan perubahan fisik, tingkat dampak, respon politik dan dampak pada manusia. Dimensi sehari-hari memperlihatkan terjadinya perubahan fisik (misalnya pengundulan hutan), dimensi periodik yaitu berupa perubahan fisik seperti banjir, kekeringan dan lain-lain yang seringkali membawa dampak besar bagi kehidupan manusia. Sedangkan dimensi ketiga merupakan perubahan fisik yang berasal dari kegiatan industri (Bryant & Bailey 1997).

Tabel 1 Dimensi-dimensi dari politicised environment

Dimensi Perubahan Fisik Respon Politik Konsep

kunci

Sumber : Bryant dan Bailey (2001) dalam Satria (2007) Robbins (2004) mengemukakan empat tesis dari ekologi politik yaitu : 1. Degradasi dan marjinalisasi. Merupakan dampak dari pembangunan yang

menyebabkan terjadinya over-eksploitasi terhadap sumber daya alam, dan menyebabkan meningkatnya kemiskinan, cyclically.

2. Konflik lingkungan : kelangkaan sumber daya alam mendorong pembatasan dan pemberian oleh pemerintah, perusahaan, atau elit sosial dan mempercepat konflik diantara kelompok masyarakat (gender, kelas atau etnis)

3. Kontrol dan konservasi. Kontrol atas lanskap dan sumber daya alam direbut dari masyarakat melalui penerapan berbagai usaha untuk memelihara keberlanjutan, komunitas atau alam. Dalam proses ini sistem kelembagaan sosial politik lokal, livelihood, sistem produksi dilumpuhkan oleh kepentingan global untuk menyelamatkan lingkungan.

4. Identitas lingkungan dan gerakan sosial. Perubahan rezim pengelolaan dan kondisi lingkungan menciptakan peluang bagi kelompok lokal untuk melindungi dan mewakili diri mereka sendiri secara politik. Gerakan sosial muncul sebagai perjuangan untuk mempertahankan hidup dan melindungi lingkungan.

Relasi kuasa dalam ekologi politik terbentuk dari kekuasaan (power)

(28)

10

lingkungannya. Dari pengertian-pengertian diatas terlihat bahwa pendekatan aktor merupakan pusat kajian dari ekologi politik, untuk menjelaskan perubahan lingkungan yang terjadi yang dilatarbelakangi oleh berbagai kepentingan.

Ada banyak cara yang dilakukan oleh aktor untuk mengontrol lingkungan aktor lain yaitu : (1) Salah satu aktor dapat mengontrol akses aktor lain terhadap sumber daya seperti tanah, hutan, air, kehidupan laut atau darat, dan mineral yang bertujuan untuk memonopoli nilai manfaat dari sumber daya tersebut, (2) Mengontrol lingkungan aktor lain melalui proyek-proyek sosial dan lingkungan, aktor dapat mempengaruhi pengelolaan lingkungan yang menjadi prioritas negara, (3) Salah satu aktor dapat mengontrol lingkungan aktor pihak lain melalui cara-cara tidak langsung melalui wacana (diskursus), kekuasaan tidak hanya mengontrol materi tapi juga merupakan usaha untuk mengatur ide (Bryant 1997). Bryant dan Bailey (1997) melihat ada beberapa aktor yang terkait dengan perubahan lingkungan yaitu negara (The State), lembaga multilateral (multilateral institutions), pengusaha (business), NGO lingkungan (environmental non-governmental organisations), dan aktor lokal (grassroots actors).

Kelima aktor tersebut di atas memainkan peran dan memiliki kepentingan yang berbeda dan mengusung wacana atau diskursus yang berbeda dalam mempengaruhi lingkungan dan sumber daya alam. Heidi Wittmer dan Regina Birner (2007) dalam studinya di Thailand dan Indonesia menemukan tiga diskursus dalam proses pembuatan kebijakan konservasi yang dinamakan dengan

conservationist, eco-populist dan developmentalist. Perbedaan ketiga diskursus yang didukung oleh masing-masing aktor tersebut disajikan dalam tabel di bawah ini :

Tabel 2 Gambaran tiga diskursus dalam pembuatan kebijakan

Konservasi Eco-populis Developmentalis

Alam dan spesies langka Hak pribumi/masyarakat lokal Kemiskinan

(29)

11 Ketiga diskursus ini berkontestasi dalam proses pembuatan kebijakan konservasi di kedua negara. Secara umum ketiga diskursus ini bisa dihubungkan dengan proses penetapan kebijakan terkait sumber daya alam di Indonesia, seperti dalam proses penetapan kebijakan sumber daya air. Proses penetapan kebijakan sumber daya air (Undang-Undang no 7 tahun 2004) merupakan proses pertarungan wacana mulai dari tingkat global sampai ke tingkat lokal. Masing-masing aktor dalam proses penetapan sumber daya air mengusung kepentingan yang berbeda satu sama lain.

Teori property rights

Perubahan pengelolaan sumber daya alam dari publik ke privat bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Didasari oleh teori dari Garret Hardin bahwa untuk menghindari terjadinya tragedy of the common dan untuk meningkatkan efisiensi dalam pemanfaatan sumber daya maka pengelolaan sumber daya perlu diserahkan kepada swasta (Hardin 1968). Bromley (1991) memandang property (kepemilikan) sebagai aliran manfaat/keuntungan dan property rights (hak kepemilikan) merupakan klaim untuk mendapatkan manfaat atau keuntungan yang di dalamnya terdapat otoritas (kewenangan) untuk melindungi dari gangguan orang lain. Properti bukanlah sebuah objek (benda) tapi mencerminkan sebuah hubungan sosial antara pemegang properti (property holder) dengan sesuatu yang bernilai untuk mendapatkan keuntungan.

Hak kepemilikan mengandung pengertian hak untuk mengakses, memanfaatkan, mengelola, mengubah dan memindahkan hak tersebut kepada orang lain. Lebih jauh Ostrom and Schlager (1992) membagi hak kepemilikan sebagai berikut :

1. Hak akses (acces right) : hak untuk masuk ke wilayah sumber daya yang memiliki batas – batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non ekstraktif.

2. Hak pemanfaatan (withdrawal right): hak untuk memanfaatkan sumber daya dan hak untuk berproduksi

3. Hak pengelolaan (management right): hak untuk menentukan aturan operasional pemanfaatan sumber daya

4. Hak Eksklusi (exclusion right) : hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan bagaimana hak akses itu dialihkan kepada pihak lain.

5. Hak pengalihan (alienation right): hak untuk menjual atau menyewakan sebagian atau seluruh hak-hak kolektif tersebut diatas.

(30)

12

2.2 berikut menyajikan hak kepemilikan sumber daya alam berdasarkan status kepemilikan.

Tabel 3 Status kepemilikan sumber daya alam Tipe Hak

Sumber : Ostrom dan Schlager (1996)

Berdasarkan hak kepemilikan maka sumber daya dapat dibagi menjadi empat tipe kepemilikan (Bromley 1992) yaitu : (1) Akses terbuka (open access): tidak ada hak penguasaan/pemilikan atas sumber daya. Sumber daya terbuka dan bebas diakses oleh siapapun, tidak ada regulasi yang mengatur tentang kapan, dimana dan siapa saja yang berhak, terjadi persaingan bebas (free of all), hak-hak kepemilikan (property right) tidak didefinisikan dengan jelas; (2) Milik negara (state property) : hak pemanfaatan sumber daya alam secara ekslusif dimiliki oleh pemerintah. Pemerintah memutuskan tentang akses dan tingkat eksploitasi sumber daya alam. Rezim negara berada di tingkat daerah hingga pusat. Hak kepemilikan ini berlaku pada sumber daya yang menjadi hajat hidup orang banyak. Intervensi pemerintah adalah dalam mengatur pengelolaan sumber daya yang bertujuan untuk alokasi, keadilan dan stabilisasi yang bersifat formal.

(31)

13 sumber daya alam, manfaat dan biaya ditanggung sendiri oleh pemilik dimana hak kepemilikan dapat dipindah tangankan, kepemilikan ini biasanya merupakan hak kepemilikan yang bersifat temporal (dalam jangka waktu tertentu) karena izin pemanfaatan yang diberikan oleh pemerintah. Pemanfaatan sumber daya oleh swasta ini dengan menggunakan teknologi tinggi untuk tujuan komersial. Aliran pemikiran tentang hak kepemilikan berpendapat bahwa kepemilikan pribadi merupakan cara yang sangat efisien untuk menginternalisasikan faktor-faktor eksternal yang muncul ketika akses terhadap sumber daya tidak diatur, dan beranggapan bahwa hak milik pribadi akan mampu meningkatkan efisiensi (Demsetz 1967).

Perubahan kepemilikan dan penguasaan sumber daya air, berpengaruh terhadap perubahan konfigurasi akses terhadap sumber daya air tersebut. Kumpulan hak yang dimiliki oleh pemilik sebelumnya akan berkurang dengan diberikannya hak kepemilikan kepada pihak lain. Di sisi lain pengelolaan sumber daya air oleh swasta untuk kepentingan komersial tetap akan membawa kerusakan dan kelangkaan sumber daya tersebut karena keinginan swasta untuk memperoleh keuntungan dari sumber daya.

Teori Akses

Persoalan akses tidak hanya dikendalikan oleh property rights (hak kepemilikan) yang dikendalikan oleh sekelompok hak (a bundle of rights) tapi juga dikendalikan oleh kekuasaan, pengetahuan dan jejaring aktor dalam upaya memperjuangkan akses terhadap sumber daya dimana akses dikendalikan oleh sekumpulan kekuasaan (a bundle of power). Ribot dan Peluso (2003) dalam tulisannya yang berjudul A Theory of Access mendefinisikan akses sebagai kemampuan menghasilkan keuntungan dari sesuatu, termasuk diantaranya objek material, perorangan, institusi dan simbol.

Analisa akses digunakan untuk memahami mengapa beberapa orang atau institusi mendapatkan keuntungan dari sumber daya dengan ada atau tidak kepemilikan barang pada mereka. Studi akses membantu memahami keanekaragaman cara orang untuk mendapatkan keuntungan dari sumber daya. Kemampuan untuk mendapatkan keuntungan dari sumber daya dimediasi oleh kerangka ekonomi politik dan budaya dimana akses terhadap sumber daya dapat dicari.

Kekuasaan yang dimaksud Peluso dibentuk melalui berbagai mekanisme, proses, dan relasi sosial yang mempengaruhi kemampuan untuk mendapatkan keuntungan dari sumber daya. Kekuasaan yang dimaksud adalah terdiri dari kekuasaan material, budaya, ekonomi dan politik yang membentuk bundles

(buntelan/kumpulan) dan webs (jaringan) terhadap sumber daya alam. Beberapa institusi/orang memiliki kemampuan untuk mengontrol sumber daya alam sementara yang lain mempertahankan akses mereka melalui kontrol orang lain tersebut.

(32)

14

mekanisme akses berbasis hak yang menentukan manfaat yang akan diperoleh, pengawasan dan pemeliharaan, termasuk di dalamnya akses terhadap teknologi, kapital, tenaga kerja, pengetahuan, wewenang, identitas dan hubungan sosial.

Hak muncul sebagai klaim yang dilegitimasi oleh seperangkat pengakuan sosial dalam bentuk hukum, adat kebiasaan, dan konvensi yang merupakan konsensus yang menjadi titik tolak praktek-praktek hegemoni dengan cara-cara represif dan koersif (Peluso 2006). Akses berbasis hak yang diberikan negara untuk menguasai dan mengelola sumber daya air melalui seperangkat aturan atau undang-undang kepada pihak lain terjalin dengan akses relasional dan struktural (akses terhadap teknologi, kapital, tenaga kerja, pengetahuan, wewenang, hubungan sosial dan pasar) yang dimiliki oleh pihak tersebut sehingga masyarakat yang tidak memiliki klaim hak berdasarkan undang-undang dan dalam kenyataannya memiliki akses relasional dan struktural yang terbatas dibandingkan dengan pihak lain dalam hal ini perusahaan terpinggirkan dari sumber daya air.

Akses berbasis hak, akses relasional dan struktural sebagaimana telah dijelaskan oleh Ribot dan Peluso (2003) membentuk bundles (kumpulan) dan

webs (jaringan) kekuasaan yang memungkinkan orang / institusi mendapatkan manfaat dari sumber daya air dan memungkinkan hilangnya hak masyarakat dari sumber daya yang dimilikinya. Mengacu pada Derek Hall dan Tania li (2011) tentang empat faktor kuasa yang dapat mengekslusi (power of exclusion)

masyarakat dari tanah yang bisa juga diaplikasikan pada sumber daya lain. Menurutnya faktor – faktor tersebut adalah : (1) peraturan (regulation, pasar

(market), legitimasi (legitimation), dan paksaan (force).

Peraturan (regulation) menjadi salah satu faktor yang dapat menyebabkan orang tersingkir dari kepemilikan atau keuntungan untuk mendapat manfaat atas tanah. Peraturan yang dimaksud baik berupa peraturan formal maupun peraturan informal. Peraturan formal adalah peraturan apapun yang dibuat oleh lembaga formal yang merepresentasikan negara. Sedangkan peraturan informal adalah peraturan yang dibuat atau dikembangkan oleh otoritas di luar negara, misalkan hukum adat ataupun kebiasaan yang diterapkan masyarakat dalam mengatur pembagian dan penggunaan sumber daya alam.

Pasar (market) yang bekerja sebagai pengontrol kegiatan ekonomi yang dilakukan terhadap tanah dan manusia. Campur tangan pasar tidak hanya terbatas pada distribusi produk, melainkan juga pada kemampuannya untuk ikut menentukan bagaimana dan dimana produksi kebutuhan pasar akan dilakukan. Tekanan inilah yang menentukan siapa yang akan tersingkir dalam pengelolaan sumber daya alam.

Legitimasi (legitimation) berkaitan dengan justifikasi atas nilai-nilai moral yang menjadi dasar tentang apa yang baik atau buruk, benar atau salah. Legitimasi dalam praktiknya hadir dalam wujud penyingkiran atas nama pembangunan (developmentalism), peradaban (civilization), modernisasi (modernity) dan juga paham lingkungan (environmentalism). Sedangkan paksaan (force), paksaan atau kekuatan terhadap petani akan membuat mereka tersingkir dari sumber daya alam (air) yang selama ini menjadi bagian penting dalam kehidupannya.

(33)

15 untuk ditanami tanaman monokultur, (4) konversi lahan untuk kebutuhan non pertanian (perumahan, perkantoran, industri dan lain-lain), (5) proses formasi kelas agraria di desa (intimate exclusion), (6) mobilisasi kelompok-kelompok untuk mempertahankan akses mereka terhadap tanah dengan membiayai penguna tanah.

Penyingkiran orang/masyarakat dari tanah yang menjadi miliknya terjadi karena disebabkan oleh faktor kuasa (satu atau lebih faktor) yang saling berkelindan, melalui salah satu proses yang disebutkan oleh Derek dan Li (2011) diatas. Dengan demikian penyingkiran orang/masyarakat dari sumber daya air juga bekerja dengan cara yang sama dan secara langsung berakibat pada perpindahan penguasaan lahan-lahan/tanah pertanian kepada pihak yang swasta.

Konflik, Penyebab dan Bentuk Konflik

Kelangkaan sumber daya dapat memicu terjadinya konflik untuk memperebutkan sumber daya tersebut. Konflik memperebutkan sumber daya ini telah berlangsung berkepanjangan di berbagai belahan dunia yang dalam skala lebih besar memicu terjadinya perang antar negara. Pada tahun 1995 mantan presiden Bank Dunia, Ismail Seregeldin dalam Shiva (2002) mengatakan bahwa perang yang akan terjadi pada abad berikutnya (masa depan) adalah perang untuk memperebutkan air.

Konflik diartikan oleh Simon Fisher (2007) sebagai hubungan antara dua orang/kelompok yang memiliki tujuan yang berbeda. Sebagian besar masyarakat sering menyamakan antara konflik dan tindak kekerasan (violence). Sementara kekerasan (violence) berupa tindakan, kata-kata dan perilaku yang menyebabkan kerusakan fisik, psikologi, sosial dan lingkungan.

Ritzer (2003) menjelaskan ada tiga ide pokok yang mendasari terjadinya konflik. Pertama bahwa masyarakat selalu berada dalam proses perubahan yang ditandai dengan adanya pertentangan terus menerus diantara unsur-unsurnya. Kedua, setiap elemen akan memberikan sumbangan pada disintegrasi sosial. Ketiga keteraturan yang terdapat dalam masyarakat disebabkan oleh adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa.

Teori konflik pertama kali dikembangkan oleh Karl Marx yaitu tentang masyarakat kelas dan pertentangan kelas. Marx membagi masyarakat dalam dua kelas yaitu kaum buruh dan pemilik modal. Hubungan kedua kelas ini merupakan hubungan kekuasaan dimana kelas pemilik modal berkuasa atas kelas buruh (Suseno 1999). Marx menekankan pada kenyataan sosial yaitu pengakuan tentang adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara orang – orang dalam kelas berbeda, pengaruh posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang, bentuk kesadaran dan pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial. Pemikiran marx berusaha membuka kedok sistem nilai masyarakat, pola kepercayaan dan bentuk kesadaran sebagai idiologi yang mencerminkan dan memperkuat kepentingan kelas yang berkuasa (Johnson 1986).

(34)

16

sumberdaya alam yang tidak merata tersebut. Akibatnya adalah rusaknya relasi (hubungan) antara kelompok ordinat dengan kelompok subordinat disebabkan disposisi aleanatif yang diciptakan oleh kelompok ordinat terhadap kelompok subordinat. Dalam kondisi seperti ini, kelompok subordinat membangun kesatuan ideologi untuk mempertanyakan sistem yang berlangsung dan melakukan ”perlawanan” melalui kepemimpinan kolektif terhadap kelompok ordinat. Hal inilah yang kemudian menyebabkan polarisasi antara kelompok ordinat dengan kelompok subordinat yang berkepanjangan.

Berbeda dengan Marx, Dahrendorf dalam Poloma (1979) melihat hubungan kekuasaan dalam memicu terjadinya pertentangan kelas. Dalam setiap asosiasi yang ditandai oleh pertentangan terdapat ketegangan diantara mereka yang ikut dalam struktur kekuasaan. Pertentangan kelompok dapat dianalisis dengan melihat sebagai pertentangan mengenai legitimasi hubungan-hubungan kekuasaan. Dalam setiap asosiasi, kepentingan kelompok penguasan merupakan nilai-nilai yang merupakan idiologi keabsahan kekuasaannya, sementara kepentingan-kepentingan kelompok bawah melahirkan ancaman bagi idiologi serta hubungan-hubungan sosial yang terkandung di dalamnya (Dahrendorf dikutip Poloma 1979).

Dapat disimpulkan bahwa konflik sosial dalam pandangan Dahrendorf adalah persoalan dinamika masyarakat yang mengaitkan kekuasaan, kepentingan dan kelompok sosial. Kepentingan yang dimaksudkan Dahrendorf bersifat

manifes (disadari) dan laten (kepentingan potensial). Kepentingan laten adalah tingkah laku potensial (undercurrent behavior) yang telah ditentukan bagi seseorang karena dia telah karena dia menduduki peranan tertentu, tetapi masih belum disadari. Kepentingan-kepentingan yang tidak disadari atau laten kemudian tampil ke permukaan dalam bentuk tujuan-tujuan yang disadari dalam bentuk tuntutan-tuntutan yang kemudian menjelma menjadi kelompok-kelompok manifes.

Lebih jauh Fisher (2000) mendefinisikan konflik laten sebagai konflik yang tidak nyata yaitu adanya ketegangan yang muncul antara kelompok kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam, sedangkan konflik manifest merupakan konflik terbuka yang ditandai dengan adanya peristiwa konfrontasi fisik dan/atau konfrontasi non fisik.

Namun secara garis besar ada beberapa teori yang menyebabkan terjadinya konflik sosial yaitu (Fisher 2000) : (1) Teori hubungan masyarakat (community relation theory). Teori ini beranggapan bahwa konflik terjadi karena polarisasi, ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda di dalam masyarakat. (2) Teori negosiasi prinsip (principled negotiation theory), teori ini beranggapan bahwa konflik disebabkan oleh karena posisi yang tidak seimbang/tidak selaras dan pandangan zero sum yang diambil oleh pihak-pihak yang berkonflik. (3) Teori kebutuhan manusia (human needs theory), teori ini berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam masyarakat disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia (fisik, psikologi dan sosial). Keamanan, identitas, pengakuan dan otonomi adalah beberapa poin yang sering disebutkan. (4) Teori identitas (identity theory), konflik disebabkan oleh perasaan adanya ancaman terhadap identitas, yang berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan dimasa lalu yang tidak terselesaikan. (5) Teori kesalah pahaman antar budaya

(35)

17 tentang budaya pihak lain, (2) mengurangi stereotype negatif yang dimiliki oleh salah satu pihak tentang pihak lain, (3) untuk meningkatkan kefektifan komunikasi antar budaya. (6) Teori transformasi konflik (conflict transformation theory). Teori ini beranggapan konfllik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidak adilan yang muncul sebagai masalah sosial, budaya dan ekonomi.

Sedangkan faktor-faktor yang menjadi penyebab konflik menurut Fisher (2000) dapat dibedakan menjadi :

1. Kekuasaan.

Kekuasaan merupakan kekuatan, legitimasi, otoritas atau kemampuan memaksa orang lain. Kekuasaan dapat bersumber pada otoritas, akses ke sumber daya, jaringan kerja, kemampuan/keahlian, informasi serta sumber yang disebabkan kepribadian seseorang.

2. Budaya

Budaya sangat menentukan cara orang berfikir dan bertindak. Perbedaan budaya sering menyebabkan munculnya konflik.

3. Identitas

Konflik sering muncul akibat dipaksakannya atau tidak diakuinya suatu identitas tertentu pada seseorang atau sekelompok orang atau karena munculnya prasangka.

4. Gender

Gender merupakan perbedaan antara pria dan wanita yang dikontruksi secara sosial yang berakibat pada terjadinya perbedaan kekuasaan antara laki-laki dan permpuan. Hal ini cendrung berpotensi menyebabkan terjadinya konflik.

5. Hak

Merupakan dimensi konflik sosial dan politik.

Kelangkaan sumber daya air akan menyebabkan masyarakat/manusia mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan mereka terhadap air. Kebutuhan manusia terhadap air merupakan kebutuhan yang sangat penting dan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya tidak dapat digantikan oleh barang lain. Beda halnya dengan kebutuhan manusia akan pangan, yang tersedia dalam jenis dan beraneka bentuk. Berdasarkan uraian Fisher tersebut di atas kelangkaan sumber daya air akan memicu terjadinya konflik horizontal maupun vertikal.

Perubahan Paradigma Tentang Air

(36)

18

untuk mengubah dan merusak lingkungan hidupnya yang berpotensi menimbulkan berbagai bahaya bagi lingkungan.

Kekhawatiran semakin parahnya kerusakan lingkungan dan kelangkaan air mulai mewacana pada konferensi yang diadakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan Hidup (Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment) yang berlangsung di Stockholm, 5 sampai 16 Juni 1972 yang menyatakan pentingnya untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup termasuk di dalamnya menjaga kelestarian sumber daya alam seperti air, tanah, flora dan fauna untuk generasi sekarang dan masa yang akan datang melalui perencanaan dan manajemen yang sesuai (Un 1972). Konferensi ini menghasilkan kesepakatan untuk menggunakan pendekatan yang lebih komprehensif terhadap air, mengurangi kerusakan lingkungan/polusi yang membahayakan terhadap ketersediaan air, dan meminta negara berkembang untuk mempromosikan tentang sanitasi dan air bersih.

Sejarah perkembangan paradigma dan wacana untuk menyelamatkan sumber daya air di mulai pada tahun 1977. Tahun 1977 Perserikatan Bangsa – Bangsa mengadakan konferensi pertama tentang air, “Un Water Conference, Mar del Plata, Argentina membahas tentang : (1) Masalah kesehatan yang disebabkan karena kurangnya air bersih dan sanitasi, (2) Memprioritaskan kebutuhan orang miskin dan orang yang kurang beruntung untuk mendapatkan air bersih terutama di daerah yang mengalami kelangkaan air bersih. Konferensi ini bertujuan untuk memastikan tersedianya pasokan air yang berkualitas untuk memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi bagi populasi yang sedang berkembang (Biswas 1978 dalam Biswas 2003).

Pembicaraan tentang bagaimana cara menyelamatkan sumber daya air berlanjut pada tahun 1990 di New Delhi “The Global Consultation on safe Water and Sanitation. Dengan merefleksikan tentang hak azasi manusia yang bersifat universal salah satunya adalah hak untuk mendapatkan atau mengakses air bersih. Pertemuan ini menyepakati beberapa hal yaitu : (1) Perlindungan lingkungan dan kesehatan melalui pengelolaan air secara terpadu, (2) Mempromosikan reformasi kelembagaan melalui pendekatan yang terintegrasi, termasuk perubahan prosedur, sikap dan perilaku dan partisipasi penuh perempuan pada berbagai sektor dan tingkatan kelembagaan, (4) Manajeman pelayanan yang didukung dengan penguatan institusi lokal untuk melaksanakan program sanitasi dan air bersih, (5) Menyuarakan praktek keuangan untuk pengelolaan sumber daya air yang lebih baik dengan menggunakan aset yang ada dan memperluas penggunaan teknologi tepat guna. Kerusakan lingkungan menyebabkan terjadinya krisis air dunia dan menyebabkan meningkatnya kematian anak yang di sebabkan oleh masalah sanitasi dan air bersih yang tidak memadai, sehingga penyediaan air bersih dan sanitasi yang sehat untuk anak-anak dan komunitas harus di promosikan (World Summit for Children pada tahun 1990).

Perkembangan wacana air berlanjut pada konferensi internasional tentang air dan lingkungan (International Conference on Water and the Environment)

(37)

19

goods) yang tercantum dalam prinsip ke empat deklarasi Dublin “Water has an

economic value in all its competing uses and should be recognized as an economics goods” (UN 1992) yang sangat menekankan pada prinsip pengelolaan dan penggunaan sumber daya air secara efisien dan seimbang. Konferensi ini juga mensyaratkan perubahan kebijakan (deregulasi) di tingkat lokal, nasional dan internasional serta mendorong pelaksanaan proyek-proyek air di dunia ketiga.

Ketika air dimaknai sebagai barang ekonomi maka akan sangat tergantung pada nilai manfaat yang dihitung dengan nilai uang, dan didasari oleh harga pasar (market prices). Seperti barang lain, air memiliki nilai bagi penggunanya, yaitu orang yang bersedia untuk membayar untuk mendapatkannya (C.J Perry, R Michael, D. Seckler 1997). Sebagai barang ekonomi akan lebih efektif dan efisien jika air dikelola oleh swasta (privat) yang bertujuan untuk mengurangi kerusakan terhadap sumber daya air. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Hardin (1968) yaitu kerusakan alam dan lingkungan diakibatkan karena pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan oleh semua pengguna yang saling berkompetisi untuk mendapatkan manfaat atas sumber daya tersebut.

Menindaklanjuti hasil konferensi Dublin, Bank Dunia (World Bank) pada tahun 1993 mengeluarkan kebijakan yang dikenal dengan water resources management policy yang berisikan keharusan untuk mereformasi kebijakan, perencanaan dan manajemen pengelolaan sumber daya air, dan mendukung keterlibatan swasta (private) dalam pengelolaan sumber daya air (World Bank 1993). Bank Dunia kemudian mempromosikan sebuah konsep tentang hak atas air yang dikenal dengan Tradable Water Rights yaitu hak atas air yang dapat diperdagangkan atau diperjualbelikan kepada pihak lain. Konsep ini merupakan solusi yang ditawarkan oleh Bank Dunia untuk menjawab ketidak efektifan dan ketidak efisienan pengelolaan sumber daya air yang dianggap menyebabkan terjadinya kelangkaan air (water scarcity) dan krisis air (water crisis). Tradable Water Rights dibangun berdasarkan konsep Property Rights (hak kepemilikan) yang terdiri dari hak untuk mengkonsumsi/menggunakan dan hak untuk memperoleh pendapatan dari sumber daya atau untuk menjual sumber daya tersebut untuk tujuan mendapatkan keuntungan yang lebih baik (maksimal). Sumberdaya di sini dipandang sebagai asset. Hak atas air dipahami dalam wacana ini sebagai water rights bukan rights to water. Dengan konsep tradable water rights ini mempermudah masuknya investasi/modal dalam pengelolaan sumber daya air.

Tradable Water Rights memungkinkan air dihargai dengan nilai ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah air yang digunakan untuk memproduksi sebuah komoditi. Harga air merupakan cerminan dari nilai alternatif penggunaan. Misalnya petani diizinkan untuk menegosiasikan harga air yang dimilikinya untuk digunakan oleh perusahaan dan mendapatkan harga yang menguntungkan atau lebih tinggi ketimbang air tersebut digunakan untuk kegunaan lain yang menghasilkan nilai yang lebih rendah.

Privatisasi air sebagai suatu upaya untuk melakukan pengelolaan sumber daya air secara efketif dan efisien disepakati pada pertemuan World Water Forum

(38)

20

walaupun banyak aksi dan protes yang menentang privatisasi air tesebut (Bakker 2011).

Indonesia sebagai negara yang ikut menandatangani “Deklarasi The Hague”

ikut mengubah kebijakan sumber daya air yang sebelumnya tertuang dalam Undang-Undang Pengairan tahun 1974. Bulan November tahun 2000 pemerintah Indonesia bersama stakeholder yang terkait dengan pengelolaan sumber daya air membentuk Forum Air Indonesia (Sutosuromo 2000). Selain itu untuk melakukan berbagai perbaikan atau reformasi kebijakan sektor air di Indonesia, bank dunia memfasilitasi Indonesia dengan memberikan pinjaman melalui program WATSAL (Water Resources Sector Adjusment Loan) (Siregar 2004).

Perubahan paradigma tentang air di tingkat global berpengaruh mendorong lahirnya kebijakan di tingkat lokal yang lebih melegitimasi praktek-praktek pengelolaan dan penguasaan sumber daya air yang telah dilakukan sebelumnya di Indonesia. Pengelolaan dan penguasaan sumber daya air untuk tujuan mendapatkan keuntungan (komersialisasi) sudah dimulai sejak tahun 1973 yang didasarkan kepada Undang-Undang Penanaman Modal. Dengan kata lain praktek pengusahaan air oleh badan usaha/swasta sudah dimulai di Indonesia, jauh sebelum terjadinya perubahan paradigma global tentang air. Pada level global pengelolaan dan penguasaan sumber daya air oleh swasta dimaksudkan untuk mencegah terjadinya tragedy of the common, namun di Indonesia pada tahun 1973 tersebut, pengelolaan dan penguasaan sumber daya air oleh swasta murni didasarkan kepada kepentingan ekonomi untuk mendapatkan keuntungan dari investasi.

Kerangka Pemikiran

Studi ini pertama kali melihat perubahan konfigurasi penguasaan dan pemilikan sumber daya air dengan membagi peristiwa menjadi beberapa periode penting yang didasari dengan perubahan konstalasi politik di tingkat nasional. Perubahan ini terutama terkait dengan perubahan penguasaan sumber daya air yang dulunya merupakan barang publik (public goods) yang bisa diakses dan dimanfaatkan oleh siapa saja (open access regime) menjadi menjadi milik pribadi

(privat property regimes).

Langkah-langkah dalam penelitian ini mengacu pada langkah-langkah penelitian yang dikembangkan oleh Comstock (1980) dalam Zainuddin (2012) yaitu :

(1) Identifikasi kelompok-kelompok dan gerakan-gerakan sosial progresif. (2) Mengembangkan seluruh hubungan inter-subjektif untuk memahami

makna, nilai dan motivasi masyarakat lokal.

(3) Mempelajari perkembangan kondisi-kondisi sosial historis dari struktur-struktur sosial masa kini yang menjadi kendala aksi.

(4) Membangun model hubungan antara kondisi sosial, interpretasi, intersubjektif terhadap kondisi-kondisi tersebut dan menjadi partisipan aksi.

Gambar

Tabel 3  Status kepemilikan sumber daya alam
Gambar 1.  Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 2.  Lokasi penelitian
Tabel 4. Karakteristik responden pada lokasi penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Sebaiknya pasien dengan sindrom nefrotik diberi terapi mematuhi protokol pengobatan relaps yang terkini menurut International Study of Kidney Disease in Children, ISKDC

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR DINAS PERHUBUNGAN KOMUNIKASI DAN

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul :“ Pengaruh rasio keuangan terhadap harga saham pada perusahaan properti yang terdaftar

Jumlah Akar dan Konfigurasi Saluran Akar Gigi Molar Satu Mandibula Permanen

Dalam penentuan jumlah logam Pb 2+ yang terjerap maka akan digunakan salah satu adsorben yaitu adsorben 500 ᴼ C dengan konsentrasi awal (Co) yang ditentukan

Hence, the expansion of network structures has no significant impact on product development as well as on firm performance, unless the firms have dynamic capability to

Kami Pusat Penetas Burung , Jual Penetas Burung , Tempat Penetas Burung. Kami Pusat