• Tidak ada hasil yang ditemukan

VII. SUMBER DAYA WADUK DAN ARENA KONTESTASI KEPENTINGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VII. SUMBER DAYA WADUK DAN ARENA KONTESTASI KEPENTINGAN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

7.1. Pendahuluan

“Buat saya, waduk itu bukan cuma air sama ikan, tapi tempat hidup dan kehidupan saya. Hampir semua harta saya ada di situ (diinvestasikan). Saya bakalan bertahan biar pake cara apapun, kalo saya mau diusir dari sini.” (AA, pembudidaya KJA skala kecil dan penduduk setempat, 2010).

Petikan wawancara di atas tidak hanya mengindikasikan adanya ketergantungan terhadap sumber daya, namun memiliki makna lain. Bagi sebagian orang, bahkan semua orang, baik secara sadar ataupun tidak sadar memandang dan memperlakukan sumber daya waduk lebih dari sekedar benda fisik saja. Sumber daya waduk tidak hanya menjadi tempat mengektraksi manfaat dan keuntungan, namun juga menjadi sebuah tempat “pertaruhan hidup”. Para aktor akan berusaha dengan berbagai cara, mengembangkan berbagai strategi, untuk mengamankan “posisi” mereka dalam hubungannya dengan akses terhadap sumber daya waduk. Meminjam istilah Bourdieu (1992), sumber daya waduk dapat dipandang sebagai sebuah field (arena).

Bourdieu (1992) mendefinisikan field atau arena sebagai berikut, “ a field may be defined as a network, or a configuration, of objective relations between positions. These positions are objectively defined, in their existence and in the determination they impose upon their occupants, agents or institutions, by their present and potential situation (situs) in the structure of the distribution of species of power (or capital) whose possession commands access to the spesific profits that are at stake in the field, as well as by their objective relation to other positions (domination, subordination, homology, etc)”. Dalam pengertian lain, arena merupakan “a system of social position, structured internally in terms of power relation: every field (is) the locus of power relation” (Wallace and Wolf, 1999). Arena pun juga dipahami sebagai, “a social arena in which, just as in a game,

(2)

people maneuver, develop strategies, and struggle over desirable resources” (Wallace dan Wolf, 1999).

Sumber daya Waduk Djuanda Jatiluhur juga dapat dipandang sebagai sebuah arena, tempat para aktor saling berinteraksi, bernegosiasi dan mengembangkan strategi dengan tujuan memiliki dan mempertahankan akses serta aliran manfaat dan keuntungan dari sumber daya waduk. Arena kontestasi kepentingan dalam penguasaan dan pengelolaan di Waduk Djuanda, Jatiluhur setidaknya teridentifikasi terjadi di 3 (tiga) tempat, yaitu diskursus, kebijakan dan operasional (pemanfaatan sumber daya keseharian).

7.2. Diskursus dan Arena Kontestasi Kepentingan

Kontestasi kepentingan di lapisan diskursus terjadi dalam 2 (dua) hal, yaitu diskursus pengetahuan terkait daya dukung lingkungan dan diskursus pakan. Kontestasi diskursus yang pertama adalah diskursus pengetahuan terkait daya dukung lingkungan perairan ini bersumber dari perbedaan mendasar terkait pendekatan dan cara perhitungan daya dukung lingkungan perairan. Pertama adalah kelompok ilmuwan yang mengasumsikan perairan waduk tidak ubahnya seperti “kolam besar”, sehingga dasar penentuan daya dukung lingkungannya mengacu pada kebutuhan oksigen terlarut. Sementara, kedua adalah kelompok yang mengasumsikan perairan waduk bukan sebagai “kolam besar”, sehingga penentuan daya dukung lingkungannya mengacu atas total nitrogen dan pospor. Kedua pendekatan ini menghasilkan perhitungan yang berbeda, dengan pendekatan kebutuhan oksigen terlarut mendapatkan jumlah KJA jauh lebih besar dibanding pendekatan total nitrogen dan fosfor. Perbedaan dasar pengetahuan ini akhirnya berdampak terhadap penentuan jumlah batas maksimal keberadaan kegiatan KJA di Waduk Djuanda, Jatiluhur. Masing-masing instansi mengeluarkan batasan yang berbeda-beda (Tabel 21).

(3)

Tabel 21. Perbedaan Batasan Jumlah dan Luas Areal Budidaya KJA

Kriteria Satuan POKJA

1996 Balitkanwar 1996 SK Bupati 06/2000 PJT II 2004 Luas waduk Ha 8.300 6.000 8.300 8.300

Elevasi air min. M dpl 90,00 92,45 87,65

Jarak antar unit M 25 50

Luas desain/petak KJA M2 453 75 624

Jumlah KJA Petak 5.480 3.637 3.216 2.100

Luas Perairan KJA Ha 209,5 27,3 131 83

Luas perairan KJA % 2,52 0,45 1,58 1

Sumber : Sudjana (2004)

Kontestasi kepentingan kedua diskursus ini pada gilirannya menyebabkan terpolarisasinya kepentingan, yaitu pihak yang menginginkan jumlah KJA diperbesar dan pihak yang menginginkan jumlah KJA diperkecil. Pemerintah daerah cenderung memilih diskursus daya dukung lingkungan perairan berdasarkan oksigen terlarut, demikian juga pengusaha KJA dan agen pakan. Sementara pihak PJT II cenderung memilih diskursus daya dukung lingkungan perairan berdasarkan total nitrogen dan fosfor yang semakin membatasi jumlah KJA. Dampak dari perbedaan pendekatan ini berimplikasi atas kebijakan yang diambil pemerintah melalui Disnakkan Kabupaten Purwakarta dan PJT II sebagai pilihan strategi kebijakan.

Hal mendasar dari perbedaan kedua lembaga otorita ini adalah terkait cara pandang sumber penyebab degradasi perairan. Pihak pendukung diskursus daya dukung lingkungan perairan berdasarkan kebutuhan oksigen terlarut menganggap degradasi lingkungan perairan akibat dampak ikutan dari proses eutrofikasi perairan. Eutrofikasi terjadi melalui berbagai jenis bahan cemaran yang masuk ke perairan. Proses eutrofikasi ini menyebabkan menurunnya total kadar oksigen terlarut di dalam perairan. Akibat dari menurunnya total kadar oksigen terlarut menyebabkan kemampuan daya dukung lingkungan perairan menjadi terbatas. Implikasi strategi dan arah kebijakan yang diambil adalah tidak dengan mengurangi jumlah keberadaan KJA tetapi dengan mengurangi dampak eutrofikasi. Salah satu strateginya adalah dengan penebaran ikan berjenis plankton feeder yang bertujuan mengurangi algae. Strategi ini berasumsi bahwa algae sebagai sumber eutrofikasi juga sekaligus sebagai sumber pakan bagi beberapa jenis ikan plankton feeder.

(4)

Perkembangan jenis ikan plankton feeder di perairan waduk secara otomatis akan menyebabkan kadar oksigen terlarut dapat ditingkatkan dan jumlah KJA dapat terus bertambah.

Sumber permasalahan degradasi perairan waduk bagi pendukung diskursus daya dukung lingkungan perairan berdasarkan biomassa dan total nitrogen dan fosfor adalah keberadaan KJA dan limbah sisa pakan. Intensifnya kegiatan usaha KJA berbanding lurus dengan intensifnya material loading yang masuk ke dalam perairan. Hal ini terutama dari hasil sisa pemberian pakan yang diklaim lebih banyak terbuang ke perairan dibandingkan dengan dimanfaatkan oleh ikan di KJA. Sisa pakan terbagi menjadi dua, yaitu sisa pakan yang tidak dikonsumsi oleh ikan dan sisa kotoran ikan yang terbuang di perairan. Ditambah lagi dengan sifat usaha KJA yang lebih banyak menghabiskan waktu di tengah perairan menyebabkan timbul juga keberadaan kegiatan sehari-hari oleh para operator atau pekerja KJA. Hal ini menyebabkan bertambahnya daftar material loading ke perairan melalui limbah domestik KJA. Total limbah yang masuk ini mengotori perairan yang menyebabkan terjadinya degradasi kualitas lingkungan perairan dan bersifat racun serta korosif. Memburuknya kualitas lingkungan perairan menyebabkan terganggunya operasional usaha dari pihak PJT II yaitu dengan menambah biaya pemeliharaan dan penggantian instalasi yang rusak dari unit-unit instalasi bahan baku air bersih dan listrik. Oleh karena itu, walaupun tidak menutup kemungkinan sumber bahan cemaran perairan berasal dari faktor lain tetapi tetap saja pihak PJT II menganggap bahwa keberadaan KJA sebagai sumber utama terjadinya degradasi lingkungan perairan waduk.

Kedua diskursus pengetahuan ini seringkali bertemu di berbagai forum, baik forum ilmiah maupun forum kebijakan. Kedua diskursus pengetahuan ini uniknya bersumber dari satu institusi perguruan tinggi yang sama. Kelompok yang mendukung diskursus nitrogen dan fosfor berasal dari latar belakang kelompok ilmu manajemen sumber daya air, sementara kelompok yang mendukung diskursus oksigen terlarut berasal dari latar belakang kelompok ilmu manajemen budidaya ikan. Dengan adanya dua latar belakang ilmu pengetahuan yang berbeda ini maka masing-masing aktor otorita memilih satu diantaranya yang dapat digunakan sebagai justifikasi kebijakannya. Justifikasi kebijakan yang “diperkuat” klaim ilmu

(5)

pengetahuan ini sebenarnya digunakan sebagai alat untuk membuat justifikasi yang dapat melindungi kepentingan masing-masing aktor otorita. Kedua belah pihak masing-masing memegang pendapatnya dan menjadi dasar pengambilan kebijakan. Dalam konteks arena penguasaan dan pengelolaan sumber daya, diskursus pengetahuan ini menjadi alat bagi kontestasi kepentingan masing-masing aktor otorita. Dengan pengertian lain, diskursus pengetahuan dipilih menjadi alat justifikasi untuk memperjuangkan dan meligitimasi kepentingan para aktor. Tabel 22 menunjukkan resume kontestasi diskursus pengetahuan daya dukung sumber daya perairan waduk.

Tabel 22. Kontestasi Diskursus Pengetahuan Daya Dukung Sumber Daya Perairan Waduk Aktor PJT II Disnakkan Kab Purwakarta Penyebab Degradasi SDA

Akumulasi material loading karena kegiatan KJA

Eutrofikasi karena akumulasi bahan cemaran

Asumsi Karakteristik SDA

Waduk ≠ Kolam Besar Waduk = Kolam Besar

Dasar Penentuan Daya Dukung SDA

Jumlah Total Nitrogen dan Fosfor

Kebutuhan Oksigen Terlarut

Strategi Kebijakan - Jumlah KJA harus dikurangi

- Pengerukan dasar perairan untuk membuang

akumulasi material loading

- Jumlah KJA tetap atau dinamis sesuai

ketersediaan oksigen terlarut di perairan - Restocking atau

introduksi jenis ikan plankton feeder untuk mengurangi masalah blooming algae

Kontestasi diskursus kedua adalah diskursus tentang pakan yang melibatkan dua hal, yaitu (1) diskursus pakan komersial yang diakui memberikan hasil produksi yang terbaik; (2) diskursus jumlah pakan yang diberikan berbanding lurus dengan jumlah total hasil panen yang diperoleh. Berbeda halnya dengan diskursus pertama yang berada pada kelompok elit masyarakat di tingkat otorita, maka diskursus ini lebih berada di tingkat kelompok masyarakat pengguna. Dampak

(6)

kedua diskursus tersebut sangatlah besar di dalam pemahaman dan kegiatan pemanfaatan sumber daya sehari-hari.

Diskursus pakan yang pertama tentang keunggulan pakan komersial berdampak hingga masuknya pemahaman tersebut ke dalam materi-materi penyuluhan dan juga panduan pelaksanaan budidaya yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dampak lainnya adalah adanya larangan membuat pakan sendiri. Alasannya adalah pakan lain tersebut lebih berpeluang hanya mengotori lingkungan perairan. Hampir keseluruhan pembudidaya memiliki konstruksi pemahaman pengetahuan yang sama tentang pakan komersial ini. Penggunaan pakan komersial bisa dikatakan menjadi satu-satunya cara. Pengecualian dalam hal ini adalah pembudidaya KJA skala kecil. Namun hal ini juga bukan karena adanya konstruksi pemahaman yang berbeda, tetapi lebih didasarkan dari keterbatasan modal yang ada. Pembudidaya KJA skala kecil umumnya secara sembunyi-sembunyi menggunakan pakan alternatif seperti dari sisa-sisa makanan, dedaunan dan lainnya selain menggunakan pakan komersial. Penggunaan pakan alternatif ini bertujuan mengurangi beban biaya pakan dalam struktur biaya produksi. Perbandingan penggunaan pakan komersial dan non-komersial di tingkat pembudidaya KJA skala kecil berdasarkan informasi selama penelitian adalah berkisar antara 70:30 %. Sementara di tingkat pembudidaya KJA skala menengah dan besar secara keseluruhan menggunakan pakan komersial dengan mengkombinasikan berbagai produk pakan komersial.

Diskursus pakan yang kedua adalah tentang rasio pakan dan hasil panen yang membuat berkembangnya pengetahuan sistem pompa dalam pemberian pakan. Sistem pompa adalah cara pemberian pakan dengan frekuensi dan jumlah yang sangat intensif dan masif. Tujuannya adalah mengejar target produksi dan waktu panen. Secara sederhana sistem pompa dipahami dengan anggapan bahwa jika pertumbuhan ikan diinginkan akan terjadi secara cepat maka hal tersebut harus diimbangi dengan pemberian pakan yang sebanyak dan sesering mungkin. Pembudidaya juga biasanya menghitung dan memprediksi hasil panen menggunakan batasan jumlah pakan yang akan diberikan. Diskursus ini mengalahkan diskursus pengetahuan kemampuan penyerapan ikan dan sisa pakan yang terbuang ke perairan. Pembudidaya KJA tidak pernah mempertimbangkan

(7)

permasalahan limbah sisa pakan yang terbuang ke dalam perairan. Hal yang menarik adalah proses reproduksi diskursus pengetahuan ini terjadi di semua lapisan aktor pengguna. Berdasarkan informasi selama penelitian, diperoleh keterangan bahwa bagi siapapun yang memiliki keinginan untuk membuka usaha KJA, maka yang bersangkutan akan mendapatkan saran yang sama baik dari sesama pembudidaya, bandar ikan, maupun pedagang pakan.

Pihak yang diuntungkan dari adanya kedua diskursus tentang pakan ini adalah pedagang pakan dan juga tentunya pabrik pakan. Hal ini disebabkan karena sama halnya dengan petani yang sangat bergantung dengan pupuk, demikian halnya dengan pembudidaya yang sangat bergantung dengan pakan. Meningkatnya jumlah pembudidaya secara otomatis meningkatkan permintaan akan pakan, dan harga pakan pun terus meningkat dari tahun ke tahun. Sementara keuntungan yang diterima pembudidaya dari tahun ke tahun sebenarnya semakin mengecil, karena meningkatnya persentase biaya pakan dalam perhitungan biaya produksi. Permasalahan degradasi lingkungan perairan waduk yang ditandai oleh semakin seringnya kematian massal ikan dan juga semakin bertambahnya waktu pemeliharaan ikan justru menjadi hal yang menguntungkan bagi hal perdagangan pakan. Pembudidaya justru semakin terpacu mengintensifkan pemberian pakan karena anggapan bahwa pemberian pakan yang lebih banyak lagi akan dapat memperpendek waktu pemeliharaan sebelum terjadinya siklus tahunan kematian massal ikan yang dipicu di saat musim penghujan. Sementara siklus tahunan kematian massal ikan tersebut justru salah satunya adalah akibat proses blooming algae yang dipicu dari kondisi perairan yang eutrof sebagai akibat terjadinya upwelling perairan. Proses upwelling perairan ini dengan sendirinya mengangkat dan mengaduk limbah sisa pakan di bagian dasar perairan yang bersifat racun di dasar perairan. Tabel 23 menunjukkan resume arena kontestasi kepentingan di tingkat diskursus.

(8)

Tabel 23. Arena Kontestasi Kepentingan di Tingkat Diskursus Arena Diskursus

Daya Dukung Pakan

Aktor

Otorita

(PJT II dan Disnakkan Kab. Purwakarta)

Pabrik pakan, Pedagang pakan, pengusaha KJA

Kontestasi

Daya dukung berbasis oksigen terlarut VS total nitrogen dan fosfor

a. Pakan komersial VS non-komersial

b. Teknik pemberian pakan sistem pompa VS non-sistem pompa Basis Kepentingan Pengurangan jumlah KJA VS Mempertahankan jumlah KJA

Keuntungan usaha VS kualitas lingkungan sumber daya perairan

Pihak yang kuat

Otorita

(PJT II dan Disnakkan Kab. Purwakarta)

Pabrik pakan dan pedagang pakan

Pihak yang lemah

Pengguna Pengusaha KJA skala kecil

7.3. Kebijakan dan Arena Kontestasi Kepentingan

Kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya Waduk Djuanda, Jatiluhur dibentuk oleh berbagai faktor, namun kesemuanya tidak terlepas dari masalah kepentingan pihak-pihak yang menyusunnya. Berdasarkan analisis teori hak kepemilikan sumber daya di bab sebelumnya diperoleh informasi bahwa terdapat ketimpangan distribusi hak antara aktor otorita dan pengguna. Hal yang paling mendasar adalah terakumulasinya hak-hak yang terkait dengan pengambilan keputusan kolektif pada kelompok aktor otorita. Hak ini terdiri dari hak management, exclusion dan alienation. Ketiga hak ini memiliki peranan penting di dalam hal menentukan segala aturan tentang tata cara pemanfaatan dan pengelolaan. Dengan terakumulasinya hak-hak tersebut pada kelompok aktor otorita, maka dengan sendirinya hanya kepentingan kelompok aktor otorita saja yang terakomodasi. Kelompok aktor pengguna yang terputus aksesnya terhadap hak-hak ini secara otomatis tidak memiliki tempat untuk memperjuangkan kepentingannya secara legal. Dengan demikian bisa dikatakan distribusi hak kepemilikan sumber daya bias terhadap kelompok aktor otorita.

(9)

Sementara itu, kontestasi kepentingan yang terjadi di lapisan kebijakan sebenarnya juga terkait erat dengan kepentingan “core business” dari 2 (dua) aktor otorita, yaitu PJT II dan Disnakkan Kabupaten Purwakarta. PJT II sebagai sebuah badan usaha memiliki kepentingan mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dari core business nya, yaitu penyedia bahan baku air bersih dan juga penyedia listrik. Dengan demikian, segala hal yang merusak dan menurunkan kualitas lingkungan perairan dianggap sebagai sebuah ancaman usaha bagi mereka. PJT II menganggap kegiatan perikanan budidaya justru menjadi beban bagi usahanya. Kerusakan dan degradasi kualitas perairan salah satunya dituding sebagai dampak dari kegiatan perikanan budidaya yang semakin tidak terkendali jumlahnya. Kerugian usaha yang dialami oleh PJT II termasuk di dalamnya adalah biaya perawatan instalasi yang mereka miliki, baik instalasi air maupun instalasi listrik. Meskipun PJT II mendapatkan “keuntungan” dari dikenakannya biaya “sewa lahan” dalam bentuk izin lokasi KJA, namun dianggap tidak sebanding dengan keseluruhan biaya operasional perawatan unit-unit instalasi tersebut.

PJT II berupaya melindungi kepentingan bisnisnya dengan mengambil strategi cenderung untuk membatasi dan mengurangi kegiatan budidaya KJA. Legitimasi ilmu pengetahuan juga ditempuh dengan melakukan serangkaian kegiatan penelitian terkait dampak dari kegiatan KJA terhadap lingkungan perairan. Penguatan dan pengembangan diskursus pengetahuan seperti yang dijelaskan sebelumnya merupakan salah satu strategi yang ditempuh oleh PJT II. Dalam berbagai forum yang mempertemukan kelompok elit masyarakat, seperti ilmuwan dan pemerintah, permasalahan dampak kegiatan KJA terhadap lingkungan perairan selalu menjadi sorotan utama dari pihak PJT II. Namun demikian, proses-proses dialog dengan kelompok aktor pengguna minim dilakukan. Jika pun ada, maka proses dialog tersebut hanya lebih berkisar tentang sosialisasi peraturan dan himbauan mentaati peraturan.

Disnakkan, di lain pihak, memiliki kepentingan PAD dari sektor perikanan. Hal ini mengingat manfaat sumber daya yang diperoleh berasal dari alur kegiatan perikanan, baik budidaya maupun penangkapan, melalui retribusi dan perizinan sebagai sumber PAD. Bentuk kegiatan yang dilakukan oleh pihak Disnakkan lebih banyak kepada kegiatan pengawasan. Sayangnya, berdasarkan informasi selama

(10)

penelitian diperoleh bahwa kegiatan pengawasan ini menjadi sempit maknanya menjadi pemeriksaan dan penagihan perizinan. Kegiatan penyuluhan juga sangatlah minim dilakukan. Pembentukan kelompok-kelompok pembudidaya KJA berdasarkan lokasi zonasi memang telah dilakukan dengan inisiasi dari Disnakkan dan juga PJT II. Namun sekali lagi, kelompok-kelompok ini juga lebih banyak berperan sebagai tempat penagihan dan pengurusan kolektif retribusi dan perizinan. Kelompok-kelompok ini tidak berkembang menjadi sebuah tempat bernegosiasi kepentingan antara pihak otorita dan pengguna dalam penyusunan aturan-aturan pengelolaan sumber daya.

Kepentingan terhadap sumber PAD melalui retribusi dan perizinan membuat Disnakkan tidak berkeinginan hilangnya kegiatan KJA dari Waduk Djuanda, Jatiluhur. Namun demikian, Disnakkan juga tidak menutup mata bahwa kegiatan KJA yang tidak terkontrol juga merupakan sebuah sumber masalah bagi lingkungan perairan. Strategi yang ditempuh oleh Disnakkan dengan cenderung mempertahankan jumlah pembudidaya dan perbaikan teknik-teknik usaha yang lebih ramah lingkungan. Sayangnya strategi ini tidak diimbangi dengan ketersediaan penyuluhan dan aturan serta sanksi terkait teknik-teknik usaha yang ramah lingkungan. Sebagai contoh, meskipun pihak Disnakkan mengetahui penggunaan sistem pompa dalam pemberian pakan akan lebih cepat mengotori lingkungan perairan, tetapi tidak dilakukan pengaturan tentang hal tersebut.

Perbedaan kepentingan diantara kedua lembaga otorita ini membuat kebijakan pengelolaan sumber daya waduk yang ada menjadi tidak utuh. Seakan-akan kedua lembaga otorita ini hanya berkutat dengan permasalahan KJA saja dan melupakan faktor-faktor lainnya. Sementara kedua lembaga otorita ini disibukkan dengan berkontestasi di dalam penyusunan kebijakan tentang perlu tidaknya pengurangan KJA, permasalahan seperti pengaturan jumlah pakan yang masuk, teknik budidaya yang ramah lingkungan, akses permodalan, keadilan kesempatan usaha bagi masyarakat, proses penangkapan ikan dan lainnya luput di dalam pembahasan penyusunan peraturan pengelolaan. Tabel 24 menunjukkan arena kontestasi kepentingan di tingkat kebijakan.

(11)

Tabel 24. Arena Kontestasi Kepentingan di Tingkat Kebijakan Aktor

PJT II Disnakkan Kab. Purwakarta Basis Kepentingan - Penyedia bahan baku

air bersih - Penyedia listrik

- PAD (retribusi)

Kontestasi KJA sumber

permasalahan degradasi lingkungan perairan

Pengelolaan usaha KJA yang kurang tepat merupakan penyebab permasalahan degradasi lingkungan perairan Strategi Kebijakan Pengurangan jumlah

KJA

Mempertahankan jumlah KJA dan pengetatan perizinan serta penarikan retribusi

7.4. Pemanfaatan Sumber Daya (Operasional) dan Arena Kontestasi Kepentingan

Kontestasi kepentingan di lapisan operasional terjadi dalam bentuk kegiatan ekstraksi manfaat sumber daya oleh kelompok aktor pengguna. Kontestasi kepentingan di lapisan ini terjadi dalam 3 (tiga) hal, yaitu tata cara mengontrol akses, mempertahankan akses dan juga memperoleh akses. Hubungan antara mereka yang mengontrol akses pihak lain dengan pihak yang harus mempertahankan akses, paralel dengan hubungan antara pemilik modal dengan buruh dalam konsep Marx. Untuk mempertahankan akses, pihak subordinat seringkali harus membagi manfaat yang mereka peroleh kepada pihak yang memiliki kontrol terhadap akses. Pihak subordinat mengeluarkan sumber daya yang mereka miliki demi menjaga relasi dengan pihak yang memiliki kontrol (Ribot dan Peluso, 2003). Hanya dengan membagi manfaat saja maka dapat memperoleh manfaat bagi dirinya. Kekuasaan memainkan peranan penting dalam setiap posisi aktor pada relasi akses. Seorang aktor bisa memiliki kekuasan yang lebih dibanding yang lain pada saat tertentu atau pada suatu relasi tertentu.

Ribot dan Peluso (2003) menyebutkan bahwa pintu akses bagi masyarakat bisa melalui beberapa hal, seperti penguasaan akan teknologi, kapital, pasar, tenaga kerja, pengetahuan, otoritas, identitas sosial dan relasi sosial. Namun demikian, dalam kenyataannya di lokasi penelitian, faktor penguasaan akan kapital tetap menjadi hal yang paling menentukan. Hubungan antara alam dan manusia bisa juga dipahami dalam konteks konfigurasi kapital. Hal ini disebabkan karena alam tidak

(12)

serta merta menjadi sumber daya, tanpa adanya interaksi dengan manusia. Proses perubahan alam menjadi sumber daya, bahkan kemudian menjadi komoditas, terkait erat dengan pola relasi yang terjadi diantara manusia dengan alam, dan manusia dengan manusia. Pola relasi ini tidaklah bersifat statis, namun bersifat dinamis. Karakteristik relasi alam dan manusia itu sendiri mewarnai berbagai tujuan dan kepentingan yang dimiliki oleh setiap individu. Karakteristik tersebut juga mewarnai tata cara pengorganisasian sosial dalam hal mengekstraksi sumber daya. Hanna dan Jentoft (1996) menyebutkan, “When people use nature’s goods and services, they transform nature into a resource…As nature enters the human sphere as resouces, it takes on attributes of capital and is influenced by goals, values, and uncertainty”. Dalam konteks ini, sumber daya alam dipandang sebagai sebuah kapital (modal) yang penguasaan dan penggunaannya dipengaruhi oleh tujuan, sistem nilai dan ketidakpastian. Ekosistem dipandang sebagai modal alam karena ekosistem memproduksi aliran barang dan jasa lingkungan (Hanna dan Jentoft, 1996). Namun demikian, modal alam ini tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya campur tangan jenis kapital (modal) lainnya. Kompleksitas relasi sosial terletak di konfigurasi berbagai jenis kapital yang berinteraksi dengan modal alam tersebut.

Hanna dan Jentoft (1996), mencatat setidaknya ada empat jenis kapital lainnya yang terkait erat dengan relasi sosial, yaitu modal fisik berupa peralatan dan teknologi untuk mengekstrak sumber daya; modal finansial yang diakumulasi untuk menyediakan modal fisik; modal kultural – berupa norma, sistem nilai dan aturan yang mendorong adaptasi dan modifikasi lingkungan sumber daya – sebagai arena sosial tempat interaksi manusia dan alam (Berkes dan Folke, 1994); dan modal kelembagaan, bagian dari modal kultural, sebagai tempat perangkat aturan dan menentukan kemampuan pengorganisasian yang mengkoordinasikan tindakan manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam (Hanna, 1996).

Ribot dan Peluso (2003) menyebutkan pola relasi akses selalu melibatkan pihak yang menguasai dan mengkontrol akses dan pihak yang harus mempertahankan aksesnya. Pola relasi akses tersebut juga erat kaitannya dengan faktor kekuasaan. Sementara kekuasaan yang ada di lokasi penelitian jelas terbentuk utamanya dari penguasaan akan kapital. Secara umum pola relasi yang

(13)

terjadi tidaklah mengerucut kepada dua polar seperti halnya tradisi Marx, yaitu kelompok pihak dominan berlawanan dengan kelompok pihak sub ordinat. Kenyataannya kontestasi terjadi diantara kelompok-kelompok vertikal satu dengan lainnya. Setiap pihak yang menguasai akses kapital (pembudidaya skala besar, pedagang pakan, pemodal) akan berkolaborasi dengan pihak-pihak yang membutuhkan akses kapital tersebut (nelayan dan pembudidaya KJA skala kecil) dan membentuk satu “front” sendiri serta saling berhadapan dengan “front” sejenis lainnya. Dalam kerangka analisis Marx, hal ini muncul akibat tidak terjadinya kesadaran kelas (class in it self).

Aliansi dan kolaborasi diantara dua kelas yang berbeda ini dapat dipandang dari dua sisi dan menjadikan kepentingan (interest) sebagai basis dari pola hubungan tersebut. Eksploitasi tetap terjadi di dalam pola aliansi antar kelas ini. Kelas pemegang kontrol atas sumber daya mempertahankan aliansi dengan kelas sub ordinatnya dengan kepentingan mempertahankan tambahan akumulasi aliran manfaat sumber daya. Sementara kelas sub ordinat mempertahankan aliansi dengan tujuan tetap memperoleh manfaat sumber daya melalui terjaganya akses. Hal ini lebih sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Wright (1987), yang menekankan bahwa struktur kelas merupakan sebuah struktur dari relasi sosial yang menciptakan matrix dari ekploitasi berdasarkan kepentingan-kepentingan. Hal yang berbeda dari tradisi Marx lainnya adalah kelas sub ordinat tetap dapat memproduksi dan memiliki beberapa tingkat kekuasaan yang terbatas dalam pengambilan keputusan dengan menggunakan alat produksi milik sendiri, berbeda halnya dengan kelas buruh dalam konsep Marx yang tidak dimungkinkan untuk berproduksi untuk kepentingan dirinya sendiri. Gambar 5 menunjukkan arena kontestasi kepentingan di tingkat operasional.

(14)

Gambar 5. Arena Kontestasi Kepentingan di Tingkat Operasional Patron 1

Aktor : pengusaha KJA skala menengah dan besar, pemilik modal, bandar ikan, pedagang pakan Kepentingan :

mengontrol aliran manfaat sumber daya

Patron 3 Aktor : pengusaha KJA skala menengah dan besar, pemilik modal, bandar ikan, pedagang pakan Kepentingan :

mengontrol aliran manfaat sumber daya

Patron 2 Aktor : pengusaha KJA skala menengah dan besar, pemilik modal, bandar ikan, pedagang pakan Kepentingan :

mengontrol aliran manfaat sumber daya

Patron - n Aktor : pengusaha KJA skala menengah dan besar, pemilik modal, bandar ikan, pedagang pakan Kepentingan :

mengontrol aliran manfaat sumber daya

Klien 1

Aktor : pengusaha KJA skala kecil dan nelayan

Kepentingan : mempertahankan aliran manfaat sumber daya

SUMBER DAYA PERAIRAN WADUK Kontestasi :

Kepentingan usaha

Klien - n

Aktor : pengusaha KJA skala kecil dan nelayan

Kepentingan : mempertahankan aliran manfaat sumber daya

Klien 3

Aktor : pengusaha KJA skala kecil dan nelayan

Kepentingan : mempertahankan aliran manfaat sumber daya Klien 2

Aktor : pengusaha KJA skala kecil dan nelayan

Kepentingan : mempertahankan aliran manfaat sumber daya

Keterangan :

Aliansi Kontestasi Ekstraksi

(15)

7.5. Ikhtisar

Sumber daya perairan waduk tidak hanya dimaknai secara fisik saja, namun juga merupakan arena berbagai aktor bertemu dan berkontestasi satu dengan lainnya. Arena kontestasi ini terkait dengan arena kontestasi penguasaan dan pengelolaan sumber daya perairan waduk. Setiap aktor yang terlibat dalam pemanfaatan sumber daya memiliki kepentingan masing-masing dan saling bertarung untuk menjaga dan mempertahankan kepentingannya tersebut. Kepentingan yang dimaksud dalam hal ini tidak lain adalah aliran manfaat yang diperoleh dari sumber daya perairan waduk. Arena kontestasi kepentingan dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya perairan waduk terjadi di 3 (tiga) tingkat, yaitu diskursus, kebijakan dan operasional. Tidak semua aktor terlibat di dalam ketiga tingkat arena kontestasi kepentingan tersebut.

Arena kontestasi kepentingan di tingkat diskursus terjadi di dalam 2 (dua) hal, yaitu diskursus pengetahuan daya dukung sumber daya perairan dan diskursus pakan. Kontestasi diskursus pengetahuan daya dukung terjadi pada kelompok aktor otorita saja. Kontestasi diskursus pengetahuan terjadi akibat perbedaan dasar penentuan jumlah KJA berdasarkan kemampuan daya dukung lingkungan. Kontestasi terjadi antara pihak yang menganggap daya dukung dihitung berdasarkan kebutuhan oksigen terlarut dan pihak yang menganggap daya dukung dihitung berdasarkan total nitrogen dan fosfor. Diskursus pengetahuan kebutuhan oksigen terlarut menganggap sumber masalah degradasi sumber daya perairan waduk akibat melimpahnya akumulasi sumber bahan cemaran yang mengurangi ketersediaan oksigen terlarut di perairan. Strategi yang digunakan adalah mengatasi permasalahan kelimpahan jumlah oksigen terlarut agar jumlah dan usaha KJA tetap dapat berlangsung. Sementara diskursus pengetahuan total nitrogen dan fosfor menganggap sumber masalah degradasi sumber daya perairan waduk adalah akibat akumulasi material loading yang utamanya berasal dari kegiatan KJA (limbah sisa pakan). Strategi yang digunakan adalah mengatasi permasalahan akumulasi material loading (limbah sisa pakan) dengan cara membatasi dan mengurangi jumlah dan usaha KJA.

Sementara kontestasi diskursus pakan terjadi di kelompok aktor pengguna. Kontestasi diskursus pakan terjadi dalam 2 (dua) hal, yaitu pakan komersial serta

(16)

non komersial, dan teknik pemberian pakan sistem pompa dan non-sistem pompa. Pihak yang diuntungkan adalah pedagang pakan dan juga pabrik pakan. Meningkatnya jumlah pembudidaya secara otomatis meningkatkan permintaan akan pakan, dan harga pakan pun terus meningkat dari tahun ke tahun. Sementara keuntungan yang diterima pembudidaya dari tahun ke tahun sebenarnya semakin mengecil, karena meningkatnya persentase biaya pakan dalam perhitungan biaya produksi.

Arena kontestasi kepentingan di tingkat kebijakan melibatkan kelompok aktor otorita, yaitu PJT II dan Disnakkan Kabupaten Purwakarta. Kontestasi kepentingan di tingkat kebijakan ini terkait erat dengan kepentingan “core business” yang berbeda dari kelompok aktor otorita. PJT II memperoleh manfaat sumber daya perairan waduk melalui penyediaan bahan baku air bersih dan listrik, sementara Disnakkan Kabupaten Purwakarta memperoleh manfaat sumber daya perairan waduk melalui retribusi dan perizinan. Kerusakan dan degradasi kualitas perairan salah satunya dituding sebagai dampak dari kegiatan perikanan budidaya KJA yang semakin tidak terkendali jumlahnya. PJT II mengambil strategi cenderung membatasi dan mengurangi kegiatan budidaya. Hal yang berbeda terjadi dengan Disnakkan, mengingat manfaat yang diperoleh berasal dari alur kegiatan perikanan, baik budidaya maupun penangkapan, melalui retribusi dan perizinan sebagai sumber PAD. Strategi yang ditempuh dengan cenderung mempertahankan jumlah pembudidaya dan perbaikan teknik-teknik usaha yang lebih ramah lingkungan.

Arena kontestasi kepentingan di tingkat operasional melibatkan kelompok aktor pengguna. Kontestasi kepentingan di tingkat operasional ini terjadi dalam 3 (tiga) hal, yaitu tata cara memperoleh, mempertahankan dan mengontrol akses manfaat sumber daya perairan waduk. Ketiga hal tersebut menyebabkan terjadinya proses-proses aliansi dan kolaborasi diantara kelompok aktor pengguna. Proses aliansi dan kolaborasi terjadi dalam bentuk pola hubungan patron-klien antara pihak yang mengontrol akses dan pihak yang mempertahankan akses manfaat sumber daya perairan waduk. Akumulasi dan aliran manfaat sumber daya terjadi dari pihak yang mempertahankan akses kepada pihak yang mengontrol akses atas sumber

(17)

daya. Tabel 25 memperlihatkan arena kontestasi kepentingan di Waduk Djuanda, Jatiluhur.

Tabel 25. Arena Kontestasi Kepentingan di Waduk Djuanda, Jatiluhur

Arena Kontestasi Aktor Kuat Lemah

Diskursus

Pengetahuan daya dukung sumber daya perairan waduk Otorita (PJT II dan Disnakkan Kab. Purwakarta) Otorita Pengguna Pakan Pengguna (pengusaha KJA, pedagang pakan, pabrik pakan) Pedagang pakan dan pabrik pakan

Pengusaha KJA skala kecil Kebijakan Jumlah KJA

Otorita (PJT II dan Disnakkan Kab. Purwakarta) Otorita Pengguna Operasional Mempertahankan dan mengontrol akses manfaat sumber daya perairan waduk

Pengguna (pengusaha KJA, nelayan, Bandar ikan, pedagang pakan dan pemilik modal) Pengusaha KJA skala besar, pemilik modal, bandar ikan, pedagang pakan) Pengusaha KJA skala kecil dan nelayan

Gambar

Tabel 21. Perbedaan Batasan Jumlah dan Luas Areal Budidaya KJA   Kriteria  Satuan  POKJA
Tabel 22. Kontestasi Diskursus Pengetahuan Daya Dukung Sumber Daya Perairan  Waduk  Aktor  PJT II  Disnakkan Kab  Purwakarta  Penyebab Degradasi  SDA
Tabel 23. Arena Kontestasi Kepentingan di Tingkat Diskursus  Arena Diskursus
Tabel 24. Arena Kontestasi Kepentingan di Tingkat Kebijakan  Aktor
+3

Referensi

Dokumen terkait

perlakuan sisplatin dan tidak jauh berbeda (p>0,05) dibandingkan dengan kontrol CMC, dengan hasil tersebut menunjukkan bahwa dosis I fraksi n- heksan diduga

keamanan para penumpang BRT dengan menurunkan penumpang pada shelter dan keluar masuk BRT secara tertib dan didampingi oleh petugas, selain itu dengan adanya Bus BRT

Hasil uji BNJ pada perbedaan jenis ikan diperoleh kesimpulan bahwa antara dendeng asap ikan bandeng dan tenggiri tidak memiliki perbedaan yang nyata terhadap nilai kadar

Sistem pendukung keputusan kenaikan jabatan ini menggunakan metode SAW (Simple Additive Weighting) yang akan membantu perusahaan untuk mendapatkan karyawan yang memenuhi

Galeri; Gedung Pertunjukan; Gedung bersejarah (Gedung Sate, Bale Pakuan, Balai Kota, Pendopo, Bumi Siliwangi (Isola), Gedung KAA, Gedung Bank Indonesia. Wisata

Dapatan kajian juga menunjukkan bahawa pelaksanaan aktiviti dakwah melalui kesenian di sekolah juga turut menyumbang kepada usaha penerapan nilai-nilai murni dalam

But patching things into place like this in production code is a bad idea, because it’s just too easy to screw up in a way that’s weird or subtle?. Even in the normal web

Potensi alam, letak yang strategis, aksesibilitas yang mudah menjadikan TNBTS sebagai salah satu taman nasional yang paling banyak dikunjungi, sehingga berpotensi