• Tidak ada hasil yang ditemukan

yang bersangkutan untuk memutusnya.

Se cara umum diket a hui ba hwa dalam hal konflik kewenangan untuk mengadili terjadi antara suatu pengadilan t i ng kat p er t a m a d a la m l i ng k u nga n peradilan yang sama dan daerah hukum pengadilan tingkat banding yang sama, maka menjadi wewenang pengadilan tinggi yang bersangkutan untuk memutusnya.

Kedua, antara dua pengadilan yang ada dalam daerah hukum pengadilan tingkat banding yang berlainan dari lingkungan peradilan yang sama. Sebagai contoh adalah PN Manado dan PN Makassar, dimana keduanya berada dalam daerah hukum pengadilan tingkat banding yang b erlaina n, na mun sa ma-sa ma b erada dalam lingkungan peradilan umum. Ketiga, sengketa kewenangan mengadili antara dua pengadilan tingkat banding di lingkungan p eradilan yang sama atau lingkungan peradilan yang berlainan. Umpamanya antara PT Jakarta dan PT Bandung atau PTA Semarang dan PT Surabaya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 57 UU MA, dapat dipahami bahwa permohonan untuk memutus sengketa kewenangan mengadili dalam perkara perdata diajukan oleh piha k ya ng b er p erkara mela lui Ketua Pengadilan atau pengadilan yang bersangkutan. Permohonan diajukan secara tertulis disertai pendapat dan alasannya. Pihak lawan yang berperkara dapat pula mengajukan jawaban tertulis kepada MA dalam jangka waktu 30 hari. Sementara itu, pemeriksaan pokok perkara ditunda sampai sengketa kewenangan mengadili tersebut diputus oleh MA.

Pengaturan mengenai pemeriksaan sengketa kewenangan mengadili dalam perkara perdata juga diatur dalam SEMA Nomor 1 Tahun 1996 tentang Petunjuk Per m ohona n Pem eri k s a a n Sengket a Kewenangan Mengadili dalam Perkara Perdata. Antara lain ditegaskan bahwa penundaan pemeriksaan pokok perkara dituangkan dalam bentuk “Penetapan”

sampai sengketa kewenangan mengadili diputus oleh MA dan pengadilan lain yang menerima salinan Penetapan penundaan harus menunda pula pemeriksaan perkara dimaksud sampai diputus terlebih dahulu oleh M A. Mer ujuk ketent ua n Pa s a l 64 ayat (1) dan Pasal 65 ayat (1) UU MA, pemeriksaan sengketa kewenangan mengadili dalam perkara perdata secara

mutatis mutandis berlaku bagi lingkungan peradilan agama dan tata usaha negara, serta di antara ketiga lingkungan peradilan tersebut.

Sedangkan untuk perkara pidana s ebaga ima na diat ur da la m Pa sa l 58 sampai Pasal 63 UU MA, pengajuan p e r m o h o n a n m e n g e n a i s e n g k e t a kewenangan mengadili dilakukan oleh Penuntut Umum atau terdakwa disertai alasannya. MA dapat memerintahkan p engadilan yang b ersangkutan unt uk m em i nt a ket era nga n d ari t erd a kwa tentang hal-hal yang dianggap p erlu. Putusan diambil MA setelah mendengar pendapat Jaksa Agung, dan Jaksa Agung pula ya ng memb erit a huka n put usa n dimaksud kepada terdakwa dan Penuntut Umum dalam perkara tersebut. Proses pemeriksaan demikian juga berlaku untuk sengketa kewenangan mengadili yang terjadi di lingkungan peradilan militer maupun antara lingkungan peradilan umum dan peradilan militer berdasarkan Pasal 64 ayat (2) dan Pasal 65 ayat (2) UU MA.

P a d a b e b e r a p a k e s e m p a t a n , s e b a ga i m a n a d i m u a t d a l a m b u k u

Himpunan Putusan Mahkamah Agung RI tentang Kewenangan Mengadili (1995),

pada tingkat kasasi MA menyatakan s ebua h p engadila n tida k b er wena ng memeriksa dan mengadili suatu perkara karena m ela mpaui bat a s wewena ng yurisdiksinya. Putusan kasasi dimaksud antara lain Put usan Nomor 1251 K/ Pdt/1992 dan Putusan Nomor 162 K/ Pdt/1992 yang menjawab perselisihan kewenangan mengadili antara peradilan umum dan peradilan agama. Di sisi lain, terdapat pula Putusan Nomor 88 K/ TUN/1993 dan Putusan Nomor 14 K/ TUN/1993 yang memut us p ersoalan kompetensi antara peradilan tata usaha negara dan peradilan umum. Sementara itu, tercatat adanya Putusan Nomor 01/ SKM/Pid/1989 yang memutus sengketa kewenangan mengadili antara PN Banda Aceh dan Mahkamah Militer I-01 Banda Aceh.

Ka s u s t er b a r u s o a l s eng ket a kewenangan mengadili (jurisdictiegeschil) ini adalah antara PA Limboto dan PN Limboto dalam Putusan Nomor 001- SKM/MA/2015, bertanggal 5 November 2015. Pada p okok nya p ertimba nga n hukum Majelis Hakim MA menyatakan bahwa menjadi kewenangan PA Limboto untuk menentukan apakah objek sengketa merupakan harta bersama dan budel waris yang belum dibagi dalam perkara warisan dari mereka yang beragama Islam. Dengan demikian, MA memutus sengketa kewenangan mengadili tersebut dengan menetapkan PA Limboto yang berwenang untuk mengadili perkara 0027/Pdt.G/2014/ PA.Lbt.

AB Ghofar

Peneliti Mahkamah Konstitusi

Kepala Negara (chief of state) sekaligus Kepala Pemerintahan (chief of executive), seorang Presiden memiliki kekuasaan yang sangat besar. Menurut saya, ia adalah satu-satunya orang yang diberikan kuasa terbesar di Republik ini. Berdasarkan Konstitusi UUD NRI 1945, Presiden mempunyai kekuasaan dalam bidang eksekutif, legislasi, dan yudikatif. Dalam bidang eksekutif, berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) UUD NRI 1945, ia adalah Kepala Pemerintahan. Untuk membantu menjalankan kekuasaan tersebut, selain dibantu oleh seorang Wakil Presiden, Presiden juga mempunyai kekuasaan penuh untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri.

Dalam bidang legislasi, khususnya pembuatan UU, Presiden mempunyai kewenangan unt uk mengusulkan, memba ha s bersama, melakukan persetujuan, pengesahan, dan bahkan sampai pengundangan. Selain itu, dalam hal kegentingan yang memaksa, ia juga mempunyai kuasa 100 persen untuk membuat Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu), yang kedudukannya adalah setingkat dengan UU. Ia juga mempunyai kuasa membuat Peraturan Pemerintah (PP), dan Peraturan Presiden (Perpres).

Kua sa legisla si ter s ebut, da la m pa nda nga n saya— tercerahkan setelah berdiskusi dengan Hakim Konstitusi Prof. Saldi Isra di ruang kerjanya—jauh lebih besar dari yang dimiliki oleh lembaga legislasi itu sendiri yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebab lembaga itu tidak punya kuasa membuat Perpu, PP, maupun Perpres. Sementara itu, lazimnya sebuah UU, aturan lebih lanjut dari sebuah UU akan diatur oleh PP atau Perpres. Dalam pembuatan UU pun, dari lima proses pembuatan UU (pengusulan, pembahasan, persetujuan, pengesahan, dan pengundangan) DPR hanya memiliki kewenangan 3 paling awal. Untuk dua proses terakhir ia tidak memiliki. Sedangkan Presiden, memiliki kelima hal tersebut.

Selain kuasa legislatif, Presiden juga mempunyai kuasa yudikatif. Kuasa ini bisa dilihat pada Pasal 14 UUD NRI 1945. Dikatakan di situ, Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan mempertimbangkan Mahkamah Agung. Selain itu, Presiden

Kuasa Meyakinkan