dan nama-nama
konglomerat ini
mengalami kekerasan
dan perampasan tanah’’
tanah.Mereka juga harus berjuang mempertahankan tanahnya.Termasuk kenalan saya juga, Ibu Fatma, seorang janda yang berasal dari Desa Lunjuk yang sekabupaten dengan Ibu.Semua harus berjuang setiap saat, terus melakukan perlawanan, agar sisa tanahnya tidak digusur habis oleh perusahaan kelapa sawit.
Nyata sekali juga bahwa perusahaan-perusahaan dan konglomerat-konglomerat itu, bersama dengan pemerintah kita sendiri, yang selama ini telah membentuk opini menyesatkan, kasarnya menipu, Ibu dan ibu-ibu lainnya, juga bapak-bapak dan semua orang, bahwa kehadiran perkebunan kelapa sawit akan membawa keberkahan.Ternyata seperti yang Ibu alami sendiri, BUKAN KEBERKAHAN tapi KEHANCURAN.
Memang benar, perkebunan kelapa sawit membawa kekayaan melimpah ruah, tapi untuk perusahaan-perusahaan dan konglomerat-konglomerat itu, bukan untuk Ibu dan warga masyarakat.Apa lah daya Ibu dan ibu-ibu lainnya yang hanya masyarakat biasa yang saat ini mengalami bahwa ternyata janji-janji di awal dahulu dari pihak perusahaan ternyata palsu, bahkan harus rela terkena imbasnya.
Kenyataannya adalah hilangnya tanah Ibu.
Akibatnya adalah lunturnya nilai-nilai sosial di kampung Ibu, dimana dulu sangat tolong-menolong sekarang semuanya diadu-domba, masing-masing berusaha mencari kesalahan sesama orang kampung demi mendapatkan imbalan dari perusahaan kelapa sawit.
Buktinya sekarang Ibu dan orang-orang di kampung Ibu harus rela menjadi buruh di tanah sendiri.
Ibu Yus terkasih,
Sekarang Ibu dan warga kampung ibu sudah tahu langsung dan merasakan sendiri betapa dahsyatnya dampak atau imbas perkebunan kelapa sawit ini atas keberlangsungan hidup.Bahkan, hanya untuk bertahan hidup, ada warga kampung Ibu yang harus mencuri buah sawit perusahaan dengan konsekuensi dikejar-kejar oleh keamanan perusahaan.Hanya untuk mencari cara bertahan
hidup!Sebab tidak lagi memiliki tanah sedangkan, sebagaimana ibu sendiri paham, kultur kita sejak zaman dahulu dan diturunkan secara turun menurun adalah bercocok tanam dan mengolah tanah sebagai orang merdeka, bukan sebagai buruh seperti sekarang ini.
Saya harus menyampaikan pendapat saya bahwa hadirnya perkebunan kelapa sawit skala besar sebenarnya mengambil hak untuk hidup bagi masyarakat petani kita di Bengkulu.Salah satunya adalah karena daya tahan masyarakat kita sesungguhnya memang tidak untuk menghadapi peraturan-perundangan dan berbagai kebijakan pemerintah untuk perluasan-perluasan atau ekspansi perkebunan.
Peraturan-perundangan dan kebijakan-kebijakan pemerintah itu jelas sekali menganggap atau membuat masyarakat seolah-olah tidak memiliki apa–apa.Tidak ada atau tidak punya apa-apa.Itulah akar musabab banyaknya pelanggaran kemanusiaan dan kekerasan, bukan hanya kekerasan fisik tapi juga kekerasan ekonomi, di lokasi sekitar HGU (Hak Guna Usaha untuk perkebunan atau penyerahan penguasaan tanah kepada perusahaan).Lha wong manusianya dianggap tidak ada atau tidak memiliki apa-apa….!!!
Sudah sangat wajar keterjepitan ini memaksa almarhum suami Ibu dahulu dan Ibu teruskan sampai sekarang tergugah dan menentang, menolak keras adanya perkebunan sawit.Bukan hanya almarhum dan Ibu yang secara lantang berusaha melawan.Banyak juga ternyata yang sekarang-sekarang ini baru tahu keadaan sebenarnya dan kemudian menentang pengadaan perkebunan sawit besar-besaran. Ini juga salah satu sebab saya menulis surat ini ke Ibu. Supaya tertulis lah apa yang saya dengar dan amati dari Ibu, yaitu pengalaman Ibu yang dahulu mungkin minim pengetahuan tentang dampak perkebunan kelapa sawit, kemudian mengalami sendiri, dan berjuang melakukan perlawanan untuk bertahan hidup.
Ibu adalah salah satu obor yang menyala, penanda bahwa warga masyarakat lokal yang notabene-nya adalah masyarakat pedalaman, orang biasa, atau maasyarakat adat, tidak lagi boleh selalu di
identikkan sebagai masyarakat yang jauh dari akses informasi dan tidak mengerti apa-apa.
Ibu Yus,
Kalau di atas tadi saya bercerita tentang luasnya tanah yang diserahkan penguasaannya kepada segelintir perusahaan dan konglomerat, kali ini saya ingin memberi perbandingan dengan tanah yang diolah oleh masyarakat seperti Ibu dan warga lainnya.
Dari luas Provinsi Bengkulu yang 1.987.870 hektar, tanah yang disediakan oleh negara untuk diolah oleh Ibu dan semua warga masyarakat hanya 141.283 hektar.Jumlah inilah yang harus Ibu berbagi dengan hampir 2 juta jiwa penduduk provinsi kita ini.Pantaslah tanah Ibu hanya 1,5 hektar dan terancam hilang karena angka-angka ini berarti rata-rata hanya tersedia tanah 0,07 hektar per jiwa.Bagaimana manusia bisa hidup dengan tanah sekecil itu?Bagaimana Ibu bisa menghidupi 6 anak ibu dengan tanah sesedikit itu....?
Saya yakin pasti tidak akan bisa.Padahal kita tahu bahwa negara kita ini bukan diamanatkan untuk menelantarkan rakyatnya….bukan agar rakyatnya harus berdarah-darah berjuang untuk mendapatkan tanah. Ibu tentu sepakat bahwa sudah selayaknya pemerintah kita menjalankan amanat sesungguhnya Undang Undang Dasar 1945, yaitu bahwa setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun bangsa demi terciptanya rakyat sejahtera.Apabila rakyat sejahtera, pasti bangsa akan sejahtera juga.
‘‘…obor yang menyala,
penanda bahwa warga
masyarakat lokal yang
notabene-nya adalah
masyarakat pedalaman,
orang biasa, atau
masyarakat adat, tidak
lagi boleh selalu
diidentikkan sebagai
masyarakat yang jauh
dari akses informasi dan
tidak mengerti
apa-apa’’
Bukan malah sebaliknya yang dilakukan negara kita, seperti yang Ibu Yus sendiri dan orang-orang di kampung Ibu alami yaitu harus berhadapan dengan PTPN VII Unit Talo Pino.PTPN VII ini adalah Perseroan Terbatas Perkebunan Negara yang adalah salah satu perkebunan kelapa sawit tertua di Bengkulu.Milik Negara akan tetapi telah memberikan contoh terburuk tentang bagaimana cara memanfaatkan aparatur negara untuk menguasai tanah serta menyingkirkan Ibu Yus dan warga kampung Ibu.Ini adalah contoh terburuk pelanggaran Hak Asasi Manusia dan kriminalisasi oleh PTPN VIIterhadap warga yang mempertahankan tanahnya.Perusahaan ini, juga perusahaan—perusahaan lain biasanya, kemudian menutup semua itu dengan praktek ganti rugi setelah penggusuran paksa.Inilah standar operasi perusahaan-perusahaan negara dan swasta di Bengkulu dalam melegitimasi penguasaan atas tanah. Ibu terkasih,
Kalau saya sekedar geram, Ibu dan warga di kampung Ibu menderita dan marah.Aparat negara yang seharusnya melindungi dan melayani Ibu dan warga, malah di tahun 2010 memenjarakan 20 warga kampung Ibu sekaligus. Mereka adalah Dwi Nanto, Firmansyah, Palki, Nahadin, dan Aldin yang menjadi tersangka utama, kemudianDidin, Sirman, Tahwin, Wahidi, Walana, Limi, Yoyon, Paiman, Badran, Tasir, Baidi, Tahardin, Ikwan, Ari Wibowo, dan Yuyun menjadi tersangka ikutan. Secara langsung ini menghilangkan mata pencarian puluhan keluarga, bahkan memutus sekolah anak-anak di kampung sekitar perkebunan.
Hormat takjim saya untuk Ibu yang adalah salah satu korban itu, yang kemudian harus menghadapi tragedi digusurnyakuburan suami Ibu di sela-sela pohon kelapa sawit yang dulu Ibu tanam dengan suami Ibu.Ibu juga yang harus menjadi buruh harian di PTPN VI padahal tanah perkebunan itu sebenarnya adalah kebun ibu sendiri warisan dari suami.Dan Ibu harus merelakan 6 anak ibu yang masih belia terpaksa berhenti sekolah karena tidak satupun yang dapat dibiayai dari gaji harian Ibu di PTPN.
Di seluruh masalah dan upaya bertahan hidup Ibu sekeluarga, maap saya belum bisa membantu apapun.Sedangkan Negara kita yang telah menciptakan situasi seperti ini, menciptakan janda-janda yang tak berdaya, dan dari janda-janda itu lahir buruh-buruh murah untuk perusahaan-perusahaan dan konglomerat-konglomerat, sebagaimana skenario mereka, bahkan minta maap pun tidak. Kalau Ibu tidak bisa membalas surat ini, moga-moga suatu saat ada kesempatan saya untuk berkunjung dan mendengarkan langsung dari Ibu yang saya hormati dan kasihi.
Bengkulu, April 2015 Beni Ardiansyah