• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV NILAI-NILAI MORAL DALAM CERITA RAKYAT KUBAH

4.2 Cerita Rakyat Kubah Terbang

4.2.3 Nilai-Nilai Moral Religi

4.2.3.3 Berserah Diri kepada Tuhan/Bertawakal

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tawakal adalah pasrah diri kepada kehendak Allah; percaya sepenuh hati kepada Allah (dalam penderitaan dan sebagainya). Bertawakal adalah berserah diri kepada kehendak Allah;

memiliki rasa tawakal (http://kbbi.web.id Diakses pada Tanggal 20 September 2016).

Perilaku bertawakal tersebut terlihat pada Sang Murid yang melaksanakan perintah gurunya dengan ikhlas dan bersungguh-sungguh. Sang Murid memanjat pohon kelapa yang telah ditunjukkan oleh gurunya dan setelah sampai di puncaknya, membaca syair yang dibuat oleh gurunya.

”Kemudian berangkatlah rombongan teman-teman dan gurunya menuju pelabuhan, sementara sang murid berjalan ke dekat pohon kelapa yang telah ditunjukkan gurunya. Dengan ikhlas dan bersungguh-sungguh, ia mulai memanjat pohon kelapa yang tinggi itu. Setelah sampai di puncaknya, ia lalu membaca syair yang diberikan oleh gurunya.”

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil analisis penelitian tentang nilai-nilai moral yang terdapat pada cerita rakyat Kubah Terbang dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

a. Nilai-nilai moral individual mencakup kepatuhan kepada guru, rela berkorban, jujur, adil dan bijaksana, menghormati dan menghargai guru, bekerja keras, dan rendah hati. Pada sisi religinya terdapat nilai percaya adanya Tuhan, percaya kekuasaan Tuhan, dan berserah diri kepada Tuhan/bertawakal.

b. Nilai-nilai moral sosial yang terdapat pada cerita rakyat Kubah Terbang mencakup bekerjasama, suka menolong murid, kasih sayang, kerukunan antara guru dan murid, dan peduli terhadap nasib orang lain.

5.2 Saran

Hingga saat ini cerita rakyat Kubah Terbang masih diturunkan oleh orang tua kepada anak-anaknya untuk mendidik di Desa Lantasan Lama, Kecamatan Patumbak, Kabupaten Deli Serdang. Agar cerita rakyat Kubah Terbang tidak punah dan terjaga nilai-nilainya, maka diperlukan upaya seperti penelitian terhadap cerita tersebut dengan menggunakan teori-teori lainnya. Peneliti mengharapkan adanya penelitian lanjutan tentang fenomena dalam cerita rakyat agar semakin memerkaya khazanah penelitian sastra.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rozak Zaidan,dkk. 2007. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.

Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi Sastra. Malang: Sinar Baru Algensindo.

Andhika Patria,dkk. 2015. Nilai Moral dalam Novel Sang Pencerah dan Implikasinya pada Pembelajaran Sastra. Jurnal. Lampung: FKIP, Universitas Lampung.

Bertens, K. 2013. Etika. Yogyakarta: Kanisius.

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:

Gramedia Pustaka Umum.

Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Caps.

Endraswara, Suwardi. 2014. Metodologi Penelitian Folklor. Yogyakarta: Media Pressindo.

Hadiwardoyo, Purwa. 1994. Moral dan Masalahnya. Yogyakarta: Kanisius.

Koentjaraningrat. 1983. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:

Gramedia.

Moleong, Lexy J. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto. 2004. Sosiologi: Teks Pengantara &

Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Nugraha, Fajar Briyanta Hari. 2014. Nilai Moral dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori. Skripsi. Yogyakarta: FBS, Universitas Negeri Yogyakarta.

Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ratna, Kutha Nyoman. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.

Suseno, Franz Magnis. 1993. Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.

Susetianingsih, Theresia Sri. 2010. Novel Bidadari-bidadari Surga Karya Tere Liye (Tinjauan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan). Tesis. Surakarta:

Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret.

Sutrisna Wibawa. 2010. Nilai-nilai Moral dalam Serat Wedhatama dan Pendidikan Budi Pekerti. Jurnal. Yogyakarta: FBS, Universitas Negeri Yogyakarta.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (Diterjemahkan Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.

INTERNET:

http://kbbi.web.id Diakses pada Tanggal 20 September 2016.

http://ki-demang.com Diakses pada Tanggal 27 Juni 2016.

LAMPIRAN I

DAFTAR INFORMAN

Abu Bakar Lubis. 46 Tahun. Desa Lantasan Lama, Kecamatan Patumbak, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Wawancara pada Tanggal 1 Oktober 2016.

Azriani Boru Surbakti. 57 Tahun. Desa Lantasan Lama, Kecamatan Patumbak, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Wawancara pada Tanggal 1 Oktober 2016.

LAMPIRAN 2

DAFTAR PERTANYAAN

1. Apakah Anda pernah mendengar judul cerita rakyat Kubah Terbang?

2. Apakah Anda tahu arti Kubah Terbang?

3. Apakah Anda pernah mendengar cerita rakyat Kubah Terbang?

4. Apakah Anda dapat menceritakan kembali cerita rakyat Kubah Terbang?

5. Apakah Anda mengerti pesan yang terkandung dalam cerita rakyat Kubah Terbang?

LAMPIRAN 3

FOTO-FOTO a. Kuburan Kubah Terbang

b. Kuburan Sang Guru

c. Informan

Bapak Abu Bakar Lubis (Kiri) dan Ibu Azriani Boru Surbakti (Kanan)

CERITA RAKYAT KUBAH TERBANG DI DESA LANTASAN LAMA, KECAMATAN PATUMBAK, KABUPATEN DELI SERDANG

Suatu hari di pondok pesantren, tinggalah seorang murid yang dikenal sangat bodoh atau bisa dikatakan IQ-nya jauh di bawah rata-rata. Ia tidak dapat menerima pelajaran dengan baik yang diberikan oleh gurunya. Ia tidak dapat mengulang apa yang telah dipelajarinya meskipun baru saja semalam. Namun ia tetap terus belajar dan mengikuti arahan dari gurunya.

”Coba ucapkan ba‟,” perintah sang guru.

”Ba‟.” Sang murid mengikuti.

”Ucapkan lagi,” perintah sang guru lagi.

”Ba‟.” Sang murid mengulangi pelafalan huruf kedua hijaiah tersebut.

”Bagus. Ulangi dari huruf pertama,” kata sang guru sambil menunjukkan huruf alif. Huruf alif adalah pelajaran yang diberikan gurunya semalam. Akan tetapi, sang murid tidak bisa mengingatnya. Perlahan-lahan ia mengucapkan ba‟, karena ia hanya ingat huruf itu.

Keesokan harinya, sang guru mengajari sang murid lagi. Kali ini materi yang diberikan adalah huruf ketiga hijaiah, yakni ta‟. Sama seperti belajar huruf ba‟, sang murid mengerti dan dapat melafalkan huruf tersebut dengan baik.

”Ini ta‟. Coba ucapkan,” perintah sang guru.

”Ta‟,” kata sang murid.

”Ucapkan lagi,” perintah sang guru lagi.

”Ta‟,” ucap sang murid. Ia mengulang-ulang penyebutannya. Namun ketika sang murid disuruh mengulangi dari huruf pertama, ia tidak bisa. Bahkan huruf ba‟ yang baru dipelajarinya semalam juga tidak bisa. Ia hanya bisa mengucapkan huruf ta‟, yang baru dipelajarinya.

Sang Guru merasa kesal dan menyuruh sang Murid untuk pergi ke ladang duluan besok.

“Besok pagi ke ladang duluan, aku bawakan makanan,” perintah gurunya.

Sang Murid mematuhi perintah gurunya. Namun setelah hari sudah hampir siang, Sang Guru belum juga datang. Sang Murid yang sudah kelaparan pun memutuskan untuk membakar keladi dan makan di atas batang. Sang Guru mengintip dari kejauhan dan memerhatikan apa yang sedang dilakukan muridnya itu.

“Sedang apa kamu?” tanya Sang Guru.

“Tidak ada, guru,” jawab Sang Murid sembari menyembunyikan keladi bakar miliknya di bawah batang. Namun Sang Guru melihat sisa keladi bakar tersebut dan memahami perilaku muridnya.

Malamnya ketika mengaji, Sang Guru memanggil muridnya itu untuk mengganti kajiannya. Sang Guru memberikan hafalan untuk muridnya tentang yang dilakukannya tadi siang yang berjudul Tunu-tunu Keladi. Tunu dalam bahasa Melayu artinya bakar, sedangkan keladi adalah salah satu umbi-umbian yang dapat dimakan.

Tunu-tunu keladi

Surukkan di bawah batang Menuntut ilmu tak menjadi Terbang tak kelihatan

Beberapa tahun kemudian, teman-teman satu pesantrennya sudah pintar mengaji dan banyak dari mereka yang sudah khatam membaca Alquran. Oleh karena itu, bagi mereka yang sudah khatam, diperbolehkan untuk berangkat haji dan didampingi oleh guru-guru, termasuk sang guru.

Sang murid merasa iri dan ingin sekali ikut naik haji bersama teman-temannya. Namun sang guru mengatakan bahwa dia belum boleh berangkat,

sebab dia belum pintar mengaji dan khatam membaca Alquran. Sang murid bersikeras ingin ikut sang guru. Dengan sabar, sang guru mencari cara supaya dia tidak bisa ikut, yakni menyuruh sang murid memanjat pohon kelapa yang terdapat di pinggir sungai.

”Nanti kalau ingin menyusul, panjatlah pohon kelapa itu,” kata sang guru.

Di hari keberangkatan teman-temannya ke Makkah, sang murid mendatangi gurunya untuk ikut. Sang guru menyuruh sang murid memanjat pohon kelapa, seperti yang telah dikatakan sebelumnya, dan apabila sudah sampai di atas, membacakan syair yang dibuat oleh gurunya.

Kemudian berangkatlah rombongan teman-teman dan gurunya menuju pelabuhan, sementara sang murid berjalan ke dekat pohon kelapa yang telah ditunjukkan gurunya. Dengan ikhlas dan bersungguh-sungguh, ia mulai memanjat pohon kelapa yang tinggi itu. Setelah sampai di puncaknya, ia lalu membaca syair yang diberikan oleh gurunya.

Kurang lebih tiga bulan kemudian, rombongan teman-teman beserta gurunya tiba di Makkah. Alangkah terkejutnya mereka ketika melihat sang murid sudah berada di Makkah mendahului mereka. Padahal ia tidak ikut dalam rombongan. Tidak terkecuali sang guru yang telah menyuruhnya memanjat pohon kelapa dan membaca syair.

Sang murid menyambut teman-temannya beserta gurunya dengan senang hati. Dia memersilakan mereka untuk menunaikan ibadah haji, sedangkan dia menunggu sambil beristirahat. Sebab dia mengaku bahwa sudah menunaikan ibadah haji lebih dulu. Sang guru tidak yakin kalau orang yang dilihatnya adalah muridnya. Beliau menduga kalau dia mungkin sebangsa jin yang menjelma sosok muridnya yang bodoh.

Setelah rombongan teman-teman dan gurunya menunaikan ibadah haji, mereka bertemu lagi dengan sang murid. Sang guru masih tidak percaya kalau dia adalah muridnya. Oleh karena itu, sang guru meminta sang murid jangan kembali dulu lebih dari tiga bulan.

”Jangan kembali ke pondok dulu hingga kami sampai di sana,” kata gurunya. Tentu saja sang murid mematuhi yang diperintahkan oleh gurunya itu.

Dia tetap tinggal di Makkah sampai sekitar tiga bulan lamanya.

Akhirnya rombongan teman-teman dan gurunya menginjak tanah air kembali. Sang guru yang penasaran segera memastikan apakah orang yang ditemukannya di Makkah adalah benar muridnya. Sang guru tidak melihat muridnya itu di perpondokan dan sekitarnya. Maka beliau akhirnya percaya kalau lelaki di tanah suci itu muridnya.

Tiga bulan kemudian, Sang Murid kembali ke pondoknya. Ia kemudian diajak oleh Sang Guru ke Labuhan Deli untuk mengajar mengaji. Sang Guru berpesan kepada muridnya itu agar kelak ia dapat menggantikan gurunya mengajar mengaji.

“Kalau nanti aku mati, kau yang menggantikan aku mengajar mengaji,”

pesan gurunya.

“Bagaimana aku mengajar mengaji, sedangkan alif saja aku tak dapat,”

kata Sang Murid.

“Buka dan tengok-tengok saja Alquran itu,” kata Sang Guru.

Akhirnya Sang Murid bisa mengaji dan dapat mengajari murid-murid di pondok Labuhan Deli. Sang Guru kembali ke Patumbak.

Beberapa tahun berlalu, tersiar kabar bahwa sang guru meninggal dunia dan dikuburkan di dekat perpondokan Patumbak. Sang murid yang mendengar kabar tersebut sangat merasa sedih. Kesedihannya yang berlarut-larut itu membuatnya jatuh sakit. Sebelum meninggal, dia berpesan kepada murid-muridnya ingin dikuburkan di sebelah kuburan gurunya itu. Namun karena jarak dan keterbatasan kendaraan, akhirnya dia dikuburkan di dekat pondok pesantren di Labuhan Deli.

Tiga hari setelah dikuburnya Sang Murid, seorang muridnya hendak mengantarkan batu nisan. Ia begitu terkejut sebab kuburannya telah hilang dan

berlubang. Kemudian temannya teringat akan pesan yang diberikan Sang Murid sebelum meninggal, yaitu Sang Murid ingin dikuburkan di sebelah kuburan gurunya (Patumbak). Maka berangkatlah mereka menuju Patumbak untuk mencari kuburan itu. Ternyata terdapat kuburan baru di sebelah kuburang Sang Guru.

“Iya, ini kuburan guru. Aku tanda sama batunya,” ujar salah satu muridnya. Mereka lalu memastikan dengan bertanya kepara orang-orang di Lantasan Lama, Sigara-gara, serta Marendal, siapa yang baru-baru saja meninggal. Tidak ada yang meninggal. Akhirnya mereka yakin kalau kuburan tersebut kuburan Sang Murid.

Dokumen terkait