• Tidak ada hasil yang ditemukan

Di dalam sistem peradilan pidana, aparat penegak hukum merupakan pilar yang sangat penting dalam penegakan supremasi hukum. Sehingga diharapkan aparat

penegak hukum ini dalam menjalankan tugasnya haruslah benar-benar bersikap profesional dan selalu menjunjung tinggi hukum dan nilai-nilai keadilan.

Terjadinya disparitas penjatuhan pidana bagi terdakwa tidak terlepas dari Sumber daya Aparat Penegak Hukum. Tidak tertutup kemungkinan adanya permainan yang dilakukan oleh terdakwa dengan aparat penegak hukum baik di tingkat penyidikan, tingkat penuntutan bahkan terhadap hakim itu sendiri seperti diungkapkan oleh seorang mantan narapidana pemakai shabu-shabu yang dijatuhi pidana 6 (enam) bulan penjara denda Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) subsider 1 (satu) bulan kurungan, saya merasa hukuman saya termasuk ringan dibanding dengan teman sesama pemakai. Hal itu disebabkan perkara saya diurus. Teman saya yang lain hukumannya lebih tinggi dari saya karena dia tidak mengurus, saya merasa putusan ini sudah adil101.

Berbeda dengan pengungkapan seorang narapidana yang merasa hukumannya sangat berat, ia dijatuhi hukuman 10 (sepuluh) tahun penjara denda Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) subsider 6 (enam) bulan kurungan padahal saya hanyalah korban, bermula dari ketika saya diajak seseorang untuk dipekerjakan di Medan, Saya disuruh membawa tas yang saya pikir isinya adalah pakaian ketika dilakukan pemeriksaan di bandara teman saya lari. Dari situlah saya tahu tenyata isi tas itu bukan hanya pakaian tetapi diselipkan shabu-shabu. Untuk mengurus perkara

saya tidak punya uang, keluarga saya tidak ada di Medan, saya merasa putusan ini tidak adil102.

Dari hasil wawancara penulis dengan mantan narapidana dan narapidana di atas, tampak bahwa disparitas penjatuhan pidana di samping pengaturan perundang-undangan yang kurang tegas mengatur sanksi pidana, ternyata sumber daya aparat penegak hukum juga dapat menimbulkan terjadinya disparitas terhadap putusan hakim. Bagi terdakwa yang dijatuhi hukuman ringan akan merasa hukum itu sudah memenuhi rasa keadilan. Tetapi bagi terdakwa yang tidak melakukan upaya kolusi merasa adanya ketimpangan perlakuan terhadap keadilan itu sendiri, yang mana pada akhirnya membuat terdakwa tadi cenderung tidak percaya pada hukum terlebih lagi pada sistem peradilan.

Masih banyak dijumpai aparat penegak hukum yang salah menggunakan norma-norma hukum yang sudah ada baik itu yang disengaja maupun tidak. Bagi hakim sebagai pengambil keputusan akan sangat mungkin baginya untuk memanfaatkan peluang yang diberikan oleh undang-undang. Sehingga hakim akan sangat mudah untuk mempermainkan hukum. Tetapi mungkin juga disebabkan oleh kurangnya sumber daya hakim dalam memahami dan mengerti maksud dari kandungan hukum yang terdapat dalam undang-undang.

Untuk terciptanya kemandirian penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung dalam instruksinya No.KMA/015/INST/VI/1998 tanggal 01 Juni 1998 menginstruksikan agar para hakim memantapkan profesionalisme dalam

mewujudkan peradilan yang berkualitas dengan menghasilkan putusan hakim yang eksekutabel, berisikan ethos (integritas), pathos (pertimbangan yuridis yang utama), filosofis (berintikan rasa keadilan dan kebenaran), sosiologis (sesuai dengan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat), serta logos (dapat diterima akal sehat), demi terciptanya kemandirian para penyelenggara kekuasaan kehakiman103.

Bagi pencari keadilan (justiabelen) yang tidak merasa puas dengan putusan yang dijatuhkan oleh hakim dipersilahkan mengajukan upaya hakim yang ada. Dengan demikian peranan hakim sangat dominan untuk menentukan suatu putusan. Seperti yang dikemukakan hakim Pratondo, Hakim pada PN. Medan, terdakwa tidak menerima putusan yang dijatuhkannya, tidak masalah karena memutus sudah memenuhi rasa keadilan lagipula kalau terdakwa tidak merasa puas bisa mengajukan upaya hukum banding104.

Sebenarnya banyak faktor yang mempengaruhi kemandirian hakim dalam melaksanakan tugas dan kewenangan, namun demikian pada prinsipnya faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut dapat datangnya dari diri hakim itu sendiri maupun dari luar diri hakim tersebut yang disebut juga dengan faktor internal dan faktor eksternal. Jadi faktor internal berkaitan dengan kualitas sumber daya hakim itu sendiri, yang dapat bermula dari cara rekruitmennya yang tidak objektif, integritas moral kurang dan tingkat pendidikan/keahlian. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang datangnya dari luar diri hakim, terutama yang berkaitan dengan sistem peradilan atau

103 Bambang Sutiyoso, Loc cit, hal.14.

104 Hasil wawancara dengan Bapak Pratondo, Hakim Pengadilan Negeri Medan, tanggal 27

sistem penegakan hukum yang kurang mendorong kinerja hakim. Dalam hal ini dapat disebabkan karena masalah instumen hukumnya (perundang-undangan), adanya intervensi dan tekanan dari pihak luar, tingkat kesadaran hukum, sarana dan prasarana sistem birokrasi/pemerintahannya, dll105. Dengan demikian kemandirian hakim berkorelasi positif dengan penegakan supremasi hukum itu sendiri.

Menurut hemat penulis yang diperlukan untuk menghindarkan disparitas penyalahan pidana ini sebenarnya adalah moral dari penegak hukum sendiri. Karena walaupun undang-undang sudah bagus mengatur sanksi pidana untuk penyalahgunaan narkoba, tetapi kalau moral dari penegak hukum itu kurang maka hukum sulit ditegakkan tetapi kalau moral dari penegak hukum sudah bagus walaupun undang-undang kurang lengkap mengatur sanksi pidana maka hukum akan bisa ditegakkan.

Sifat-sifat internal dan eksternal ini seringkali tidak dapat dipisahkan atau kadang-kadang sulit dipisahkan, karena sudah terpadu sebagai atribut seseorang yang disebut sebagai kepribadian dari hakim dalam arti luas yang menyangkut pengaruh- pengaruh latar belakang sosial, pendidikannya, agama, pengalaman, perangai dan perilaku sosial106.

Adanya disparitas penjatuhan pidan bukan hanya tampak pada tingkat putusan hakim yang satu dengan hakim yang lain. Disparitas pidana itu bisa saja muncul pada tingkat penuntutan oleh jaksa/penuntut umum, sering dijumpai di lapangan antara

105 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 8.

jaksa/penuntut umum yang satu dengan yang lain tuntutan pidananya berbeda-beda terhadap terdakwa terhadap yang satu dengan terdakwa yang lain dalam tindak pidana yang sama.

Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 13. Disparitas Putusan Pengadilan Negeri Medan Pidana yang dijatuhkan

No No. Putusan

Pasal yang dilanggar

Tuntutan oleh

JPU Penjara Denda

Jumlah barang bukti ket 1 1500/PID.B/2004/PN Medan Pasal 82 ayat (1) huruf a Undang – Undang nomor 22 tahun 1997 12 tahun denda Rp.10.000.000 subsider 5 bulan 12 tahun Rp.10.000.000 subsider 5 (lima) bulan kurungan 20 bungkus seberat 150 kg 2 2200/PID.B/2005/PN Medan Pasal 82 ayat (1) huruf a Undang – Undang nomor 22 tahun 1997 10 tahun denda Rp.10.000.000 subsider 3 bulan 7 tahun Rp.1.000.000 subsider 5 bulan 14 bungkus daun ganja kering seberat 13,7 kg 3 3916/PID.B/2007/PN Medan Pasal 82 ayat (1) huruf a Undang – Undang nomor 22 tahun 1997 7 tahun denda Rp.3.000.000 subsider 3 bulan 6 tahun Rp.3.000.000 subsider 3 bulan 250 gr ganja kering

Sumber: Pengadilan Negeri Medan.

Dari ketiga kasus narkotika di atas terlihat adanya disparitas pidana pada tingkat penuntutan oleh jaksa/penuntut umum yang satu dengan jaksa/penuntut umum yang lain terhadap kasus yang sama pasal yang dilanggar. Kemudian juga terlihat

adanya disparitas terhadap penjatuhan pidananya oleh hakim yang satu dengan hakim yang lain.

Bisa dilihat ketiga kasus di atas tidak ada yang sama tuntutannya, Jaksa/ penuntut umum pada kasus Nomor 1 pada tabel di atas memberi tuntutan 12 (dua belas) tahun penjara denda Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) subsider 5 (lima) bulan kurungan, pada kasus ini terlihat penuntut umum sependapat dengan hakim dengan dijatuhkannya pidana sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum. Untuk kasus Nomor 2 pada tabel, jaksa penuntut umum memberi tuntutan 10 (sepuluh) tahun penjara denda Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) subsider 3 (tiga) bulan kurungan. Dalam hal ini hakim tidak sependapat dengan jaksa dengan dijatuhkannya putusan 7 (tujuh) tahun penjara denda Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) subsider 3 (tiga) bulan kurungan. Begitu juga untuk kasus yang ketiga hakim juga tidak sependapat dengan jaksa penuntut umum dengan dijatuhkan putusan 6 (enam) tahun penjara denda Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah) subsider 3 (tiga) bulan berkurang 1 (satu) tahun dari yang dituntut oleh jaksa penuntut umum.

Tetapi apabila dicermati dari ketiga kasus di atas semakin sedikit barang buktinya semakin rendah pula tuntutannya, semakin banyak barang buktinya semakin tinggi pula tuntutannya. Untuk barang bukti 20 (dua puluh) bal/bungkus dengan ganja seberat 150 (seratus lima puluh) kg dituntut dengan hukuman 12 (dua belas) tahun penjara, demikian juga untuk barang bukti 14 (empat belas) bal/bungkus daun ganja seberat 13,7 (tiga belas koma tujuh) kg dituntut dengan hukuman 10 (sepuluh) tahun

penjara sedangkan untuk barang bukti seberat 250 (dua ratus lima puluh) gram daun ganja kering dituntut dengan hukuman 7 (tujuh) tahun penjara.

Di samping disparitas pidana pada tingkat penuntutan, pada penjatuhan putusannya terjadi disparitas Majelis Hakim yang satu berbeda pendapat dengan Majelis Hakim yang lain dalam penjatuhan putusan. Seperti pada tabel di atas untuk ketiga kasus yang sama Pasal yang dilanggar hakim menjatuhkan putusan yang berbeda, ada yang memutus 12 (dua belas) tahun penjara, 10 (sepuluh) tahun penjara dan 7 (tujuh) tahun penjara. Untuk hal ini Pratondo, hakim pada Pengadilan Negeri Medan memberi komentar terjadinya putusan yang berbeda dalam kasus yang sama merupakan hal yang kasuistis sesuai dengan kasus itu sendiri, ada pertimbangan memberatkan dan ada pertimbangan yang meringankan sehingga terhadap kasus yang sama hukumannya tidak sama. Itulah sebabnya terkadang dijumpai penjatuhan pidana bagi pemakai narkoba lebih berat daripada pelaku tindak pidana narkoba yang lainnya107.

Senada dengan ucapan hakim tersebut di atas dapat dilihat dalam putusan PN. Medan pada tabel berikut:

107 Hasil wawancara dengan Bapak Pratondo, Hakim Pengadilan Negeri Medan, tanggal 27

Tabel 14. Putusan Pengadilan Negeri Medan Pidana yang Dijatuhkan

No No. Putusan

Pasal yang Dilanggar

Tuntutan oleh

JPU Penjara Denda

Jumlah Barang Bukti Ket 1 1920/PID.B/2005/PN Medan Pasal 59 ayat (1) huruf e Undang – Undang nomor 5 tahun 1997 4 tahun denda Rp.150.000.000 subsider 3 bulan 4 tahun Rp.150.000.000 subsider 3 bulan ½ butir pil ekstasi 2 2234/PID.B/2006/PN Medan Pasal 60 ayat (1) huruf a Undang – Undang nomor 5 tahun 1997 3 tahun 2 tahun Rp.2.000.000 subsider 2 bulan 192 butir pil ekstasi 40 gr shabu - shabu

Sumber: Pengadilan Negeri Medan.

Pada tabel di atas yaitu putusan Nomor 1920/Pid.B/2005/PN.Mdn, kalau dibaca dalam dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum bahwa terdakwa menggunakan ½ (setengah) butir pil ekstasi lebih berat pidananya daripada orang

yang menerima penyerahan psikotopika seperti putusan Nomor 2234/Pid.B/2006/PN.Mdn. Padahal barang bukti pada kasus perkara hanyalah ½

(setengah) butir pil ekstasi. Sedangkan pada kasus kedua barang buktinya jauh lebih banyak yaitu 192 (seratus sembilan puluh dua) butir pil ekstasi dan 40 (empat puluh) gram shabu-shabu hukumannya hanya 2 (dua) tahun penjara dan denda sebesar Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah) bandingkan dengan hukuman hanya untuk ½

(setengah) butir pil ekstasi yang digunakannya pidananya 4 (empat) tahun penjara dan denda sebesar Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).

Bila dikaji lebih dalam kedua putusan di atas, tentang pertimbangan hakim terhadap hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan pada kedua putusan tersebut tidak jauh berbeda. Pada kasus pertama hal-hal yang memberatkan bahwa perbuatan terdakwa sangat meresahkan masyarakat serta dapat memberi contoh yang tidak baik bagi generasi muda. Pada kasus kedua hal-hal yang memberatkan bahwa perbuatan terdakwa menghambat program pemerintah yang sedang giat-giatnya memberantas penyalahgunaan psikotropika. Hal-hal yang meringankan pada putusan pertama sama dengan hal-hal yang meringankan pada putusan yang kedua. Bedanya pada kedua putusan ini penulis tidak menjumpai adanya pertimbangan hakim terhadap pekerjaan terdakwa. Padahal pada kasus yang kedua itu terdakwa bekerja sebagai polisi. Sebagai penegak hukum seharusnya terdakwa tahu bahwa perbuatannya sangat bertentangan dengan hukum.

Terjadinya disparitas pidana disebabkan oleh persepsi hakim terhadap filsafat pemidanaan dan tujuan pemidanaan sangat memegang peranan penting didalam penjatuhan pidana. Seorang hakim mungkin berpikir bahwa tujuan serupa pencegahan hanya bisa dicapai dengan pidana penjara, namun di lain pihak dengan tujuan yang sama, hakim lain akan berpendapat bahwa pengenaan denda akan lebih efektif. Seorang hakim yang memandang aliran klasik lebih baik daripada aliran modern akan menjatuhkan pidana lebih berat, sebab perundangannya adalah pidana harus sesuai dengan perbuatannya dan sebaliknya yang berpandangan modern akan memidana lebih ringan sebab ia berpendirian, bahwa pidana harus sesuai dengan

orangnya. Apalagi dari segi teoritis, mengenai tujuan pemidanaan ini belum tercapai kesepakatan diantara para sarjana108.

Dalam rangka penegakan hukum dan keadilan, pengadilan mempunyai peranan yang sangat penting di mana hakim sebagai orang yang melaksanakan kegiatan di bidang peradilan, harus melengkapi dirinya dengan nilai-nilai yang berkembang dan hidup dalam masyarakat tentang arti keadilan di samping menguasai norma-norma hukum tertulis. Namun demikian betapapun idealnya suatu konsepsi, faktor manusia di belakangnya merupakan hak yang tidak kalah pentingnya. Dengan demikian peranan yang diharapkan dari suatu lembaga peradilan dapat berguna sebagai wadah dalam hal109.

1. Memberikan pelayanan hukum, perlindungan hukum dan keadilan bagi masyarakat.

2. Sebagai tempat perwujudan dari kejujuran, keluhuran, kebersihan serta rasa tanggung jawab (sense of responsibility) terhadap sesama manusia, negara dan Tuhan.

3. Sebagai tempat paling utama dan yang terakhir untuk tegaknya hukum dan keadilan.

108 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 123.

109 Anton Rasnhart, Masalah Hukum (Dari Kratologi sampai Kwitansi), (Jakarta: Aksara

Dokumen terkait