• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan para transmigran dari Nusa Penida sebelum bertransmigrasi umumnya sangat memprihatinkan. Faktor alam Nusa Penida dan akses transportasi ke Pulau Bali menjadi salah satu penyebab utama. Sebagian besar buta huruf (tidak bisa baca tulis). Hal ini bisa dimaklumkan karena di pulau induk sendiri, Bali, jumlah sekolah dan yang bisa menikmati sekolah masih sedikit. Hal ini tidak dapat terlepas dari kebijakan kolonial terdahulu di mana hanya golongan triwangsa yang mendapatkan akses secara bebas untuk bersekolah. Pada masa itu, orang- orang tertentu yang dapat bersekolah di Nusa Penida, khususnya yang memiliki kemampuan ekonomi baik. Sekolah atau pendidikan yang terbaik dan terdekat bisa mereka dapatkan di wilayah Klungkung. Belum lagi tempat tinggal para transmigran yang berada di pelosok Nusa Penida, yang jika ingin bersekolah (sekolah dasar) – mampu secara ekonomi - berarti mereka harus berjalan kaki ke pesisir.

Pertengahan tahun 1963, pasca meletusnya Gunung Agung kedua, Sri Mpu Suci memberangkatkan 200 KK transmigran dari Nusa Penida ke Sumatera, Lampung. Di dalamnya terdapat sejumlah orang-orang tua dan anak anak yang turut disertakan bertransmigrasi ke Lampung. Sri Mpu Suci bertindak sebagai pemimpin para transmigran. Mereka bertransmigrasi secara swakarsa atau spontan. Semua biaya dan kebutuhan selama perjalanan ditanggung sendiri, tidak ada sponsor dari pemerintah. Apa yang ada di Nusa Penida digadaikan atau dijual sebagai modal untuk

bertransmigrasi. Mencermati kondisi ekonomi Indonesia di tahun 1963, di mana hiperinflasi mulai merajalela, keadaan finansial dan uang yang mereka bawa sangat minim sekali atau pas-pas-an – dari hasil penjualan harta benda. Perkakas rumah tangga yang masih layak pakai dan peralatan pertanian turut dibawa, serta logistik pangan selama perjalanan.

Sri Mpu Suci tidak sendirian dalam menjalankan tugasnya. Sri Mpu (sebutan Sri Mpu Suci) dibantu oleh anak laki-lakinya yang bernama I Made Gedah. Membawa 200 KK dari Nusa Penida ke Sumatera, menyeberangi tiga selat, tentu tidak dapat dilakukan seorang diri. Memperhatikan latar belakang para transmigran tersebut yang buta huruf dan sangat tradisional. Hilangnya anggota keluarga transmigran selama perjalanan sangat mungkin terjadi. I Made Gedah bertugas membantu ayahnya untuk mengkoordinasikan para transmigran dengan dibantu beberapa tetua atau sepuh dari keluarga transmigran yang mahir dalam mengkordinasikan kelompok.

Perjalanan panjang transmigran Bali Nusa ke Lampung dimulai pertengahan tahun 1963 pasca letusan kedua Gunung Agung. Lokasi tempat tinggal transmigran yang berada di pelosok Nusa Penida, di daerah pegunungan sebelah selatan pulau, wilayah Desa Tonglat Dusun Soyor dan sekitarnya, membutuhkan waktu setidaknya satu sampai dua hari perjalanan untuk sampai ke pesisir untuk menyeberang ke Klungkung. Setelah sebelumnya Sri Mpu memastikan penyeberangan dari Mentigi (Nusa Penida) ke Kusamba (Klungkung). Paling tidak sudah ada orang yang stand by di Mentigi dan Kesumba untuk mengatur pemberangkatan. Perjalanan ke pesisir pantai atau pelabuhan Mentigi ditempuh dengan berjalan kaki. Waktu yang dibutuhkan bisa lebih lama lagi karena di dalam rombongan terdapat orang tua dan anak kecil, serta sebagian dari mereka banyak membawa perkakas dapur dan alat tani sederhana (yang bisa dibawa tangan seperti parang dan pacul).

Sesampainya di pelabuhan, di sekitar wilayah Mentigi sampai Toyapakeh, mereka harus beristirahat sejenak sambil menunggu arus dan angin yang baik. Para transmigran menyeberang ke Klungkung menggunakan atau menumpang jukung (perahu tradisional Bali). Tidak seperti sekarang di mana jukung dilengkapi dengan motor tempel (mesin perahu), pada masa itu masih mengandalkan angin. Penyeberangan baru

terlaksana jika cuaca baik (tidak hujan), gelombang dan arus bawah laut kecil, dan angin yang baik.

Perjalanan laut menyeberangi Selat Badung selama kurang lebih tiga jam menggunakan jukung merupakan awal dari perjalanan panjang ke Sumatera yang berliku. Mabuk laut adalah tantangan awal yang harus dihadapi oleh sebagian transmigran. Tidak semua terbiasa menyeberangi laut karena mereka termasuk orang pegunungan, bukan orang pesisir yang akrab dengan laut, meskipun mereka tinggal di sebuah pulau kecil. Latar belakang profesi mereka adalah pertanian, bukan nelayan. Wajar jika sebagian dari transmigran mengalami mabuk laut, khususnya para orang tua dan anak-anak yang secara fisik lemah.

Setelah sampai di wilayah daratan pelabuhan Klungkung, Kusamba, dibutuhkan istirahat beberapa waktu sambil melakukan koordinasi dan persiapan menuju pelabuhan Gilimanuk di Jembrana. Dibutuhkan waktu kurang lebih satu minggu di Pulau Bali. Mengapa membutuhkan waktu selama itu? Situasi di Bali pasca meletusnya Gunung Agung dapat dikatakan cukup parah. Banyak infrastruktur yang rusak, khususnya jalan. Sarana dan prasarana transportasi harus berbagi dengan korban bencana letusan Gunung Agung, seperti penyaluran bantuan korban dan pengungsian. Di sisi lain, mereka harus mengadakan koordinasi atau kontak dengan transmigran Bali lainnya di Denpasar. Transmigran Bali ini adalah transmigran Bali yang mendapat sponsor dari pemerintah. Mereka adalah para korban letusan Gunung Agung. Transmigran Bali ini disebut transmigran Bali lain yang swakarsa atau spontan sebagai Bali KoOGA. KoOGA adalah Komando Operasi Gunung Agung. Sebuah lembaga atau organisasi pemerintah yang bertugas dan bertanggungjawab menangani dan membantu para korban bencana letusan Gunung Agung.

Meskipun tidak mendapatkan sponsor dari pemerintah, transmigran Bali Nusa memiliki keunggulan yang tidak dimiliki transmigran Bali KoOGA, yaitu akses informasi dari sesama Bali Nusa, baik yang berada di Bali atau di Sumatera. Untuk penyeberangan ke Pulau Jawa melalui Pelabuhan Gilimanuk, informasi dan bantuan didapatkan dari rekan atau kerabat sesama Bali Nusa di Jembrana. Keberangkatan menuju Pelabuhan Gilimanuk melalui Denpasar. Jalan raya Denpasar-Tabanan- Negara-Gilimanuk merupakan jalur yang ramai dan umum dilalui untuk

pengangkutan orang dan barang pada tahun 1950-an, yaitu ketika jalan ini sudah fix atau permanen. Kondisi jalan yang berliku-liku dan sempit, serta sarana transportasi pada masa itu, memungkinkan memakan waktu perjalanan sedikitnya setengah hari. Paling tidak dibutuhkan beberapa kelompok transmigran yang diberangkatkan menuju Jembarana. Mengingat keterbatasan sarana dan prasana transportasi pasca letusan Gunung Agung. Daerah Jembrana, Negara, merupakan daerah transmigran lokal Bali Nusa, menjadi tempat rehat dan persinggahan sementara bagi para transmigran sebelum menyeberang ke Gilimanuk. Persinggahan inilah yang nantinya, orang Bali Nusa di Jembrana ikut bertransmigrasi ke Lampung – di antaranya bergabung di Desa Balinuraga – secara swakarsa pasca tragedi berdarah “pembantaian massal” di penghujung tahun 1965.

Penyeberangan dari Gilimanuk ke Banyuwangi (Jawa Timur) tidak terlalu sukar untuk dilalui. Pulau Jawa (Banyuwangi, Jawa Timur) terlihat jelas dari Gilimanuk.Pelabuhan Gilimanuk memiliki jarak yang tidak jauh dari Jembrana, lokasi transmigran lokal Bali Nusa pasa masa kolonial. Laut yang memisahkan Pulau Jawa dan Bali – Selat Bali – jaraknya terbilang dekat bila dibandingkan dengan Selat Badung maupun Selat Sunda.

Permasalahan mulai banyak muncul setelah para transmigran Bali Nusa tiba di Pulau Jawa. Mereka mengalami “kejutan budaya” atau “shock culture”. Ketika tiba di Pulau Bali kejutan budaya itu tidak begitu terasa, meskipun mereka berasal dari pelosok Nusa Penida, karena ada kesamaan etnis, agama dan kebudayaan. Setelah sampai di Jawa kejutan budaya itu baru dimulai. Mereka melihat pulau yang berbeda dengan Bali. Penduduknya berbeda dengan mereka. Mayoritas beragama Islam. Pembangunan infrastruktur dan berbagai sarana prasarananya tampak lebih maju dibandingkan dengan Bali dan Nusa Penida yang belum lama terkena bencana letusan Gunung Agung. Untuk bisa sampai ke Jakarta – baru kemudian menyeberang ke selatan Pulau Sumatera, Lampung – transmigran Bali Nusa harus menumpang kereta api. Sebuah gerbong besi yang berjalan di atas rel besi. Kendaraan yang selama ini belum pernah mereka lihat di Bali maupun Nusa Penida. Untuk sebagian penduduk Jawa, melihat kereta api (meskipun belum pernah menumpangnya) bukanlah hal yang baru atau mengejutkan, karena di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-

20 gerbong besi ini sudah sering hilir mudik di Pulau Jawa untuk mengangkut hasil bumi atau pun orang.

Setelah menyeberangi dua selat, transmigran Bali Nusa harus melintasi Pulau Jawa. Dari ujung timur sampai ke ujung barat agar bisa menyeberang ke Sumatera. Kereta api adalah pilihan utama. Biayanya relatif lebih murah dan bisa memuat seluruh transmigran. Jalan raya pos – atau disebut Pantura (Pantai Utara Jawa) – bukan pilihan utama. Biayanya sangat mahal jika menyewa bus atau truk. Waktu perjalanan pastinya sangat lama dan tidak bisa diprediksi. Kriminalitas pada masa itu terbilang tinggi, akibat himpitan ekonomi dan persaingan politik pro-kanan dan pro- kiri. Sulit untuk memprediksikan keadaan selama perjalanan.

Perjalanan di Pulau Jawa menghabiskan waktu berminggu- minggu. Mereka harus menghadapi calo-calo, preman-preman, atau pun oknum polisi dan militer. Premanisme yang harus mereka hadapi bukan premanisme ala kampung seperti di Bali. Premanisme ini ada di hampir setiap stasiun perhentian. Oknumnya sipil dan militer – keduanya sama- sama sedang mengalami kesulitan ekonomi dan frustasi akibat kondisi ekonomi pasca kemerdekaan yang tidak kunjung membaik. Oknum militer berdalih bahwa para transmigran harus menunggu beberapa hari di stasiun perhentian, karena harus melapor kepada komandan (atasannya) dan memeriksa izin pemberangkatan. Oknum sipil yang melihat keadaan itu datang bak seorang pahlawan. Menawarkan bantuan agar bisa lepas dari jeratan oknum militer, dan kemudian sesegera mungkin melanjutkan perjalanan. Baik oknum militer atau pun oknum sipil, keduanya sama- sama berperilaku preman, ingin mendapatkan uang dari para transmigran. Mereka berpikir bahwa para transmigran ini memiliki banyak uang. Kenyataannya, mereka memiliki uang yang terbatas.

Keadaan yang paling memrihatinkan adalah selama di Jakarta. Kesulitan yang dihadapi memuncak. Sejumlah transmigran menderita sakit akibat kelelahan selama perjalanan. Ada pula yang meninggal. Tekanan psikologis tidak kalah beratnya. Banyak di antara mereka mengalami penurunan mental yang menggoyahkan semangat bertransmigrasi. Biasa hidup di sebuah pulau yang indah dan tenang, dengan tingkat konflik dan kekerasan yang moderat skala lokal, kini harus berhadapan dengan kebisingan, intrik, suap, pemerasan, dan lain-lain di Ibukota Republik:

Jakarta. Hanya namanya saja Jakarta yang pernah mereka dengar di Bali dari pembicaran mulut ke mulut dan radio sebagai ibukota Indonesia dengan gedung-gedung bertingkat.

Sebelum diberangkatkan ke Lampung para transmigran mengalami frustasi. Badan dan pikiran terasa lelah. Persediaan uang semakin menipis, dan keberangkatan belum pasti. Situasi ini menyulut kemarahan dan perkelahian antara transmigran dengan oknum militer dan sipil (preman). Kondisi waktu itu memungkinkan emosi sulit diredam. Posisi transmigran antara hidup dan mati atau kepalang-tanggung (nothing to lose). Belum lagi sampai di tempat tujuan, Lampung, mereka sudah diperas dan dipermainkan. Kemarahan transmigran menyebabkan posisi mereka diperhitungkan. Tidak lama setelah itu, akhirnya mereka bisa menyeberang ke Sumatera, Lampung, melalui pelabuhan Merak, Jawa Barat (sekarang Banten).

Waktu tempuh penyeberangan dari Jawa ke Sumatera melintasi Selat Sunda membutuhkan waktu setidaknya satu hari. Tidak seperti saat ini, di mana penyeberangan Merak-Bakauhuni rata-rata ditempuh 2,5 jam perjalanan laut menggunakan kapal feri (roro). Penyeberangan hanya sekali sehari, belum ramai dan tidak setiap jam seperti penyeberangan laut saat ini antara Merak-Bakauhuni. Pada tahun 1963 Pelabuhan Bakauhuni (Lampung Selatan) belum berfungsi. Transmigran menumpang kapal feri yang berlabuh di Pelabuhan Panjang, Teluk Betung (sekarang Bandar Lampung).

Selama penyeberangan transmigran harus mengalami nasib yang sama seperti penyeberangan sebelumnya: mabuk laut. Kondisi fisik dan psikologis sudah menurun selama di Jawa, berbeda dengan penyeberangan pertama dan kedua, meskipun Pulau Sumatera sudah di depan mata. Perasaan transmigran bercampur aduk antara berharap nasib yang lebih baik di Sumatera dan putus asa. Desas-desus mengenai penduduk lokal Lampung yang pernah mereka dengar akan terbukti benar-tidaknya. Setidaknya perasaan khawatir itu bisa teratasi karena keberadaan rekan dan kerabat mereka sesama Bali Nusa asal Jembarana yang sebelumnya sudah berada di Sumatera, tepatnya di Belitang, Sumatera Selatan, dan beberapa di antara mereka sudah ada di Lampung. Transmigran Bali (dari Pulau Bali) lainnya pun sudah ada di Lampung, tepatnya di daerah Seputih

Raman, Lampung Tengah sejak tahun 1957. Tidak hanya itu, keberangkatan transmigran Bali Nusa hampir bersamaan dengan keberangkatan transmigran Bali KoOGA yang mendapatkan sponsor dari pemerintah. Perasaan senasib-sepenanggungan ini kemudian akan membantu transmigran Bali Nusa untuk menetapkan lokasi transmigrasi di Lampung, yaitu berdasarkan informasi dari rekan dan kerabat mereka.

Berbekal surat jalan dan contact person para transmigran Bali Nusa menginjak tanah Sumatera. Lokasi transmigran Bali yang terkenal pada masa itu terletak di Lampung Tengah (Seputih Raman) dan Belitang (Sumatera Selatan). Kedua lokasi tersebut sangat jauh dari Pelabuhan Panjang. Kondisi jalan sangat buruk. Belum ada sarana transportasi yang menjamin para transmigran sampai di kedua lokasi tersebut. Pada masa itu, Lampung masih dipenuhi hutan. Hewan-hewan liar dan buas masih banyak dijumpai, gajah dan harimau Sumatera.

Lokasi transmigrasi terdekat dari Pelabuhan Panjang berada di Lampung Selatan. Tepatnya di Kecamatan Sidomulyo. Berdasarkan kabar yang diterima, di daerah tersebut sudah ada transmigran Jawa, dan yang memberikan harapan, sudah ada beberapa transmigran Bali di sana, dan transmigran Bali KoOGA akan bertransmigrasi di daerah tersebut.

Kurang lebih satu bulan waktu yang dihabiskan transmigran Bali Nusa hingga sampai di lokasi transmigrasi. Lokasi transmigrasi ditetapkan di Sidomulyo, Lampung Selatan. Sesampainya di Sidomulyo mereka tidak langsung mendirikan Kampung Bali. Mereka menetap sementara terlebih dahulu di Desa Napal. Di desa ini terdapat beberapa transmigran Bali yang hidup dalam satu kompleks dengan transmigran Jawa. Saat ini komposisi etnik di Desa Napal, 50:50, “setengah Jawa setengah Bali”.

Transmigran Bali Nusa untuk beberapa waktu menetap di Desa Napal. Ini penting bagi mereka untuk memulihkan kondisi fisik dan psikologis sembari beradaptasi dengan lingkungan baru. Bagi transmigran Bali Nusa, ini adalah pengalaman pertama mereka hidup bersama dengan orang Jawa. Posisi mereka saat ini adalah sebagai pendatang, dan minoritas dari sisi etnis dan agama. Pada tahun 1963 sudah terdapat banyak orang Jawa di Lampung. Mereka sudah ada di Lampung sejak pertama kali program kolonisasi (transmigrasi) di bawah pemerintah kolonial Belanda tahun 1905. Orang Jawa yang ada di Lampung Selatan antara lain adalah

pecahan dari lokasi transmigran di wilayah Gedong Tataan dan sekitarnya, serta ditambah transmigrasi swakarsa dari Jawa.

Sementara itu, Sri Mpu dibantu dengan Made Gedah berupaya melakukan koordinasi dengan transmigran Bali KoOGA, serta mengurus keperluan administrasi dan izin yang dibutuhkan. Pengurusannya dilakukan di Kalianda (sekarang ibukota Lampung Selatan). Mereka tidak dapat secara sembarangan membuka hutan untuk lahan pertanian. Sudah ada lokasi yang disiapkan untuk para transmigran oleh pemerintah. Pembukaan hutan tanpa izin dapat menimbulkan permasalahan di kemudian hari, khususnya terhadap penduduk asli (lokal) Lampung – pertengkaran antar etnis.

Lantas bagaimana kondisi perekonomian transmigran di wilayah Sidomulyo pada tahun 1963? Kondisi mereka pada tahun tersebut belum begitu baik - di samping terpengaruh oleh perkonomian nasional waktu itu yang masih terpuruk. Infrastruktur jalan masih buruk. Wilayah ini juga masih merupakan wilayah pengembangan. Transmigran Jawa dan Bali ditempatkan di wilayah ini dengan tujuan agar daerah menjadi terbuka dan menjadi daerah pertanian. Penduduk lokal di daerah ini belum mengenal teknik pertanian seperti yang ada di Jawa dan Bali – bersawah. Penduduk lokal terbiasa dengan tanaman keras seperti kopi dan lada hitam. Lokasi penduduk lokal ada di Kota Dalem, bersebelahan dengan Sidomulyo.

Setelah urusan administrasi dan perizinan selesai, transmigran Bali Nusa mendapatkan wilayah bersebelahan dengan Desa Napal. Transmigran Bali KoOGA mendapatkan lokasi di sebelah lokasi transmigran Bali Nusa bersama-sama dengan transmigran Jawa. Pada masa ini, masih di tahun 1963, perjuangan transmigran Bali Nusa untuk hidup di Sumatera dimulai.

Masa-Masa Awal yang Sulit dan Melelahkan (1963-1966)

Membuka hutan berarti membuka lahan baru. Bagi transmigran Bali Nusa berarti membuka lembaran baru kehidupan mereka di Sumatera. Jauh dari Nusa Penida, Bali, yang bertanah tandus. Harus menyeberangi tiga selat. Melewati perjalanan darat di Jawa berminggu-minggu. Sebuah pengorbanan besar bagi etnis Bali: meninggalkan tanah leluhurnya, tanpa mau kehilangan identitasnya sebagai Bali Hindu. Bertransmigrasi ke Lampung berarti mempertaruhkan identitasnya. Jika gagal, identitas

mereka akan hilang dengan sendirinya, karena ketidakmampuan untuk memenuhi kewajiban adat dan agama, tidak hanya di Lampung, tapi terutama di tanah leluhur – tempat di mana identitas mereka berasal.

Membuka hutan bukan persoalan mudah. Ancaman sewaktu- waktu bisa terjadi dari penghuni hutan. Gajah, harimau Sumatera, dan ular adalah satwa hutan Sumatera yang berpotensi membunuh para transmigran ketika membuka hutan, jika menggangu habitat mereka. Di samping itu masih ada nyamuk hutan tropis Sumatera. Gigitannya menyebabkan malaria yang bisa membunuh para transmigran dan keluarganya dengan cepat.

Di luar gangguan dan ancaman dari satwa hutan, ancaman berikutnya adalah ketersediaan bahan makanan, terutama beras. Hutan baru dibuka, belum menjadi lahan pertanian yang siap ditanami. Di sisi lain, transmigran dan keluarga harus hidup. Solusi yang diambil transmigran adalah menjadi buruh kopi dari kebun penduduk lokal. Dengan upah yang sangat kecil sekali mereka gunakan untuk membeli beras. Permasalahan utamanya adalah beras yang mereka beli tidak dapat mencukupi kebutuhan para transmigran dan keluarganya. Solusi lainnya adalah mereka mengkonsumsi umbi dari tanaman kijung – sejenis umbi- umbian. Umbi kijung ini tidak dapat langsung dikonsumsi. Terdapat racun di dalamnya. Jika langsung dikonsumsi dapat menyebabkan kematian. Umbi kijung harus direndam dahulu selama dua hari untuk menawarkan racunnya. Setelah itu baru bisa dikonsumsi. Kendala lainnya adalah air bersih untuk minum. Transmigran Bali Nusa pada waktu itu belum memiliki sumur. Air minum mereka dapatkan dengan meminta dari penduduk setempat.

Kekurangan bahan makanan pokok, terutama karbohidrat, menyebabkan mereka menderita kelaparan. Busung lapar menimpa sejumlah anak-anak. Kondisi ini diperparah dengan penyakit klasik para transmigran: malaria. Beberapa korban jiwa berjatuhan. Ini adalah korban jiwa yang kedua setelah korban jiwa pertama saat perjalanan di Jawa.

Di sisi lain, transmigran Bali Nusa mengalami kelebihan protein. Sumber protein utama mereka adalah daging babi hutan atau celeng128. Saat itu populasi celeng jumlahnya sangat banyak. Penduduk lokal dan transmigran Jawa yang mayoritas Muslim tidak mengkonsumsi daging celeng. Kehadiran transmigran Bali Nusa dianggap sebagai penolong bagi transmigran Jawa dan penduduk lokal. Celeng adalah musuh utama para transmigran dan penduduk lokal. Populasinya yang berlebihan menjadikannya sebagai hama perusak tanaman.

Lalu, bagaimana dengan kebenaran desas-desus mengenai penduduk lokal yang pernah mereka dengar sewaktu di Bali? Pada masa awal kedatangan, di mana masih barus membuka hutan dan menanti penanaman lahan baru, kondisi ekonomi transmigran sangat jauh berbeda dengan penduduk lokal. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, mereka menjadi buruh kopi. Air pun mereka harus meminta dari sumur penduduk lokal. Saat itu mereka masih dianggap remeh sebagai kelompok pendatang yang masih primitif. Transmigran datang dengan modal pas-pasan. Harus menumpang dan meminta-minta kepada penduduk lokal hanya sekadar untuk bertahan hidup sampai lahan baru sudah ditanam dan menghasilkan.

Terlepas dari desas-desus tersebut, ada satu faktor utama yang menjadikan posisi kehidupan ekonomi transmigran Bali pada umumnya lebih maju dari penduduk lokal – sebuah kondisi yang bertolakbelakang ketika pertama kali mereka datang – yaitu ketekunan dan kerja keras. Transmigran Jawa menyebutnya (terlalu) ngoyo. Ketekunan dan kerja keras transmigran Bali ini nantinya setelah sekitar sepuluh tahunan keadaan ekonomi mereka sudah menjadi lebih baik daripada sebelumnya di tempat asal, dan mulai menggusur posisi ekonomi penduduk lokal.

128

Daging gajah pun pernah mereka konsumsi. Dagingnya alot dan tidak enak. Namun, saat itu tetap mereka konsumsi karena keadaan yang mendesak. Ini menjadi pengalaman dan cerita yang menarik bagi mereka kala keadaan waktu itu yang sangat sulit. Seorang Tionghua bernama Lim Ka Ka menembak mati gajah dan memberikannya kepada mereka – karena tidak ada pilihan, mereka pun mengkonsumsinya.

Dokumen terkait