Desa Balinuraga tidak lahir begitu saja. Nama “Balinuraga” adalah intisari dari perjuangan dan pengorbanan hidup yang berat dalam lembaran baru hidup baru, yaitu sejak memutuskan meninggalkan Nusa Penida hingga sampai tiba di Lampung. Pada masa-masa awal yang sulit, keputusan bertransmigrasi merupakan sebuah spekulasi besar dalam hidup mereka. Tentu, yang menjadi pertanyaan saat keadaan frustasi adalah mengapa harus menjadi seperti ini ketika harus mencari sepiring nasi.
Puncak kefrustasian dan keputus-asaan terjadi di saat-saat pembukaan hutan, dan (sepertinya) berpotensi mengalami kegagalan saat penananam pertama – dan itu menjadi kenyataan. Secara psikologis, mental mereka down. Rasanya segala pengorbanan sia-sia. Harta benda di Bali sudah terjual sebagai modal. Beberapa anggota keluarga menderita kelaparan, sakit, dan di antaranya meninggal dunia. Di saat sulit seperti ini, kampung halaman di Nusa Penida seperti membawa kesegaran rohani. Membayangkan masa-masa indah di kampung halaman tanpa harus menderita seperti ini di Lampung. Akibatnya beberapa keluarga dengan keputus-asaannya meminta kepada Sri Mpu Suci untuk pulang kembali ke Nusa Penida.
Sebagai seorang pemimpin kharismatik dan disegani, Sri Mpu Suci menanggapinya dengan arif dan bijaksana. Komentarnya itu membangkitkan kembali semangat transmigran Bali Nusa di puncak kefrustasiannya. Kata-kata yang diucapkan oleh Sri Mpu (kurang lebih) adalah:
“Kita sudah (jauh-jauh) sampai di sini (di Lampung dengan harapan akan berhasil dan pengorbanan yang besar). Jika
(ingin) mati, matilah di sini, daripada pulang ke Bali membawa rasa malu (pulang ke kampung halaman dengan membawa kegagalan, dan bukan keberhasilan, akan
mendapatkan cemoohan)”
Peristiwa ini kemudian menjadi inspirasi bagi Sri Mpu Suci untuk memberikan nama lokasi transmigran Bali Nusa ini dengan nama Balinuraga. Hal ini berangkat dari ketidakpercayaan yang mendalam dari para transmigran bahwa mereka akan gagal. Kenyataannya mereka
berhasil melewati masa-masa sulit itu. Agar lokasi transmigran Bali Nusa ini mempunyai nama dan identitas Bali Hindu – yang mencakup perjuangan dan pengorbanan mereka selama masa-masa awal transmigrasi – nama Balinuraga diberikan sebagai identitas transmigran Bali Nusa.
Kata Balinuraga secara bebas diartikan “Bali masih ada”. “Bali” adalah orang atau etnis Bali Hindu. “Nu” berarti “masih” –“masih” dalam arti eksistensi atau keberadaan. “Raga” berarti “badan” atau “wujud manusia / orang secara fisik”. Makna dari kata “Balinuraga” adalah bahwa orang Bali (Nusa) secara fisik masih ada di Lampung. Kata “Balinuraga” menunjukkan eksistensi mereka setelah bertahan-hidup dalam segala rintangan dan hambatan selama proses bertransmigrasi. Keberhasilan mereka bertahan-hidup merupakan eksistensi identitas mereka di Lampung: bahwa Bali (Nusa) masih ada. Bagi transmigran nama ini sangat berarti. Nama Balinuraga yang secara keseluruhan diambil dari Bahasa Bali “serasa” seperti di kampung halaman. Sama seperti transmigran Jawa pertama di Lampung pada tahun 1905 yang memberikan nama desanya seperti nama desanya di Jawa: Bugel. Secara psikologis nama ini berpengaruh bagi transmigran agar kerasan di lokasi transmigran, dan mengurangi hasrat dan keinginan untuk kembali ke tempat asal. Kemudian, nama Balinuraga merupakan cerminan keberhasilan mereka untuk eksis – “ada” – di Lampung melalui perjuangan dan pengorbanan yang berat. Kegagalan di Lampung untuk menjadi “ada” adalah sebuah pukulan keras bagi mereka. Ini berarti mereka kehilangan identitasnya, sebuah identitas kultural yang melekat dan melembaga pada setiap individu transmigran. Menyebut nama Balinuraga tidak hanya mengingatkan pada masa-masa sulit, tapi, yang lebih penting, adalah memacu semangat mereka untuk berhasil dan mapan secara ekonomi untuk memperkokoh identitas kulturalnya, tidak hanya di Lampung, tapi juga yang terpenting adalah di tempat asal: kerja keras, kerja keras, dan kerja keras.
Tidak mau berlama-lama dengan kesusahan yang dialami, banjar pertama Desa Balinuraga dibangun. Banjar ini adalah banjar pertama yang menjadi cikal-bakal Desa Balinuraga. Kata “Desa” di depan nama “Balinuraga” adalah desa administratif dalam konsep pemerintah republik. Dalam konsep dan konteks mereka, etnis / orang Bali, banjar ini sudah
merupakan “desa” dalam konsep pemerintah; atau sudah menjadi semacam “negara” kecil dalam konsep masyarakat Bali.
Nama banjar pertama yang menjadi cikal-bakal Desa Balinuraga adalah Pandéarga – terdiri dari dua suku kata “Pandé” dan “arga”. Kata “Pandé-arga” diartikan sebagai “Rumah Pandé”. Kata “Pandé” menunjukkan klan atau warga, sedangkan “arga” menunjukkan tempat (tanah atau hunian) atau “jalan”. Mengapa menggunakan nama “Pandé” sebagai nama banjar pertama yang menjadi cikal bakal Desa Balinuraga? Nama banjar Pandé-arga diberikan oleh Sri Mpu Suci. Bagi para transmigran, penggunaan nama Pandé didedikasikan untuk Sri Mpu Suci (dan keluarga) atas jasanya yang telah membawa dan memimpin mereka selama bertransmigrasi ke Lampung. Pandé sendiri merupakan nama dari klan Sri Mpu Suci. Biasanya disebut dengan Warga Pandé. Istilah warga ini sama dengan klan atau keluarga – atau juga disebut soroh. Nama “Sri Mpu” merupakan gelar yang digunakan pemimpin Warga Pandé, yaitu sebagai pemimpin keagamaan / spiritual yang juga menjadi pemimpin adat, atau pendeta-nya Warga Pandé.
Dalam perkembangannya setelah memasuki tahun 1970-an Banjar Pandéarga yang menjadi cikal bakal Desa Balinuraga mulai dimekarkan hingga (saat ini) menjadi tujuh banjar atau dusun. Transmigran pertama Bali Nusa (pelopor Desa Balinuraga) datang pertama kali tahun 1963. Ini merupakan transmigran gelombang pertama. Gelombang kedua dan seterusnya baru datang ke Balinuraga pada tahun 1968, tahun 1970-an dan tahun 1980-an. Mereka datang dari Nusa Penida dalam kelompok- kelompok kecil dan sedang. Dari tahun 1963-1967 transmigran gelombang kedua belum bisa didatangkan karena faktor sosial, politik dan ekonomi yang terjadi di masa itu. Di satu sisi transmigran pertama perekonomian belum mapan. Cukup sulit mengajak kerabat dan saudara di Nusa Penida untuk bertransmigrasi jika perekonomian mereka belum mapan, karena faktor keberhasilan ekonomi yang sebenarnya digunakan sebagai pemikat utama agar mereka mau bertransmigrasi. Di sisi lain, faktor sosial, politik dan ekonomi yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 1963-1967 tidak kondusif bagi masyarakat Bali untuk bertransmigrasi. Keadaan ekonomi di tahun 1963-1966 sangat buruk. Hiperinflasi terjadi di Indonesia.
Keamanan dan keselamatan tidak terjamin di masa-masa transisi dari pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru (1965-1966). Pasca Gerakan 30 September 1965 situasi Bali sangat tidak kondusif. Desember 1965 sampai semester pertama tahun 1966 situasi Bali mencekam. Pembantaian massal terjadi di pulau ini. Situasi mencekam di Bali mulai mereda setelah Suharto berhasil memimpin rezim Orde Baru. Jika pada masa-masa ini mereka bertransmigrasi, bukan tidak mungkin, mereka akan dituduh sebagai PKI yang melarikan diri. Daerah Jembrana yang menjadi lokasi transmigran lokal pertama di masa kolonial, di mana terdapat masyarakat Bali Nusa, menjadi daerah merah (basis massa partai-partai berhaulan kiri di masa Orde Lama).
Tahun 1968 transmigran gelombang kedua dari Nusa Penida mulai datang ke Balinuraga (Lampung Selatan). Situasi sosial, politik dan ekonomi di Indonesia (khsuusnya Bali dan Lampung) pasca berkuasanya Suharto sudah mulai kondusif. Mereka bertransmigrasi dengan dibantu oleh kerabat dan saudara yang sudah menetap di Balinuraga. Tidak ada catatan resmi berapa jumlah kepala keluarga yang bertransmigrasi gelombang kedua, karena mereka bertransmigrasi swakarsa. Transmigran gelombang kedua ini datang dalam kelompok-kelompok kecil dan sedang (kisarannya antara 10-30 KK). Cukup berbahaya jika mereka datang dalam kelompok besar. Biasanya pemimpin kelompok transmigran akan menjadi sasaran empuk (pemerasan) dari oknum sipil dan aparat untuk dimintai sejumlah uang. Terutama di tempat-tempat perhentian seperti terminal, stasiun dan pelabuhan. Transmigran gelombang ketiga dan seterusnya, masih sama seperti gelombang kedua, datang dalam kelompok kecil dan sedang. Ini terjadi di tahun 1970-an. Keluarga yang ada di Balinuraga ketika pulang kampung ke Nusa Penida mengajak serta kerabat dan saudaranya untuk bertransmigrasi. Pada gelombang ketiga ini dalam skala kecil peminat yang bertransmigrasi cukup besar. Di tahun 1970-an perekonomian masyarakat Bali Nusa di Balinuraga sudah mulai mapan. Mereka sudah mampu untuk pulang kampung ke Nusa Penida untuk mengajak kerabat dan saudara untuk bertransmigrasi sekaligus melaksanakan kewajiban adat dan agama di tanah kelahirannya. Tahun 1980-an yang bertransmigrasi dari Nusa Penida ke Balinuraga sudah mulai berkurang. Mereka yang bertransmigrasi akan mencari daerah lain di
wilayah Lampung dan Sumatera Selatan. Bagaimana tidak. Di tahun 1980- an masyarakat Balinuraga sudah ada yang bertransmigrasi lagi ke luar Balinuraga (Lampung Selatan) ke wilayah Lampung Timur dan Sumatera Selatan (perbatasan). Mereka bertransmigrasi ke wilayah tersebut untuk mengembangkan perkebunanan (tanaman keras). Sampai akhir tahun 1980-an (memasuki tahun 1990-an) Desa Balinuraga sudah memasuki masa stagnan. Artinya, wilayah ini sudah tidak memungkinkan lagi untuk dijadikan tujuan transmigrasi. Jika ada yang ingin bertransmigrasi, maka mereka harus mencari wilayah lain di wilayah Lampung dan Sumatera Selatan yang wilayahnya relatif masih kosong dan butuh pendatang untuk menggarap sektor pertanian dan perkebunan. Pertumbuhan penduduk di Balinuraga dan wilayah sekitarnya (keluarga transmigran atau pendatang dari Jawa dan Bali di Kecamatan Sidomulyo) sudah tidak diiringi dengan penambahan areal pertanian. Perekonomian keluarga transmigran pun sudah mapan. Sarana dan prasarana serta infrastruktor sosial-keagamaan yang menjadi identitas kebalian masyarakat Balinuraga sudah lengkap. Berbagai upacara adat dan agama bisa mereka laksanakan secara besar- besaran.