ANALISIS HAK POLITIK MAHASISWA MALAYSIA DALAM AKTA UNIVERSITI KOLEJ UNIVERSITI (AUKU)
F. Hak Beserikat
Berkenaan dengan hak berserikat atau berkumpul bagi mahasiswa yang
diatur dalam AUKU terdapat dalam pasal 15:
(1) Tiada sesiapa jua, semasa menjadi seorang pelajar Universiti, boleh menjadi seorang ahli, atau boleh dengan apa-apa cara bersekutu dengan, mana-mana persatuan, parti politik, kesatuan sekerja atau apa-apa jua pertubuhan, badan atau kumpulan orang lain, sama ada atau tidak ia ditubuhkan di bawah mana-mana undang-undang, sama ada ia di dalam Universiti atau di luar Universiti, dan sama ada ia di dalam Malaysia atau di luar Malaysia, kecuali sebagaimana yang diperuntukkan oleh atau di bawah Perlembagaan, atau kecuali sebagaimana yang diluluskan terlebih dahulu secara bertulis oleh Naib Canselor.
(2) Tiada sesuatu pertubuhan, badan atau kumpulan pelajar Universiti, sama ada ditubuhkan oleh, di bawah atau mengikut Perlembagaan atau selainnya, boleh ada apa-apa gabungan, persekutuan atau apa-apa jua urusan lain dengan mana-mana persatuan, parti politik, kesatuan sekerja atau apa-apa jua pertubuhan, badan atau kumpulan orang lain, sama ada atau tidak ia ditubuhkan di bawah mana-mana undang-undang, sama ada ia di dalam Universiti atau di luar Universiti, dan sama ada ia di dalam Malaysia atau di luar Malaysia, kecuali sebagaimana yang diperuntuk-kan oleh atau di bawah Perlembagaan, atau kecuali sebagaimana yang diluluskan terlebih dahulu secara bertulis oleh Naib Canselor.
(3) Tiada sesiapa jua, semasa menjadi seorang pelajar Universiti, boleh menyatakan atau berbuat sesuatu yang boleh ditafsirkan sebagai
menyatakan sokongan, simpati atau bangkangan terhadap mana-mana parti politik atau kesatuan sekerja atau sebagai menyatakan sokongan atau simpati dengan mana-mana pertubuhan, badan atau kumpulan orang yang haram.
(4) Tiada sesuatu pertubuhan, badan atau kumpulan pelajar Universiti, yang ditubuhkan oleh, di bawah atau mengikut Perlembagaan atau mana-mana pertubuhan, badan atau kumpulan pelajar Universiti lain, boleh menyatakan atau berbuat sesuatu yang boleh ditafsirkan sebagai menyatakan sokongan, simpati atau bangkangan terhadap mana-mana parti politik atau kesatuan sekerja atau sebagai menyatakan sokongan atau simpati dengan mana-mana pertubuhan, badan atau kumpulan orang yang haram.
Pasal 15 (1) dan (2) jelas-jelas melarang mahasiswa atau organisasi
mahasiswa menjadi anggota atau bersekutu dengan badan perkumpulan seperti
partai politik, kesatuan (syarikat) sekerja dan lain-lain kecuali sebagaimana
dibenarkan oleh Lembaga Universitas atau diizinkan terlebih dahulu secara
tertulis oleh Rektorat.
Kedua ayat ini jelas bertentangan dengan pasal 10 (1b) dan (1c)
Perlembagaan Persekutuan yang memberi kebebasan kepada semua rakyat
Malaysia untuk berserikat. Dalam Pasal 10 (1b) disebutkan bahwa: ”semua
warganegara berhak untuk berhimpun secara aman dan tanpa senjata.”
Sedangkan dalam ayat (1c) dinyatakan bahwa: “semua warga negara berhak
untuk membentuk persatuan.”
Selanjutnya, pasal 15 (3) dan (4) menyatakan bahwa setiap mahasiswa
dan organisasi atau perkumpulan mahasiswa dilarang memberikan simpati dan
dukungan kepada badan perkumpulan atau organisasi seperti partai politik, ini
menyatakan bahwa: “Tiap-tiap warga negara berhak kepada kebebasan
berbicara dan bersuara.”
Jika merujuk kepada pasal 10 Perlembagaan Persekutuan, maka kita akan
mendapatkan bahwa mahasiswa Malaysia mempunyai hak berkumpul atau
berserikat dan bersuara (berpendapat). Walaupun hak-hak ini diberikan secara
bebas, namun hak ini juga diberikan batasan. Sebagai contoh, hak untuk
berkumpul atau berserikat dibatasi dengan Akta Pertubuhan tahun 1966. Pasal 5
akta ini memberi kuasa atau wewenang kepada menteri Hal Ehwal Dalam Negeri
untuk membolehkan pembentukan persatuan atau organisasi oleh rakyat dan
mahasiswa dengan syarat masih memelihara kepentingan dan keselamatan dalam
negeri.
Menteri tersebut juga mempunyai hak untuk melarang pembentukan
suatu organisasi dan membubarkannya jika membahayakan kepentingan tersebut.
Misalnya larangan pembentukan Partai Sosialis Malaysia (PSM) karena
organisasi ini mempunyai unsur komunisme yang tidak boleh dikembangkan di
Malaysia.
Walaupun demikian mahasiswa masih dijamin hak-hak mereka untuk
berkumpul dan berserikat dalam suatu organisasi yang resmi, yang diizinkan oleh
pihak kampus baik di dalam mau pun di luar kampus. Mahasiswa Universiti
Malaya (UM) misalnya dibolehkan untuk ikut dalam Persatuan Mahasiswa Islam
(MPMUM), Persatuan Bahasa Melayu Universiti Malaya (PBMUM) dan
sebagainya karena semua organisasi tersebut sah sebagai organisasi kampus.
Dengan demikian mahasiswa juga seharusnya boleh berhubungan dan
berpartisipasi dalam partai politik seperti Partai Islam Semalaysia (PAS), Partai
Keadilan Rakyat (PKR), Malayan India Congress (MIC), Partai Kualisi China
(DAP), Partai Rakyat Malaysia (PRM) dan sebagainya, karena partai-partai
politik tersebut juga sah dan terdaftar dalam Registrastion of sociaty (ROS) 1966,
sebagaimana yang telah dijamin dalam pasal 10 Perlembagaan Persekutuan.71
Selanjutnya, keempat ayat pasal 15 AUKU tersebut juga bertentangan
dengan prinsip-prinsip HAM yang terkandung dalam pasal 20 Declaration of
Human Right, yang menyatakan:
(1) Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berapat (2) Tidak seorang pun dapat dipaksa memasuki salah satu perkumpulan.
Jelaslah bahwa keempat ayat dalam pasal 15 tersebut telah menyekat
mahasiswa untuk berkumpul atau berorganisasi dalam satu badan tertentu dan
menyatakan sokongan (dukungan), memberi simpati atau bangkangan
(menentang) terhadap parti politik atau kesatuan sekerja atau perkumpulan yang
tidak diizinkan oleh pihak universitas. Padahal dalam pasal 10 (1b dan 1c)
Perlembagaan Persekutuan jelas membolehkan setiap warga negara untuk
membentuk suatu perkumpulan atau organisasi seperti partai politik, serikat kerja,
71
http://zainulfaqar.wordpress.com/2008/03/31/mansuhlah-auku-karena-banyak manfaat -nya/diakses pada tanggal 10 Juli pukul 20.00 WIB.
dan lain-lain sedangkan dalam pasal 10 (1a) setiap warganegara mempunyai hak
untuk menyuarakan pendapat.
Dari sini, timbul satu pertanyaan: ”mengapa harus ada undang-undang
draconion (merujuk kepada AUKU) yang jelas merampas hak-hak politik
mahasiswa padahal telah dijamin dalam Perlembagaan Persekutuan?.” Dari
pertanyaan ini maka timbullah pertanyaan lain:
Pertama, antara AUKU dan Perlembagaan Malaysia, manakah yang lebih
tinggi?. AUKU merampas hak-hak politik mahasiswa sedangkan Perlembagaan
Persekutuan menjaminnya. Apakah AUKU merupakan pengecualian dari
”semangat” Perlembagaan?. Padahal kalau kita merujuk ke pasal 4 (1)
Perlembagaan Persekutuan yang menyatakan: ”Perlembagaan ini adalah
undang-undang utama persekutuan dan apa-apa undang-undang yang disahkan setelah Hari Kemerdekaan dan yang bertentangan dengan perlembagaan ini hendaklah batal undang-undang itu.”
Kedua, jika AUKU ini diberlakukan juga, berarti mahasiswa Malaysia
sedang didiskriminasikan melalui tatacara undang-undang, dan ini bertentangan
dengan pasal 8 (1) Perlembagaan Persekutuan yang menyatakan: “Semua orang
adalah sama rata di sisi undang-undang dan berhak mendapat perlindungan yang sama rata di sisi undang-undang.”
Keadaan seperti ini mengakibatkan kalangan mahasiswa atau organisasi
mahasiswa ada yang mencari suaka politik dari luar, misalnya dengan Non
mahasiswa seperti Suruhanjaya Hak Asasi Manusia (SUHAKAM) dan
lain-lainnya. Terkadang juga mereka mendapat dukungan dari partai politik. Hingga
saat ini, apabila seseorang aktivis dibawa ke pengadilan karena melanggar
AUKU, hanya pemimpin partai oposisi saja yang mengulurkan tangan untuk
membela. Akhirnya sasaran kezaliman AUKU tersebut cendrung pada
partai-partai oposisi. Mengapa tidak United Malay National Organisation (UMNO),
Malayan Chines Association (MCA), atau Malayan India Congress (MIC) yang
tampil membela hak-hak mahasiswa apabila mereka dibawa ke pengadilan
AUKU?.
Adalah suatu kenyataan yang aneh dan ironis bahwa parti pemerintah,
contohnya melalui sayap Pemuda dan Puteri UMNO atau Pertubuhan Kebangsaan
Melayu Bersatu, bebas bergerak di dalam kampus.72 Ini berarti telah terjadi
diskriminasi terhadap mahasiswa, bahwa larangan mahasiswa berpolitik hanya di
berlakukan kepada mereka yang mendukung atau bersimpati pada partai-partai
politik oposisi (penentang pemerintah), sedangkan bagi mahasiswa yang pro
pemerintah (partai politik yang berkuasa) sah-sah sahaja terlibat dengan partai
politik tersebut. Ini terbukti misalnya mereka bisa melakukan kegiatan-kegiatan
seperti diskusi-diskusi atau seminar-seminar dalam kampus dengan
mendatangkan pembicara-pembicara dari tokoh-tokoh partai politik tersebut. Bagi
mahasiswa yang kontra dengan partai penguasa (pemerintah) atau pendukung
72
http://202.190.73.171/index.php?option=com_content&task=view&id=014865&Itemid=28 telah diakses pada tanggal 24 Juli pukul 15.00 WIB.
partai oposisi tidak dapat melakukan kegiatan-kegiatan seperti ini, bahkan jika
diketahui mempunyai hubungan dan mendukung partai politik oposisi dapat
ditangkap dan dikenakan sangsi sesuai dengan pasal 15 (5) AUKU:
(5) Sesiapa jua yang melanggar atau tidak mematuhi peruntukan subseksyen (1), (2), (3) atau (4) bersalah atas suatu kesalahan dan boleh, apabila disabitkan, didenda tidak melebihi satu ribu ringgit atau dipenjarakan selama tempoh tidak melebihi enam bulan atau kedua-duanya.
Selanjutnya dalam pasal 15A (1) dinyatakan bahwa setiap mahasiswa
atau organisasi mahasiswa baik di dalam maupun diluar kampus dilarang
memungut atau mengumpulkan dana (uang):
15A. (1) Tiada seseorang pelajar Universiti, atau sesuatu pertubuhan, badan atau kumpulan pelajar Universiti, boleh, di dalam atau di luar Kampus, atau di dalam atau di luar Malaysia, memungut atau cuba memungut, atau menganjurkan atau cuba menganjurkan apa-apa pemungutan, atau membuat apa-apa rayuan secara lisan atau secara bertulis atau selainnya atau cuba membuat sesuatu rayuan itu untuk, apa-apa wang atau harta lain daripada sesiapa jua, iaitu bukan wang atau harta yang genap atau hampir genap masanya diperoleh di bawah atau menurut mana-mana undang bertulis, kontrak atau kewajipan lain di sisi undang-undang.
Larangan dalam pasal ini berlaku pada semua organisasi mahasiwa yang
ada di Malaysia baik yang di dalam maupun di luar kampus. Larangan ini dapat
dipahami bahwa bagi organisasi mahasiswa yang ada di dalam kampus memang
sudah mendapatkan suntikan dana dari pihak rektorat untuk menjalankan
kegiatan-kegiatannya. Akan tetapi bagi organisasi di luar kampus, untuk
menjalankan kegiatannya biasanya memerlukan dana yang besar, dan untuk
mendapatkan dana tersebut memerlukan sumber dana yang lain misalnya dari
dapat dikenakan sanksi tidak lebih dari RM 1.000 atau pidana kurungan selama
tidak lebih dari enam bulan, sesuai pasal 15A (2):
Sesiapa jua yang melanggar atau tidak mematuhi subseksyen (1) bersalah atas suatu kesalahan dan boleh, apabila disabitkan, didenda tidak melebihi satu ribu ringgit atau dipenjarakan selama tempoh tidak melebihi enam bulan atau kedua-duanya.
Tetapi dalam kasus tertentu, misalnya telah terjadi pengumpulan dana oleh
mahasiswa untuk kegiatan suatu organisasi dan diketahui oleh yang berwenang
maka Menteri yang berkaitan (Menteri Pengajian Tinggi) dapat memberikan
pengecualian dari sanksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 15A (2). hal ini
ditegaskan dalam pasal 15A (3):
Menteri boleh, dalam sesuatu kes tertentu, menurut budi bicara mutlaknya memberikan pengecualian kepada sesiapa jua daripada kuat kuasa subseksyen (1), tertakluk kepada apa-apa terma dan syarat dan bagi apa-apa tempoh sebagaimana yang difikirkannya patut menurut budi bicara mutlaknya.
Dalam pasal 15B (1) dan (2) dinyatakan:
(1) Jika sesuatu kesalahan telah dilakukan di bawah mana-mana undang-undang bertulis, sama ada atau tidak seseorang telah disabitkan atasnya, dan kesalahan itu telah dilakukan atau berupa sebagai telah dilakukan atas nama atau bagi pihak sesuatu pertubuhan, badan atau kumpulan pelajar Universiti yang ditubuhkan oleh, di bawah atau mengikut Perlembagaan, atau mana-mana pertubuhan, badan atau kumpulan pelajar Universiti yang lain, tiap-tiap pemegang jawatan bagi pertubuhan, badan atau kumpulan itu dan tiap-tiap orang yang menguruskan atau membantu dalam pengurusan pertubuhan, badan atau kumpulan itu pada masa berlakunya kesalahan itu hendaklah disifatkan sebagai bersalah atas kesalahan itu dan boleh dikenakan hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang bagi kesalahan itu, melainkan jika dia membuktikan dengan memuaskan mahkamah bahawa kesalahan itu telah dilakukan tanpa pengetahuannya dan bahawa dia telah menjalankan segala usaha yang sewajarnya untuk mencegah berlakunya kesalahan itu.
(2) Seseorang pemegang jawatan bagi, atau seseorang yang menguruskan atau membantu dalam pengurusan, mana-mana pertubuhan, badan atau kumpulan seperti yang disebut dalam subseksyen (1) boleh didakwa di bawah seksyen ini, walaupun dia mungkin telah tidak mengambil bahagian dalam melakukan kesalahan itu.
Kedua ayat pasal pasal 15B mengatur tentang setiap pimpinan organisasi
harus bertanggungjawab dan menanggung sanksi pidana jika anggota organisasi
melakukan pelanggaran pidana walaupun dia mungkin tidak terlibat dalam kasus
tersebut kecuali dapat dibuktikan bahwa pimpinan organisasi tersebut telah
berusaha mencegahnya. Pasal ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan,
karena mereka yang tidak terlibat dengan kesalahan akan turut didakwa dan
dikenakan hukuman. Dengan demikian hal ini bertentangan dengan prinsip
natural justice yaitu hanya orang yang bersalah saja yang dapat dijatuhkan
hukuman.73
Selanjutnya pasal 15D (1) disebutkan bahwa:
15D (1) Jika seseorang pelajar Universiti dipertuduh atas suatu kesalahan jenayah, dia hendaklah dengan itu serta-merta digantung daripada menjadi seorang pelajar Universiti dan dia tidak boleh, dalam masa menunggu keputusan prosiding jenayah itu, tinggal atau masuk dalam Kampus Universiti itu atau Kampus mana-mana Universiti lain.
Pasal ini memberikan kuasa kepada pihak universitas untuk menjatuhkan
hukuman pra pradilan ketika kasus sedang diproses di pengadilan. Ini berarti
bahwa mahasiswa yang dituduh melakukan pelanggaran pidana dapat diberikan
sanksi oleh pihak rektorat dengan menon-aktifkan dalam masa tertentu bahkan
73
http://mansuhkanauku.wordpress.com/tentang-auku/ diakses pada tanggal 2 Juli pukul 16.00 WIB.
bisa diberhentikan sebagai mahasiswa sebelum kasusnya itu diselesaikan oleh
pengadilan. Apabila terbukti bersalah, secara otomatis mahasiswa bersang-kutan
akan dikeluarkan dari kampus dan sekiranya terbukti tidak bersalah, akan diterima
kembali untuk melanjutkan perkuliahannya. Tetapi sudah maklum bahwa suatu
kasus yang diproses di pengadilan memakan waktu yang lama (berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun) untuk dapat diselesaikan.
Ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan dan menindas mahasiswa
bersangkutan. Hal ini juga bertentangan dengan prinsip presumption of
inncocent74 dalam disiplin ilmu hukum yaitu seorang individu dianggap tidak
bersalah selama dia belum dibuktikan bersalah (a man is not guilty until is proven
guilty).75
Pasal 16C(1) menyebutkan bahwa AUKU memberi kuasa atau wewenang
kepada pihak lembaga Perguruan Tinggi untuk membuat Kaidah-Kaidah Tata
Tertib atau kode etik mahasiswa:
Lembaga mempunyai kuasa untuk membuat apa-apa kaedah tatatertib sebagaimana yang difikirkannya perlu atau suai manfaat untuk mengadakan peruntukan mengenai tatatertib bagi kakitangan, pegawai dan pekerja Universiti dan pelajar Universiti; kaedah-kaedah tatatertib yang dibuat di bawah subseksyen ini hendaklah disiarkan dalam Warta.
74
Istilah ini dipakai dalam Ilmu Hukum Acara Pidana, seperti dalam KUHP di Indonesia dalam Penjelasan Umum butir 3c disebutkan: “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapan di muka sidang pengadilan yang menyatakan kesalahan dan memperoleh kekuatan hukum tetap”, dapat dilihat pada Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, cet X, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 351
75
http://mansuhkanauku.wordpress.com/tentang-auku/ diakses pada tanggal 2 Juli pukul 16.00 WIB.
Kaidah-Kaidah Tata Tertib mahasiswa merupakan undang-undang kecil
yang berisi aturan Tata Tertib Mahasiswa yang diberlakukan disemua perguruan
tinggi. Kaedah ini dibuat oleh rektorat sesuai dengan kewenangannya yang
diberikan oleh pasal 6C (1) AUKU. Akan tetapi kewenangan lembaga perguruan
tinggi untuk membentuk atau membuat tatatertib sangat berlebihan, hal ini
terbukti dengan adanya Kaedah-Kaedah Tata Tertib Mahasiswa tersebut, pihak
rektorat mempunyai kuasa yang sangat luas dalam menindak mahasiswa yang
dianggap bersalah, yaitu meliputi pengusutan, mendakwa, dan menjatuhkan
hukuman pada mahasiswa yang terbukti bersalah.
Hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan, dimana tidak ada jaminan
bagi mahasiswa yang didakwa untuk melakukan perlawanan atau pembelaan.
Tidak ada jaminan baik dalam AUKU maupun dalam Kaedah Tata Tertib
Mahasiswa bagi mahasiswa yang didakwa untuk mendapatkan bantuan hukum
dari pengacara. Dalam hal ini terlihat adanya diskriminasi terhadap mahasiswa,
hal ini bertentangan dengan pasal 8(1) Perlembagaan Persekutuan yang menjamin
hak pesamaan di depan hukum dan hak persamaan untuk mendapatkan
perlindungan.
Berdasarkan kepada Kaidah Tata Tertib Mahasiswa, setiap mahasiswa
yang terbukti bersalah karena melanggar Tata Tertib dapat dikenakan satu atau
dua hukuman bahkan lebih sesuai dengan hukuman berikut:
1) Peringatan;
3) Dilarang menggunakan fasilitas tertentu;
4) Diskorsing dalam jangka waktu tertentu, dan
5) Di keluarkan dari Kampus.
Yang menjadi permasalahan adalah hukuman ini bersifat umum karena
tidak ditentukan urutan hukuman yang harus ditetapkan. Bentuk hukuman yang
hendak dijatuhkan adalah berdasarkan kepada pertimbangan atau kehendak
rektorat yang berwenang tanpa ada aturan yang jelas. Hal ini mengakibatkan tidak
adanya proporsionalitas dalam menjatuhkan hukuman, karena dalam beberapa
kasus mahasiswa ada yang dikenakan hukuman diberhentikan (Drop Out) dari
kampus padahal ia baru pertama kali melakukan kesalahan dan kesalahan tersebut
bukanlah kesalahan yang besar seperti mencuri dan memperkosa.76