• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bukan hanya soal biaya investasi yang semakin mahal pada bidang pengelolaan sumber daya air yang menjadi permasalahan di negara berkembang termasuk di Indonesia. Kinerja irigasi yang telah ada pun termasuk menjadi masalah pengelolaan sumber daya air. Degradasi kinerja irigasi terlihat pada turunnya fungsi infrastruktur di sistem irigasi maupun operasi dan pemeliharaan irigasi.

Degradasi fungsi infrastruktur irigasi disebabkan oleh bergesernya permukaan air tanah yang berlebihan, banyaknya tanaman pengganggu di saluran drainase, dan sedimentasi di sepanjang jaringan irigasi. Sedangkan penyebab degradasi operasi dan pemeliharaan irigasi antara lain (Sumaryanto, 2006):

1. Tidak ada perkembangan yang bagus pada kemampuan petani dalam membiayai operasi dan pemeliharaan irigasi

2. Sistem kelembagaan tidak efisien karena praktek free rider dan rent seeking 3. Disain kelembagaan irigasi tidak sesuai dengan aspirasi pengguna

Reformasi sistem pengelolaan pada sistem irigasi yang telah lama berlangsung harus segera diterapkan dan disosialisasikan intensif kepada petani. Sebagian pakar ada yang lebih condong pada peningkatan efesiensi irigasi melalui pendekatan pengelolaan pasokan (supply management). Namun ada pula yang beranggapan akan lebih efektif dan relevan apabila peningkatan efesiensi irigasi melalui pendekatan pengelolaan permintaan (demand management).

Petani Indonesia selama ini menggunakan pendekatan pengelolaan pasokan (supply management) (Sumaryanto, 2006). Bila petani Indonesia masih menggunakan metode ini dalam jangka pendek-menengah masih bisa ditolerir meskipun perbaikan dalam aspek operasional di lapangan masih harus diperbaiki. Dalam jangka panjang metode pendekatan pengelolaan pasokan ini tidak lagi dapat dilaksanakan sebab cenderung tidak efektif lagi lalu diperburuk dengan pasokan air irigasi yang semakin menurun drastis dengan nilai ekonomi air irigasi yang cenderung meningkat. Contoh pendekatan pengelolaan pasokan antara lain:

1. Penerapan sistem penggiliran

34

3. Pola alir-putus-alir (intermittent)

Fenomena penurunan kuantitas air yang berbanding terbalik dengan peningkatan nilai ekonomi air irigasi ini mengakibatkan tercipta pendekatan baru. Pendekatan ini adalah pendekatan pengelolaan permintaan (demand management). Terdapat dua jalur dalam pendekatan pengelolaan permintaan (Sumaryanto, 2006) antara lain:

1. Strategi maksimisasi output dengan perolehan output atau pendapatan yang maksimal melalui air irigasi yang tersedia. Strategi ini paling efektif digunakan pada kondisi masyarakat yang belum paham dengan nilai ekonomi air irigasi yang tinggi. Dalam kondisi ini relevansi penerapan strategi cukup besar dengan realokasi air irigasi ke sektor lain tidak mendesak.

2. Strategi minimisasi input dengan cara meminimalisir kuantitas air irigasi yang digunakan dalam memproduksi sejumlah output tertentu. Strategi ini dapat diterapkan saat pemahaman masyarakat mengenai nilai ekonomi air irigasi telah berdasarkan pertimbangan ekonomi. Di mana air irigasi dalam hal ini telah memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Ditambah dengan sarana dan prasarana sistem irigasi yang sangat mendukung pekerjaan petani.

Kondisi masyarakat Indonesia yang belum paham dan belum bisa menerima akan tingginya nilai ekonomi air irigasi maka lebih cocok menggunakan pendekatan pengelolaan permintaan melalui strategi maksimisasi output. Meskipun begitu masih ada kelemahan di strategi maksimisasi output (Sumaryanto, 2006) yakni:

1. Penerapan sulit untuk menjangkau wilayah irigasi yang sangat luas apalagi bila lahan tersebut melibatkan kultur kelompok masyarakat tani yang beragam. 2. Ketepatan desain pola tanam dan dukungan prasarana fisik sangat berpengaruh

terhadap efesiensi

3. Pola ini masih dianggap kurang aspiratif dan kurang populer di era demokrasi Instrumen mekanisme pasar atau yang sering disebut mekanisme harga (water pricing) merupakan instrumen dalam strategi maksimisasi output. Metode

water pricing (WP) menurut Molle dalam Sumaryanto (2006) cenderung user pays principle yang dianggap tidak bersahabat kepada petani miskin meski WP

35

sangat membantu dalam meningkatkan produktivitas air irigasi, realokasi air irigasi menuju usaha tani yang lebih produktif dan lebih hemat air. Ada empat macam metode WP (Boss and Walter, 1990; Tsur dan Dinar, 1997 dalam Sumaryanto, 2006) yakni:

1. Volumetric pricing

Volume air yang dikonsumsi menjadi bahan yang menentukan biaya air yang dikeluarkan

2. Output pricing

Kuantitas output dari hasil penggunaan air menjadi patokan dalam biaya air yang dikeluarkan

3. Per unit area

Luas garapan usaha tani yang memakai air irigasi menjadi dasar dalam menentukan biaya air yang dikeluarkan

4. Tiered pring

Merupakan multi-rate volumetric pricing di mana harga air bervariasi apabila volume air yang dikonsumsi melebihi ambang batas tertentu

5. Two-part tarif

Biaya air pada metode two-part tarif terbagi menjadi dua macam komponen. Komponen itu adalah biaya tetap per tahun untuk hak penggunaan air dan pungutan air dengan dasar harga marginal yang tetap untuk setiap unit volume air yang dikonsumsi.

6. Betterment levy

Biaya air pada metode betterment levy diambil atas per area dengan cara dihitung atas peningkatan nilai lahan akibat adanya irigasi.

Keenam metode dalam WP dalam hal tingkat kesulitan saat penerapan skim (pricing scheme) dan kemampuan untuk mengontrol permintaan masing-masing tidak sama. Adapun kharakteristik keenam metode WP ini (Tabel 2.5) sebagai berikut (Boss and Waiter dalam Sumaryanto, 2006):

36

Tabel 2.5 Perbedaan Metode Water Pricing Dari Segi Implementasi dan Kemampuan Untuk Mengontrol Permintaan

Skim Harga (Pricing Scheme)

Implementasi Kemampuan Untuk Mengontrol Permintaan

Volumetric pricing Sulit Mudah

Output pricing Relatif mudah Relatif mudah

Per area pricing Paling mudah Sulit

Tiered pricing Relatif sulit Relatif mudah

Two-part tarif Relatif sulit Relatif mudah

Betterment levy Relatif sulit Sulit

Sumber: Boss dan Walter dalam Sumaryanto (2006)

Pengelolaan efesiensi penggunaan air irigasi (Tabel 2.5) bila secara empiris maka lebih mudah menggunakan metode per unit area (per area pricing). Menurut Boss dan Walter dalam Sumaryanto (2006) di sejumlah negara dengan luas sekitar 12,2 juta hektar ada lebih dari 60% yang menggunakan metode per unit area, 25% menggunakan volumetric pricing dan 15% menggunakan kombinasi kedua metode tersebut. Sedangkan bila dilihat dari kacamata teoritis maka metode yang paling efektif adalah volumetric pricing. Namun terdapat beberapa hambatan pada pelaksanaan metode volumetric pricing di antaranya:

1. Sangat membutuhkan dukungan sarana prasarana infrastruktur memadai guna mengontrol volume hingga menuju konsumen melalui mekanisme pasar. 2. Pada sistem irigasi permukaan skala besar sulit diterapkan cenderung

mustahil

Biaya jasa pengelolaan sumber daya air (BJPSDA) diatur melalui Peraturan Menteri PUPERA No. 18/PRT/M/2015. Bila dilihat dari metode WP di atas dapat dilihat bahwa Peraturan Menteri PUPERA No. 18/PRT/M/2015 dalam hal irigasi rakyat menggunakan metode per unit area. Peraturan tersebut mengakomodir sejumlah kelemahan dalam penentuan biaya air yang telah diterapkan sebelumnya di Indonesia. BJPSDA berhubungan erat dengan biaya, nilai air dan harga air. Berikut definisi masing-masing menurut Roger et all dan Shatanawi dalam Sachro (2004):

37

1. Biaya untuk memberikan layanan air adalah biaya investasi, biaya operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana, opportunity cost, economic externalities, dan environmental externalities.

2. Nilai air ialah besaran yang dinilai dari segi manfaat dari para penerima manfaat dan termasuk manfaat air, benefit from returned flows, indirect benefits, dan intrinsic values.

3. Harga air ialah biaya yang didapat dari penerima manfaat air. Lalu harga air tersebut dibebankan atas dasar sistem yang berhubungan erat dengan aspek kebijakan sosial, pemerataan dan keberlanjutan dan tidak termasuk subsidi.

Penarikan pungutan BJPSDA bukan atas pembayaran atas harga air. Akan tetapi diharapkan dapat menjandi pengganti atas sebagian biaya yang diperlukan dalam pengelolaan sumber daya air. BJPSDA adalah bentuk upaya pemerintah guna meningkatkan peran serta rakyat dalam menjaga kelestarian sumber daya air dalam hal penghematan air di semua lini kehidupan.

Pengelolaan sumber daya air mulai dari hulu dan hilir via BJPSDA meliputi pembiayaan untuk lima komponen biaya, Adapun biaya tersebut antara lain biaya sistem informasi, biaya perencanaan, biaya pelaksanaan konstruksi, biaya operasi dan pemeliharaan dan biaya pemantauan, evaluasi serta pemberdayaan masyarakat. BJPSDA dipungut kepada masyarakat agar tercipta budaya hemat pada rakyat Indonesia dalam penggunaan air serta agar tercipta kesadaran masyarakat dalam hal menjaga dan memelihara sumber air ataupun prasarana sumber daya air. Jenis kegiatan yang dipungut BJPSDA (Tabel 2.6) adalah sebagai berikut:

38

Tabel 2.6 Kegiatan Yang Dipungut BJPSDA

No. Jenis Penggunaan Air Satuan Tarif

1. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Rp/kWh 2. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di bawah 10 MW Rp/kWh 3. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Rp/m3

4. Industri Rp/m3

5. Usaha pertanian Rp/Ha

Sumber: Lampiran Peraturan Menteri PUPERA No. 18/PRT/M/2015 Tahun 2015