• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam bab keyakinan dan cara beribadah, Shalahuddin mempunyai keistimewaan dalam keimanan, ibadah, ketakwaan, rasa takut kepada Allah, kepercayaan kepada-Nya, serta berlindung kepada-Nya. Al-Qadhi Baharuddin meriwayatkan bahwa Shalahuddin adalah seorang yang kuat keyakinannya, banyak berdzikir dan belajar melalui pengkajian ulama dan ahli fiqih.

a. Meluruskan pemahaman Islam yang salah pada masa Fathimiyah

Dari pemahaman rasional dan keyakinan kuat tersebut, Shalahuddin bangkit menghancurkan belenggu dan dogma-dogma ateisme di seluruh negeri. Apabila ia mendengar ada orang yang menyeru pada ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, ia

45 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 466.

langsung menyuruh untuk membunuhnya dengan cepat setelah meminta nasihat dari fuqaha dan ulama. Al-Qadhi Bahauddin berkata dalam hal ini, “Beliau sangat menjunjung tinggi hukum-hukum agama dan membenci filsafat-filsafat dan pemikiran-pemikiran yang merusak agama. Ia juga membenci orang yang menentang hukum Islam. Apabila ia mendengar ada orang yang menyimpang dalam kerajaannya, ia akan mengeluarkan perintah untuk membunuhnya.” 46

Ketika Shalahuddin menjadi menteri bagi dinasti Fathimiyah di Mesir pada masa mudanya, ia sangat sedih setelah melihat keadaan negeri yang penuh dengan aliran-aliran kebatinan dan sesat. Mazhab atau aliran yang sesat tersebut terangkum sebagai berikut, sesungguhnya imamah (kepemimpinan) bukan merupakan kemaslahatan umum yang kembali kepada kehendak rakyat, melainkan merupakan salah satu rukun agama yang tidak boleh seorang nabi melalaikan ataupun mengembalikannya kepada umat. Akan tetapi, rasul sebelum meninggal, harus melantik seorang imam bagi kaum muslimin. Imam tersebut harus ma’shum (suci atau bersih) dari dosa besar ataupun kecil. Sesungguhnya Ali bin Abi Thalib telah diangkat oleh Nabi Muhammad sebagai khalifah setelah beliau meninggal, sementara Abu Bakar dan Umar telah merampas kekhalifahan dari tangan Ali. Di antara mereka ada yang lebih ektrim atau radikal yang mengklaim ketuhanan para pemimpin tersebut, baik

46 Lilik Rochmad Nurcholisho, 2010, Shalahuddin Al-Ayyubiy, Jakarta: Inti Medina, halaman 188.

dengan mengatakan bahwa mereka itu manusia, tetapi mempunyai sifat-sifat ketuhanan atau mengatakan bahwa Tuhan inkarnasi ke dalam jiwa mereka. Di antara mereka ada yang memiliki loyalitas tinggi terhadap seorang pemimpin dan tidak mau berpindah kepada pemimpin yang lain, serta mengatakan bahwa pemimpin itu hidup abadi tidak akan mati meskipun hilang dari pandangan mata. Orang tersebut juga mengklaim bahwa imam tersebut akan muncul di akhir zaman dan membawa keadilan di muka bumi sebagaimana kezaliman memenuhi bumi.47

Pada masa dinasti Fathimiyah terdapat segolongan ekstrim Syi’ah dan Ismailiyah yang mengangkat Hakim bin Amrillah Al-Fathimiy menjadi khalifah pada tahun 408 H ketika Hamzah bin Ali mengatakan secara terang-terangan akan ketuhanan Hakim. Ia juga mengarang buku yang menyebutkan bahwa ruh Allah bersenyawa dalam diri Nabi Adam a.s lalu berpindah kepada Ali bin Abi Thalib lalu ruh Ali berpindah ke diri Aziz kemudian ke anaknya, Hakim yang menjadi Tuhan dalam pandangan mereka melalui reinkarnasi. Hamzah bin Ali dianggap sebagai pendiri ajaran reinkarnasi bagi aliran-aliran kebatinan.48

Setelah Shalahuddin menjabat sebagai menteri Mesir dan berkuasa di sana, dengan segera ia menumpas aliran sesat tersebut. Ia

47 Lilik Rochmad Nurcholisho, 2010, Shalahuddin Al-Ayyubiy, Jakarta: Inti Medina, halaman 188.

mengumpulkan segenap kekuatannya untuk menghapus ajaran dan pengaruh-pengaruh aliran sesat. Selain itu, ia juga mengganti aliran-aliran sesat dengan ajaran Ahlussunnah waljama’ah atau Sunni. Shalahuddin berhasil merealisasikan gagasannya tersebut tidak lama setelah ia menjabat sebagai menteri. Bahkan ia sudah berhasil membuka madrasah-madrasah di seluruh pelosok negeri yang kemudian dikenal dengan Madrasah An-Nashiriyyah dan Al-Kamiliyyah. Ia pun kemudian menghimbau seluruh kalangan masyarakat untuk ikut memajukan sekolah-sekolah tersebut guna mengajarkan agama Islam yang benar dan lurus. Di samping itu ia membersihkan ajaran Ahlussunnah waljama’ah dari segala penyimpangan dan penyelewengan.49

b. Upaya Shalahuddin menghidupkan pengaruh Sunni

Shalahuddin berambisi agar akidah Sunni mempunyai pengaruh dalam berbagai lembaga pemikiran dan pendidikan yang dibangunnya. Upaya tersebut antara lain:50

1. Pembangunan Madrasah-madrasah Sunni

Pembangunan madrasah ini dimulai pada tahun 572 H (1176 M), yaitu setelah kepastian sebagian besar wilayah Syam tunduk di bawah kekuasaan Shalahuddin, kemudian kembalinya ia ke Mesir

49

Lilik Rochmad Nurcholisho, 2010, Shalahuddin Al-Ayyubiy, Jakarta: Inti Medina, halaman 187.

50 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 345.

untuk mengatur berbagai urusan. Pada tahun ini ia memerintahkan pembangunan dua madrasah: Pertama, madrasah untuk pengikut madzhab Syafi’i yang dibangun berdekatan dengan makam Imam Asy-Syafi’i, madrasah ini dikenal sebagai Madrasah Shalahiyyah; Kedua, madrasah untuk para penganut madzhab Hanafi. Sesudah itu berturut-turut dibangun berbagai madrasah Sunni di beberapa tempat di Kairo, serta wilayah-wilayah lain yang diprakarsai oleh para pejabat Ayyubiyun dan para pembantu mereka.

Ibnu Jubair telah melengkapi gambarannya untuk kita ketika ia melanjutkan pengamatannya terhadap berbagai usaha Shalahuddin di Kairo dalam rangka memberikan berbagai kemudahan menuntut ilmu bagi orang-orang yang meminatinya. Ia mengatakan, “Yang mengherankan, disebutkan bahwa seluruh

qurafah adalah masjid-masjid yang dibangun dan masyhad-masyhad yang dihuni sebagai tempat berlindung bagi orang-orang

asing, para ulama, orang-orang saleh, dan orang-orang fakir. Bantuan untuk setiap tempat ini terus mengalir dari pihak Sultan setiap bulan, demikian pula berbagai madrasah yang berada di Mesir dan Kairo. Kita dapat memastikan bahwa biaya operasional semua itu menelan dana lebih dari 200 dinar setiap bulan.

Dari sini telah jelas, bahwa Shalahuddin yang mengawasi secara langsung jalannya penghidupan kembali gerakan Ahlus Sunnah di Mesir tidak hanya cukup dengan mendirikan sejumlah madrasah, tetapi sangat serius dalam menarik minat para ulama

Ahlus Sunnah untuk datang kepadanya dari segala penjuru wilayah Islam. Hal itu dilakukan agar mereka turut terlibat dalam upaya menghidupkan kembali pemikiran Sunni, yang sebelumnya para ulama Ahlus Sunnah disingkirkan dari Mesir.

Sebagaimana perhatiannya yang dicurahkan untuk menarik minat para ulama agar berbondong-bondong datang ke Mesir, Shalahuddin juga mencurahkan perhatiannya untuk menarik kalangan Sufi, maka ia pun membangun khanqah pertama untuk mereka di Mesir. Ia menjadikannya sebagai tempat persinggahan kalangan miskin dari kaun Sufi yang datang dari berbagai wilayah yang jauh, dan mewakafkan harta untuknya dalam jumlah yang besar. Untuk menangani urusan mereka, ia menunjuk seorang syaikh yang dikenal Syaikh Asy-Syuyukh. Al-Maqrizi menyebutkan, bahwa penghuninya terdiri dari kalangan Sufi yang terkenal dengan ilmu pengetahuan dan kesalehan mereka. Jumlah mereka mencapai 300 orang. Mereka diberikan perhatian yang sangat khusus, dari tunjangan makanan berupa roti, daging, dan manisan; mereka diberikan uang setiap tahunnya untuk membeli pakaian; mereka dibangunkan pula kamar-kamar mandi khusus di samping tempat mereka; dan barangsiapa hendak bepergian jauh, maka akan diberi ongkos yang dapat membantunya untuk mencapai tujuannya. Menurut dugaan, perhatian yang diberikan kepada kalangan Sufi ini tentu memiliki tujuan tertentu, yang masih berkaitan dengan gerakan menghidupkan kembali madzhab Sunni.

Meskipun tasawuf yang lurus mendapat penghormatan tersendiri dari pihak penguasa maupun masyarakat secara umum pada masa itu, namun perhatian Sultan terhadapnya seperti ini terutama di Mesir, pasti merupakan pekerjaan yang disengaja dan memiliki terget tertentu.

Jika Shalahuddin berupaya menarik minat para ulama Sunni untuk datang ke Mesir dari setiap tempat agar mereka ikut terlibat dalam gerakan menghidupkan kembali paham Ahlus Sunnah, maka ada aspek penting yang harus pula dikerjakan untuk memuaskannya dan memalingkannya dari orientasi yang dulu diarahkan oleh penguasa. Aspek penting ini adalah sisi emosional manusia, yaitu aspek yang dapat dikuasai oleh orang-orang Syiah dengan mudah. Kebetulan kaum Sufi termasuk di antara golongan yang mampu untuk memuaskan sisi ini melalui akhlak mereka yang mudah, toleran, kezuhudan mereka terhadap kegemerlapan dunia, kemampuan mereka untuk menarik emosi manusia melalui majelis-majelis nasehat, dzikir, dan lainnya. Benar saja, golongan Sufi pada masa Dinasti Ayyubiyah telah sukses menarik perhatian banyak orang kepada gambaran dan ritual mereka.

2. Elemen-elemen Sunni

Perhatian Shalahuddin dalam mengukuhkan eksistensi madzhab Sunni di wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaannya dilakukan secara intensif, bahkan para sultan

setelahnya pun tetap melanjutkannya. Berikut elemen-elemen budaya Sunni yang menjadi perhatian keluarga Ayyubiyun, antara lain:

a. Al-Quran yang Suci

Seluruh wilayah yang tunduk pada mereka diperintahkan untuk mengajarkan Al-Quran kepada anak-anak kecil dan mendorong mereka untuk menghafalnya. Ibnu Jubair menyebutkan, bahwa Shalahuddin telah memerintahkan agar menyemarakkan beberapa tempat di Mesir dengan kegiatan belajar-mengajar dan mengangkat sejumlah guru untuk mengajarkan Al-Quran kepada anak miskin, terutama anak-anak yatim, serta memberikan tunjangan yang memadai untuk mereka. Bahkan dahulu Shalahuddin mensyaratkan orang yang menjadi imam Shalat harus menguasai ilmu-ilmu Al-Quran dan baik hafalannya.

Qadhi Baha’udin bin Syidad menggambarkan, bahwa suatu hari Shalahuddin melewati seorang anak yang sedang membaca Al-Quran, maka ia menganggap bagus bacaannya lantas menyuruh anak tersebut mendekat padanya dan memberinya bagian dari makanannya. Ia pun kemudian mewakafkan sebagian lahan persawahan untuk anak itu dan orangtuanya.

b. Hadits yang Mulia

Perhatian khusus diberikan kepada hadits Nabi. Perhatian ini diberikan untuk memenuhi dua kebutuhan mendesak yang sedang dihadapi oleh masyarakat Islam di masa itu, baik di Syam maupun di Mesir. Hadits ini memiliki dua kebutuhan, umum dan khusus.

Dari sisi kebutuhan umum, ketika kaum Muslimin sedang berhadapan dengan musuh yang selalu menantikan kehancuran mereka dan melecehkan kesucian agamanya. Ambisi musuh-musuh Islam untuk memerangi orang-orang beriman ini tentu menuntut perhatian besar terhadap hadits Nabi. Tidak heran apabila Shalahuddin sangat menggemari hadits Rasulullah, berulang-ulang membaca dan mendengarkannya, bahkan ia berusaha untuk menggalakkan penulisan kitab-kitab tentangnya. Al-Imad Al-Ashfahani menyebutkan, di sela-sela kunjungannya ke Iskandaria pada tahun 572 H (1176 M) ia bolak-balik bersama Shalahuddin menemui Al-Hafizh As-Silafi dan mereka mendengarkan hadits darinya; sebagaimana ia bersama anak-anaknya mendengarkan Al-Muwatha’ Imam Malik dari seorang faqih Iskandaria. Baha’uddin bin Syidad menggambarkan bahwa Shalahuddin sangat suka mendengarkan hadits. Bahkan ia pergi menemui ulamanya apabila mereka termasuk di antara orang-orang yang menghindari pertemuan dengan para pejabat. Ibnu Syidad berkomentar, “Dia suka untuk membaca sendiri

hadits-haditsnya. Ia meminta saya datang menemaninya, lalu menghadirkan beberapa buku hadits dan membacanya.”

Perhatian kepada hadits tidak hanya dilakukan oleh Shalahuddin, tetapi banyak pula kalangan pejabat Dinasti Ayyubiyah yang berupaya mendengarkan hadits dan meriwayatkannya. Di antara mereka adalah Taqiyuddin Umar yang mendengarkan hadits dari As-Silafi di Iskandaria. Kemudian Al-Malik Al-Kamil yang mengikuti jejak Nuruddin dan membangun pusat kajian hadits pertama di Mesir.

c. Pokok-pokok Akidah Sunni

Orang-orang Ayyubiyun menaruh perhatian terhadap pemeliharaan pokok-pokok akidah sesuai dengan madzhab Imam Al-Asy’ari. Imam Al-Asy’ari termasuk ulama yang mengibarkan panji ilmu pengetahuan di berbagai bidang dan klasifikasinya, dan terhitung sebagai ulama yang sukses menyatukan beragam ilmu pengetahuan dan seni.

d. Berbagai Kajian Fikih

Keluarga Ayyubiyun menaruh perhatian sangat besar pada salah satu cabang Tsaqafah Sunni ini, melalui berbagai madrasah yang mereka dirikan dan wakafkan. Madrasah-madrasah yang dibangun untuk madzhab-madzhab fikih Sunni tidak begitu mendapatkan perhatian oleh keluarga Ayyubiyun, karena perhatiannya terfokus pada madzhab Syafi’i yang merupakan

madzhab resmi negara. Ditambah lagi, orang-orang yang menduduki posisi utama di jajaran pejabat negara, umumnya berasal dari kalangan pengikut madzhab Syafi’i.

3. Kerja Keras Shalahuddin Al-Ayyubi dalam Menyatukan Front Islam

Tahun 569 H, berita wafatnya Nuruddin yang mendadak membuat kaum Muslimin begitu terpukul. Hanya berselang dua pekan setelah pesta khitanan putanya di Damaskus pada Hari Raya Idul Fitri tahun 569 H. Begitu berita wafatnya Nuruddin tersiar, berbagai ambisi politik merebak terlepas dari ikatan-ikatannya. Ambisi tersebut tidak hanya di antara keluarga Nuruddin saja, tetapi muncul di kalangan para pejabat, panglima militer, bahkan penjajah Eropa. Masing-masing berupaya mengambil keuntungan strategis dari ketiadaan tokoh yang terkenal dengan kebesaran, keberanian, ketakwaan, dan visinya yang jauh ke depan. Nuruddin wafat dengan meninggalkan sebuah negara yang luas wilayahnya, membentang dari Baraq dan Yaman hingga ke Syam, Jazirah, dan Mosul.

Shalahuddin kemudian berkirim surat kepada Khalifah Al-Abbasiyah, Al-Mustadhi’, untuk menjelaskan sebab-sebab keberangkatannya ke Syam. Tujuannya dari surat itu adalah untuk mendapatkan legalitas Syariah atas tugas yang dijalaninya, selain juga untuk mendapatkan dukungan dari Khalifah Al-Abbasiyah. Surat Shalahuddin tersebut ditulis oleh Qadhi Al-Fadhil.

Dalam suratnya, Qadhi Al-Fadhil menjelaskan bahwa Shalahuddin datang ke Syam karena terikat janji dengan Nuruddin, agar kedua belah pihak (Mesir dan Syam) saling bergandengan tangan dalam memelihara keamanan negeri. Setelah wafatnya, terbukalah celah-celah kelemahan dan konflik di tubuh kaum Muslimin, sehingga sebagian wilayah Islam jatuh ke tangan musuh. Kondisi diperparah dengan adanya penguasa Muslim yang menjalin kerjasama dengan kaum salib. Namun dibalik itu, ada kabar gembira, bahwa ummat Islam tidak mengikuti jejak penguasanya untuk menjalin kerjasama dengan salib, sebaliknya mereka membela kebenaran dan tetap berpegang pada Islam.

Khalifah Abbasiyah mengabulkan beberapa tuntutan Shalahuddin dan memberikan legatimasi untuk memerintah di Mesir dan Syam. Sewaktu Shalahuddin melakukan pengepungan terhadap Kota Hamah pada tahun 570 H (1174 M), Khalifah mengutus delegasi kepadanya dengan membawa protokoler istana, surat pelantikan, pemilihan jabatan, dan penyerahan kekuasaan. Ini merupakan bukti atas keinginan Khalifah Abbasiyah untuk melakukan interaksi secara jujur dengan Shalahuddin yang dianggap sebagai sosok paling tepat untuk mengisi kekosongan kekuasaan setelah Nuruddin wafat.

Damaskus. Shalahuddin bersama pasukannya tiba di Damaskus dan mendapatkan sambutan baik. Hari berikutnya, Shalahuddin mendapatkan pintu-pintu kota yang diserahkan langsung oleh Al-Muqaddam, kemudian ia pun berhasil membujuk Kamaluddin Raihan,

pelayan yang membawa kunci benteng Damaskus agar menyerahkan kunci benteng padanya. Demikian Shalahuddin berhasil merangkul Damaskus dan bentengnya dengan alasan untuk melindungi Al-Malik Ash-Shalih Ismail dari ancaman orang-orang salib dan para pejabat ambisius, serta sebagai upaya merebut kembali wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Saifuddin Ghazi (Gubernur Mosul dan Jazirah).

Di Damaskus Shalahuddin berusaha merebut simpati rakyat dengan cara: membagikan kekayaan kepada rakyat, membatalkan sejumlah pajak, menghapus berbagai jenis pungutan, membuat citra positif, memuliakan para ulama yang memiliki pengaruh besar di masyarakat, dan sebagainya. Sesudah merangkul Damaskus, Shalahuddin mulai melaksanakan kebijakan politiknya dalam rangka menyatukan Front Islam yang terbentang dari Irak, Syam, sampai ke Mesir. Upaya ini perlu ia lakukan agar mendapat kemenangan dalam Jihat Islam melawan kaum salib, yaitu jika kaum Muslimin dalam kondisi sangat kuat dan bergandengan tangan. Setelah menguasai Damaskus, ia pun mulai mengibarkan bendera keadilan, perlakuan baik (ihsan), menghapuskan kezaliman dan permusuhan, membasmi berbagai keburukan, kemungkaran, pungutan-pungutan, dan berbagai hal yang diharamkan.

c. Upaya Ayyubiyah Melindungi Jalur Perjalanan Haji dan Wilayah Dua Tanah Suci

Dengan pertolongan Allah, Dinasti Saljuk berhasil merebut berbagai Hijaz dari cengkraman Dinasti Fathimiyah yang beraliran Syiah. Hal itu berdampak pulihnya kedaulatan Khalifah Abbasyiyah atas tanah Hijaz. Pada masa Nuruddin Mahmud tampak berbagai kerja keras yang mendatangkan berkah dalam memberikan bantuan kepada penduduk Kota Madinah dan Makkah. Ia mengirimkan pasukannya untuk menjaga Kota Madinah, memberikan tunjangan kepada Gubernur Makkah dan tunjangan untuk sejumlah pemimpin Suku Arab, demi mengamankan jalur perjalanan ibadah Haji dari Damaskus ke Hijaz. Ia menyempurnakan pembangunan pagar Kota Madinah dan mengeluarkan mata air untuknya, sehingga doa-doa pun dipanjatkan untuknya di atas mimbar-mimbar di kedua Kota Suci, setelah nama Khalifah Abbasiyah disebutkan.51

Sejarah meriwayatkan bahwa ayah Shalahuddin, Najmuddin Ayyub, sebagai pemimpin perjalanan Haji kaum Muslimin Syam pada masa Pemerintahan Nuruddin, termasuk di antaranya faktor terpenting yang mempengaruhi penguatan posisi keluarga Ayyubiyah. Najmuddin Ayyub adalah pemegang kendali urusan Haji di wilayah Syam, untuk Nuruddin sejak tahun 551 H (1156 M). Jabatan ini kemudian diwarisi oleh saudaranya, Asaduddin Syirkuh, di mana ia

51 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 365.

telah ditunjuk oleh Nuruddin sebagai Amirul Hajj dari Damaskus. Setelah Syirkuh meninggal, Kedaulatan Khilafah Abbasiyah atas tanah Hijaz pun terus berlangsung di tangan para sultan dan para penguasa Dinasti Ayyubiyah.52

1. Shalahuddin Al-Ayyubi sebagai Pelayan Dua Tanah Suci

Shalahuddin selain mewarisi kesultanan secara umum dari guru besarnya Nuruddin Mahmud, juga melanjutkan misinya dalam menyatukan front Islam untuk bejihad melawan pasukan salib, melalui gerakan menghidupkan kembali Khilafah Abbasiyah dan pembelaannya kepada dakwah Sunni. Ia juga mewarisi tugas penting terkait pelaksanaan Haji dan pengamanan jalurnya. Maka pada tahun 562 H, ia memerintahkan penghapusan upeti yang sebelumnya dipungut dari orang-orang yang melakukan perjalanan melalui Laut Merah di Jeddah. Ia juga memberikan kompensasi kepada pejabat Makkah sebanyak 8.000 irdab gandum setiap tahunnya, sebagaimana ia telah menyerahkan pula berbagai bentuk wakaf ntuk para Jamaah Haji dan kepentingan dua Tanah Suci. Tujuannya adalah untuk meringankan beban biaya mereka selama menuanikan kewajiban.53

Kebijakan tersebut diikuti pula oleh kebijakan Shalahuddin untuk menghapuskan berbagai jenis pungutan (pajak-pajak ilegal yang biasanya ditarik dari perdagangan) dari jamaah Haji, sehingga

52 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 366.

pelaksanaan Haji pun menjadi lebih mudah setelah sebelumnya hampir terhenti dan para jamaah tidak mampu untuk menunaikan kewajiban Haji.54

Shalahuddin telah berusaha sekuat tenaga untuk terus menerus mengamankan jalur perjalanan Haji, agar tugas ini menjadi peninggalannya. Ia pun terus berkirim surat kepada Gubernur Makkah seraya berpesan kepadanya agar memperhatikan jamaah Haji setibanya mereka di Tanah Suci Makkah, sebagaimana gubernur telah menulis surat kepadanya sebelum itu yang berisi pesan agar menjaga para jamaah Haji dari wilayah-wilayah Maghrib dan Andalusia ketika mereka melintasi wilayahnya. Juga sebagaimana ia serius melakukan pertukaran duta persahabatan bersama Gubernur Madinah dengan menghormati utusannya dan merasa bangga atas berbagai hadiahnya, karena berasal dari Gubernur Kota Nabawi yang mulia.

2. Perlindungan Shalahuddin terhadap Jalur Perjalanan Haji dari Mesir, Maghribi dan Andalus

Kaum salib menyadari betul pentingnya kewajiban Haji sebagai salah satu rukun Islam. Rukun ini dianggap dapat mewujudkan kesatuan spiritual kaum Muslimin dan mempererat berbagai ikatan social dan pemikiran di antara mereka. Maka dari itu, seringkali kaum salib dengan sengaja melakukan penyerangan

54 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 368.

dan perampokan terhadap konvoi jamaah Haji yang menempuh jalur Gurun Sinai dan jalur perjalanan Haji yang lain. Akibatnya perjalanan Haji melalui darat ini terhenti bagi para jamaah dari Andalusia, Maghrib, dan Mesir. Mereka pun terpaksa menempuh jalur yang memiliki rute sangat panjang. Pemutusan jalur perjalanan Haji melalui darat yang melintasi gurun Sinai oleh orang-orang salib ini berlangsung sejak mereka berhasil menguasai benteng Kurk, sehingga menjadikan perebutan kembali benteng ini menjadi salah satu target besar Nuruddin Mahmud, kemudian usaha tersebut dilanjutkan oleh Shalahuddin pada waktu ia masi menjabat sebagai wakil Nuruddin di Mesir, sebelum ia sepenuhnya menjadi Sultan.55

Maka ketika kaum Muslimin berhasil mengalahkan kaum salib, Lu’lu’ sebagai panglima armada angkatan laut Mesir merasa tidak cukup puas dengan hanya menangkap orang-rang Francs itu, tetapi kemudian ia membawa mereka ke Kairo dengan cara-cara yang rendah dan hina. Seperti yang digambarkan oleh Ibnu Jubair melalui tulisannya: “Panglima Lu’lu’ pun mengirimkan beberapa tawanan tersebut ke Madinah Al-Munawarah, supaya dilakukan eksekusi terhadap mereka di sana (atas dosa-dosanya). Maka tidaklah aneh jika Shalahuddin diberi gelar sebagai Khadimul

Haramain Syarifain (pelayan Dua Tanah Suci) dan Munqidzu

55 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 370.

Baitul Maqdis min Aidil Musyrikin (pembebas Baitul Maqdis dari

cengkeraman orang-orang musyrik).56

Tidak ada informasi yeng lebih akurat mengenai pengamanan perjalanan Haji ke Makkah ini, selain informasi yang disampaikan oleh Al-Imad Al-Ashfahani (sejarawan Shalahuddin), ia menyebutkan bahwa pengamanan jalur perjalanan Haji merupakan salah satu motivasi terpenting bagi Shalahuddin untuk

Dokumen terkait