• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMBAHASAN A. LATAR BELAKANG DINASTI FATHIMIYAH HINGGA MUNCULNYA DINASTI AYYUBIYAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PEMBAHASAN A. LATAR BELAKANG DINASTI FATHIMIYAH HINGGA MUNCULNYA DINASTI AYYUBIYAH"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

22

PEMBAHASAN

A. LATAR BELAKANG DINASTI FATHIMIYAH HINGGA

MUNCULNYA DINASTI AYYUBIYAH

Wilayah kekuasaan Dinasti Fathimiyah (909-1171 M) meliputi Afrika Utara, Mesir, dan Suriah. Berdirinya Dinasti Fathimiyah dilatar belakangi oleh melemahnya Dinasti Abbasiyah. Ubaidilah Al-Mahdi mendirikan Dinasti Fathimiyah yang lepas dari kekuasaan Abbasiyah. Dinasti ini mengalami puncak kejayaan pada masa kepemimpinan Al-Aziz. Kebudayaan Islam berkembang pesat pada masa Dinasti Fathimiyah yang ditandai dengan berdirinya Masjid Al-Azhar. Masjid ini berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan ilmu pengetahuan. Dinasti Fathimiyah berakhir setelah Al-‘Adid, khalifah terakhir Dinasti Fathimiyah jatuh sakit.1

Dinasti Fathimiyah mengklaim sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah. Menurut mereka, Abdullah al-Mahdi sebagai pendiri dinasti ini merupakan cucu Ismail bin Ja’far Ash-Shadiq. Sedangkan Ismail merupakan Imam Syi’ah yang ketujuh. Setelah Imam Ja’far Ash-Shadiq wafat, Syi’ah terpecah menjadi dua cabang. Cabang pertama meyakini bahwa Musa Al-Kazim

1

Prof. Dr. azyumardi Azra (Pemimpin Redaksi), Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hooeve, 2005 dalam Samsul Munir Amin, 2009, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, halaman 254.

(2)

sebagai imam ketujuh pengganti imam Ja’far, sedangkan cabang kedua meyakini Ismail bin Muhammad Al-Maktum sebagai imam Syi’ah ketujuh. Cabang Syi’ah kedua ini disebut Syi’ah Ismailiyah. Syi’ah Ismailiyah ini tidak menampakkan secara jelas sehingga muncullah Abdullah bin Maimun yang membentuk Syi’ah Ismailiyah sebagai sebuah sistem gerakan politik keagamaan. Ia berjuang mengorganisir propaganda Syi’ah Ismailiyah dengan tujuan menegakkan kekuasaan wilayah muslim untuk menyebarkan ajaran Syi’ah Ismailiyah. Kegiatan ini menjadi latar belakang berdirinya Dinasti Fathimiyah di Afrika dan kemudian berpindah ke Mesir.2

Dinasti Fathimiyah mengalami beberapa kali pergantian kepemimpinan. Adapun para penguasa Dinasti Fathimiyah tersebut adalah sebagai berikut:3 Mahdi (909-934 M), Qa’im (934-946 M), Al-Mansur (946-953 M), Mu’iz Lidinillah (953-975 M), Al-Aziz (975-996 M), Al-Hakim (996-1021 M), Az-Zahir (1021-1036 M), Al-Mustansir (1036-1094 M), Musta’li (1094-1101 M), Amir (1101-1130 M), Al-Hafiz (1130-1149 M), Az-Zafir (1149-1154 M), Al-Fa’iz (1154-1160 M), Al-‘Adhid (1160-1171 M).

Konflik persaingan memperebutkan jabatan khalifah dan perdana menteri terus terjadi secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi seterusnya. Para menteri juga selalu ikut campur dalam pengangkatan para khalifah. Tak jarang mereka melakukannya tanpa mempedulikan ajaran-ajaran Isma’iliyah.

2 Samsul Munir Amin, 2009, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, halaman 254.

3 Arifa Rahmi, Blog, Sejarah Dinasti Fatimiyah, diunggah pada 10 maret 2013, dilihat pada 27 Oktober 2016.

(3)

Pada periode akhir Dinasti Fathimiyah, persaingan memperebutkan jabatan semakin meluas. Orang-orang yang berambisi menduduki jabatan tidak hanya berkonflik satu sama lain, mereka juga meminta bantuan kepada penguasa negeri-negeri tetangga.4 Syawar misalnya, menteri Dinasti Fathimiyah yang dilengserkan petinggi militer bernama Dhargham pada tahun 558 H, meminta bantuan kepada Nuruddin Mahmud, penguasa Damaskus, untuk membantu merebut kembali kekuasaannya dari tangan Dhargham. Apabila berhasil, Syawar berjanji memberi Nuruddin sepertiga pendapatan pajak Mesir. Nuruddin setuju dan mengirim pasukan di bawah pimpinan Asaduddin Syirkuh ke Mesir. Dhargham dapat dikalahkan dan Syawar dapat menduduki jabatannya lagi sebagai perdana menteri pada 559 H. Namun Syawar mengingkari janjinya kepada Nuruddin dan meminta Syirkuh pulang ke Syam. Pada saat yang bersamaan, Syawar mengirim surat kepada raja Frank-Kristen (Prancis) di Baitul Maqdis. Dalam surat tersebut, Syawar menakut-nakuti raja Frank akan ancaman Nuruddin bila sampai menguasai Mesir. Sang raja kristen cepat-cepat mengirim pasukan ke Mesir dan berhasil memaksa Syirkuh pulang ke Syam.

Pada 562 H, Nuruddin mengirim pasukan ke Mesir yang dipimpin oleh Syirkuh, yang diikuti oleh Shalahuddin Al-Ayyubi. Perdana Menteri Syawar kabur setelah melihat kekuatan Syirkuh, dan meminta bantuan

4

Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh, 2014, Buku Pintar Sejarah Islam (terjemahan), Jakarta: Zaman, halaman 565.

(4)

kepada raja Frank-Kristen. Hingga akhirnya pasukan Syirkuh dan pasukan Frank berhadap-hadapan. Dan kemenangan berpihak pada Syirkuh.5

Setelah kemenangan Syirkuh atas pasukan Frank, Syawar dibunuh oleh Asaduddin Syirkuh atas perintah Khalifah Al-‘Adhid karena dianggap telah berkhianat pada kekhalifahan. Kemudian Syirkuh ditunjuk sebagai perdana menteri baru oleh Khalifah Al-‘Adhid sebagai hadiah. Namun tidak lama setelah ia mendapat kedudukan sebagai seorang perdana menteri, Syirkuh wafat sehingga kedudukannya digantikan oleh Shalahuddin yang ditunjuk langsung oleh Khalifah Al-‘Adhid.

Shalahuddin adalah sosok yang sangat dermawan, sehingga penduduknya mencintainya. Shalahuddin memerintahkan penyebutan nama Nuruddin di mimbar-mimbar khutbah setelah nama Khalifah Dinasti Fathimiyah. Shalahuddin juga memberi para pengikutnya jabatan-jabatan tinggi di pemerintahan.6 Semua ini membuat Shalahuddin menjadi ancaman baru bagi pemilik kepentingan di sejumlah wilayah kekuasaan Fathimiyah. Mereka pun berencana menggulingkan Shalahuddin. Mereka juga menggabungkan diri ke dalam barisan pasukan Frank-Kristen untuk memerangi sang Perdana Menteri Shalahuddin al-Ayyubiy. Mereka dapat dikalahkan dan dipukul mundur dan banyak dari mereka yang melarikan diri hingga ke kota Sha’id. Namun Shalahuddin berhasil menangkap mereka pada 572 H.

Shalahuddin tidak menghendaki Mesir jatuh ke tangan tentara Salib. Dan ia membuktikan bahwa mampu mempertahankan Mesir dari

5 Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh, 2014, Buku Pintar Sejarah Islam (terjemahan), Jakarta: Zaman, halaman 566.

6

(5)

serangan tentara Salib. Setelah Khalifah Al-‘Adhid meninggal pada tahun 1171 M, maka berakhirlah Dinasti Fathimiyah dan Shalahuddin berkuasa penuh atas Mesir dan mendirikan pemerintahan Ayyubiyah. Sehingga mulai tahun 1171 M kekuasaan Fathimiyah berpindah tangan ke Shalahuddin Al-Ayyubi dan beralih menjadi Dinasti Ayyubiyah.

Dinasti Ayyubiyah berkuasa tahun 564-643 H (1171-1250 M) di Mesir. Didirikan oleh Al-Malik Al-Nashir Shalahuddin Yusuf (Al-Ayyubi). Ia merupakan seorang jendral dan pejuang muslim Kurdi dari Tikrit daerah Utara Irak saat ini. Dinasti Ayyubiyah berdiri di atas puing-puing Dinasti Fathimiyah Syi’ah di Mesir. Di saat itu Mesir mengalami krisis dan pemerintahannya melemah di segala bidang. Orang-orang Nasrani mengintai Mesir sebagai lawan dalam memproklamirkan salib oleh Tentara Salib.

B. BIOGRAFI SHALAHUDDIN AL-AYYUBI

Shalahuddin berasal dari sebuah keluarga suku Kurdi yang memiliki asal usul yang mulia dan sangat terhormat. Keluarga ini berasal dari keturunan yang terhormat secara nasab dan klan. Klan suku ini dikenal dengan Rawadiyah. Suku ini berimigrasi dari sebuah kota kecil yang terletak di perbatasan paling ujung Azarbaijan, tidak jauh dari Kota Taplis di Armenia. Shalahuddin lahir tahun 532 H/1137 M di benteng Tikrit, sebuah kota tua yang jaraknya lebih dekat dengan Baghdad dari pada ke Mosul.7 Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubiy (w.1193), memiliki nama

7 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 294.

(6)

asli Abu al-Muzaffar Yusuf bin Ayyub bin Syadzi ibn Marwan dan bergelar “al-Malik an-Nashir Shalahuddin”, sehingga dikenal dengan nama Al-Malik An-Nasir Shalahuddin Yusuf ibn Syadzi ibn Marwan.8 Shalahuddin lahir dari keluarga Kurdish di kota Tikrit (140 km barat laut kota Baghdad) dekat sungai Tigris pada tahun 1138 Masehi.9

Sejarah mencatat bahwa kelahiran Shalahuddin bertepatan dengan keluarnya perintah dari Mujahisuddin Bahruz, seorang penguasa Baghdad kepada gubernur Baghdad, Najmuddin Ayyub dan Asasuddin Syirkuh, ayah dan paman Shalahuddin, agar meninggalkan kota Tikrit. Perintah tersebut dikeluarkan menyusul pembunuhan yang dilakukan Syirkuh terhadap salah seorang komandan Benteng Baghdad bernama Isfahsalar. Pembunuhan ini dilatar belakangi oleh tindakan sang komandan yang telah melakukan pelecehan terhadap kehormatan seorang wanita yang meminta pertolongan kepada Syirkuh. Demi kehormatan dan harga diri, Syirkuh pun membunuhnya. Sultan Bahruz kemudian memerintahkan Ayyub dan Syirkuh untuk segera keluar dari Tikrit demi keselamatan mereka, termasuk putra Ayyub yang baru lahir, Shalahuddin.10

Kedua bersaudara, Najmuddin dan Syirkuh akhirnya pindah dari Baghdad menuju Mosul. Kedatangan keduanya disambut baik oleh Imaduddin Zanki dan mereka diberi hadiah yang melimpah dan tempat tinggal, sebagai balasan terhadap perlakuan baik mereka terhadapnya dahulu. Imaduddin menghadiahkan sebidang tanah kepada keduanya untuk hidup.

8 Alwi Alatas, 2014, Shalahuddin Al-Ayyubi dan Perang Salib III. Zikrul Hakim, halaman 32. 9 Syaifullah Oemar: video.

(7)

Masa yang Shalahuddin habiskan di Damaskus setelah wilayah tersebut dikuasai oleh Nuruddin Mahmud adalah masa-masa paling penting yang memperlihatkan kepribadian Shalahuddin. Ia menjadi pujaan dan disegani, bahkan ia mempunyai kedudukan tinggi seperti layaknya putra penguasa Damaskus sendiri. Ia terkenal di kalangan masyarakat sebagai seorang pemuda pendiam, terdidik, dan teguh beragama. Ia memiliki perhatian besar terhadap Islam dan kaum muslimin karena pengaruh akhlak-akhlak Nuruddin yang mempunyai tempat khusus dalam ruang hatinya.11

Semasa Shalahuddin di Damaskus, ia diberikan beberapa jabatan oleh Nuruddin, diantaranya adalah jabatan sebagai kepala keamanan.12 Shalahuddin memikul jabatan ini dengan baik dan mampu membersihkan Damaskus dari ulah pencuri dan kejahatan para pengacau. Shalahuddin mengembalikan keamanan dan kestabilan di wilayah Suriah hingga rakyat merasa tenang dan aman akan jiwa dan harta mereka.

Adapun masa yang Shalahuddin habiskan di Mesir merupakan masa penting yang memperlihatkan kepahlawanannya yang luar biasa dan kelihaiannya yang langka dalam perang. Hal ini terbukti ketika Syawar yang memberontak terhadap Khalifah Dinasti Fathimiyah. Dengan kepandaian dan strateginya, serta tindakan yang tepat, Shalahuddin bersama pamannya mampu menyatukan kerajaan Mesir ke dalam kekuasaan Nuruddin Mahmud. Hal tersebut terjadi pada tahun 563 H.13

11 Lilik Rochmad Nurcholisho, 2010, Shalahuddin Al-Ayyubiy, Jakarta: Inti Medina, halaman 7.

12

Ibid. 13

(8)

Singkat cerita, Shalahuddin memulai karirnya dengan membantu pamannya, panglima Asaduddin Syirkuh. Kemudian menjadi sekertaris Nuruddin Mahmud. Ia menyertai tiga kali ekspedisi militer ke Mesir bersama pamannya (antara tahun 1163 & 1169 M). Mereka berhasil menguasai Mesir, dan Syirkuh dipercaya untuk memerintah daerah Mesir. Namun tidak lama kemudian Syirkuh meninggal, sehingga kedudukannya mengalami kekosongan dan Shalahuddin ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin Mesir oleh Khalifah Fathimiyah.14

Shalahuddin tumbuh besar dan mendapatkan pendidikan di lingkungan keluarga dengan belajar keahlian di bidang politik dari ayahnya; belajar keberanian dalam berbagai peperangan dari pamannya Syirkuh; sehingga ia tumbuh dewasa dalam keadaan “kenyang” dengan keahlian politik, ia juga mempelajari berbagai bidang ilmu populer di masanya. Ia menghafal Al-Qur’an, mempelajari kitab fikih dan hadits dengan menjadi murid pada sejumlah ulama dan para ustadz di wilayah Syam dan Al-Jazirah.15

Shalahuddin menghabiskan masa kecilnya di Ba’labak. Ia hidup mulia dan memperoleh kesempatan berada di lingkungan para pembesar kerajaan, sehingga wajar apabila ia selalu mendatangi tempat-tempat belajar untuk belajar membaca, menulis, menghafal Al-Qur’an, ditambah

14 Lilik Rochmad Nurcholisho, 2010, Shalahuddin Al-Ayyubiy, Jakarta: Inti Medina, halaman 8. 15 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka

(9)

lagi belajar kaidah bahasa dan dasar-dasar nahwu dari para ulama sebagaimana putra-putra raja.16

Pengarang buku Thabaqat Ay-Syafi’iyyah menyebutkan bahwa Shalahuddin adalah seorang ahli fiqih. Shalahuddin di samping menghafal Al-Qur’an, ia juga tertarik pada ilmu fiqih dan syair.17 Para sejarawan sependapat bahwa pada masa pemerintahan Nuruddin, para ulama mendatangani Damaskus dari penjuru negeri, dari wilayah Samarkhan dan Cordova untuk mengajar dan menimba ilmu di masjid-masjid dan pusat-pusat pendidikan. Hal ini menguatkan pendapat bahwa Shalahuddin menimba ilmu dari kebanyakan Ulama tersebut.18

C. KEKUASAAN PEMERINTAHAN SHALAHUDDIN AL-AYYUBI DI MESIR

1. Kondisi Mesir Sebelum Dipimpin oleh Shalahuddin

Mesir adalah sebuah negara republik di sudut Timur Laut Benua Afrika. Negara ini berbatasan dengan Laut Tengah (Utara), Laut Merah (Timur), Sudan (Selatan), dan Libia (Barat).19

Semenjak zaman kuno (4000 tahun SM) Mesir telah mempunyai peradaban yang tinggi. Mesir memiliki peranan penting dalam sejarah perkembangan Islam, baik pada zaman pra modern maupun pada zaman modern. Peranan yang dimainkan Mesir dalam sejarah perkembangan

16

Lilik Rochmad Nurcholisho, 2010, Shalahuddin Al-Ayyubiy, Jakarta: Inti Medina, halaman 9. 17

Ibid.

18 Ibid, halaman 10. 19

Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005, halaman 21 dalam Koto dan Husin, 2012.

(10)

Islam dapat dilihat dalam berbagai bidang, antara lain bidang politik dan perluasan daerah Islam, bidang ilmu pengetahuan, pendidikan, kebudayaan, serta bidang ekonomi perdagangan.20

Islam masuk ke daerah ini pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Ketika ia memerintahkan Amr bin Ash membawa pasukan Islam untuk mendudukinya. Setelah menduduki daerah ini, Amr bin Ash langsung menjadi amir (gubernur) di sana (632 M) dan menjadikan kota Fustat (dekat Kairo) sebagai ibukotanya. Pada masa selanjutnya, yang memerintah Mesir berturut-turut adalah Dinasti Umayah dan Abbasiyah (661-868 M), Dinasti Tulun (868-905 M), Dinasti Ikhsyid (935-969 M), Dinasti Fathimiyah (909-1171 M). Pada masa sesudahnya, Mesir menjadi bagian Kerajaan Turki Usmani (Ottoman).

Kota Kairo dibangun pada tanggal 17 Sya’ban 358 H/969 M oleh panglima perang dinasti Fathimiyah yang beraliran Syi’ah, Jawhar al-Siqili, atas perintah Khalifah Fathimiyah, al-Mu’izz Lidinillah (953-975 M), sebagai ibukota kerajaan dinasti tersebut. Bentuk kota ini hampir merupakan segi empat. Di sekelilingnya dibangun pagar tembok besar dan tinggi, yang sampai sekarang masih ditemui peninggalannya. Pagar tembok ini memanjang dari Masjid Ibn Thulun sampai ke Qal’at al-Jabal, memanjang dari Jabal al-Muqattam sampai tepi sungai Nil. Daerah-daerah yang dilalui oleh dinding ini sekarang disebut al-Husainiyah, Bab al-Luk,

Syibra, dan Ahya Bulaq.21

20 Koto dan Husin, 2012.

(11)

Kota yang terletak di tepi Sungai Nil ini mengalami tiga kali masa kejayaan, yaitu pada masa dinasti Fathimiyah, masa Shalahuddin al-Ayyubi, dan di bawah Baybars dan al-Nashir pada masa dinasti Mamalik. Periode Fathimiyah dimulai dengan al-Mu’izz dan puncaknya terjadi pada masa pemerintahan anaknya, al-‘Aziz (975-996 M). Selama pemerintahan al-Mu’izz dan tiga orang penggantinya, seni dan ilmu mengalami kemajuan besar.22

Dinasti Fathimiyah ditumbangkan oleh dinasti Ayyubiah yang didirikan oleh Shalahuddin, seorang pahlawan Islam terkenal dalam Perang Salib. Ia tetap mempertahankan lembaga-lembaga ilmiah yang didirikan dinasti Fathimiyah tetapi mengubah orientasi keagamaannya dari Syi’ah kepada Sunni. Ia juga mendirikan lembaga-lembaga ilmiah baru, terutama masjid yang dilengkapi dengan tempat belajar teologi dan hukum. Karya-karya ilmiah yang muncul pada masanya dan sesudahnya adalah kamus-kamus biografi, kompendium sejarah, manual hukum, dan komentar-komentar teologi. Ilmu kedokteran diajarkan di rumah-rumah sakit. Prestasinya yang lain adalah didirikannya sebuah rumah sakit bagi orang yang cacat pikiran.23

Sebelum datangnya Shalahuddin, Mesir penuh dengan pertikaian dalam negeri dan persaingan antar kelompok-kelompok, seperti Mamalik Turki, Sudan, dan Maroko. Kelaparan dan wabah penyakit merajalela. Pembunuhan para khalifah dan menteri dilakukan dengan berbagai macam cara. Khalifah dinasti Fathimiyah tidak memiliki pengaruh apa-apa

22 Badri yatim, 2000, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 23 Ibid.

(12)

melainkan kekuasaan berada di tangan para menteri dan panglima. Pembantaian dan peperangan terjadi karena demi menjabat sebagai menteri dalam daulah Fathimiyah, sehingga keadaan mesir pada tahun itu (1163 M) tidak stabil.24

2. Kekuasaan Pemerintahan Shalahuddin Al-Ayyubi Tabel kronologi Shalahuddin25

Tahun Peristiwa

1096-1099 Perang Salib Pertama pecah dan berujung pada pendudukan Jerussalem oleh umat Kristen pada tahun 1099

1138 Shalahuddin lahir

1144 Imaduddin Zengi menaklukkan Edessa dari tangan orang-orang Kristen.

1146 Zengi terbunuh sehingga posisinya digantikan oleh putranya yang bernama Nuruddin.

1147-1149 Perang Salib Kedua pecah dan pasukan Kristen gagal menduduki Damaskus.

1152 Shalahuddin muda mengikuti pendidikan di bawah pengawasan pamannya, Asaduddin Syirkuh, di Aleppo.

24 Lilik Rochmad Nurcholisho, 2010, Shalahuddin Al-Ayyubiy, Jakarta: Inti Medina, halaman 15.

(13)

1154 Ayah Shalahuddin membuka jalan bagi karier politik putranya dengan meyakinkan Damaskus agar bersekutu dengan Nuruddin.

1156 Pada usianya yang ke-18, Shalahuddin kembali berkumpul dengan ayahnya di Damaskus. 1164-1168 Shalahuddin menemani Syirkuh ke Mesir,

termasuk mempertahankan kota Alexandria dari serangan bangsa Frank.

1169 Shalahuddin menjadi wazir di Mesir.

1171 Khalifah Dinasti Fathimiyah terakhir wafat, kemudian Shalahuddin mengambil alih kekuasaan Mesir.

1174 Nuruddin wafat, kemudian Shalahuddin segera menuju Damaskus dan mengambil alih kekuasaan di Syria. Maka, Khalifah Dinasti Abbasiyah di Baghdad memproklamirkan Shalahuddin sebagai Sultan Syria dan Mesir. 1174-1186 Shalahuddin mengonsolidasikan kekuasaannya

dalam serangkaian pertempuran melawan kota-kota yang memberontak antara lain Mosul dan Aleppo.

1187 Shalahuddin menyerang Palestina dan mengalahkan pasukan Frank yang dipimpin oleh Guy of Lusignan dan Raymond of Tripoli dalam

(14)

pertempuran Hattin. Kemudian ia melanjutkan kemenangan ini dengan menaklukkan Jerussalem.

1188 Pasukan Shalahuddin berhasil menduduki hampir semua titik penting di kawasan Palestina, kecuali Tripoli, Tyre, dan Benteng Krak des Chevaliers.

1188-1191 Serangan pasukan Kristen di bawah pimpinan Raja Inggris, Richard the Lionheart terhadap kota muslim, Acre, merupakan kekalahan terhebat bagi Shalahuddin.

1192 Richard dan Shalahuddin sepakat untuk melakukan gencatan senjata dan berbagi kekuasaan di Tanah Suci.

1193 Shalahuddin wafat pada usia yang ke-55 tahun.

a. Shalahuddin Al-Ayyubi menjadi menteri dan prestasinya26

Shalahuddin menunjukkan kemampuannya ketika ia mendampingi pamannya, Asaduddin Syirkuh dalam memimpin invasi militer di Mesir. Ia menduduki jabatan sebagai menteri setelah pamannya Asaduddin Syirkuh meninggal di usia 31 tahun, setelah

26 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 241.

(15)

ditunjuk langsung oleh Al-Adid. Ia saat itu dikenal sebagai seorang pangeran paling muda sekaligus paling banyak kontribusinya.

Shalahuddin telah membelanjakan kekayaan yang berhasil dikumpulkan dari peninggalan pamannya untuk keperluan perjuangan. Ia benar-benar mampu menguasai kekuatan pasukan secara sempurna. Diantara prestasi-prestasi yang dihasilkannya antara lain yaitu:

a. Menjamin Keberlangsungan Khilafah

Terjadi berbagai peristiwa cukup berbahaya dan kritis di Mesie pasca diangkatnya Shalahuddin sebagai seorang menteri. Negara benar-benar melewati saat-saat genting dalam perjalanan sejarahnya. Orang-orang Dinasti Fathimiyah tidak mengakui Shalahuddin Al-Ayyubi sebagai khalifah mereka setelah khalifah Dinasti Fathimiyah wafat dan melakukan pemberontakan. Demikian juga ancaman dari pihak pasukan salib masih terus mengintai di pintu gerbang Mesir Timur. Dalam keadaan demikian Shalahuddin dituntut untuk mengokohkan posisinya di pemerintahan guna mengendalikan perkembangan politik yang ada. Shalahuddin tidak membutuhkan waktu lama untuk memperlihatkan kemampuannya mengatur negara. Ia berhasil membuktikan tekadnya yang kuat untuk mampu mengelola dan menjalankan pemerintahan termasuk berkaitan dengan posisi Khalifah.

(16)

b. Perluasan daerah Islam

Shalahuddin berhasil membuktikan bahwa ia memperluas daerah Islam dan mengalahkan pasukan salib. Keberhasilannya memperluas daerah Islam diraih baik dengan cara berperang maupun damai. Contoh daerah perluasan Shalahuddin antara lain: Yerussalem, Aleppo, dan daerah lainnya.

c. Perhatian Shalahuddin Terhadap Pembangunan Militer

Shalahuddin tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Ketika ia mendapat kepercayaan memegang amanah sebagai menteri, ia langsung melakukan upaya penguatan kekuatan militernya. Kekuatan ini suatu hari nanti akan menjadi benih bagi kekuatan militer dan negara Mesir yang sanggup mempertahankan keberlangsungan pemerintahan dan negara. Dengan pasukan ini juga ia telah berhasil mematahkan kekuatan tentara Francs ketika mereka melakukan penyerangan terhadap Mesir.

Di awal masa jabatannya sebagai seorang menteri, Shalahuddin memilih menempuh langkah pembangunan militer secara besar-besaran. Ia menambah jumlah pasukan dan melengkapi persenjataan secara signifikan. Shalahuddin membentuk berbagai brigade khusus yang masing-masing memiliki tugas dan peran khusus.

(17)

b. Melepaskan diri dari kekuasaan Dinasti Fathimiyah 27

Shalahuddin memiliki niatan keras untuk melakukan penaklukan terhadap Dinasti Fathimiyah sebelum Nuruddin memintanya, sebagai wakilnya di Mesir. Namun Shalahuddin merasa khawatir langkahnya akan menimbulkan perlawanan dari warga Mesir kepadanya yang saat itu warga Mesir menjadi pendukung utama Dinasti Fathimiyah, sehingga Shalahuddin menundanya. Nuruddin cukup memahami situasi sulit yang dihadapi Shalahuddin kala itu sehingga ia tidak langsung merespon perintahnya tetapi ia menunggu Shalahuddin.

a. Proses bertahap menghapuskan khutbah ala Dinasti Fathimiyah

Shalahuddin menyusun strategi dengan teliti dan sungguh-sungguh untuk menjalankan rencananya. Shalahuddin mula-mula mengajak rakyat Mesir untuk beralih dari pemahaman dan akidah Syiah berpindah ke Sunnah. Pada tahun 565 H (1169 M) Shalahuddin menghapuskan kalimat tambahan yang ada dalam lafadz adzan:

“Hayya ‘ala khairil amal, Muhammad wa Ali khairul basyar.” 28

Langkah kedua, pada hari Jum’at bulan Dzulhijjah tahun 565 H (1169-1170 M) Shalahuddin memerintahkan kepada khatib-khatib yang berkhutbah Jum’at agar dalam khutbahnya menyebutkan nama-nama Khulafaur Rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar bin Al-Khathab, Utsman in Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Baru setelah itu

27

Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 251.

28 Artinya, “Mari kita menuju amal kebajikan. Muhammad dan Ali bin Abi Thalib adalah sebaik-baik manusia.”

(18)

diperintahkan menyebut nama Khalifah Al-Adhid. Cara demikian bertujuan untuk mengelabuhi orang-orang Syiah supaya tidak terkesan terlalu mencolok di mata mereka. Di mana para khatib mengatakan: “Allahumma ash-lih Al-Adhid li dinika (Ya Allah perbaikilah khalifah Al-Adhid demi agama-Mu).

Shalahuddin Al-Ayyubi juga menempatkan seorang hakim Ahlus Sunnah yang ahli fikih, bernama Qadhi Isa Al-Hukari pada pengadilan di Kairo. Ia juga mengutus para hakim bermadzab Syafi’i ke seluruh pengadilan yang ada di seluruh wiilayah, dan mendirikan sekolah-sekolah yang bermadzab Ahlus Sunnah. Di waktu yang bersamaan, ia melakukan tekanan terhadap Khalifah Syiah, Al-Adhid. Sedikit-sedikit dikurangi hal-hal khusus yang menjadi kebasaan dan hobi sang Khalifah. Khalifah Al-Adid dibatasi geraknya di istana. Ia dilarang keluar meninggalkankan istana kecuali untuk acara-acara khusus yang sangat penting. Perannya sedikit demi sedikit dihapus, hingga akhirnya ia ditangkap dan dihukum beserta para pengikutnya.

Pada permulaan tahun 567 H (1171-1172 M) Shalahuddin Al-Ayyubi secara resmi mengakhiri penyebutan nama Khalifah Dinasti Fathimiyah dalam khutbah-khutbahnya. Penghentian tersebut dilakukan secara bertahap. Pada khutbah Jum’at pertama di bulan Muharram tahun 567 H (1171-1172 M) dihapuskan penyebutan nama “Al-‘Adhid”. Kemudian pada khutbah Jum’at kedua, disebutkan nama Khalifah Al-Mustadhi’ bi Amrillah Abi Muhammad Hasan bin Mustanjid Billah, di sinilah tidak disebutkan nama Khalifah

(19)

Al-‘Adhid li Dinillah, lalu terhapuslah dan tidak pernah disebutkan lagi khutbah-khutbah model Fathimiyah itu. Maka khutbah model Abbasiyah telah sempurna beredar di Iskandariah, sebelum Kairo dan Mesir, dalam berminggu-minggu kemudian. Demikian itu karena Shalahuddin telah melindungi madzhab Sunni di masa kekuasaan Fathimiyah.

b. Kematian khalifah Al-‘Adid

Khalifah Al-‘Adhid meninggal dunia pada tanggal 10 bulan Muharram tahun 567 H (1171-1172 M). Tidak lama setelah namanya dihapus dalam khutbah-khutbah Jum’at.

c. Kegembiraan kaum muslimin atas runtuhnya Dinasti Fathimiyah

Setelah berita runtuhnya Dinasti Fathimiyah sampai kepada Nuruddin di Syam, maka ia segera mengirimkan utusan kepada Khalifah Daulah Abbasiyah, Khalifah Al-Muthi’, untuh memberitahukan berita tersebut. Kemudian dihiaslah Kota Baghdad, ditutup pintu-pintu gerbang yang ada, lonceng-lonceng dibunyikan, sebagai bentuk luapan perasaan suka-cita segenap kaum Muslimin di sana. Khutbah-khutbah yang menyebutkan pujian kepada Khalifah Fathimiyah telah dihentikan di Mesir sejak tahun 359 H.

(20)

c. Menumpaskan sisa-sisa kekuatan Dinasti Fathimiyah 29

Negara dan penduduk Mesir ketika itu benar-benar merasakan berada di era perubahan sejarah yang nyata. Mereka merasakan perubahan di segala bidang, mulai dari bidang kepemimpinan, peraturan, lembaga, tokoh-tokoh yang memimpin, dll. Mereka menuju hukum dan negara baru, dengan segala situasi dan kondisi baru yang menyertainya. Semuanya bergerak menuju kemajuan secara bertahap. Dalam situasi demikian, Shalahuddin berupaya mengumpulkan manusia agar bersatu untuk berjuang bersama. Dan upaya tersebut ternyata menghasilkan kesuksesan yang gemilang.

Sebagian pemikir dan tokoh Dinasti Fathimiyah tidak menyerah begitu saja atas kondisi yang dialaminya. Mereka berusaha untuk mengembalikan kedudukan dan jabatan yang hilang dengan segala cara yang mereka bisa. Mereka mencari orang-orang yang mempunyai kecintaan dan ikatan kekeluargaan dengan Dinasti Fathimiyah, agar bersama bergerak menyusun strategi untuk menghancurkan pemerintahan Shalahuddin dan mengembalikan kekuasaan Dinasti Fathimiyah.

Anggota aliansi untuk memusuhi Shalahuddin telah siap dengan rencananya. Mereka juga meminta bantuan kepada tentara Francs untuk melakukan penyerangan terhadap Mesir. Namun mereka lupa, bahwa Qadhi Al-Fadhil melalui wadah perkumpulan yang dimiliki, telah melakukan pengintaian. Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil memimpin

29 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 257.

(21)

gerakan penghancuran Dinasti Fathimiyah, sehingga ia dianggap sebagai pahlawan perang Mesir. Sementara mereka yang mendukung Dinasti Fathimiyah dinyatakan sebagai penentang dan musuh negara yang dicita-citakan, serta eksistensinya.

Orang-orang pendukung Dinasti Fathimiyah ini meskipun menyatakan adanya perpindahan kekuasaan dari Fathimiyah ke Daulah Abbasiyah, namun banyak dari mereka belum ada satu bulan atau satu tahun, mereka telah menyusun kembali upaya tipu daya dan pemberontakan. Tentara Francs tidak memenuhi keinginan para pengikut Fathimiyah karena mereka takut kepada sosok Shalahuddin. Mereka hanya mengirimkan bantuan-bantuan di waktu-waktu yang dianggapnya benar-benar tepat.

Dengan pertolongan Allah, kesabaran dan kepemimpinannya, Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil menghancurkan segala bentuk konspirasi jahat dan fitnah yang ada di masa itu. Kemudian Shalahuddin mengambil keputusan untuk bersikap tegas kepada sisa-sisa pengikut Dinasti Fathimiyah yang masih ada. Mereka harus dibersihkan sebersih-bersihnya.

d. Strategi Shalahuddin dalam menghancurkan madzhab Syi’ah di

Mesir dan sisa peninggalannya30

a. Membatasi ruang lingkup Sultan Fathimiyah, Al-‘Adhid dan menempati istana Sultan Fathimiyah.

30 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 266.

(22)

b. Menghentikan khutbah jumat (yang memuji-muji Sultan Fathimiyah) dari Masjid Al-Azhar dan menghapuskan pengajaran pemahaman Syi’ah Islamiyah.

c. Memusnahkan buku-buku yang mengajarkan paham Syi’ah d. Menghapuskan perayaan hari-hari besar Syi’ah dan

menghapuskan gambar-gambar dan mata uang khusus Dinasti Fathimiyah.

e. Melemahkan peran Ibukota Dinasti Fathimiyah.

f. Membongkar kebohongan nasab Dinasti Fathimiyah yang katanya masih keturunan keluarga Nabi.

g. Terus mengawasi dan mengejar sisa-sisa gerakan Syi’ah sampai Syam dan Yaman.

e. Berbagai capaian kemenangan Shalahuddin Al-Ayyubi31

a. Jihad melawan Tentara Salib dan mengusir mereka dari negeri-negeri muslim.

b. Menggabungkan wilayah Maghribi Dekat. c. Menyatukan wilayah Yaman.

d. Menakhlukkan wilayah An-Nubah.

f. Hasil Artefak masa Shalahuddin a. Pembangunan masjid

b. Pembangunan madrasah (sekolah)

31 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 275.

(23)

c. Pembangunan rumah sakit

d. Pembangunan lembaga-lembaga pendidikan e. dan lainnya

D. KEBIJAKAN SHALAHUDDIN AL-AYYUBI DI MESIR 1. Bidang Administrasi

Kemunculan Dinasti Ayyubiyah mempunyai pengaruh besar dalam reformasi sistem administrasi, hal ini berbeda dengan model administrasi pemerintahan Fathimiyah. Al-Qalqasyandi menyebutkan bahwa Dinasti Ayyubiyah ketika mewarisi pemerintahan Fathimiyah telah mengambil langkah berbeda dengannya pada sejumlah tata tertib kerajaan dan mengubah rambu-rambunya. Kedatangan orang-orang Ayyubiyah dari Dunia Islam Timur membawa semangat baru di bidang administrasi yang sumber utamanya adalah aturan-aturan Dinasti Saljuk, Zanki, dan Abbasiyah. Beragam sisi perubahan yang mereka masukkan ke dalam bidang administrasi, di mana yang paling menonjol di antaranya adalah lahirnya posisi jabatan baru, seperti Wakil Kesultanan. Jabatan ini dibutuhkan karena situasi dan kondisi yang mendesak, misalnya saat Sultan keluar meninggalan negeri untuk menjalani perang salib, saat itu ia membutuhkan dua orang yang bisa mewakili Sultan di tengah-tengah ketidak-beradaannya.32

Shalahuddin telah membagi-bagi negaranya ke dalam beberapa daerah administratif. Setiap daerah bebas mengurus potensi dan

32 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 483.

(24)

pendapatannya khasnya, seperti Mesir, Syam, Irak Utara, Naubah, Maghribi, Yaman dan Hijaz. Shalahuddin telah menghabiskan sebagian besar tahun-tahun pemerintahannya di berbagai medan perang, sambil menjalankan kebijakan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, serta mengarahkan kebijakan tertinggi negara. Kemudian ia memberikan kebebasan dalam pelaksanaan berbagai urusan lokal, untuk melakukan persiapan dan pertahanan, kepada para gubernur sesuai dengan berbagai kondisi dan potensi setiap daerah. Kebijakan ini dikenal dalam pengertian modern sebagai desentralisasi.33

2. Bidang Arsitektur (Pembangunan) Pembangunan Tembok atau Benteng a. Tembok Kota Kairo

Shalahuddin berhasil menghadirkan sebuah konsep kota yang berbeda dengan konsep sebelumnya. Shalahuddin menginginkan Kairo sebagai kota yang aman, sehingga Shalahuddin memagari Kota Kairo dengan tembok-tembok kukuh dan kuat yang tidak tertembus. Walaupun begitu, kota ini dapat berkembang dan bersatu. Shalahuddin mengangkat seorang wakil yang bernama Thawasy Bahauddin Qaraqusy untuk mengawasi pembangunan temboknya. Ukuran tembok tersebut dari awal sampai akhir adalah 29.302 hasta (sekitar 13.396 m). Tembok ini membentang mengelilingi 3 buah kota yang membentuk Kota Kairo pada masa pemerintahannya, yaitu kota Fustat

33 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 484.

(25)

yang dibangun oleh Amru bin Ash, Askar yang dibangun oleh Saleh bin Ali Al-Abbasiy, dan Kota Kairo yang dibangun oleh Jauhar Ash-Shaqily.34

Tujuan pembangunan tembok ini adalah untuk melindungi wilayah tersebut dari serbuan musuh. Shalahuddin tidak hanya membangun tembok untuk melindungi Kota Kairo dari serangan musuh, tetapi ia juga membangun benteng Jabal untuk melindungi Kota Kairo. Hanya saja sebelum Shalahuddin menyelesaikan pembangunan semuanya, karena jihadnya di berbagai medan perang. Benteng ini dianggap sebagai salah satu jejak peninggalan sejarah Shalahuddin yang paling kokoh di Mesir.35

Walaupun Kairo dikelilingi oleh tembok-tembok besar yang kokoh dan kuat, namun Shalahuddin berharap Kairo menjadi tempat yang mampu berfungsi secara internal dengan segenap kebebasan komersial dan kulturalnya tanpa kawasan elite dan istana yang megah. Selain itu, ia juga menginginkan sebuah kota yang benar-benar dimiliki oleh warga kota tersebut.

Shalahuddin menganggap Mesir sebagai sebuah sumber pendapatan bagi setiap peperangannya. Ia juga menginginkan Kairo sebagai tempat pengumpulan dana yang ia butuhkan untuk membangun pertahanan terhadap serangan pasukan Perang Salib Eropa.

34

Muhammad Yusuf Annas, Para Penakluk dari Timur, halaman 273 dan Lilik Rochmad Nurcholisho, Shalahuddin Al-Ayyubiy, halaman 172.

35 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 480.

(26)

b. Benteng Sinai

Benteng Sinai didirikan di daerah Semenanjung Sinai, berjarak 57 km sebelah Timur Kota Suez. Di sisi Selatan benteng tersebut, ia bangun dua masjid kembar yang berdampingan. Ia juga membangun kolam penampungan air untuk memberi minum orang yang kehausan. Di atas salah satu pintu masuk menuju kolam ini terdapat tulisan yang berbunyi: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, semoga Allah memberi shalawat kepada junjungan kita Muhammad. Semoga Allah mengabadikan kerajaan tuan kami An-Nashir, kebaikan dunia dan agama, Raja Islam dan kaum Muslimin, Khalifah Amirul Mukminin. Yang bertindak membangun kolam penampungan aie ini adalah Malik Ali bin An-Nashir Adil Al-Muzhaffar. Selesai pembangunannya pada bulan Sya’ban, tahun 590 H.”36

Pernyataan di atas dikuatkan oleh Prof. Noam Shaqir dalam bukunya “Sejarah Sinai dan Arab”, bahwa dia pernah melewati benteng ini dan dua masjid yang terdapat di sana, dan ia melihat benteng tersebut mempunyai sebuah pintu yang besar di sebelah Barat Laut darinya. Di atas pintu rumah terdapat sebuah batu bersejarah besar dan berbentuk persegi empat, dilukiskan padanya nama Shalahuddin dengan huruf yang sangat jelas: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, semoga Allah memberi shalawat kepada junjungan kita Nabi Muhammad. Semoga Allah

36 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 481.

(27)

mengabdikan kerajaan tuan kami Al-Malik An-Nashir Shalahuddin, Sultan Islam dan kaum Muslimin, Yusuf Al-Adil An-Nashir, pada bulan Jumadal Akhir tahun 583 H.”37

c. Pembangunan Jazirah Raudhah dan Giza

Selain pembangunan pertahanan militer, Shalahuddin juga memberikan perhatian terhadap pembangunan Jazirah Raudhah dan Giza, pembangunan tempat pengukuran ketinggian air dan penggalian saluran-saluran irigasi, sebagaimana dia memperhatikan pembangunan rumah-rumah sakit, sekolah, dan khanqah. Pada masa Shalahuddin, Kota Giza dan Raudhah termasuk di antara kota-kota penting.38

Ibnu Jubair dalam catatan perjalanannya berkata:39

Setiap hari Ahad di Gaza diadakan sebuah pasar di antara pasar-pasar besar. Antara Giza dan Mesir dipisahkan oleh sebuah pulau yang terdapat padanya tempat-tempat tinggal yang bagus, rumah-rumah, tempat hiburan dan wisata. Di sini juga terdapat sebuah Masjid Jami’ yang selalu didirikan Shalat dan Khutbah Jum’at. Tersambung dengan Jami’ ini sebuah alat pengukur yang digunakan untuk mengukur ketinggian dan kerendahan air sungai Nil, sebagaimana terdapat pula padanya beragam bebatuan, marmer dan lain-lain yang merupakan bagian dari ragam keindahan dan artistik. Shalahuddin juga membangun saluran irigasi, mendirikan armada laut dan membuat kantor tersendiri yang khusus menangani armada ini, yang dikenal dengan “Dewan Armada Laut”, yang penanganannya diserahkan kepada saudaranya Al-Adil. ....”

37

Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 481.

38 Ibid. 39

(28)

Banyak faktor yang turut memberikan andil dalam kemajuan pembangunan di masa Shalahuddin, yaitu: faktor agama, geografis, politik, administrasi, ekonomi, sosial, perang, dan budaya. Dalam bukunya “Pembangunan Kota Kairo dan Perencanaan di Era

Shalahuddin Al-Ayyubi” Dr. Adnan Muhammad Fayiz Al-Haritsi

menjelaskan hal tersebut secara rinci. Sedangkan Dr. Izzuddin Faraj telah berbicara tentang keistimewaan pembangunan ala Al-Ayyubi yaitu pembangunan pertahanan, antara lain meliputi pendirian menara-menara dan pintu-pintu gerbang yang melengkapi tembok-tembok Mesir dan bentengnya. Pintu-pintu yang dibuat oleh Shalahuddin dari jenis yang berbelok yang dikenal dengan Al-Basyurah. Ini merupakan penemuan di bidang arsitektur yang menambahkan kekuatan pada benteng-benteng. Sebab, jalan masuk ke dalamnya tidak menembus dinding secara garis lurus seperti jenis-jenis pintu masuk yang biasa, tetapi memaksa musuh untuk melewati pintu yang terletak di antara dua menara yang dilengkapi dengan celah-celah untuk melepaskan anak panah darinya di beberapa sisinya yang terbuka tanpa perlindungan dan tameng. Sebagaimana terdapat pula unsur arsitektur baru yang digunakan oleh Shalahuddin dalam memperkuat perlindungan, yaitu beranda dari batu yang menyembul di dinding pagar yang disebutkan dengan As-Saqqathah, yang dilengkapi dengan celah-celah yang tinggi tempat prajurit melepaskan anak panah mereka ke arah musuh yang datang menyerang dari depan dan beberapa sisi. Profesor Chris Weil memastikan bahwa unsur arsitektur

(29)

tersebut berasal dari Timur, sebagaimana ia memastikan bahwa sistem madrasah yang memiliki ruangan-ruangan yang terpisah merupakan sistem yang tumbuh dan berkembang di Mesir, yang konsepnya tidak datang dari luar. Di masa ini terus berlanjut perkembangan ornamen batu kapur dan berbagai kesibukan pertukangan, sebagaimana muncul bentuk tulisan Naskhiyah berdampingan dengan penulisan Kufiyah.”40

3. Bidang Ekonomi

Pada masa pemerintahan Shalahuddin, kerajaan Islam mengalami kehidupan yang lapang dan sejahtera. Hal itu disebabkan oleh sumber-sumber penghidupan yang banyak dan bermacam-macam. Sumber-sumber penghidupan tersebut dapat kita simpulkan sebagai berikut;41

1. Shalahuddin memegang kendali atas harta simpanan Dinasti Fathimiyah setelah Mesir berada di bawah kekuasaannya. 2. Sumber-sumber penghasilan upeti yang diberlakukan kepada

orang-orang non-Islam.

3. Sumber pemasukan dari fidyah (tebusan) yang ditarik dari para tawanan.

4. Sumber-sumber penghasilan dari ghanimah (rampasan) perang yang didapat selama peperangan.

40

Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 483.

41 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi, halaman 460 dan Lilik Rochmad Nurcholisho, 2010, Shalahuddin Al-Ayyubiy, halaman 178.

(30)

5. Sumber-sumber pemasukan dari kharaj (pajak) tanah yang diambil dari para pemilik tanah dari daerah-daerah yang telah dikuasai oleh kaum muslimin dengan perjanjian damai.

6. Ditambah sumber-sumber kekayaan lain yang sah (legal) dan dianjurkan, lagi melimpah.

Shalahuddin bukanlah seorang sultan yang membelanjakan harta yang bukan pada jalan yang benar dan tidak pada tempatnya. Shalahuddin membelanjakan hartanya di jalan Allah, seperti untuk membangun benteng dan tembok pertahanan. Merenovasi berbagai bangunan dan untuk semua hal yang mambawa manfaat besar bagi kerajaan atau negara.

Di antara usaha Shalahuddin untuk menghindarkan negara dari bahaya kelaparan yang disebabkan oleh peperangan yaitu sebagai berikut:42

a. Sektor Pertanian dan Perdagangan

Usaha Shalahuddin untuk menghindari bencana kelaparan yang menimpa masyarakatnya dan tidak jarang memicu peperangan. Ia memberikan perhatian lebih pada sektor pertanian dan sarana-sarana perairan supaya tanah bisa menghasilkan buah dan berbagai macam tanaman yang indah dipandangan mata. Di antara langkah yang dilakukan adalah membangun jaringan antara Mesir dan Suriah melalui mitra kerja sama saling menukarkan hasil-hasil pertanian dan

42 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 461.

(31)

meningkatkan kesejahteraan ekonomi, serta membekali pasukan dengan kekayaan yang sewajarnya. Hasilnya, kemitraan strategis itu menguatkan hubungan kedua pihak sehingga berhasil melawan keganasan Eropa, dan juga untuk membekali pasukan Islam dengan segala yang dibutuhkan berupa bahan pangan dan perlengkapan.

Selain sektor pertanian, Shalahuddin juga menaruh perhatian besar terhadap sektor perdagangan. Pada masa pemerintahannya, Mesir merupakan titik pertemuan hubungan dagang antara Timur dan Barat. Banyak kota di Eropa menjadi hidup disebabkan oleh aktivitas perdagangan tersebut, seperti Kota Venesia dan Pizza di Italia. Dalam perkembangannya kemudian orang-orang Venesia membolehkan pembangunan pasar perdagangan di Iskandaria yang dulu disebut

Suqul Aik (pasar Aik).

Shalahuddin menaruh segala perhatiannya terhadap pasar-pasar perniagaan hingga aktivitas ekonomi berkembang pesat dan kegiatan produksi meningkat dan semakin bertambah banyak jumlahnya di Mesir dan Syam. Shalahuddin juga selalu memperhatikan perbaikan dan perluasannya. Seorang ekspeditor, Ibnu Jubair pernah melintas di beberapa pasar tersebut dalam ekspedisinya pada masa Shalahuddin pada tahun 578 H dan mencatat kekagumannya pada sistemnya.

Ibnu Jubair memaparkan tentang Kota Aleppo sebagai berikut:

Adapun bangunan negeri tersebut besar sekali, bagus penataannya, indah pemandangannya, pasar-pasarnya luas lagi besar, berjajar teratur dan memanjang. Berbagai macam keahlian seni sampai ke segala bentuk perindustrian sipil mampu dihasilkan. Semua gedung beratapkan kayu, dimana

(32)

para penghuninya berada di bawah naungan yang membentang luas dan hidup nyaman. Pasar-pasarnya memikat pandangan mata, memaksa pasa musafir terhenti sejenak karena mengaguminya. Kebanyakan toko-tokonya terbuat dari kayu-kayu yang indah bentuknya (seni).

Di antara perindustrian-perindustrian yang mendapatkan perhatian dari Shalahuddin adalah industri persenjataan, tekstil kain, industri pakaian sutera sulaman, pelana kuda yang indah, dan industri kaca. Pada masa pemerintahannya juga tersebar perindustrian tembikar, perahu, armada, dan industri lainnya yang menghidupkan sistem ekonomi dan melipat-gandakan produksi, serta memperkuat keadaan kerajaan.

b. Pengembangan Dunia Industri

Shalahuddin menaruh perhatian pada industri pembuatan senjata, tenun, kain, pakaian sutera, pelana-pelana kuda yang indah, dan industri pembuatan kaca. Sebagaimana tersebar pada masanya industri pembuatan tembikar, kapal, armada laut, dan lainnya. Semua itu menjadikan ekonomi tumbuh berkembang, melipat-gandakan produktivitas, sehingga memantapkan sumber-sumber kekuatan negara. Pada masa Dinasti Ayyubiyah, para pengrajin dan pelaku industri termasuk orang-orang yang setia memelihara tradisi industri turun-temurun. Mereka bertahan dengan aturan-aturan dan teknik-teknik industri dari masa-masa sebelumnya. Para pelaku industri ini bergabung dalam asosiasi-asosiasi yang dapat melindungi hak-hak

(33)

mereka dan mengontrol pelaksanaan berbagai kewajiban mereka secara baik. Organisasi ini memiliki aturan dan tradisi yang dihormati oleh seluruh anggota dan didukung oleh negara dalam pelaksanaannya. Di antara pusat-pusat industri terkenal era Al-Ayyubi adalah:43

(a) Kota Kairo. Kota kairo pada awalnya tidak dibangun untuk dijadikan sebagai ibu kota negara dan tempat tinggal bagi setiap penduduk Mesir, akan tetapi pembangunan Mesir dimaksudkan sebagai tempat tinggal khusus bagi Khalifah, keluarga, prajutit, dan orang-orang terdekatnya. Namun pada kenyataannya, setelah satu abad lebih Kota Kairo menjelma menjadi pusat peradaban yang penting, menjadi tempat berkembangnya kehidupan masyarakat kota dengan beragam status sosial dan kebutuhan. Maka bertebaranlah di berbagai penjuru kota itu bermacam-macam kegiatan industri rumahan dan besar yang berkembang sangat pesat selama era Al-Ayyubi.

(b) Kota Fusthath. Kota ini dapat dikatakan hampir semua wilayahnya hilang total disebabkan pembakaran kota yang dilakukan oleh Syawar pada tahun 564 H, seandainya tidak mendapat perhatian dari keluarga Bani Ayyub. Maka sejak Asaduddin Syirkuh menduduki kursi Perdana Menteri, ia memperlihatkan keseriusannya untuk membangun kembali Fusthath. Upaya ini selanjutnya diteruskan oleh

43 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar halaman 462.

(34)

Shalahuddin yang memiliki perhatian besar kepada kota ini. Ia memperbaiki masjid-masjid dan berbagai fasilitas umum, serta mendirikan sejumlah madrasah. Ia satukan berbagai pekerjaan ini dengan membuat perlindungan bersama untuk dua kota, Fusthath dan Kairo. Hingga kehidupan di Fusthath mengalami kemajuan, dan pembangunan demi pembangunan dilaksanakan secara bertahap. Upaya pembangunan kembali Kota Fusthath dimulai pada masa Shalahuddin; Ia membangun sejumlah bangunan, pasar-pasar, dan pabrik-pabrik. Pabrik-pabrik Fusthath meliputi pabrik-pabrik peleburan, seperti peleburan tembaga, peleburan baja, dan sebagaima. Pabrik-pabrik ini dulunya menghasilkan bahan baku logam yang dilebut dan dicetak. Dan oleh para pelaku industri logam, logam dijadikan berbagai jenis senjata dan peralatan perang, peralatan rumah-tangga, dan beragam perkakas lain.

(c) Tunis. Kota Tunis dianggap sebagai pusat industri kain tenun terpenting di masa pemerintahan Dinasti Al-Ayyubiyah. Banyak di antara sejarawan dan para petualang telah menulis secara panjang-lebar seputar industri tenun ini. Kota ini bertahan di bidang industri dan perdagangan, sampai ia dihancurkan oleh Al-Malik Al-Kamil Muhammad bin Ayyub, dengan merobohkan tembok-tembok dan rumah-rumahnya pada tahun 624 H (1226 M).

(35)

Kota-kota lain yang terkenal sebagai pusat industri masa Al-Ayyubiyah adalah Kota Dimyat, Iskandaria, Damaskus, Aleppo, dan lain-lain.

c. Penghapusan Berbagai Jenis Pungutan Ilegal

Jumlah simpanan Shalahuddin sesudah wafatnya sekitar 46 dirham perak dan satu dinar emas. Sedangkan income daulah-nya sangat besar, sebagaimana belanja yang dikeluarkan untuk peperangan juga sangat besar. Setiap kali bertambah wilayah yang jatuh ke tangannya, maka pemasukan dan pengeluarannya untuk wilayah itu turut meningkat pula secara berkelanjutan.

Prinsip pengembangan income yang diterapkan ialah: (a) Penghapusan berbagai jenis pungutan dan pajak ilegal di seluruh wilayah yang ditaklukkannya; (b) Mencukupkan diri pada sumber-sumber income yang legal menurut Syari’at, yang terdiri dari zakat, jizyah, pajak (kharaj), harta rampasan perang, dan pajak 1/10 hasil perniagaan.

Kebijakan keuangan ini tampak jelas pada selebaran yang telah tersebar di masanya di wilayah Riqqah:

Pejabat paling sengsara itu adalah orang yang menggemukkan kantongnya dan menguruskan rakyatnya; dan yang paling jauh dari kebenaran itu adalah orang yang mengambil harta secara batil dan menyebutnya halal. Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan menggantinya; dan barangsiapa

(36)

menghutangi di jalan Allah dengan hutang yang baik, niscaya Dia akan menepati pembayarannya. Manakala urusan kami telah sampai ke penaklukkan kota Riqqah, maka kami pun mengontrol minyak samin yang dikonsumsi; kami hentikan kedzaliman yang telah diperintahkan oleh Allah untuk dihentikan; kami mewajibkan kepada diri sendiri dan kepada seluruh gubernur untuk menghapuskan segala macam pungutan serta menghapuskan catatan berbagai pajak di instansi-instansi.

Berikut kebijakan keuangan yang ditetapkan oleh Shalahuddin menurut selebaran yang telah tersebar di Riqqah pada masanya:44

a. Hasil ekspor Mesir merupakan sumber pendapatan negera. b. Shalahuddin menghapuskan pungutan yang biasa ditarik dari

jamaah Haji dari Maghribi,

c. Shalahuddin menghapuskan pungutan yang biasa ditarik dari para pedagang Yaman,

d. Shalahuddin menghapus pajak-pajak sejenis di Damaskus saat ia membebaskan kota itu; juga pungutan-pungutan di Aleppo, Sinjar, dan Riqqah.

Kebijakan keuangan yang ditetapkan oleh Shalahuddin selain di Riqqah antara lain yaitu menghapus berbagai macam pajak yang dulu ditarik oleh orang-orang salib di wilayah Ash-Shilt, Biqa’, Jabal Auf, Sudan, dan Jaulan. Ia mengganti semua pungutan itu dengan berbagai pendapatan yang sah menurut Syari’at. Ia menegakkan kewajiban zakat (yang dulu dihapuskan oleh penguasa Dinasti Fathimiyah),

44 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 465.

(37)

menyediakan kantor khusus untuknya, dan menunjuk para pengurus zakat. Zakat diambil dari emas, perak, perdagangan, peternakan dan pertanian; dengan membebaskan beberapa komoditi pangan seperti kismis, biji rami, zaitun, dan sayur-sayuran. Dulu kewajiban pajak

(kharaj) dipungut berdasarkan aturan dan waktu di Mesir. Kemudian

Shalahuddin menyesuaikan penarikan zakat sesuai kalender Hijriyah pada tahun 567 H. Adapun wilayah-wilayah lain di Syam dan Al-Jazirah, maka pajak ditarik sesuai dengan luas tanah dengan menggunakan ukuran faddan (seukuran luas 0,5 hektar). Pajak Jamawut (jelai) dan gandum adalah 2,5 ardab, untuk satu faddan. Para petugas pajak mengumpulkan pajak kemudian menyetorkan ke kantor Sultan. Ada pula pajak-pajak yang harus dibayar dengan uang yang diwajibkan pada sebagian penghasilan, seperti anggur dan buah-buahan, yang besarnya berkisar antara 1-5 dinar untuk satu faddan. Namun pada tahun ketiga besarannya tidak lebih dari 3 dinar. Dari kalangan Ahlud Dzimmah ditarik jizyah dengan membebaskan anak-anak perempuan, kaum wanita, dan para pendeta. Ini disebabkan dengan pajak al-jawali dengan besaran berbeda-beda sesuai dengan kondisi personalnya, yang berkisar antara satu sampai 4,5 dinar di samping kewajiban membayar 2,5 dirham untuk semua orang, setiap tahun. Tatkala bahan-bahan tambang dan kayu-kayu dibutuhkan ubtuk pembuatan berbagai jenis senjata, maka Shalahuddin melarang seorang pun ikut campur padanya dan memperketat monopoli negara atasnya. Ketentuan ini ditetapkan dalam kondisi perang melawan

(38)

pasukan Eropa, dan hukuman orang yang mencoba berkhianat padanya sangat besar.45

Mayoritas penghasilan negara digunakan untuk membiayai perperangan dan pembangunan benteng-benteng, tembok-tembok, pertahanan, sekolah-sekolah, masjid-masjid, lembaga-lembaga, penginapan-penginapan, di sejumlah jalan dan sudut-sudut negeri, gaji para pegawai negeri, dan lain-lain.

4. Bidang Ideologi Keagamaan

Dalam bab keyakinan dan cara beribadah, Shalahuddin mempunyai keistimewaan dalam keimanan, ibadah, ketakwaan, rasa takut kepada Allah, kepercayaan kepada-Nya, serta berlindung kepada-Nya. Al-Qadhi Baharuddin meriwayatkan bahwa Shalahuddin adalah seorang yang kuat keyakinannya, banyak berdzikir dan belajar melalui pengkajian ulama dan ahli fiqih.

a. Meluruskan pemahaman Islam yang salah pada masa Fathimiyah

Dari pemahaman rasional dan keyakinan kuat tersebut, Shalahuddin bangkit menghancurkan belenggu dan dogma-dogma ateisme di seluruh negeri. Apabila ia mendengar ada orang yang menyeru pada ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, ia

45 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 466.

(39)

langsung menyuruh untuk membunuhnya dengan cepat setelah meminta nasihat dari fuqaha dan ulama. Al-Qadhi Bahauddin berkata dalam hal ini, “Beliau sangat menjunjung tinggi hukum-hukum agama dan membenci filsafat-filsafat dan pemikiran-pemikiran yang merusak agama. Ia juga membenci orang yang menentang hukum Islam. Apabila ia mendengar ada orang yang menyimpang dalam kerajaannya, ia akan mengeluarkan perintah untuk membunuhnya.” 46

Ketika Shalahuddin menjadi menteri bagi dinasti Fathimiyah di Mesir pada masa mudanya, ia sangat sedih setelah melihat keadaan negeri yang penuh dengan aliran-aliran kebatinan dan sesat. Mazhab atau aliran yang sesat tersebut terangkum sebagai berikut, sesungguhnya imamah (kepemimpinan) bukan merupakan kemaslahatan umum yang kembali kepada kehendak rakyat, melainkan merupakan salah satu rukun agama yang tidak boleh seorang nabi melalaikan ataupun mengembalikannya kepada umat. Akan tetapi, rasul sebelum meninggal, harus melantik seorang imam bagi kaum muslimin. Imam tersebut harus ma’shum (suci atau bersih) dari dosa besar ataupun kecil. Sesungguhnya Ali bin Abi Thalib telah diangkat oleh Nabi Muhammad sebagai khalifah setelah beliau meninggal, sementara Abu Bakar dan Umar telah merampas kekhalifahan dari tangan Ali. Di antara mereka ada yang lebih ektrim atau radikal yang mengklaim ketuhanan para pemimpin tersebut, baik

46 Lilik Rochmad Nurcholisho, 2010, Shalahuddin Al-Ayyubiy, Jakarta: Inti Medina, halaman 188.

(40)

dengan mengatakan bahwa mereka itu manusia, tetapi mempunyai sifat-sifat ketuhanan atau mengatakan bahwa Tuhan inkarnasi ke dalam jiwa mereka. Di antara mereka ada yang memiliki loyalitas tinggi terhadap seorang pemimpin dan tidak mau berpindah kepada pemimpin yang lain, serta mengatakan bahwa pemimpin itu hidup abadi tidak akan mati meskipun hilang dari pandangan mata. Orang tersebut juga mengklaim bahwa imam tersebut akan muncul di akhir zaman dan membawa keadilan di muka bumi sebagaimana kezaliman memenuhi bumi.47

Pada masa dinasti Fathimiyah terdapat segolongan ekstrim Syi’ah dan Ismailiyah yang mengangkat Hakim bin Amrillah Al-Fathimiy menjadi khalifah pada tahun 408 H ketika Hamzah bin Ali mengatakan secara terang-terangan akan ketuhanan Hakim. Ia juga mengarang buku yang menyebutkan bahwa ruh Allah bersenyawa dalam diri Nabi Adam a.s lalu berpindah kepada Ali bin Abi Thalib lalu ruh Ali berpindah ke diri Aziz kemudian ke anaknya, Hakim yang menjadi Tuhan dalam pandangan mereka melalui reinkarnasi. Hamzah bin Ali dianggap sebagai pendiri ajaran reinkarnasi bagi aliran-aliran kebatinan.48

Setelah Shalahuddin menjabat sebagai menteri Mesir dan berkuasa di sana, dengan segera ia menumpas aliran sesat tersebut. Ia

47 Lilik Rochmad Nurcholisho, 2010, Shalahuddin Al-Ayyubiy, Jakarta: Inti Medina, halaman 188.

(41)

mengumpulkan segenap kekuatannya untuk menghapus ajaran dan pengaruh-pengaruh aliran sesat. Selain itu, ia juga mengganti aliran-aliran sesat dengan ajaran Ahlussunnah waljama’ah atau Sunni. Shalahuddin berhasil merealisasikan gagasannya tersebut tidak lama setelah ia menjabat sebagai menteri. Bahkan ia sudah berhasil membuka madrasah-madrasah di seluruh pelosok negeri yang kemudian dikenal dengan Madrasah An-Nashiriyyah dan Al-Kamiliyyah. Ia pun kemudian menghimbau seluruh kalangan masyarakat untuk ikut memajukan sekolah-sekolah tersebut guna mengajarkan agama Islam yang benar dan lurus. Di samping itu ia membersihkan ajaran Ahlussunnah waljama’ah dari segala penyimpangan dan penyelewengan.49

b. Upaya Shalahuddin menghidupkan pengaruh Sunni

Shalahuddin berambisi agar akidah Sunni mempunyai pengaruh dalam berbagai lembaga pemikiran dan pendidikan yang dibangunnya. Upaya tersebut antara lain:50

1. Pembangunan Madrasah-madrasah Sunni

Pembangunan madrasah ini dimulai pada tahun 572 H (1176 M), yaitu setelah kepastian sebagian besar wilayah Syam tunduk di bawah kekuasaan Shalahuddin, kemudian kembalinya ia ke Mesir

49

Lilik Rochmad Nurcholisho, 2010, Shalahuddin Al-Ayyubiy, Jakarta: Inti Medina, halaman 187.

50 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 345.

(42)

untuk mengatur berbagai urusan. Pada tahun ini ia memerintahkan pembangunan dua madrasah: Pertama, madrasah untuk pengikut madzhab Syafi’i yang dibangun berdekatan dengan makam Imam Asy-Syafi’i, madrasah ini dikenal sebagai Madrasah Shalahiyyah; Kedua, madrasah untuk para penganut madzhab Hanafi. Sesudah itu berturut-turut dibangun berbagai madrasah Sunni di beberapa tempat di Kairo, serta wilayah-wilayah lain yang diprakarsai oleh para pejabat Ayyubiyun dan para pembantu mereka.

Ibnu Jubair telah melengkapi gambarannya untuk kita ketika ia melanjutkan pengamatannya terhadap berbagai usaha Shalahuddin di Kairo dalam rangka memberikan berbagai kemudahan menuntut ilmu bagi orang-orang yang meminatinya. Ia mengatakan, “Yang mengherankan, disebutkan bahwa seluruh

qurafah adalah masjid-masjid yang dibangun dan masyhad-masyhad yang dihuni sebagai tempat berlindung bagi orang-orang

asing, para ulama, orang-orang saleh, dan orang-orang fakir. Bantuan untuk setiap tempat ini terus mengalir dari pihak Sultan setiap bulan, demikian pula berbagai madrasah yang berada di Mesir dan Kairo. Kita dapat memastikan bahwa biaya operasional semua itu menelan dana lebih dari 200 dinar setiap bulan.

Dari sini telah jelas, bahwa Shalahuddin yang mengawasi secara langsung jalannya penghidupan kembali gerakan Ahlus Sunnah di Mesir tidak hanya cukup dengan mendirikan sejumlah madrasah, tetapi sangat serius dalam menarik minat para ulama

(43)

Ahlus Sunnah untuk datang kepadanya dari segala penjuru wilayah Islam. Hal itu dilakukan agar mereka turut terlibat dalam upaya menghidupkan kembali pemikiran Sunni, yang sebelumnya para ulama Ahlus Sunnah disingkirkan dari Mesir.

Sebagaimana perhatiannya yang dicurahkan untuk menarik minat para ulama agar berbondong-bondong datang ke Mesir, Shalahuddin juga mencurahkan perhatiannya untuk menarik kalangan Sufi, maka ia pun membangun khanqah pertama untuk mereka di Mesir. Ia menjadikannya sebagai tempat persinggahan kalangan miskin dari kaun Sufi yang datang dari berbagai wilayah yang jauh, dan mewakafkan harta untuknya dalam jumlah yang besar. Untuk menangani urusan mereka, ia menunjuk seorang syaikh yang dikenal Syaikh Asy-Syuyukh. Al-Maqrizi menyebutkan, bahwa penghuninya terdiri dari kalangan Sufi yang terkenal dengan ilmu pengetahuan dan kesalehan mereka. Jumlah mereka mencapai 300 orang. Mereka diberikan perhatian yang sangat khusus, dari tunjangan makanan berupa roti, daging, dan manisan; mereka diberikan uang setiap tahunnya untuk membeli pakaian; mereka dibangunkan pula kamar-kamar mandi khusus di samping tempat mereka; dan barangsiapa hendak bepergian jauh, maka akan diberi ongkos yang dapat membantunya untuk mencapai tujuannya. Menurut dugaan, perhatian yang diberikan kepada kalangan Sufi ini tentu memiliki tujuan tertentu, yang masih berkaitan dengan gerakan menghidupkan kembali madzhab Sunni.

(44)

Meskipun tasawuf yang lurus mendapat penghormatan tersendiri dari pihak penguasa maupun masyarakat secara umum pada masa itu, namun perhatian Sultan terhadapnya seperti ini terutama di Mesir, pasti merupakan pekerjaan yang disengaja dan memiliki terget tertentu.

Jika Shalahuddin berupaya menarik minat para ulama Sunni untuk datang ke Mesir dari setiap tempat agar mereka ikut terlibat dalam gerakan menghidupkan kembali paham Ahlus Sunnah, maka ada aspek penting yang harus pula dikerjakan untuk memuaskannya dan memalingkannya dari orientasi yang dulu diarahkan oleh penguasa. Aspek penting ini adalah sisi emosional manusia, yaitu aspek yang dapat dikuasai oleh orang-orang Syiah dengan mudah. Kebetulan kaum Sufi termasuk di antara golongan yang mampu untuk memuaskan sisi ini melalui akhlak mereka yang mudah, toleran, kezuhudan mereka terhadap kegemerlapan dunia, kemampuan mereka untuk menarik emosi manusia melalui majelis-majelis nasehat, dzikir, dan lainnya. Benar saja, golongan Sufi pada masa Dinasti Ayyubiyah telah sukses menarik perhatian banyak orang kepada gambaran dan ritual mereka.

2. Elemen-elemen Sunni

Perhatian Shalahuddin dalam mengukuhkan eksistensi madzhab Sunni di wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaannya dilakukan secara intensif, bahkan para sultan

(45)

setelahnya pun tetap melanjutkannya. Berikut elemen-elemen budaya Sunni yang menjadi perhatian keluarga Ayyubiyun, antara lain:

a. Al-Quran yang Suci

Seluruh wilayah yang tunduk pada mereka diperintahkan untuk mengajarkan Al-Quran kepada anak-anak kecil dan mendorong mereka untuk menghafalnya. Ibnu Jubair menyebutkan, bahwa Shalahuddin telah memerintahkan agar menyemarakkan beberapa tempat di Mesir dengan kegiatan belajar-mengajar dan mengangkat sejumlah guru untuk mengajarkan Al-Quran kepada anak miskin, terutama anak-anak yatim, serta memberikan tunjangan yang memadai untuk mereka. Bahkan dahulu Shalahuddin mensyaratkan orang yang menjadi imam Shalat harus menguasai ilmu-ilmu Al-Quran dan baik hafalannya.

Qadhi Baha’udin bin Syidad menggambarkan, bahwa suatu hari Shalahuddin melewati seorang anak yang sedang membaca Al-Quran, maka ia menganggap bagus bacaannya lantas menyuruh anak tersebut mendekat padanya dan memberinya bagian dari makanannya. Ia pun kemudian mewakafkan sebagian lahan persawahan untuk anak itu dan orangtuanya.

(46)

b. Hadits yang Mulia

Perhatian khusus diberikan kepada hadits Nabi. Perhatian ini diberikan untuk memenuhi dua kebutuhan mendesak yang sedang dihadapi oleh masyarakat Islam di masa itu, baik di Syam maupun di Mesir. Hadits ini memiliki dua kebutuhan, umum dan khusus.

Dari sisi kebutuhan umum, ketika kaum Muslimin sedang berhadapan dengan musuh yang selalu menantikan kehancuran mereka dan melecehkan kesucian agamanya. Ambisi musuh-musuh Islam untuk memerangi orang-orang beriman ini tentu menuntut perhatian besar terhadap hadits Nabi. Tidak heran apabila Shalahuddin sangat menggemari hadits Rasulullah, berulang-ulang membaca dan mendengarkannya, bahkan ia berusaha untuk menggalakkan penulisan kitab-kitab tentangnya. Al-Imad Al-Ashfahani menyebutkan, di sela-sela kunjungannya ke Iskandaria pada tahun 572 H (1176 M) ia bolak-balik bersama Shalahuddin menemui Al-Hafizh As-Silafi dan mereka mendengarkan hadits darinya; sebagaimana ia bersama anak-anaknya mendengarkan Al-Muwatha’ Imam Malik dari seorang faqih Iskandaria. Baha’uddin bin Syidad menggambarkan bahwa Shalahuddin sangat suka mendengarkan hadits. Bahkan ia pergi menemui ulamanya apabila mereka termasuk di antara orang-orang yang menghindari pertemuan dengan para pejabat. Ibnu Syidad berkomentar, “Dia suka untuk membaca sendiri

(47)

hadits-haditsnya. Ia meminta saya datang menemaninya, lalu menghadirkan beberapa buku hadits dan membacanya.”

Perhatian kepada hadits tidak hanya dilakukan oleh Shalahuddin, tetapi banyak pula kalangan pejabat Dinasti Ayyubiyah yang berupaya mendengarkan hadits dan meriwayatkannya. Di antara mereka adalah Taqiyuddin Umar yang mendengarkan hadits dari As-Silafi di Iskandaria. Kemudian Al-Malik Al-Kamil yang mengikuti jejak Nuruddin dan membangun pusat kajian hadits pertama di Mesir.

c. Pokok-pokok Akidah Sunni

Orang-orang Ayyubiyun menaruh perhatian terhadap pemeliharaan pokok-pokok akidah sesuai dengan madzhab Imam Al-Asy’ari. Imam Al-Asy’ari termasuk ulama yang mengibarkan panji ilmu pengetahuan di berbagai bidang dan klasifikasinya, dan terhitung sebagai ulama yang sukses menyatukan beragam ilmu pengetahuan dan seni.

d. Berbagai Kajian Fikih

Keluarga Ayyubiyun menaruh perhatian sangat besar pada salah satu cabang Tsaqafah Sunni ini, melalui berbagai madrasah yang mereka dirikan dan wakafkan. Madrasah-madrasah yang dibangun untuk madzhab-madzhab fikih Sunni tidak begitu mendapatkan perhatian oleh keluarga Ayyubiyun, karena perhatiannya terfokus pada madzhab Syafi’i yang merupakan

Referensi

Dokumen terkait

Untuk memperoleh partai politik yang kuat dan stabil ternyata membutuhkan pengorbanan yang besar dari partai-partai politik itu sendiri. Berkaca dari sejarah kehidupan partai

Ustad Nur Rokhim adalah santri yang sejak awal telah membantu dan mendukung gagasan KH. Nurcholis Misbah untuk mendirikan pesantren. Ustad Nur Rohim menjadi santri

Sebagai landasan operasional seluruh kegiatan pembangunan itu adalah Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang telah disusun sejak tahun 1973, walaupun sebelumnya pernah

Pada masa ini kepemimpinan dan pemerintahan negara diatur menurut Undang-undang Dasar yang bertanggung jawab kepada parlemen sedangkan kabinet disusun menurut