• Tidak ada hasil yang ditemukan

Shalahuddin adalah orang yang cinta akan ilmu, mempunyai perhatian besar terhadap para ulama, dan tidak segan-segan memberikan harta dan tenaga untuk mengaktifkan dinamika pengetahuan di seluruh negeri. Ia membangun banyak madrasah dan menarik para penulis kitab, penyair, serta para ulama yang mempunyai disiplin ilmu dan pengetahuan.

84 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 528.

a. Sistem Sekolah

Sistem sekolah sudah ada ketika itu. Setiap anak yang sudah beranjak besar, ia akan masuk di sekolah-sekolah dasar untuk belajar Al-Qur’an dan menghafal sebagian hadits Nabi. Selain itu, mereka juga belajar kaligrafi Arab dan berusaha menyempurnakan sesuai kemampuan. Anak-anak juga diberikan beberapa mata pelajaran, seperti ilmu matematika dan menghafal beberapa bait syair atau prosa hikmah dan perumpamaan. Di samping itu, mereka juga belajar melaksanakan shalat secara berjamaah, berdoa kepada Allah, dan khusyuk dalam sembahyang.

Apabila anak tersebut telah tumbuh dewasa dan ingin menambah ilmu, maka ia bisa pergi ke pusat-pusat ilmu di Mesir, Suriah, Mosul, Bagdad atau Mekah untuk menyempurnakan ilmu-ilmunya. Seperti yang telah dipaparkan, Shalahuddin membangun banyak madrasah (sekolah). Beberapa madrasah yang dibangun oleh Shalahuddin yaitu:85

1. Madrasah Hanafiyyah

Madrasah Hanafiyyah didirikan pada tahun 572 H. Madrasah Hanafiyyah yang pertama yang dik Hanafiyyah yang pertama yang dikenal sebagai madrasah As-Suyufiyyah. Perhatian Shalahuddin terhadap madrasah ditunjukkan dengan membangun 32 bangku, dan bahkan ia tidak segan-segan mengeluarkarkan uang untuk membayar dewan guru yang mengajar di sana. Madrasah ini tetap

85 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi, halaman 345 dan Lilik Rochmad Nurcholisho, 2010, Shalahuddin Al-Ayyubiy, halaman 176.

berfungsi menebarkan pelita ilmu pengetahuan sampai Perang Salib berakhir.86

2. Madrasah Ash-Shalihiyyah atau Ash-Shalahiyyah

Shalahuddin membangun madrasah Ash-Shalihiyyah dan menjadikannya sebagai madrasah bermazhab Syafi’i. Shalahuddin sendiri beraliran mazhab tersubut, sehingga ia memiliki perhatian besar terhadap madrasah tersebut. Shalahuddin juga berwasiat supaya madrasah tersebut menjadi sebuah bangunan yang besar dan luas pengaruhnya. Shalahuddin juga membuat kolam di sampingnya dan sebuah pabrik roti di depannya, serta toko-toko.87

Pembangunan madrasah ini dimulai pada tahun 572 H (1176 M) di dekat makam Imam Syafi’i dengan status wakaf, untuk para penganut madzhab Syafi’i. As-Suyuthi menggambarkan madrasah ini melalui ucapannya: “Ini adalah mahkota seluruh madrasah. Disebutkan, bahwa pengajaran pada madrasah ini diserahkan kepada ilmuwan yang zuhud, yaitu Najmuddin Al-Khabusyani.”88

Ibnu Jubair pernah berkunjung ke madrasah ini di akhir bulan Dzul Hijjah tahun 578 H (1183 M). Waktu itu proses perluasannya masih terus berlangsung. Ibnu Jubair menyebutkan, bahwa tidak ada suatu madrasah pun di Mesir yang dibangun seperti madrasah

86 Lilik Rochmad Nurcholisho, 2010, Shalahuddin Al-Ayyubiy, Jakarta: Inti Medina, halaman 176.

87 Ibid.

88 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 345.

ini, dan tidak ada tandingan dalam luasnya lahan dan megahnya bangunan. Orang yang berjalan mengelilinginya akan membayangkan seakan-akan ia sebuah negara yang berdiri sendiri. Tidak terhitung biaya yang dikeluarkan untuknya yang ditangani sendiri secara langsung oleh Syaikh Al-Khabusyani. Pihak yang berwenang dalam hal ini yaitu Shalahuddin, memperkenannya untuk itu dan mengatakan, “Tambahlah keramaian dan keelokan, kami yang akan menanggung seluruh beban pembiayaannya.”89

Ibnu Jubair mengatakan, bahwa ia sangat ingin sekali bertemu dengan Al-Khabusyani, karena nama ini cukup terkenal di Andalusia. Barangkali sinyalemen yang disampaikan oleh Ibnu Jubair menguatkan, bahwa Shalahuddin sengaja memilih para ustadz untuk ditempatkan di berbagai madrasahnya dari kalangan ilmuwan yang memiliki ilmu, keunggulan dan kesalehan, serta dari nama-nama yang popularitasnya mencuat di seluruh dunia Islam; dengan harapan melalui tangan-tangan mereka, kiranya dapat terwujud berbagai tujuan yang hendak dicapainya, di samping agar mereka menjadi magnet untuk menarik berbagai penuntut ilmu dari seluruh wilayah Islam.90

3. Madrasah Al-Quds

Madrasah Al-Quds dibangun oleh Shalahuddin setelah merebut kembali Baitul Maqdis pada tahun 583 H. Ia menugaskan

89 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 345.

Al-Qadhi Bahauddin Ibnu Syidad untuk mengajar di madrasah tersebut. Banyak orang datang untuk menuntut ilmu di Baitul Maqdis hingga reputasi kota itu harum di mana-mana.91

4. Madrasah Masyhad Al-Husaini

Shalahuddin juga membangun madrasah di Kairo di dekat sebuah monumen (masyhad) yang dikait-kaitkan secara tidak benar kepada Al-Husain, dan menyediakan wakaf yang besar untuk pemeliharaannya. Hal ini seperti yang disinggung oleh Al-Maqrizi di tengah-tengah pembicaraannya tentang masyhad Al-Husain, ia berkata: “Tatkala Shalahuddin berkuasa, ia mengadakan kelompok belajar padanya dan perkumpulan para Al-Faqih Al-Baha’ Ad-Dimasyqi, yang biasanya duduk di sisi mihrab dengan membelakangi makam. Kemudian tatkala ia mengangkat Mu’inuddin Hasan bin Syaikh Asy-Syuyukh sebagai menteri untuk Al-Malik Al-Kamil, berhasil dikumpulkan dari berbagai wakafnya dana yang cukup untuk para Fuqaha.92

Apabila target umum yang hendak dicapai oleh Shalahuddin dalam pembangunan berbagai madrasah Sunni di Mesir adalah untuk memantapkan eksistensi madzhab Sunnah dan menggusur keberadaan madzhab Syiah, maka pembangunan madrasah di area

masyhad Al-Husain ini mempunyai tujuan berbeda. Ini adalah

91

Lilik Rochmad Nurcholisho, 2010, Shalahuddin Al-Ayyubiy, Jakarta: Inti Medina, halaman 177.

92 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 346.

benteng terakhir yang dijadikan tempat berlindung oleh sisa-sisa kaum Syiah di Mesir, dan merupakan salah satu strategi penguasaan Ubaidiyah untuk meraih simpati kalangan awam dari kaum Sunni. Oleh karena itu, sangat penting diadakan sebuah madrasah di tempat ini dalam rangka mengajarkan agama yang benar dam memerangi beragam akidah sesat Syiah yang telah disebarkan oleh sisa-sisa Dinasti Ubaidiyah.93

5. Madrasah Al-Fadhiliyah

Di antara madrasah yang cukup penting peranannya yang dibangun pada masa ini yaitu, Madrasah Fadhiliyah yang dibangun oleh Qadhi Al-Fadhi pada tahun 580 H (1184 M) dan ditetapkan sebagai wakaf untuk madzab Syafi’i dan Maliki. Bahkan salah satu ruangannya dijadikan sebagai tempat khusus untuk pembacaan Al-Quran yang mulia dan pengajaran ilmu Qiraat oleh Imam Al-Qasim Abu Muhammad Asy-Syathibi, pemilik Asy-Syathibiyah pada tahun 569 H (1294 M).94

Ia juga mewakafkan sejumlah besar buku untuk madrasah. Buku yang diwakafkan diperkirakan mencapai 100 ribu eksemplar buku dan menunjuk seorang juru tulis yang dibiayainya untuk mengajar anak-anak yatim. Al-Maqrizi menggambarkan madrasah

93 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 347.

ini melalui ucapannya: “Madrasah ini merupakan madrasah terbesar dan termegah di Kairo.”95

Shalahuddin pun membangun sebuah madrasah di Kota Iskandaria, madrasah untuk madzhab Syafi’i pada tahun 577 H (1181 M). Jumlah wakaf yang besar dan kemudahan fasilitas kehidupan di madrasah-madrasah ini untuk para guru dan pelajar, merupakan salah satu sarana penting yang turut andil dalam menarik minat para ulama dan pelajar datang ke Mesir. Dahulu setiap ada pembangunan madrasah selalu diikuti dengan gerakan wakaf untuk menjaga kelangsungan kehidupan ilmiah di madrasah tersebut.96

Ibnu Jubair berkata: “Di antara berbagai kebanggaan negeri ini yaitu Kota Iskandaria; dan kebanggaan yang kembali kepada Sultannya yaitu keberadaan sejumlah madrasah dan asrama yang diperuntukkan untuk para pelajar; dan mereka itu menjalani kehidupan zuhud, datang dari berbagai tempat yang jauh, sehingga setiap orang dari mereka mendapatkan fasilitas tempat tinggal dan seorang guru yang mengajarkannya ilmu pengetahuan yang hendak didalaminya, serta perhatian terhadap berbagai kondisinya. Perhatian Sultan terhadap orang-orang yang datang ke sana semakin meluas, ia memerintahkan pembuatan sejumlah kamar mandi untuk mereka gunakan, bahkan didirikan pula klinik untuk

95

Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 347.

mengobati setiap orang yang sakit di antara mereka, dan disediakan para tabib untuk memeriksa kondisi kesehatan mereka.97

Ibnu Jubair juga menyinggung tentang banyaknya jumlah masjid di Iskandaria, sampai-sampai di satu tempat terdapat empat atau lima masjid. Barangkali di antaranya terdapat masjid-masjid yang merupakan komplek, yang terdiri dari masjid dan madrasah. Semuanya disediakan imam-imam yang digaji oleh Sultan. Ada pun gaji yang didapat per bulannya berbeda. Ini merupakan keutamaan yang besar di antara berbagai keutamaan Shalahuddin.98

Gambaran cemerlang yang dilukiskan oleh Ibnu Jubair berkenaan dengan berbagai usaha Shalahuddin di Iskandaria ini, mengingatkan kita akan besarnya kerja kerasnya di kota ini dibandingkan di daerah lain. Hal itu dikarenakan kota ini telah menjadi basis pertahanan Ahlus Sunnag di masa kekuasaan Dinasti Fathimiyah.

Apabila wakaf Shalahuddin di Iskandaria, kota yang tetap mempertahankan identitas Sunni-nya sedemikian besar, maka tidak ada keraguan bahwa wakaf yang diperuntukkan untuk daerah-daerah lain, dimana propaganda orang-orang Syiah sukses mendapatkan sambutan, tentunya jauh lebih banyak dan besar. Apa yang ditetapkan Shalahuddin untuk Najmuddin Al-Khabusyani, guru di Madrasah Ash-Shalahiyyah, membuktikan hal tersebut.

97 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 349.

Secara khusus, ia memberikan kepadanya gaji sebesar 40 dinar setiap bulannya untuk tugas mengajar dan 10 dinar sebagai pengawas pada wakaf-wakaf madrasah. Ditambah dengan tunjangan sebesar 60 kati roti setiap hari dan dua galon sir minum dari Sungai Nil.99

Ibnu Jubair telah melengkapi gambarannya untuk kita ketika ia melanjutkan pengamatannya terhadap berbagai usaha Shalahuddin di Kairo dalam rangka memberikan berbagai kemudahan menuntut ilmu bagi orang-orang yang meminatinya. 100 Ia mengatakan, “Yang mengherankan, disebutkan bahwa seluruh

qurafah adalah masjid-masjid yang dibangun dan masyhad-masyhad yang dihuni sebagai tempat berlindung bagi orang-orang

asing, para ulama, orang-orang saleh, dan orang-orang fakir. Bantuan untuk setiap tempat ini terus mengalir dari pihak Sultan setiap bulan, demikian pula berbagai madrasah yang berada di Mesir dan Kairo. Kita dapat memastikan bahwa biaya operasional semua itu menelan dana lebih dari 2000 dinar setiap bulan.”

b. Kelompok Pengajar

Shalahuddin tidak hanya sekedar membangun madrasah-madrasah tersebut tanpa mengelola semua dengan baik, tetapi ia juga memerintahkan untuk mengatur administrasi di seluruh madrasah yang dibangun berdasarkan spesialisasi masing-masing

99 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 350.

dalam bidang ilmu dan agama. Adapun para pengajar terbagi menjadi dua kelompok, yaitu;101

1. Kelompok pengajar, yaitu ustadz dan pakar ilmu yang bertugas mengajarkan mata pelajaran kepada murid-murid. Di samping itu, menjawab pertanyaan-pertanyaan.

2. Kelompok pengulang, yaitu kelompok yang bertugas mengulang pelajaran yang disampaikan oleh dewan guru kepada para murid hingga kuat tertanam dalam benak mereka dan tidak hilang dari pemahaman mereka.

Para pengulang tidak jemu dalam memahamkan murid-murid yang kurang paham dengan lapang dada dan lemah lembut. Biasanya pengulang duduk di sebelah pengajar sampai habis waktu pelajaran dan semua beranjak dari kumpulan tersebut. Guru adalah orang yang pertama kali keluar dan meninggalkan tempat. Adapun murid-murid bersama pengulang untuk melaksanakan tugasnya. Tugas pengulang antara lain yaitu menyempurnakan tugas seorang pengajar.

7. Bidang Sosial

Kehidupan sosial masyarakat pada masa Shalahuddin mempunyai karakteristik giat bekerja, keseriusan, disertai semangat juang melawan

101 Lilik Rochmad Nurcholisho, 2010, Shalahuddin Al-Ayyubiy, Jakarta: Inti Medina, halaman 177.

Eropa dan musuh. Pada masa itu, sangat jauh dari segala bentuk kemegahan kososng dan palsu, serta melampaui batas.

Shalahuddin memberikan contoh yang baik kepada pasukan dan rakyatnya dalam berpakaian dan makan, serta kesederhanaan hidup. Imad Ashfahani melukiskan cara berpakaian dan bergaul Shalahuddin bahwa ia seorang yang hanya berpakaian dengan pakaian yang ia rasa baik, seperti baju yang terbuat dari rami, kapas, dan wol sampai orang yang duduk dengannya tidak tahu bahwa ia sedang duduk dengan seorang sultan karena kesederhanaannya.102

Shalahuddin adalah seorang olahragawan, gemar menunggang kuda dan bermain bola, sekaligus menggalakkannya. Ia juga pernah bepergian untuk menonton pertandingan-pertandingan bola dan hockey selepas shalat Dzuhur bersama pengikut-pengikutnya dengan menaiki kudanya. Ketika sampai ke medan, beliau langsung turun dari kudanya untuk menonton pertandingan dari dekat, dan para pemain bertanding sampai menjelang shalat Ashar. Sering kali ia ikut dalam pertandingan tersebut bersama pengiringnya untuk bertanding melawan kawan-kawannya. Selain itu, berburu juga merupakan hobinya yang paling disukai. Berburu merupakan hobi yang disukai oleh banyak orang. Dahulu, mereka berangkat secara berkelompok atau sendiri-sendiri, untuk berburu burung, ikan, angsa, dan kelinci dan mereka menggunakan anjing untuk berburu. Kegiatan tersebut apabila dikaitkan

102 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 477.

dengan peperangan, maka menunjukkan kesiapan yang sempurna dan kesiagaan penuh untuk terjun ke medan perang dengan keberanian yang luar biasa dan kegagahan tanpa tanding.103

Berikut beberapa kebijakan Shalahuddin dalam bidang Sosial104

a. Shalahuddin Merealisasikan Reformasi Besar dalam Masyarakat Islam

Reformasi yang disebut di sini yaitu membasmi berbagai bentuk kebebasan dan kemerosotan moral yang merajalela pada masa Dinasti Fathimiyah, khususnya perayaan dan upacara seperti:

1. Perayaan Nairuz.

Al-Maqrizy mengungkapkan bebagai bentuk kemungkaran dan kemerosotan moral dalam manuskripnya pada waktu itu. Suatu hari, pangeran yang dipanggil dengan pangeran Nairuz berpawai bersama orang banyak. Memaksa orang-orang untuk membayar pajak yang telah disusun di rumah para pembesar kerajaan. Sang pangeran merasa puas dengan pemberian yang banyak tersebut. Lalu orang-orang yang menyerupai wanita dan para pelacur berkumpul di bawah istana Mutiara dan khalifah dinasti Fathimiyah menyaksikan mereka bermain alat-alat musik. Arak diminum sambil diiringi perbuatan cabul. Dan apabila sadar dan keluar dari rumahnya, dia bertemu dengan orang yang menyiram dan mengoyak bajunya, serta menghina

103 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 477.

kehormatannya maka dia di antara dua pilihan, mengorbankan dirinya atau tersingkap kejahatannya.

Al-Maqrizi mengatakan dalam tulisannya: “Berbagai kemungkaran tampak terang-terangan di hari raya Nairuz yang dirayakan oleh kerumunan massa yang besar. Mereka bercampur-baur melihat-lihat gambar yang tersusun rapi di rumah besar, mereka puas dengan bermain judi. Bercampur di dalamnya orang-orang banci dan wanita-wanita fasik di Istana Mutiara, agar dapat disaksikan oleh Sultan. Mereka membawa berbagai alat musik di tangan mereka, menari dan bernyanyi dengan suara tinggi, meminum minuman keras di jalan-jalan dan orang-orang saling menyirami dengan air, air dicampur arak, dan air dicampur berbagai kotoran. Maka, jika ada orang yang bersembunyi melakukan kesalahan dengan keluar dari rumahnya, ia akan disambut oleh orang yang menyiraminya air, merusak pakaiannya, dan melecehkan kehormatannya. Jika ia bisa menebus dirinya, ia akan selamat tetapi jika tidak maka ia akan dipermalukan.”105

Hal inilah yang mendorong Shalahuddin untuk membasmi berbagai bentuk kerusakan moral dan kemungkaran dan membawa rakyat hidup suci dan bersih, menghidupkan kembali akhlak-akhlak Islam dan adab yang mulia. Ia mengembalikan moralitas Islam dan budi pekerti yang luhur.

105 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi, halaman 478 dan Lilik Rochmad Nurcholisho, 2010, Shalahuddin Al-Ayyubiy, Jakarta: Inti Medina, halaman 106.

2. Membasmi Bid’ah-bid’ah

Di antara bentuk-bentuk kerusakan yang dibasmi oleh Shalahuddin adalah Bid’ah-bid’ah pada hari tertentu dan perayaan, seperti bid’ah pada hari Asyura’ (hari ke-10 Muharram) yang dianggap sebagai hari kesedihan dan kedukaan bagi dinasti Fathimiyah. Pada hari tersebut banyak orang meratap dan menangis keras, seluruh aktivitas masyarakat berhenti, pusat-pusat perdagangan libur, serta orang-orang terlihat kalut seolah-olah setiap orang kehilangan orang yang paling mulia dan paling dicintai oleh mereka.

Shalahuddin akhirnya mampu menghapus kebiasaan tercela dan bid’ah-bid’ah buruk tersebut. Ia mampu mengubah masa itu ke dalam masa yang penuh kegembiraan dan kebahagiaan, serta memberikan keleluasaan bagi keluarga. Pada hari itu, orang-orang membuat

halawiyyat (roti manis), memakai baju bagus, dan makan-minum

berbagai makanan-minuman yang lezat. Tentunya apa yang dilakukan oleh Shalahuddin tersebut sesuai dengan dasar-dasar syariat dan adab Islam, bahkan memberikan keleluasaan bagi keluarga pada hari Asyura’ merayakan sesuatu sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad saw.

b. Karakter Shalahuddin

1. Senantiasa Memberi Tanpa Merasa Khawatir Kemiskinan Menimpanya.

Kemurahan hati Shalahuddin terhadap rakyat dan pemberiannya mengalir begitu saja sesuka hatinya. Dalam pandangannya terhadap harta seperti pandangannya terhadap tanah. Seperti contoh, Shalahuddin meninggal tidak meninggalkan emas dan perak dalam simpanannya kecuali 47 dirham Nasiriyyah dan sebiji emas. Beliau tidak mewariskan kerajaan, istana, bangunan, kebun, kampung, dan ladang, bahkan tidak satu pun hak milik.

Shalahuddin tidak mengambil sebagian harta tersebut untuk dirinya dan tidak mengistimewakan harta tersebut kepada salah seorang anggota keluarga maupun kerabatnya. Harta tersebut ia gunakan untuk proyek-proyek perbaikan, penyediaan sarana-sarana perang, dan untuk orang-orang yang berhak dari rakyatnya sehingga terwujud solidaritas sempurna, kekuatan bagi negara, dan penghidupan yang penting bagi setiap individu.

Kesejahteraan yang Shalahuddin berikan rakyatnya salah satunya dengan penghapusan berbagai jenis pajak yang dulu sangat memberatkan rakyatnya dan meresahkan banyak orang, seperti pajak yang diwajibkan oleh Gubernur Makkah terhadap kepada para jamaah Haji. Para jamaah Haji diperintahkan membayar bea masuk Makkah yang disetorkan lebih dahulu ke Jeddah. Maka semua peraturan ini dihapuskan oleh Shalahuddin, dan untuk penguasa Makkah ia berikan konpensasi dalam bentuk uang. Setiap tahunnya disetorkan kepadanya upeti sebanyak 800 irdam gandum, dengan

syarat harus dibagi-bagikan kepada warga yang tinggal di Dua Tanah Suci.106

2. Sifat-sifat Utama Shalahuddin Al-Ayyubi

Pribadi Shalahuddin Al-Ayyubi menjadi istimewa dengan keseimbangan moral luar biasa yang membantunya dalam mewujudkan berbagai tujuan agung. Di antara sifat-sifat Shalahuddin tersebut yaitu keberanian, kemurahan, kesetiaan, toleransi, santun, adil, pemaaf, ksatria, sangat bergantung kepada Allah, kecintaan kepada Jihad, berwibawa, kesabaran, kepasrahan, kesungguhan menuntut ilmu, dan sikap rendah hati, pecinta syair dan sastra.107 Selain sifat tersebut, Shalahuddin adalah seorang yang gemar mendengarkan Al-Qur’an; suka mendengarkan Hadits Nabi; mengagungkan syiar Agama; selalu berbaik sangka pada Allah.108

c. Wasiat Shalahuddin kepada putranya

Untuk menjaga keselamatan masyarakat dan kesatuan umat, serta menghilangkan kedzaliman, Shalahuddin berwasiat kepada putranya, Al-Malik Adz-Dzahir yang ia angkat sebagai gubernur Aleppo. Shalahuddin berkata dalam wasiat tersebut seperti yang diriwayatkan oleh Al-Qadhi Ibnu Syidad, “Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah karena takwa adalah inti segala kebaikan. Dan aku perintahkan kepadamu dengan perintah Allah

106 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi (terjemahan), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, halaman 479.

107 Lilik Rochmad Nurcholisho, 2010, Shalahuddin Al-Ayyubiy, Jakarta: Inti Medina, halaman 139.

karena itu adalah penyebab keselamatanmu. Hati-hatilah menumpahkan darah dan menjerumuskan diri ke sana karena darah tidaklah hilang begitu saja.109 Aku wasiatkan kepadamu untuk menjaga hati rakyat dan memperhatikan keadaan mereka. Kamu adalah orang kepercayaanku kepercayaan Allah atas mereka. Dan aku wasiatkan kepadamu untuk menjaga umara dan pembesar-pembesar penting kerajaan. Apa yang aku capai tidak lain karena jasa mereka. Janganlah kamu mendengki seseorang karena sesungguhnya kematian tidak menyisakan sedikit pun kepada seseorang. Hati-hatilah dengan dosa dalam hubunganmu dengan manusia yang lain karena dosa tersebut tidak terampuni kecuali dengan keridhaan mereka. Adapun antara engkau dan Allah maka Allah-lah yang akan mengampuninya dengan tobatmu. Sesungguhnya Allah Maha Mulia.”110

d. Pembangunan Rumah Sakit

Pada masa Shalahuddin belum terdapat sekolah-sekolah khusus untuk mempelajari kedokteran, tetapi bidang ini merupakan spesialisasi yang dipelajari di rumah-rumah sakit. Setelah penyampaian pelajaran, para pelajar dikerahkan di tengah-tengah orang sakit untuk menolong para pasien dan mengobati penyakit

109 Ungkapan ini berarti, secara emosional, darah manusia sering bergerak untuk melampiaskan amarah; secara sosial, sering terjadi konflik atau pertikaian berdarah. Dan secara medis, darah manusia memang terus bergerak dalam pembuluh darah dengan dipompa oleh jantung full 24 jam per hari, sehingga apabila darah ini membeku, maka meninggallah manusia itu. 110 Ali Muhammad Ash-Shalabi, 2013, Shalahuddin Al-Ayyubi, halaman 479 dan Lilik Rochmad

mereka.111 Shalahuddin telah mendirikan sejumlah rumah sakit,

Dokumen terkait