• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

2.2 Bio-ekologi Orangutan Kalimantan

Orangutan merupakan salah satu jenis kera besar yang tidak berekor (Anthony & Nayman 1978; Maple 1980 ). Nama ‘orangutan’ berasal dari bahasa melayu yang berarti orang yang hidup di dalam hutan. Masyarakat Kalimantan Barat sering menyebut ‘mayas’, sebutan ini pun sering digunakan oleh orang- orang melayu. Orangutan terbagi ke dalam dua sub spesies yaitu orangutan sumatera (Pongo pygmaeus abelii) dan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus).

2.2.1 Taksonomi

Klasifikasi orangutan menurut F.E Poirier (1964) dalam Groves (1971) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Sub Kingdom : Metazoa Phylum : Chordata Sub Phylum : Vertebrata

Klas : Mamalia

4

Sub Ordo : Primata Famili : Pongidae

Genus : Pongo

Spesies :Pongo pygmaeus wurmbii

Sub Spesies : Pongo pygmaeus wurmbiiLinneaus, 1760 Pongo pygmaeus abeliiLesson, 1872

2.2.2 Morfologi

Orangutan merupakan satwa yang besar dan dapat dibedakan antara jantan dan betina karena memiliki sexual dimorphismeyang jelas. Panjang badan jantan antar kepala sampai dengan kaki adalah 950 mm, dan memiliki berat 77 kg, sedangkan pada betina ukuran tubuhnya adalah 775 mm dan berat badannya 37 kg. Secara morfologi orangutan kalimantan dan sumatera sangat serupa, namun terdapat perbedaan yang mendasar pada warna bulunya (Napier & Napier 1985). Perbedaan tersebut bukan merupakan sifat yang mantap, namun digunakan sebagai penuntun kasar (Galdikas 1978).

Menurut Galdikas (1978) orangutan sumatera kadang-kadang memiliki bulu putih pada mukanya yang tidak pernah dijumpai pada orangutan kalimantan. Orangutan memiliki kulit yang kasar dan dengan warna bulu cokelat kemerah- merahan. Kulitnya liat dan tertutup papil-papil, warnanya cokelat tua sampai hitam dengan bercak-bercak tidak teratur warna biru dan hitam yang tampaknya menembus bulu-bulu terutama pada tubuh bagian bawah. Terdapat perbedaan warna antara orangutan sumatera dan kalimantan, warna bulu orangutan kalimantan lebih gelap dan lebih pendek dari pada orangutan sumatera (Napier & Napier 1985; Eckhardt 1975 diacu dalam Galdikas 1978). Bulu terdiri atas bulu kasar dan panjang, dibagian lengan dan bahu panjang bulu ini dapat mencapai 0,5 m. Bulu orangutan sumatera biasanya lebih lembut dan lemas, sedangkan bulu orangutan kalimantan lebih kasar dan jarang-jarang. Pada hewan muda dan setengah dewasa seikat bulu kasar dan tegak lurus di atas kepala. Pada hewan dewasa bulu ini lebih pendek, lebih rata dan berjumbai menutupi dahi. Bagian muka dan kantung tenggorokan tidak berbulu hanya pada jantan dewasa terdapat sedikit bulu berwarna jingga terang di bibir atas dan dagu (Uitgeverij & Hoeve 2003).

5

Pada sisi bagian muka terdapat gelambir pipi, terdiri dari jaringan ikat dan lemak. Gelambir ini merupakan ciri yang paling mencolok pada jantan dewasa. Seringkali kantung besar dan gelambir-gelambir pipi tadi hanya terdapat sebagian, terutama bila hewan tersebut kurang sehat atau kurus. Muka agak cekung dan lebih lebar pada yang jantan, rahang kuat dan menganjur ke depan, lengkung alis agak menonjol. Daun telinga kecil seakan akan menempel pada tengkorak. Mata kecil, lengan sebagai alat penting untuk hidup di pohon, sangat panjang dan terkuat di antara semua spesies kera. Tungkai-tungkai bawah agak pendek dan lemah. Kuku tangan dan kaki sangat melengkung, pada orangutan yang berasal dari Kalimantan ibu jari sering tidak berkuku. Hewan ini tidak berekor sama sekali. Oleh karena tungkainya pendek, maka tinggi saat berdiri tidak lebih dari 1.37 m dan betina kira-kira 1.15 m. Berat badan jantan 75-100 kg dan betina 35- 45 kg tergantung umur, keadaan kesehatan dan situasi makanan di daerah tempat tinggalnya yang berubah-ubah sesuai keadaan musim (Uitgeverij & Hoeve 2003). Gambar morfologi orangutan kalimantan jantan dewasa dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Morfologi orangutan kalimantan jantan dewasa.

Menurut Suwandi (2000) tulang pinggul orangutan mengalami rudimentasi (perubahan fungsi anggota tubuh) seolah-olah tidak mempunyai pinggul. Perut sangat buncit dan leher sangat pendek. Tangan dan kaki selalu

6

mencengkeram sehingga berbentuk seperti kait. Kaki dapat berfungsi sebagai tangan, sehingga apabila sedang bergerak di atas pohon dapat digunakan untuk berpegangan kuat. Tulang pinggul yang tidak berkembang memungkinkan orangutan dapat bergelayutan dan memutar badannya hingga seratus delapan puluh deratajat.

2.2.3 Habitat

Orangutan hidup di daerah-daerah dataran rendah, hutan bergambut, dan orangutan hanya hidup di hutan hujan tropis yang yang telah klimaks (Puri 2001; Maple 1980). Orangutan merupakan satwa yang arboreal, satwa ini biasa membuat sarang di tajuk-tajuk pohon yang tertutup yang memiliki ketinggian 6- 24 m di atas tanah (Napier & Napier 1985).

2.2.4 Penyebaran

Orangutan hidup di hutan-hutan tropis yang basah dan masih berada dalam kondisi primer, dalam batas-batas alam yang tidak dapat dilampaui seperti sungai atau gunung yang tingginya lebih dari 2000 m. Hewan ini hanya terdapat di dua pulau di Indonesia yakni di Sumatera dan Kalimantan. Orangutan paling banyak dapat ditemui di Propinsi Aceh tepatnya di bagian utara S. Wampu dan S. Simpang-Kanan serta di Peureulak. Selain itu di Sumatera dapat pula dijumpai di Meulaboh dan Singkel di Pantai Timur. Di pulau Kalimantan orangutan terdapat di hutan-hutan yang tidak dihuni dan lokasi hutan yang dilindungi di Serawak dan Sabah (Malaysia Timur) dan di Kalimantan (Indonesia) (Napier & Napier 1986), terutama di kedua sisi batas antara Serawak dan Kalimantan di tempat-tempat terisolir antara S. Sadong dan S. Batang Lupar di Serawak dan lebih ke utara dan timur Sabah termasuk Taman Nasional Kinabalu (Kinabalu National Park) (Uitgeverij & Hoeve 2003).

Uitgeverij dan Hoeve (2003) menyatakan bahwa tempat tinggal yang paling tidak terganggu adalah di pedalaman Kalimantan Timur, di daerah Sandakan sepanjang S. Lolan dan anak S. Kinabatang Hulu serta Segama Hulu. Sedangkan sebagian besar Kalimantan Selatan tidak dihuni orangutan.

7

2.2.5 Pakan

Menurut Uitgeverij dan Hoeve (2003) secara umum orangutan memakan segala macam buah-buahan yang tumbuh di hutan serta beraneka ragam bunga, kuncup bunga, dedaunan, kulit batang pohon, epifit, akar-akaran, gelagah, lumut, tanah humus, madu, lebah liar dan sebagainya. Kebiasaan memakan lumut dan menarik tunas tumbuhan, memeriksa potongan-potongan lepas kulit pohon, tanah dan humus, semuanya terdorong oleh kebutuhan untuk menghisap cairan dan mencari serangga serta larva yang dapat dimakan. Terkadang orangutan menggunakan tongkat sebagai ‘alat’ untuk memperoleh rayap dan makanan hewani yang lain.

Orangutan memenuhi kebutuhan pokok akan cairan melalui makanannya, kemudian menjilat bulu-bulunya sampai kering, memeras tanah basah dari pohon- pohon berongga dan menghisap tumbuhan yang mengandung air. Menurut Napier dan Napier (1985) pada saat musim kering mereka memakan kulit kayu dan memakan intisari dari tanaman.

Di Kalimantan orangutan sangat bersifat frugivorous. Dua jenis yang sangat mendominir makanan orangutan adalah Dracontomelon mangiferum dan Koordersiodendron pinnatum. Daun-daun yang biasanya dimakan oleh orangutan adalah daun-daun muda yang berada di ujung-ujung tajuk. Daun berukuran kecil Ficus sp dimakan dalam jumlah yang banyak, sedangkan daun yang berukuran besar diambil satu/dua lembar saja. Satwa ini juga suka memakan Pandanus ephiphyticus yang panjangnya 1,5 m yang tidak disukai oleh primata lain, sehingga dapat dijadikan suatu indikasi jika terdapat daun pandan yang jatuh, mengindikasikan bahwa daun pandan tersebut sisa makan orangutan. Dalam menyeleksi makanan orangutan seperti Hylobates, yaitu memilih pangkal daun atau pelilious sedangkan kulit kayu yang diambil hanya pada bagian ujung saja. Wilayah jelajah perhari untuk memenuhi kebutuhan makan mencapai 305 m di Kalimantan Timur, 800 m di Kalimantan Tengah dan 500 m di Sabah, hal ini tergantung pada keberadaan sumberdaya pakan (Bismark 1984). Terdapat perbedaan proporsi jenis-jenis makanan antara orangutan jantan dan betina menurut (Rodman 1977) dalam Bismark 1984, perbandingan proporsi jenis makanan antara orangutan jantan dan betina dapat dilihat pada Tabel 1.

8

Tabel 1 Proporsi jenis pakan orangutan jantan dan betina

Jenis %

Buah Daun Kulit kayu Bunga Insekta Jantan 67,1 23,2 4,9 2,8 1,9

Betina 58,6 22,0 16,5 2,1 0,8

2.2.6 Perilaku

Maple (1980) menyatakan bahwa aktivitas utama orangutan dipenuhi oleh aktivitas makan, selanjutnya istirahat, berjalan-jalan, bermain dan aktivitas yang dilakukan dalam prosentase waktu yang relatif sedikit adalah aktivitas mebuat sarang. Di alam liar secara umum orangutan turun dari sarang tidurnya sekitar 30 menit sebelum matahari terbit (MacKinnon 1974 diacu dalam Maple 1980). Orangutan masuk ke sarangnya ketika hari sudah mulai gelap. Setiap harinya orangtan selalu bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain dengan jarak rata-rata 500 m. Aktivitas orangutan cukup lamban dan malas (MacKinnon 1974 diacu dalam Maple 1980) hal ini disebabkan karena berat badannya yang cukup besar dan pohon-pohon di dalam hutan yang sangat bervariasi baik tinggi maupun letaknya, sehingga mereka harus berhati-hati dalam pergerakannya.

MacKinnon (1974) diacu dalam Maple (1980) menyatakan bahwa orangutan setiap harinya membuat sarang minimal satu sarang setiap hari untuk beristirahat dan tidur dimalam hari atau 1,8 sarang perhari berdasarkan perhitungan Rijksen (1978) dengan sebaran 0-6 sarang per hari. Kegiatan membuat sarang membutuhkan waktu sekitar 2-3 menit. Pembuatan sarang dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

1. Rimmingyaitu cabang dilekukkan secara horizontal untuk membentuk lingkaran sarang dan ditahan dengan cara melekukkan cabang lain. 2. Hanging yaitu cabang dilekukkan masuk ke dalam sarang untuk

membentuk mangkok sarang.

3. Pillaring yaitu cabang dilekukkan ke bawah sarang untuk menopang lingkaran sarang dan memberikan kekuatan ekstra.

4. Loose yaitu beberapa cabang diputuskan dari pohon dan diletakkan ke dalam dasar sarang sebagai alas atau di atas sarang sebagai atap. Orangutan umumnya membuat sarang baru pada pohon setiap malamnya (Galdikas 1984). Selain itu pernah terlihat orangutan menambahkan cabang- cabang segar pada cabang lama dan menggunakan sarang yang telah diperbaiki ini

9

sebagai tempat bermalam. Pada kejadian lain, pernah pula orangutan menggunakan sarang lama tanpa melakukan perbaikan sarang sedikit pun.

Orangutan umumnya tidak suka ribut. Jerit melengking dari seekor anak merupakan suatu bunyi yang mencolok jika suatu hewan tua ingin memberikan tanda bahaya maka akan terdengar suatu bunyi menderam-deram. Kalau mengadakan kontak dalam jarak dekat akan terdengar bunyi ciuman dan kenyaman. Melempar dengan dahan dan biasanya dilakukan baik jantan atau betina kalau ada manusia atau pendatang lain mendekat dan tidak disukai. Dahan dilemparkan ke bawah atau dikibas-kibaskan ke arah si pengganggu. Ada hewan yang lebih toleran dari pada yang lain, tetapi umumnya orangutan tidak suka dilihat atau diganggu manusia, walaupun sikap ini dapat berubah menjadi rasa ingin tahu, apabila manusia ramah atau sudah dikenal dengan baik (Uitgeverij & Hoeve 2003; Maple 1980).

2.2.7 Organisasi sosial

Menurut Napier dan Napier (1985) orangutan merupakan satwa yang soliter. Selanjutnya Maple (1980) menyebutkan bahwa orangutan hidup dalam kelompok keluarga kecil, jantan dewasa biasanya berkelana sendiri. Dua induk dengan anak-anaknya atau sejumlah kecil yang muda biasanya berkelana bersama. Kelompok orangutan menurut Rijksen (1978) diacudalamBismark (1984) dapat dibagi kedalam dua kategori yaitu:

a. Kelompok sosial, dalam hal ini individu-individu bergerak brsama- sama dan menunjukkan adanya satu koordinasi.

b. Assosiasi temporer, dalam hal ini individu-individu yang membentuk suatu kelompok ketika makan pada satu pohon, setelah itu terpecah kembali setelah melakukan aktivitas tersebut.

Hasil pengamatan oleh Rijksen (1978) diacu dalamBismark (1984) bahwa perbandingan antara orangutan yang soliter dengan yang berkelompok adalah 46% dengan 54%. Di Kalimantan orangutan yang benar berkelompok adalah sekitar 4.3% dari populasi jauh lebih rendah dari pada di Sumatera (17%).

Hubungan sosial orangutan terbentuk pada saat terjadi kontak langsung antar individu dengan individu lain selama menjelajah atau pada saat di pohon (Rijksen 1978) dalam(Ihsan 2000). Menurut Galdikas (1978) orangutan jantan dan betina dewasa hidup hampir selalu soliter, sedangkan hewan muda yang

10

sudah mandiri yakni jantan pradewasa dan betina remaja bersifat jauh lebih sosial. Orangutan jantan dewasa yang tidak berpasangan melewatkan hampir sepenuh waktunya dalam kehidupan menyendiri, bahkan tidak dapat menerima kehadiran sesama jenisnya. Dan diantara pongidae yang lain orangutan jantan dewasa lah yang jelas-jelas mempunyai sifat tidak tenggang terhadap sesama jenisnya. Sedangkan orangutan betina juga merupakan betina pongidae yang memiliki sifat interaksi terhadap sesama yang paling rendah. Sehingga menurut Rodman (1973) diacu dalam Galdikas (1978) sistem sosial orangutan sangat berbeda dari sistem sosial chimpanze dan gorilla. Harisson (1962) dan Schaller (1961) diacu dalam Galdikas (1978) menyatakan bahwa kesoliteran orangutan terbentuk akibat terlalu banyak orangutan yang diburu oleh manusia.

2.2.8 Ancaman yang dihadapi

Ancaman orangutan yang paling besar adalah manusia, terutama manusia yang menggunakan senjata. Ancaman orangutan terjadi sejak zaman batu sampai sekarang. Sejak zaman batu, manusia memburu hewan ini terutama untuk diambil dagingnya dan sejak akhir abad lalu keberadaan orangutan dinyatakan hampir punah terutama di Kalimantan dan Sumatera. Umumnya orangutan dari tempat tersebut dipindahkan ke tempat lain untuk keperluan kebun binatang atau untuk tujuan objek penelitian. Hewan ini ditangkap dalam jumlah yang besar dan pada saat pemindahan banyak yang mangalami kematian baik pada waktu dalam perjalanan maupun sesudahnya (Uitgeverij & Van Hoeve 2003). Selain itu Uitgeverij & Van Hoeve juga menyebutkan bahaya lain yang selalu mengancam hidup orangutan adalah tekanan yang datang terus menerus dari penduduk sekitar hutan tempat orangutan hidup. Konversi hutan menjadi area pertanian, perkebunan dan peruntukan lain terus meningkat, bahkan di Cagar Alam pun orangutan tidak bebas dari gangguan manusia.

2.3 Sistem Informasi Geografis (SIG)

Dokumen terkait