• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.3 Tahapan Penelitian

Penyusunan pemodelan spasial habitat orangutan ini dimulai dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder, yang meliputi data observasi lapang, data peta digital, studi literatur dan wawancara terhadap pengelola, pengunjung dan masyarakat. Data input atau data masukan bersumber pada peta digital diperoleh dari analisis peta dan observasi lapang. Proses analisis peta ini menghasilkan 4 peta tematik (layer) yang digunakan dalam pemodelan spasial habitat, yaitu peta jarak dari sungai, peta jarak dari jalan, peta jarak dari desa dan peta nilai Normalization Difference Vegetation Index (NDVI). Kemudian data titik sebaran atau peta distribusi orangutan diidentifikasi (Summarize zone) komponennya terhadap tiap layer dan dianalisis dengan menggunakan Analisis Komponen Utama Principle Component Analysis(PCA) untuk mendapatkan nilai bobot pada masing-masing layer. Selanjutnya semua layer ditumpang tindihkan

21

(overlay) sesuai dengan bobotnya masing-masing sehingga didapatkan model berupa peta kesesuaian habitat.

Model yang telah didapatkan yang berupa peta kesesuaian habitat kemudian dilakukan validasi (pengujian) berdasarkan data dari observasi lapang. Observasi lapang dilakukan dengan metode jalur (transect). Validasi model dilakukan agar dapat ditentukan tingkat akurasinya dan sebagai dasar diterima atau tidaknya model. Secara umum bagan alir tahapan penelitian disajikan pada Gambar 4.

4.4 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data utama yang diperlukan dalam penelitian, yaitu merupakan data spasial yang berupa peta batas kawasan penelitian, peta jaringan jalan, peta jaringan sungai, peta administratif, citra landsat TM untuk menentukan nilai NDVI dan data lapang untuk pembuatan serta validasi model yaitu lokasi sebaran orangutan di SM Sungai Lamandau.

Lokasi sebaran orangutan ditentukan melalui identifikasi titik keberadaan orangutan dengan menggunakan Global Positioning System (GPS). Idetifikasi keberadaan orangutan dilakukan dengan mendeteksi jejak. Dalam hal ini jejak yang dimaksud adalah sarang orangutan, karena menurut Meijard et al (2001) sarang adalah bukti keberadaan orangutan yang paling mudah diamati, karena sangat mencolok berada di atas pohon dengan bentuk berbeda dengan sekelilingnya. Terdapat 4 tipe sarang berdasarkan menurut (UNESCO-PanEco dalamYEL 2009) yaitu sarang kelas A dicirikan dengan daun masih segar, sarang baru, semua daun masih hijau. Sarang kelas B ditandai dengan daun sudah mulai tidak segar, semua daun masih ada, bentuk sarang masih utuh, warna daun sudah mulai coklat terutama di permukaan sarang, belum ada lubang yang terlihat dari bawah. Sarang kelas C atau sarang tua yaitu semua daun sudah coklat bahkan sebagian daun sudah hilang, sudah terlihat adanya lubang dari bawah. Serta, sarang kelas D yaitu semua daun sudah hilang, sebagian besar hanya tinggal ranting. Gambar setiap kelas sarang disajikan pada Gambar 5.

Gambar 4 Diagram alir tahapan penelitian.

23

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 5 Kelas sarang orangutan kalimantan (a) sarang kelas A, (b) sarang kelas B, (c) sarang kelas C, (d) sarang kelas D.

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data titik sarang untuk identifikasi keberadaan orangutan adalah metode transect. Transect dilakukan di sekitar 4 camp yang ada di SM Lamandau yaitu di sekitar Camp Rasak, Camp JL, Camp Gemini dan Camp Buluh. Transectdi sekitar camp tersebut dilakukan pada jarak minimal 2 km dari masing-masing camp untuk mengambil data titik sarang orangutan liar. Hal ini dikarenakan pada jarak 2 km dari camp merupakan wilayah jelajah orangutan rehabilitasi, sehingga sarang yang terdapat pada area tersebut merupakan sarang orangutan rehabilitasi yang dapat mempengaruhi keakuratan dalam pembuatan model. Titik hasil temuan lapang kemudian dikelompokkan menjadi dua dengan proporsi 2/3 atau 70% dari keseluruhan digunakan untuk

24

menyusun model, kemudian 1/3 atau 30% dari keseluruhan titik digunakan sebagai validasi.

Data sekunder yang dikumpulkan adalah data bio-ekologi orangutan kalimantan dan data kondisi umum lokasi penelitian. Data ini diperoleh dengan studi literatur dan wawancara dengan pengelola kawasan, pengunjung dan masyarakat.

4.5 Pengolahan Peta Tematik 4.5.1 Parameter yang digunakan

Pemodelan kesesuaian habitat orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeusWurmbii, 1760) merupakan proses peninjauan dan penilaian kebutuhan hidup (life requisites) orangutan kalimantan terhadap faktor-faktor habitat dan faktor-faktor gangguan. Faktor-faktor habitat yang digunakan adalah ketersediaan air yang diwakilkan oleh jarak dari sungai dan ketersediaan cover yang diwakilkan oleh nilai Normalization Difference Vegetation Index(NDVI). Faktor gangguan berasal dari aktivitas manusia yang diidentifikasi melalui jarak dari jalan dan jarak dari desa.

4.5.2 Pembuatan peta Buffer

Peta buffer yang dibuat adalah peta jarak dari sungai, peta jarak dari jalan dan peta jarak dari desa. Peta jarak dari jalan dibuat dari peta jaringan jalan, peta jarak dari sungai dibuat dari peta jaringan sungai, sedangkan peta jarak dari desa dibuat dari peta administratif yang dianalisis dengan menggunakan Arc Gis 9.3. Proses pembuatan peta buffer disajikan pada Gambar 6(a).

4.5.3 Pembuatan peta Normalization Difference Vegetation Index(NDVI) Peta Normalization Difference Vegetation Index(NDVI) dibuat dari citra landsat yang telah dilakukan koreksi geometri. Citra landsat tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan software Erdas imagine 9.1. Perhitungan NDVI dilakukan pada model maker Erdas menurut rumus:

=

Band − Band Band + Band

25

Gambar 6 (a) proses pembuatan peta buffer(b) pembuatan peta NDVI.

4.6 Analisis Komponen Utama / Principal Component Analysis (PCA) Principal Component Analysis (PCA) merupakan teknik analisis multivariabel (menggunakan banyak variabel) yang dilakukan untuk tujuan ortogonalisasi dan penyederhanaan variabel. Analisis ini merupakan teknik statistik yang mentransormasikan secara linier satu set variabel ke dalam variabel baru dengan ukuran lebih kecil namun representatif dan tidak saling berkorelasi (ortogonal) (Rosita 2008). PCA digunakan untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap distribusi orangutan kalimantan, berdasarkan titik distribusi orangutan kalimatan yang ditemukan (baik langsung maupun tidak langsung) dengan masing-masing layer (jarak dari sungai, jarak dari jalan, jarak dari desa dan nilai NDVI). Adapun titik yang digunakan untuk pembangunan model yaitu 70% dari titik keseluruhan yang ditemukan di lapang, dan sisanya 30% digunakan sebagai validasi. Dari hasil tersebut selanjutnya dapat ditentukan bobot dari masing-masing faktor yang mempengaruhi habitat orangutan kalimantan. Analisis PCA tersebut dilakukan dengan menggunkan perangkat lunak SPSS 1.5.

Hasil PCA yang digunakan untuk menentukan bobot masing faktor habitat dan untuk analisis spasial sehingga menghasilkan persamaan sebagai berikut:

26

Keterangan :

Y = total nilai kesesuaian habitat a-e = nilai bobot setiap variabel Fk1 = faktor jarak dari sungai Fk2 = faktor NDVI

Fk3 = faktor jarak dari jalan Fk4 = faktor jarak dari desa

4.7 Analisis Spasial

Titik sebaran orangutan kalimantan dianalisis dengan faktor-faktor spasial yang meliputi jarak dari sungai, jarak dari jalan dan jarak dari desa dan nilai NDVI. Analisis spasial dilakukan dengan metode tumpang susun (overlay), pembagian kelas (class), pembobotan (weighting) dan pengharkatan (skoring). Pemberian bobot didasarkan atas nilai kepentingan atau kesesuaian bagi habitat orangutan kalimantan. Pemberian bobot terdiri dari 3 nilai bobot, dimana nilai tertinggi menunjukkan faktor habitat yang paling berpengaruh, nilai di bawahnya menunjukkan faktor habitat yang berpengaruh sedang dan nilai terendah menunjukkan faktor habitat yang kurang berpengaruh. Klasifikasi kelas kesesuaian terdiri dari tiga kelas yaitu: 1 (rendah), 2 (sedang) dan 3 (tinggi). Model Matematika yang digunakan adalah:

1. Nilai skor klasifikasi kesesuaian habitat orangutan kalimantan.

SKOR = ΣWi * Fki

Keterangan:

SKOR = nilai dalam penetapan klasifikasi kesesuaian habitat Wi = bobot untuk setiap parameter

Fki = faktor kelas dalam parameter

2. Nilai selang skor klasifikasi kesesuaian habitat orangutan kalimantan ditentukan berdasarkan sebaran nilai piksel yang dihasilkan analisis spasial.

Selang = −

Keterangan :

Selang = nilai dalam penetapan selang klasifikasi kesesuaian habitat Smaks = nilai piksel tertinggi

27

Smin = nilai piksel terendah

K = banyaknya klasifikasi kesesuaian habitat 3. Nilai kesesuaian habitat orangutan kalimantan

KHn = Smin + SELANG dan/atau

KH = KHn-1 + SELANG Keterangan:

KHn = nilai kesesuaian habitat ke-n Smin = nilai skor terendah

KHn-1 = nilai kesesuaian habitat sebelumnya

SELANG = nilai dalam penetapan selang klasifikasi kesesuaian habitat

4. Nilai validasi klasifikasi kesesuaian habitat orangutan kalimantan

Validasi = % Keterangan:

Validasi = persentase kepercayaan

n = jumlah titik pertemuan orangutan kalimantan yang ada pada satu klasifikasi kesesuaian

N = jumlah total titik pertemuan orangutan kalimantan hasil survey

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Sebaran Sarang Orangutan Kalimantan

Suaka Margasatwa Sungai Lamandau terdiri dari dua tipe ekosistem yaitu ekosistem hutan dataran rendah dan tipe ekosistem hutan rawa air tawar. Kedua tipe ekosistem tersebut merupakan habitat bagi orangutan kalimantan. Dalam penentunan titik distribusi keberadaan orangutan di SM Lamandau yang dilakukan dengan identifikasi tidak langsung yaitu melalui sarang, ditemukan tiga kelas sarang dari empat tipe sarang yang diketahui berdasarkan UNESCO-PanEco dalam YEL (2009).Ketiga kelas sarang yang ditemukan adalah sarang kelas B, sarang kelas C dan sarang kelas D (Gambar 7).

(a) (b) (c)

Gambar 7 Sarang orangutan yang ditemukan di lokasi penelitian (a) sarang kelas B, (b) sarang kelas C, (c) sarang kelas D.

Sarang kelas B merupakan sarang yang memiliki bentuk masih utuh,daun sudah mulai tidak segar, semua daun masih ada, warna daun sudah mulai coklat terutama di permukaan sarang dan belum ada lubang yang terlihat dari bawah. Sarang kelas C ditandai dengan semua daun sudah berwarna coklat bahkan sebagian daun sudah hilang, sudah terlihat adanya lubang dari bawah. Serta, sarang kelas D ditandai dengan bentuk sarang yang sudah mulai tidak utuh, daun- daun penyusunnya rontok. Pada sarang kelas D ini hanya terdapat ranting-ranting penyusun sarang yang sudah mulai rusak. Dari hail survey di lapang didapatkan 72 titik sarang dari ke empat lokasi pengambilan data yang terdiri dari 11transek. Peta sebaran titik sarang orangutan di SM Lamandau dapat dilihat di Gambar 8.

29

Gambar 8 Peta sebaran sarang orangutan.

5.2 Peta Tematik untuk Pembuatan Model Spasial.

Pembangunan model spasial kesesuaian habitat orangutan kalimantan dilakukan dengan menganalisis penilaian kebutuhan hidup (life requisites) orangutan kalimantan terhadap faktor-faktor habitat dan faktor-faktor gangguan. Faktor-faktor habitat yang digunakan adalah ketersediaan air yang diwakilkan dari jarak dari sungai dan nilai Normalization Difference Vegetation Index (NDVI), sedangkan faktor-faktor gangguan berasal dari aktivitas manusia yang diidentifikasi melalui jarak dari jalan dan jarak dari desa.

5.2.1 Peta jarak dari Sungai

Hasil data survey dan pustaka diketahui bahwa orangutan dari berbagai lokasi yang ada di Kalimantan maupun Sumatera lebih umum terdapat di dekat sungai-sungai kecil atau besar dan di dekat rawa-rawa. Kepadatan populasi tertinggi terdapat pada petak-petak hutan kecil yang berada di lembah-lembah sungai, hutan-hutan gambut di dekat rawa-rawa atau di antara sungai-sungai kecil. Hal ini disebabkan karena keanekaragaman jenis-jenis pohon di lembah-lembah lebih tinggi dibandingkan dengan di perbukitan(Mackinnon 1972). Selain itu hasil

30

penelitian Rijksen (1978) menunjukkan karakteristik habitat orangutan ditunjukkan dengan tidak adanya dominasi dari satu jenis pohon atau vegetasi.

Orangutan memenuhi kebutuhan pokok akan cairan melalui beberapa sumber yaitu dari makanannya, kemudian menjilat bulu-bulunya sampai kering, memeras tanah basah dari pohon-pohon berongga, menghisap tumbuhan yang mengandung air dan dari sungai (Napier & Napier 1985). Pada musim kemarau di lokasi penelitian yang merupakan hutan rawa mengalami kekeringan, beberapa sungai-sungai kecil juga mengalami pengeringan. Pada saat penelitian dilakukan, dijumpai kondisi lantai hutan yang kering dan sungai-sungai kecil yang mengalami pendangkalan. Kondisi sungai di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 9.

(a) (b)

Gambar 9 Kondisi sungai di lokasi penelitian (a) sungai besar yang surut (b)sungaikecil yang mengalami kekeringan.

Penentuan klasifikasi jarak dari sungai ditentukan pada jelajah harian orangutan. Galdikas (1988) menyatakan bahwa jelajah harian orangutan antara 90 m sampai 3050 m, dan rata-rata orangutan menempuh jelajah harian 790 m, sehingga selang setiap kelas kesesuaian untuk bufferditetapkan sebesar 800 m. Jarak dari sungai diklasifikasikan menjadi 5 kelas, yaitu 0-800 m, 800-1600 m, 1600-2400 m, 2400-3400 m dan lebih dari 3400 m. Kelas 0-800 m memiliki luasan paling besar yaitu sebesar 27803,07 ha, kelas 800-1600 m memiliki luasan 20996,82 ha, kelas 1600-2400 m memiliki luas sebesar 15659,61 ha, kelas 2400- 3200 m memiliki luas sebesar 8818,20 ha dan kelas >3200 m memiliki luas sebesar 6741,81 ha. Jarak kurang dari sama dengan 800 m dari sungai dianggap

31

habitat yang sesuai untuk orangutan kalimantan. Peta kelas jarak dengan sungai dapat dilihat pada Gambar 11. Adapun luas tiap kelas jarak dari sungai disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Luas setiap kelas jarak dari sungai

No Jarak sungai Luas (ha)

1. 2. 3. 4. 5. Jarak 0-800 meter Jarak 800-1600 meter Jarak 1600-2400 meter Jarak 2400-3200 meter Jarak > 3200 meter 27803,07 20996,82 15659,61 8818,20 6741,81

5.2.2 Peta Normalized Difference Vegetation Index( NDVI)

Keberadaan orangutan erat kaitannya dengan kondisi vegetasi. Orangutan menggunakan vegetasi untuk kebutuhan makan dan membuat sarang. Maple (1980) menyatakan bahwa aktivitas utama orangtuan dipenuhi oleh aktivitas makan, selanjutnya istirahat, berjalan-jalan, bermain dan akitivitas yang dilakukan dalam presentase waktu yang relatif sedikit adalah aktivitas membuat sarang. Perilaku mencari pakan merupakan aktivitas harian yang sangat dominan dari keseluruhan aktivitas harian orangutan yaitu mencapai 60,1% (Galdikas 1978). Sebagian besar pakan orangutan berasal dari tumbuhan yaitu berupa buah, daun, kulit kayu, bunga dan hanya sebagian kecil orangtuan memakan serangga. Orangutan kalimantan sangat berifat frugivorous, dua jenis yang sangat mendominir makanan orangutan adalah Dracontomelon mengiferum dan Koordersiodendron pinnatum(Rodman 1977).

Vegetasi terutama pohon yang berada disekitar pohon pakan juga digunakan oleh orangutan untuk membuat sarang. Hal ini sesuai dengan pernyataan MacKinnon (1974) dalamMaple (1980) yang meyebutkan bahwa orangutan setiap harinya membuat sarang minimal satu sarang setiap harinya untuk beristirahat dan tidur di malam hari atau sebagai pohon tidur. Penggunaan pohon sebagai sumber pakan dan tempat istirahat disajikan pada Gambar 10.

32

(a) (b)

Gambar 10 Pakan dan pohon tidur orangutan kalimantan. (a) Dracontomelon mangiferum (b) sarang di pohon tidur sebagai tempat istirahat.

Beberapa tipe vegetasi yang terdapat di lokasi penelitian yaitu semak belukar dan hutan sekunder. Pada saat penelitian sarang yang ditemukan sebagian besar tidak terdapat di pohon pakan, namun keberadaan pohon pakan selalu terdapat disekitar pohon sarang (pohon tidur). Perilaku tersebut ditujukan untuk menghindari adanya konflik atau gangguan dengan orangutan lain atau dengan satwa lain dan memudahkan orangutan untuk mencari makan dihari berikutnya. Ketergantungan orangutan terhadap vegetasi mengakibatkan kuantitas vegetasi berupa tutupan lahan di lokasi penelitian memiliki pengaruh yang besar bagi keberlangsungan hidup orangutan kalimantan.

Pengukuran indeks vegetasi dengan menggunakan Normalization Difference Vegetation Index (NDVI) merupakan metode yang digunakan untuk mengukur kuantitas vegetasi di lokasi penelitian. Perhitungan menggunakan NDVI ini umum dilakukan karena memiliki korelasi yang kuat dengan karakteristik vegetasi. Nilai NDVI menggambarkan penutupan vegetasi di atas permukaan tanah dengan nilai kecerahan yang berbeda-beda. Nilai NDVI ini didapatkan dari penerimaan gelombang elektromagnetik merah (red) dan inframerah dekat (near IR). Gelombang tersebut pada citra Landsat TM diperoleh dari band 4 (band inframerah dekat) dan band 3 (band merah).

Nilai NDVI di lokasi penelitian dibagi ke dalam 3 kelas, yaitu -1 – 0,0; 0,0-0,25; dan lebih dari 0,25. Nilai NDVI -1-0 menunjukkan tutupan lahan berupa badan air, nilai 0-0,1 menunjukkan lahan terbuka dan nilai >0,1 menunjukkan

33

vegetasi (Anonim 2002). Luasan dari masing-masing kelas diketahui: kelas -1-0,0 memiliki luasan 2663,68 ha, kelas 0,0-0,25 memiliki luasan paling kecil yaitu 15766,11 ha dan kelas lebih dari 0,25 memiliki luasan paling besar yakni 37617,17 ha. Luas tiap nilai NDVI disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Luas tiap kelas nilai NDVI

No Nilai NDVI Luas (ha)

1. 2. 3.

Nilai -1-0,0 Nilai 0,0 – 0,25 Nilai lebih dari 0,25

2663,68 15766,11 37617,17

Dalam pengukuran nilai NDVI dapat terjadi perbedaan digital number akibat adanya beberapa faktor seperti kemiringan lereng, adanya awan dan adanya stripingdaricitra. Citra Landsat TM path/row; 120/62 tanggal 18 Agustus 2006 yang digunakan untuk menghitung nilai NDVI mengalami striping. Sehingga, dalam pengkelasan nilai NDVI area yang mengalami stripingberkumpul kedalam kelas -1-0,0 yang menunjukkan nilai non vegetasi atau badan air. Peta kelas nilai NDVI di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 12.

Adapun dari hasil observasi terdapat beberapa pohon pakan yang berada di lokasi penelitian dan jenis pohon yang teridentifikasi adalah 28 jenis diantaranya adalah ramin (Gonistyllus bancanus), ubar (Eugenia Sp), ubar merah (Syzygium sp.), beringin (ficus spp), bedaru (Cantleya corniculata), jelutung (Dyera costulata) dan sebagainya.

5.2.3 Peta jarak dari jalan

Pembuatan model kesesuaian habitat orangutan tidak hanya didasarkan pada faktor habitat yang merupakan kebutuhan hidup, melainkan juga dari faktor ancaman atau gangguan. Orangutan merupakan satwa yang sensitive terhadap keberadaan masyarakat. Masyarakat sebagian besar menimbulkan tekanan terhadap keberadaan orangutan.

Menurut Primacket al(1998) populasi orangutan di habitatnya mengalami penurunan drastis, diperkirakan dalam kurun waktu 10 tahun terkahir ini menyusut 30% - 50%. Estimasi populasi orangutan yang dilakukan menemukan bahwa populasi orangutan di Pulau Sumatera hanya terdapat sekitar 9.200 ekor

34

sedangkan di Pulau Kalimantan hanya terdapat sekitar 10.000-15.000 ekor (Williams et al 1998).

Penurunan populasi orangutan tersebut terjadi karena tekanan masyarakat, baik tekanan terhadap habitat yang menjadi tempat tinggal maupun terhadap orangutan sendiri. Bentuk tekanan yang dilakukan oleh masyarakat yaitu berupa hutan yang menjadi habitatnya telah rusak dan hilang oleh penebangan liar, konversi lahan dan kebakaran. Selain itu penurunan populasi tersebut juga disebabkan oleh tingginya perburuan orangutan. Perburuan tersebut terjadi karena dipicu tingginya konsumsi daging orangutan oleh orang Dayak dan sebagian etnis Cina, serta maraknya perdagangan orangutan sebagai satwa peliharaan (Meijaard et al 2001).

Jalan merupakan akses yang mempermudah adanya interaksi masyarakat dengan orangutan maupun dengan habitatnya yang mengakibatkan tekanan atau gangguan terhadap keberadaan orangutan. Adanya jalan akan mempermudah adanya perburuan, illegal loging, serta konversi hutan.

Pada penelitian kali ini, pembagian kelas jarak dengan jalan dikelompokkan menjadi lima kelas. Dasar yang digunakan dalam penentuan selang ini sama dengan penentuan selang kelas pada peta jarak dengan sungai yakni berdasarkan jelajah harian orangutan kalimantan yaitu 800 m. Peta jarak dengan jalan dibagi menjadi tiga kelas yakni 0-800 m, 800-1600 m dan lebih dari 1600 m. Luas masing-masing kelas jarak dengan jalan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Luas tiap kelas jarak dengan jalan

No Jarak dari Jalan Luas (ha)

1. 2. 3.

Jarak 0-800 meter Jarak 800 – 1600 meter Jarak lebih dari 1600 meter

16022,34 12680,91 51315,66

Keberadaan sarang terbanyak terdapat pada kelas lebih dari 1600 m. Hal ini disebabkan karena semakin jauh sarang orangutan kalimantan dari jalan maka tekanan atau gangguan yang diterima semakin sedikit. Peta kelas jarak dari jalan di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 13.

38

5.2.4 Peta jarak dari desa

Jarak dari desa juga merupakan faktor ancaman yang digunakan dalam penyusunan model kesesuaian habitat orangutan kalimantan selain jarak dari jalan. Jalan merupakan akses masyarakat untuk berinteraksi dengan hutan. Adapun desa merupakan suatu tempat berkumpulnya komunitas masyarakat untuk melakukan kehidupan sehari-hari. Keberadaan desa di sekitar lokasi penelitian sangat berpengaruh terhadap keberadaan orangutan. Semakin dekat dengan desa, maka interaksi terhadap kawasan atau lokasi penelitian pun semakin tinggi. Semakin tinggi interaksi dengan kawasan maka keberadaan orangutan pun semakin terancam.

Lokasi penelitian yakni Suaka Margasatwa Sungai Lamandau berada di dua kabupaten yaitu Kotawaringin dan Sukamara. Di lokasi penelitian ini terdapat desa-desa yang berada disekitar kawasan. Namun tidak semua desa berbatasan langsung dengan kawasan, rata-rata jarak dari desa ke kawasan lebih dari 3000 m.

Ancaman yang datang terhadap kawasan selain dari masyarakat yang berada di desa sekitar, ancaman juga datang dari mayarakat pendatang dari desa- desa yang berada jauh dari kawasan. Masyarakat dari luar, datang kekawasan untuk menyadap pohon jelutung (pematung) dan mencari ikan. Mereka tinggal dan membangun pondok di dalam hutan. Pada saat penelitian ditemukan beberapa spot-spot pondok pematung. Pematung ini setiap hari berinteraksi dengan hutan, setiap hari mereka masuk hutan untuk mencari dan menyadap pohon jelutung. Keberadaan pematung ini dianggap tidak menjadi ancaman bagi orangutan yang berada di dalam kawasan. Sehingga, oleh pengelola kegiatan menyadap jelutung masih diperbolehkan. Namun, berdasarkan hasil wawancara terhadap penjaga kawasan dan pegawai yang berada di lokasi penelitian, pernah terjadi konflik antara pematung dan orangutan.

Spot-spot pondok pematung tidak digunakan sebagai variabel penyusun model kesesuaian habitat orangutan kalimantan dikarenakan spot-spot pondok pematung tersebut bersifat temporer. Pematung yang berada didalam kawasan bersifat nomaden atau berpindah-pindah. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara terhadap pematung yang berada di dalam kawasan dan berdasarkan temuan lapang yakni terdapat beberapa bekas pondok pematung yang ditinggalkan karena pindah

39

kelokasi lain maupun pulang ke daerahnya masing-masing. Gambar pohon jelutung yang disadap oleh pematung disajikan pada Gambar 14.

Gambar 14Pohon jelutung (Dyera costulata) yang disadap.

Peta jarak dari desa dibagi ke dalam lima kelas, yaitu 0-3000 m, 3000- 6000 m, 6000-9000 m, 9000-12000 m dan lebih dari 12000 m. Luas setiap selang kelas jarak dengan dengan desa dapat dilihat pada Tabel 5. Peta kelas jarak dari desa disajikan pada Gambar 15.

Tabel 5 Luas setiap kelas jarak dari desa

No Jarak Luas (ha)

1. 2. 3. 4. 5. Jarak 0-3000 meter Jarak 3000-6000 meter Jarak 6000-9000 meter Jarak 9000-1200 meter Jarak > 1200 meter 311,13 3822,30 11678,76 18114,93 46091,79

Gambar 15 Peta kelas jarak daridesa.

4

41

5.3 Pembuatan Model Kesesuaian Habitat Orangutan Kalimantan 5.3.1 Pembobotan dengan metode PCA

Penentuan bobot untuk membangun model kesesuaian habitat orangutan kalimantan diperoleh dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (Principal Componen Analysis/PCA) dengan software SPSS 1.5. Faktor bobot menggambarkan kepentingan relatif dari variabel yang digunakan dalam pemodelan spasial habitat (Indrawati 2010).

Dokumen terkait