• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biografi K.H Ahmad Sanusi Dan Latar Belakangnya

BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (PERAN

B. Biografi K.H Ahmad Sanusi Dan Latar Belakangnya

K.H Ahmad Sanusi dari Sukabumi di lahirkan pada tanggal 12 Muharram 1306H, Bertepatan dengan tanggal 18 September 1888 M(Daftar Orang-orang

Indonesia Terkemuka di Jawa, R. A. 31No. 2119).3 Di kampung CantayanDesa

Cantayan Kecamatan Cantayan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat (daerah tersebut dulunya bernama kampung Cantayan Desa Cantayan Onderdistrik Cikembar, Distrik Cibadak, Afdeeling Sukabumi). Putra ketiga dari delapan bersaudara, dari pasangan K.H Abdurrohim (Ajeungan Cantayan, Pimpinan Pondok Pesantren Cantayan) dengan ibu Empok.4

Beliau adalah seorang yang membentengi aqidah umat dan melahirkan pendidikan yang membebaskan. Karena disatu sisi, ia menyaksikan pendidikan Islam (pesantren) tertinggal jauh oleh pendidikan yang diselenggarakan oleh misionaris Kristen, sedangkan disisi yang lain pendidikan Islam (non formal) yang ada waktu itu adalah penghulu yang menjadi ajang kepanjangan tangan pemerintah colonial.5 Dan K.H Ahmad Sanusi merupakan seseorang yang sangat gigih dalam perjuangannya, dan tidak hanya di keagamaan beliau berperan namun di politik pun beliau aktif.6

Dilihat dari silsilah keluarga, K.H Ahmad Sanusi masih keturunan Syaikh Haji Abdul Muhyi Pamijahan, seorang Waliyullah yang berada di daerah Pamijahan Tasikmalaya.7 Didalam buku karangan Miftahul Falah, bahwa berdasarkan cerita yang berkembang di lingkungan keluarga dan masyarakat

2 Miftahul Falah, S.S, Riwayat Perjuangan K.H Ahmad Sanusi, (Masyarakat Sejarawah Indonesia: Maret 2009), hlm. 2-4.

3Wawancara dengan Drs.H. Munandi Shaleh, pada tanggal 11 Februari 2014.

4Munandi Shaleh, M,Si, K.H Ahmad Sanusi Pemikiran dan Perjuangannya Dalam Pergolakan Nasional, (Sukabumi: Ketua Umum MUI, 21 September 2011), hlm. 3.

5http://ahmadalim.blogspot.com/2010/08/kh-ahmad-sanusi.html, Diakses pada tanggal 18 September 2013.

6 Wawancara Drs. K.H. Hasanudin M.Ag, pada tanggal 11 Februari 2014. 7 Munandi Shaleh, M,Si, loc.cit., hlm. 3.

sekitarnya, K.H Abdurrahim berasal dari Sukapura (Tasikmalaya). Konon diceritakan bahwa, ayah K.H Abdurrahim yang bernama H. Yasin masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Raden Anggadipa. Ketika memegang jabatan sebagai Bupati Sukapura, Raden Anggadipa dikenal dengan nama Raden Tumenggung Wiradadaha III. Ia dikenal juga dengan panggilan Dalem Sawidak karena memiliki anak sekitar enam puluh orang.Cerita lain menyebutkan bahwa H. Yasin merupakan keturunan Syaikh Haji Abdul Muhyi, penyebar agama Islam di daerah Tasikmalaya Selatan yang berpusat di Pamijahan.

H. Yasin berangkat mengembara ke Sukabumi sampai ia memutuskan untuk menetap di Cantayan. Dalam pengembaraan itu, ia ditemani istrinya yang bernama Naisari. Dari perkawinannya itu, H. Yasin memiliki sepuluh orang putra dan salah satunya bernama K.H Abdurrahim sebagai anak ke enam. Lima orang kakaknya masing-masing bernama Sardan, Eming Ja’ud, Coon, Maryam, dan Iti. Sementara itu, empat orang adiknya masing-masing bernama Fatimah, Madjid, Eming Emot, dan Rohman.

Dan K.H Ahmad Sanusi merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara buah cinta K.H Abdurrahim dengan Empok, istrinya yang pertama. K.H Ahmad Sanusi memiliki dua orang kakak yang masing-masing bernama Iting (Perempuan) dan Abdullah (Laki-laki); serta memiliki lima orang adik yang masing-masing bernama Ulan, Nahrowi, Soleh, Kahfi, dan Endah. Selain itu, K.H Abdurrahim pun memiliki enam orang anak hasil pernikahannya dengan Eno, istri keduanya, yang masing-masing bernama Muhammad Mansyur, Ahmad Damanhuri, Dadun Abdul Qohar, Muhammad Maturidi, Bidin Saefudin, dan Bidi Malakah. Adapun pernikahannya dengan Oyo, istri ketiganya, K.H Abdurrahim tidak dikaruniai anak.

Dari sumber lain dikatakan bahwa K.H Abdurrahim memiliki dua orang istri masing-masing bernama Empok (istri pertama) dan Siti Zaenab (istri kedua). Dari istri pertamanya, K.H Abdurrahim mempunyai delapan orang anak, sedangkan dari istri keduanya dikaruniai sembilan orang anak. Sumber yang merupakan dokumen keluarga ini menunjukkan perbedaan dengan sumber sebelumnya dalam hal urutan adik-adik K.H Ahmad Sanusi, nama istri kedua K.H Abdurrahim, dan

jumlah anak dari istri kedua K.H Abdurrahim. Sebagai gambaran, saudara-saudara K.H Ahmad Sanusi, baik yang seibu/sebapak maupun yang sebapak dapat dilihat dalam gambar silsilah K.H Ahmad Sanusi sebagai berikut8:

Gambaran:

Silsilah K.H Ahmad Sanusi

EMPOK X K.H. ABDURRAHIM X SITI ZAENAB

Iting Acun Manshur

Abdullah Damanhuri

Ahmad Sanusi Siti Munzah

Endah Anfasiah

Ulan Dadun Abdul Qohar

Soheh Mamad Ma’turidi

Hanafi Bidin Saefudin

Nahrowi Ammatul Jabbar

Abdul Malik

Keterangan: Bahwa jumlah keturunan dari K.H. Abdurrahim (Ayah dari K.H Ahmad Sanusi) memiliki 17 keturunan dari 2 istri. Dan K.H Ahmad Sanusi merupakan anak ke 3 dari istri pertama K.H Abdurrahim yaitu ibu Empok. (Sumber: Buku karangan Miftahul Falah, Maret 2009)

Proses pendidikan agama yang diterima K.H Ahmad Sanusi dilakukan secara langsung oleh orang tuanya yang pada waktu itu telah mendirikan sebuah pesantren yang bernama Pesantren Cantayan. Dipesantren ini, secara rutin digelar majlis taklim yang selalu dihadiri oleh para jama’ah dari berbagai daerah. Sementara itu, santri yang masantren di Cantayan juga tidak hanya berasal dari daerah setempat, melainkan ada juga yang berasal dari Bogor dan Cianjur.

Seperti halnya di daerah lain, dalam kehidupan sehari-harinya pun, K.H. Ahmad Sanusi mendapat perlakuan istimewah dari para santri dan masyarakat sekitarnya. Hal tersebut disebabkan oleh rasa hormat mereka kepada kyai atau untuk istilah loakal dipanggil dengan sebutan ajengan. Rasa hormat yang begitu tinggi yang diberikan masyarakat kepada kyai atau ajengan karena didorong oleh kedalaman ilmu agamanya. Kyai merupakan kelompok sosial di masyarakat yang memiliki pengaruh sangat kuat sehingga dipandang sebagai salah satu kekuatan penting dalam kehidupan politik.

Rasa hormat masyarakat kepada kyai tidak hanya ditujukan kepada dirinya sendiri, melainkan ditujukan pula kepada keluarganya, terutama kepada anak-anaknya. Para santri dan masyarakat sekitarnya akan memberikan perlakuan istimewah kepada anak-anak kyai dengan tujuan untuk menjaga nama baik kyai. K.H.Ahmad Sanusi di besarkan dalam lingkungan kehidupan yang agamis, dan sejak kecil ia terbiasa dengan lingkungan yang memiliki perhatian tinggi terhadap agama dan kehidupan beragama islam.

Sebagaimana umumnya anak seorang kyai yang terkenal saat itu, dan karena pesantren Cantayan merupakan basis pergerakan kegamaan, maka Ahmad Sanusi memperoleh perhatian dan perlakuan yang istimewa dari ayahnya ataupun dari santri-santri ayahnya dan juga masyarakat pada umumnya. Tingkah laku Ahmad Sanusi senantiasa memperoleh perhatian dari masyarakat, sehingga apabila ia berbuat kesalahan atau kekeliruan banyak orang yang memperingatkannya atau mencegahnya. Ini dilakukan bukan saja karena hal itu dianggap perbuatan dosa, karena menyalahi kaidah dan norma-norma agama, akan tetapi juga akan menjatuhkan nama baik dan wibawa orang tuanya yang sangat disegani oleh masyarakatnya.9

Proses internalisasi masalah-masalah keagamaan tersebut telah terjadi sejak ia masih kecil, ditambah lagi ayahnya sebagaimana umumnya para kyai di tanah Jawa menginginkan anaknya menjadi seorang ulama yang baik dan dapat meneruskan cita-cita orang tuanya, sehingga proses sosialisasi pun sudah dimulai sejak kecil sampai ia dewasa.

Sejak usia tujuh sampai limabelas tahun, K.H. Ahmad Sanusi menimba pengetahuan dari ayahnya sendiri. Kepada ayahnya ia belajar menulis dan menbaca huruf Arab dan latin serta ilmu-ilmu agama bersama-sama santri lainnya dipesantren Cantayan. Setelah cukup dewasa, untuk menambahkan pengetahuan dan pengalamannya, ia disuruh ayahnya untuk memperdalam ilmu agama di luar lingkungan pesantren ayahnya.10

Dari sinilah setelah menginjak usia 16 tahun kurang lebih pada tahun 1905, K.H. Ahmad Sanusi mulai belajar serius untuk mendalami pengetahuan agama Islam. Atas anjuran ayahnyauntuk lebih mendalami pengetahuan agama Islam, menambah pengalaman dan memperluas pergaulan dengan masyarakat, beliau nyantri ke berbagai pesantren yang ada di Jawa Barat. Adapun Pesantren yang pernah beliau kunjungi dengan perkiraan lamanya mesantren, diantaranya:

1. Pesantren Selajambe (Cisaat Sukabumi)

Pimpinan Ajengan Soleh/Ajengan Anwar, lamanya nyantri lebih kurang sekitar enam bulan;

2. Pesantren Sukamantri (Cisaat Sukabumi)

Pimpinan Ajengan Muhammad Siddiq, lamanya nyantri lebih kurang sekitar dua bulan;

3. Pesantren Sukaraja (Cisaat Sukabumi)

Pimpinan Ajengan Sulaeman/Ajengan Hafidz, lamanya nyantri lebih kurang sekitar enam bulan;

4. Pesantren Cilaku (Cianjur) untuk belajar ilmu Tasawwuf, lamanya nyantri lebih kurang sekitar dua belas bulan;

5. Pesantren Gentur Warung Kondang (Cianjur)

Pimpinan Ajengan Ahmad Syatibi dan Ajengan Qortobi, lamanya nyantri lebih kurang sekitar enam bulan;

Namun demikian, yang paling berkesan di hati K.H Ahmad Sanusi adalah ketika ia masantren di Pesantren Gentur ini. Kesannya itu muncul karena K.H Ahmad Syatibi memiliki sikap terbuka dan toleran terhadap santrinya. Sikap

10 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), cet.2, hlm. 170.

tersebut diperlihatkan sang guru itu dengan tidak keberatan atas perbedaan pendapat antara dirinya dan santrinya itu dalam menafsirkan Ilmu

Mantiq(Logika). Para santri menganggapnya sebagai santri kurang ajar,

karena ia yang sering menentang pendapat gurunya. Ia berani bertanya dan mengemukakan pendapatnya yang berbeda dengan gurunya, padahal tradisi pesantren pada saat itu sangat tabu untuk bertanya apalagi berdebat dengan guru. Saat itu ia mempunyai pendapat yang berbeda dengan kyai dalam menafsirkan ilmu mantiq yang dipelajarinya.

6. Pesantren Ciajag (Cianjur), lamanya nyantri lebih kurang sekitar lima bulan; 7. Pesantren Burniasih (Cianjur), lamanya nyantri lebih kurang sekitar tiga

bulan;

8. Pesantren Keresek Blubur Limbangan (Garut), lamanya nyantri lebih kurang sekitar tujuh bulan;

9. Pesantren Sumursari (Garut), lamanya nyantri lebih kurang sekitar empat bulan;

10. Pesantren Gudang (Tasikmalaya)

Pimpinan K.H.R. Suja’i, lamanya nyantri lebih kurang sekitar dua belas bulan.11

Namun, lamanya mesantren seluruhnya hanya 4,5 tahun. Dari sekian banyak guru dan pesantren yang ia singgahi, ia tinggal antara dua bulan sampai satu tahun, karena ilmu-ilmu yang ia pelajarinya di tiap pesantren pada umumnya sudah ia kuasainya dan sudah dipelajari di pesantren lainnya. Jadi, K.H Ahmad Sanusi pun tidak bersekolah hanya mesantren saja.12

Setelah melanglangbuana ke berbagai pesantren, pada tahun 1909, akhirnya K.H Ahmad Sanusi kembali ke Sukabumi dan masuk ke Pesantren Babakan Selawi Baros Sukabumi. Ketika nyantri di Pesantren tersebut beliau bertemu dengan seorang gadis yang bernama Siti Djuwariyah putri Kyai Haji Affandi dari kebon Pedes, akhirnya beliau menikahi gadis tersebut.13

11Munandi Shaleh, M,Si, op.cit., hlm. 4.

12Wawancara dengan Drs.H. Munandi Shaleh, M,Si, pada tanggal 11 Februari 2014. 13Munandi Shaleh, M,Si, loc.cit., hlm. 5.

Dan pada tahun 1910 sampai tahun 1915 K.H Ahmad Sanusi mulai aktif di Sarikat Islam ketika bermukim menuntut ilmu di Makkah. Namun, pada tahun 1910 terlebih dahulu K.H Ahmad Sanusi menikah dan pergi haji ke Mekah bersama istrinya serta bermukim di sana beberapa waktu lamanya sekitar 5 (lima) tahun untuk memperdalam pengetahuan agama Islam. Dalam kesempatan itu ia telah mengenal tulisan para pembaru, seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Ia tetap berpegang pada madzhab Syafi’i yang beraliran Ahlusunnah waljama’ah.

Orang-orang yang beliau kunjungi sewaktu di kota Makkah al- Mukarramah baik untuk ditimba ilmunya maupun untuk dijadikan teman diskusi dalam berbagai bidang, diantaranya14:

1. Dari kalangan Ulama: a. Syeikh Saleh Bafadil b. Syeikh Maliki c. Syeikh Ali Thayyib d. Syeikh Said Jawani e. Haji Muhammad Junaedi f. Haji Muhammad Jawawi g. Haji Mukhtar

2. Dari kalangan kaum Pergerakkan:

a. K.H. Abdul Halim (Tokoh Pendiri PUI Majalengka)

Dari sinilah pada tahun 1911 K.H Ahmad Sanusi bertemu dengan K.H Abdul Halim dari Majalengka di kota Mekkah. Mereka berasal dari satu daerah yang sama yakni Tatar Pasundan pertemuan tersebut menjadi

sebuah persahabatan. Dan mereka pun mulai berusaha

mengimplementasikan cita-citanya membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan melalui pendidikan. Dari hubungan itulah, kelak di kemudian hari lahir sebuah organisasi yang bernama Persatuan Umat Islam (PUI) yang merupakan organisasi masa hasil fusi antara PUI dan PUII.15

14Munandi Shaleh, M,Si, op.cit., hlm. 5-6. 15Miftahul Falah, S.S,op.cit., hlm. 26.

b. Haji Abdul Muluk (Tokoh SI)

Dari sini, seiring K.H Ahmad Sanusi berguru kepada para ulama di Mekkah. Beliau pun kontinyu melakukan diskusi dengan para santri atau mukminin lainnya. Yang membicarakan tentang berbagai permasalahan umat pada kalangan yang satu mazhab maupun mazhab lain dengan K.H Ahmad Sanusi. Dari kegiatan inilah, pada tahun 1913 K.H Ahmad Sanusi bertemu dengan K.H Abdul Muluk yang memperlihatkan statuten atau anggaran dasar Sarikat Islam (SI) kepada K.H Ahmad Sanusi. Setelah anggaran itu di diskusikan, K.H Abdul Muluk mengajak K.H. Ahmad Sanusi untuk bergabung di Serikat Islam. Ajakan tersebut pun di respon positif oleh K.H Ahmad Sanusi untuk masuk organisasi Sarikat Islam. Akhirnya peristiwa tersebut menghantarkan K.H Ahmad Sanusi untuk terlibat dalam bidang politik.

Menurutnya tujuan SI dipandang memiliki tujuan yang baik, yaitu tujuan akhirat dan duniawi. K.H Ahmad Sanusi sangat membela SI, karena terbukti bermula adanya sebuah surat kaleng yang beredar tanpa identitas dengan mengatakan kalau SI adalah organisasi yang bukan berlandaskan Islam. Namun,surat tersebut tidak hanya sampai ke tangan K.H Ahmad Sanusi melainkan kepada beberapa ulama yaitu Syaikh Achmad Khatib dan K.H Muchtar, dua orang ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah. Bahkan surat itu sampai kepada K.H Moehammad Basri dari pesantren Babakan, Cicurug, Sukabumi. Menurut K.H Moehammad Basri surat tersebut ditulis oleh Sayyid Utsman Betawi karena ada kemiripan dari gaya bahasanya. Denagn ini, K.H Ahmad Sanusi merasa terpanggil untuk menyelesaikannya dengan membuat karangan buku yang berjudul

Nahratoeddarham yang berisikan tentang kebaikan-kebaikan sesuai

dengan anggarannya, antara lain mengenai tujuan didirikannya SI.16

c. K.H. Abdul Wahab Hasbullah (Tokoh Pendiri NU) d. K.H. Mas Mansyur (Tokoh Muhammadiyah).

Selain itu, masalah kepercayaan dan mazhab pun menjadi tema perdebatan K.H Ahmad Sanusi ketika berdebat dengan para ulama Ahmadiyah. Dengan ilmu dan pengetahuannya yang begitu dalam serta wawasan yang begitu luas, perdebatan-perdebatan tersebut dapat dilakukan oleh K.H Ahmad Sanusi dengan baik. Oleh karena itu, di kalangan kaum mukminin di Mekkah ia dikenal sebagai ahli debat.17

Selama 5 (lima) tahun lebih bermukim di Makkah, K.H Ahmad Sanusi memanfaatkan waktu tersebut dengan sebaik-baiknya, untuk mendalami, mengkaji dan memahami berbagai disiplin ilmu tentang ke-Islaman, sehingga menurut tradisi lisan yang berkembang di kalangan para Ulama Sukabumi, bahwa: Saking mendalamnya ilmu yang ia miliki, maka sebagai wujud penghargaan dan pengakuan ketinggian ilmunya tersebut dari para Syeikh yang ada di Makkah, K.H Ahmad Sanusi mendapat kesempatan untuk menjadi imam Shalat di Masjidil Haram. Bahkan, salah seorang Syeikh sampai mengatakan bahwa jika seseorang yang berasal dari Sukabumi hendak memperdalam ilmu kegamaannya, ia tidak perlu pergi jauh-jauh ke Makkah karena di Sukabumi telah ada seorang guru agama yang ilmunya telah mencukupi untuk dijadikan sebagai guru panutan yang pantas diikuti.18

Tepatnya pada bulan Juli 1915 K.H Ahmad Sanusi pulang ke kampung halamannya yaitu Cantayan yang telah ditinggalkannya sejak tahun 1910. Setibanya di Cantayan, K.H Ahmad Sanusi langsung membantu orang tuanya mengajar agama di Pesantren Cantayan, gaya mengajar berbeda dengan para kyai lainnya, termasuk dengan orang tuanya. Beliau mengajar dengan bahasa sederhana dan menerapkan metode halaqoh. Ternyata pada saat itu berdampak positif karena materi pelajaran yang disampaikannya dapat diterima dengan

mudah oleh para santri dan jama’ahnya. Santrinya tidak hanya berasal dari

Sukabumi, tetapi juga dari luar daerah dan luar Pulau Jawa.Oleh karena itu, dalam waktu yang relatif singkat, K.H Ahmad Sanusi telah mendapat gelar dari

17Miftahul Falah, S.S,op.cit., hlm. 32. 18Munandi Shaleh, M,Si, op. cit., hlm. 6-7.

masyarakat dengan panggilan Ajengan Cantayan atau dalam sumber kolonial dipanggil dengan sebutan Kyai Cantayan.

Ditengah-tengah kesibukannya mengajar di Pesantren Cantayan, K.H Ahmad Sanusi didatangi oleh H. Sirod, presiden Serikat Islam Sukabumi itu meminta K.H Ahmad Sanusi untuk menjadi penasehat (adviseur) Serikat Islam di Sukabumi. Sebelum menerima penawaran itu, K.H Ahmad Sanusi mengajukan beberapa persyaratan, yaitu19:

1. Tidak menerima perempuan sebagai anggota.

2. Para anggota harus secara mutlak patuh terhadap anggaran dasar (statuten). 3. Para anggota harus berpegang teguh kepada agama.

4. Iuran anggota sebesar f 0,10 jangan semuanya disetorkan kepada pengurus besar, iuran itu harus dibagi menjadi dua, masing-masing f 0,50 untuk pengurus besar dan f 0,05 lagi harus dijadikan sebagai kas sebagai modal organisasi untuk memajukan anggotanya dalam urusan perdagangan atau urusan lainnya.

Syarat tersebut diterima oleh K.H Sirod hingga sejak Juli 1915, selama 10 bulan K.H Ahmad Sanusi memegang jabatan itu. Namun, sekitar bulan Mei tahun 1916, K.H Ahmad Sanusi mundur dari jabatannya karena dua hal yaitu: Pertama, ia merasa sudah tidak dapat mengerti lagi arah perjuangan Sarekat Islam. Kedua, ia merasa dikhianati oleh pengurus Sarekat Islam Sukabumi karena persyaratan yang diajukannya ternyata sama sekali tidak dijalankan oleh pengurus Sarekat Islam Sukabumi.

Kiprah K.H Ahmad Sanusi di Sarekat Islam memang tidak terlalu lama, hanya 3 tahunan. Meskipun terbilang cepat, namun mampu menunjukkan perhatian yang luar biasa terhadap Sarekat Islam. Karena K.H Ahmad Sanusi sebagai pengurus juga anggota, hubungan personal dengan para anggota Sarekat Islam Sukabumi terus telah terjalin. Selain itu, perkembangan organisasi itu pun dapat dipantau oleh K.H Ahmad Sanusi, karena banyak santrinya yang masuk menjadi anggota Sarekat Islam. Namun, mereka tidaklah di susupkan oleh K.H Ahmad Sanusi ke Sarekat Islam Sukabumi dengan tujuan untuk mengendalikan

organisasi tersebut. Para santrinya masuk menjadi anggota Sarekat Islam karena keinginan sendiri, bukan disuruh oleh gurunya itu. Hal itu, karena K.H Ahmad Sanusi sangat menghargai perbedaan pendapat.

Di dalam buku karangan Miftahul Falah, menurut R. Karnadibrata, Wedana Patih Afdeeling Sukabumi, bahwa dirinya sudah tidak aktif lagi di Sarekat Islam Sukabumi, tidak dapat dipercayai begitu saja oleh Pemerintah Hindia Belanda. Gerak geriknya terus di awasi oleh Pemerintah kolonial karena mereka merasa terancam oleh kewibawaan Ajengan Cantayan itu. Hubungan baik dengan para pengurus dan anggota Sarekat Islam Sukabumi, oleh pemerintah kolonial dipandang sebagai bentuk terselubung bagi aktivitasnya di organisasi tersebut. Pandangan pemerintah kolonial itu semakin menguat karena K.H Ahmad Sanusi masih sering diundang untuk menghadiri rapat-rapat terbuka Sarekat Islam.20 Setelah lama, K.H Ahmad Sanusi kembali melakukan rutinitasnya sebagai seorang ajengan. Metode halaqoh yang diterapkan K.H Ahmad Sanusi dalam mengajar santri begitu efektif. Selain itu juga, di Pesantren Cantayan secara rutin digelar pengajian yang selalu dihadiri kaum muslimin dari berbagai daerah. Dari

sinilah, jumlah jama’ah semakin banyak karena kemampuan K.H Ahmad Sanusi

dalam berpidato dan ketenarannya semakin meluas ketika berpolitik.

Dari sinilah, K.H Abdurrahim menyarankan kepada anaknya untuk mendirikan sebuah Pesantren. Sesuai dengan keinginan ayahnya, pada tahun 1919 K.H Ahmad Sanusi kemudian mendirikan sebuah pesantren di Genteng, Distrik Cibadak, Afdeeling Sukabumi. Di kompleks Pesantren Genteng itu, K.H Ahmad Sanusi mendirikan sebuah masjid yang dikelilingi oleh beberapa bangunan. Di sebelah timur berdiri bangunan tempat pengajian masyarakat umum; sebelah Selatan berdiri sebuah bangunan untuk belajar para santri (madrasah); dan sebelah Barat dibangun tempat tinggal K.H Ahmad Sanusi beserta keluarganya. Sementara itu, disebelah Utara masjid dibuat sebuah kolam (kulah) tempat para santri dan jama’ah mengambil air wudlu. Dan pada tahun-tahun awal perkembangannya, santrinya yang belajar di Pesantren Genteng tidak lebih dari 170 orang.

Namun, Masjid Pesantren Genteng yang dibangun oleh K.H Ahmad Sanusi sudah berubah fungsi. Sebagian ruangannya dipakai sebagai kantor Yayasan Pendidikan Islam K.H Ahmad Sanusi dan sebagian lagi dijadikan sebagai ruangan belajar (kelas) Sekolah Menengah Islam Terpadu (SMPIT). Sementara itu, bangunan tempat belajar para santri sudah tidak ada lagi karena memang Pesantren Genteng itu sendiri sekarang sudah tidak berjalan lagi.21

Bagi K.H Ahmad Sanusi, Pesantren Genteng merupakan sebuah alat bagi perjuangannya untuk menegakkan sebuah syariat Islam di Sukabumi. Oleh karena itu, ia tidak bersikap pasif, artinya hanya berdiam di pesantrennya menunggu kaum muslimin mendatangi dirinya. Beliau berkeliling dari satu kampung ke kampung lainnya untuk menyebarkan pemikiran-pemikirannya itu. Dengan sangat lugas, beliau menyampaikan pemikirannya itu kepada para jema’ah yang menghadiri dakwahnya itu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau sejak awal tahun 1920-an, masyarakat tidak hanya memanggil dirinya dengan sebutan

Ajengan Cantayan, melainkan juga dengan panggilan Ajengan Genteng.

Metode yang diterapkan K.H Ahmad Sanusi kepada santrinya tidaklah berbeda ketika beliau masih membantu ayahnya mengasuh Pesantren Cantayan. Beliau tidak hanya mengajar santrinya dengan menggunakan metode tradisional yakni sorogan dan bandungan, tetapi lebih sering menggunakan metode halaqoh. Dengan metode ini, para santri diajak untuk mendiskusikan setiap persoalan keagamaan. Untuk mengefektifkan proses diskusi tersebut, para santri dibagi ke dalam beberapa kelompok. Mereka mendiskusikan setiap permasalahan agama di masing-masing kelompok yang kemudian dibicarakan lagi dengan kelompok lainnya. Hasil diskusi itu dibahas bersama-sama dengan K.H Ahmad Sanusi sehingga para santri akan memiliki pemahaman yang jauh lebih mendalam dibandingkan dengan sistem sorogan dan bandungan.

Metode halaqoh diterapkan untuk santri yang sudah duduk tingkat atau kelas lanjut sedangkan metode sorogan dan bandungan diterapkan untuk santri yang baru duduk di tingkat dasar. Untuk metode bandungan, beliau mengajar santrinya selama empat kali yakni setelah Shalat Subuh, Dzuhur, Ashar, dan Isya. Meskipun

sifatnya bandungan, tetapi beliau masih memberikan kesempatan bertanya kepada para santri. Dengan metode seperti itulah, K.H Ahmad Sanusi mendidik para santrinya untuk berjuang menegakkan hukum Islam khususnya di Sukabumi.22

Dokumen terkait