• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP CERITA NOVEL

2.3 Biografi Pengarang

Pengarang novel “Cinderella Teeth” adalah Sakaki Tsukasa. Sakaki Tsukasa adalah nama pena, sekaligus tokoh utama dalam karya pertama pengarang. Ia merupakan penulis novel yang lahir di Tokyo, Jepang pada tahun 1969 yang memulai debut pertama kali dengan novel yang berjudul “Aozora no Tamago”

yang diterbitkan pada tahun 2002.

2.4 Studi Pragmatik dan Semiotika Sastra

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan pragmatik sastra untuk menganalisis nilai-nilai yang terkandung dalam cerita novel “Cinderella Teeth” karya Sakaki Tsukasa, penulis mengambil beberapa cuplikan yang mengindeksikalkan nilai-nilai yang dapat dijadikan teladan atau contoh dalam kehidupan. Menurut Siswanto (2008: 190) pendekatan pragmatik adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap peranan pembaca dalam menerima, memahami, dan menghayati karya sastra. Maksudnya pembaca sangat berperan penting dalam menentukan sebuah karya itu merupakan

karya sastra atau bukan. Karena sadar atau tidak, sengaja atau tidak, akhirnya karya sastra akan sampai juga kepada pembaca, ditujukan kepada pembaca. Maka pada hakikatnya karya yang tidak sampai ketangan pembacanya, bukanlah karya sastra. Hal ini selaras dengan pendapat Horatius dalam Siswanto (2008: 190) yang menyatakan bahwa tujuan penyair/ pengarang untuk memberi nikmat, ataupun sekaligus mengatakan hal-hal yang enak dan berfaedah untuk kehidupan.

Menurut Endraswara (2008 : 115) pragmatik sastra adalah cabang penelitian yang mengarah ke aspek kegunaan sastra. Penelitian ini muncul atas dasar ketidakpuasan terhadap penelitian struktural murni yang memandang karya sastra sebagai itu teks saja. Hal ini disebabkan kajian struktural dianggap hanya mampu menjelaskan makna karya sastra dari aspek permukaan. Maksudnya, kajian struktural sering melupakan aspek pembaca sebagai aspek penerima makna atau pemberi makna. Karena itu, muncul kajian pragmatik yakni kajian yang berorientasi pada kegunaan karya sastra bagi pembacanya.

Dari teks pagmatik, karya sastra dikatakan berkualitas apabila memenuhi keinginan pembaca. Maksudnya, betapapun hebatnya sebuah karya sastra, jika tidak dapat dipahami oleh pembaca karya tersebut dikatakan gagal. Karya sastra tersebut tergolong black literature (sastra hitam) yang hanya dibaca oleh pengarangnya. Karena itu yang terpenting dari aspek pragmatik adalah mampu menumbuhkan kesenangan pembacanya. Hal ini selaras dengan pendapat Sidney dalam Endraswara (2008: 117) yang mengatakan bahwa sastra hendaknya mempunyai fungsi to teach (memberika ajaran) dan delight (memberi kenikmatan).

Selain pendekatan pragmatik, penulis juga menggunakan teori semiotik atau semiotika untuk melihat tanda (makna) nilai-nilai dalam novel Cinderella Teeth dan manfaat novel tersebut bagi pembaca. Menurut Aminuddin (2000: 124) semiotika adalah studi sistem lambang yang pada dasarnya merupakan lanjutan dari strukturalisme. Bagi semiotika teks sastra adalah realitas yang dihadirkan pembaca. Yang didalamnya sudah ada potensi komunikatif. Petensi itu ditandai dengan digunakannya lambang-lambang kebahasaan. Tetapi lambang dalam karya sastra adalah lambang yang bersifat artistik.

Menurut Art Van Zoest dalam Santosa (1993: 3) semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimnya, dan penerimanya oleh mereka yang mempergunakannya. Kemudian menurut Sutadi Wiryaatmaja, semiotika adalah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda dan maknanya yang luas dalam masyarakat, baik yang lugas (literer) maupun yang kias (figuratif) baik yang menggunakan bahasa ataupun non bahasa.

Dengan demikian, penulis akan menggunakan kajian semiotika untuk menjelaskan makna melalui tanda-tanda dalam kutipan teks novel “Cinderella Teeth” karya Sakaki Tsukasa yang memiliki nilai pragmatik.

BAB III

ANALISIS PRAGMATIK TERHADAP CERITA NOVEL “CINDERELLA TEETH” KARYA SAKAKI TSUKASA

3.1 Sinopsis cerita novel “Cinderella Teeth” karya Sakaki Tsukasa

Novel “Cinderella Teeth” karya Sakaki Tsukasa ini menceritakan kehidupan seorang tokoh bernama Kano Sakiko yaitu mahasiswi tingkat dua di salah satu Universitas yang ada di Jepang. Saki adalah nama akrabnya. Tokoh Saki ini dikisahkan memiliki trauma terhadap dokter gigi. Trauma ini Saki dapat sejak kanak-kanak tepatnya saat duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Ketika itu saki diajak ibunya untuk memeriksakan gigi yang berlubang di sebuah klinik gigi yang dibangu diatas tanah yang sangat mahal. Saat menjalani pemeriksaan, Saki menganggap dokter yang merawat dirinya sangat kejam dan tak memperdulikannya meskipun ia menangis dan berteriak kesakitan. Dokter itu tetap mengebor giginya yang sudah dipenuhi dengan darah. Setelan itu Saki pun menjadi anak yang takut terhadap dokter gigi bahkan sampai sudah duduk di bangku Universitas.

Ketika trauma saki terhadap dokter gigi tak kunjung sembuh, ibunya pun mulai berpikir bagaimana cara agar menyembuhkan ketakutan anaknya terhadap dokter gigi. Saat liburan musim panas, saki dan temannya yang bernama Kakio Hiromi atau yang biasa ia panggil Hiro-chan berencana melakukan kerja paruh waktu. Namun mereka memiliki keinginan berbeda dalam hal pekerjaan, Hiro-chan yang menginginkan pekerjaan dengan gaji yang besar meskipun berat, saki justru ingin pekerjaan dengan tempat yang tenang meskipun gajinya kecil. Saat

membuka majalah lowongan kerja, mereka menemukan pekerjaan jasa di Okinanawa. Kerjanya menyiapkan dan membersihkan guest bouse. Namun hanya Hiro-chan yang semangat bekerja disana. Sedangkan Saki lebih memilih memikirkannya dahulu. Ibu yang mengetahui bahwa Saki sedang mencari pekerjaan paruh waktu saat liburan musim panas, berpikir bahwa ini adalah kesempatan yang baik untuk mengirim saki bekerja di klinik gigi agar traumanya sembuh. Namun karena berpikir Saki pasti akan menolak ibu berpikir tidak akan mengatakan tempat pekerjaanya.

Saat Saki baru saja sampai di rumah setelah bertemu Hiro-chan, ibu langsung menawarkan lowongan pekerjaan sebagai resepsionis dengan gaji seribu yen per jam, dan letaknya di daerah perkantoran mewah yang cukup di tempuh dengan kereta api bawah tanah selama 30 menit. Syaratnya juga tidak sulit hanya butuh orang yang baik dan ramah. Tanpa ragu saki langsung menerima. Keesokan harinya saki langsung mendatangi alamat yang telah tertulis di memo pemberian ibunya. Saki berpikir ibunya pasti menulis dengan terburu-buru sehingga sulit dibaca. Meskipun begitu Saki berpikir bahwa di memo tertulis Shinagawa Guchi Clinic.

Ketika sampai di alamat yang diberikan ibunya, ternyata yang tertulis bukan Shinagawa Guchi Clinic melainkan Shinagawa Dental Clinic. Saki sadar kalau ditipu ibunya. Saki pun memutuskan tidak akan bekerja mengingat ketakutannya terhadap dokter gigi dan memutuskan akan pergi saja. Saat akan pergi seseorang perawat memanggil Saki dan membawanya ke sebuah ruangan staf di klinik tersebut, yang kebetulan pamannya salah satu dokter gigi yang

bekerja karena berpikir tidak mungkin menolak dengan alasan takut dokter gigi di hadapan orang yang bekerja di klinik gigi, pasti akan menyakiti perasaan orang lain. Dengan terpaksa Saki akhirnya menerima pekerjaan itu demi menjaga harga diri.

Hari pertama Saki bekerja, kabar tentang traumanya terhadap dokter gigi pun menyebar dari pamannya yaitu dokter Kano. Meskipun begitu Saki tetap diterima dan diperlakukan dengan baik oleh para pekerja di klinik tersebut. Perawat gigi Utako justru mengatakan mana ada yang menyukai doker gigi. Sedangkan dokter gigi Naruse mengatakan tidak apa-apa membenci dokter gigi karena memang tidak menyenangkan. Respon yang sama sekali tidak diduga Saki. Setelah cukup lama bekerja di Klinik gigi menyadari tidak semua dokter gigi menyeramkan.

Misalnya dokter gigi Naruse tempat ia bekerja sekarang sangat baik dan peduli terhadap setiap pasien yang datang. Saat menjalani pemeriksaan dokter Naruse bukan hanya mengobati pasien, tapi juga memikirkan dampak pengobatan yang ia lakukan terhadap kehidupan pasien kedepannya. Melihat dokter Naruse ketakutan Saki pada dokter gigi pun mulai hilang walaupun tidak sepenuhnya.

Ketika kerja paruh waktunya hampir selesai, Saki bertemu dengan pasien yang juga memiliki trauma sepertinya. Saat melihat pasien tersebut timbul keinginan Saki untuk memeriksakan giginya secara bersamaan dengan pasien tersebut. Saki mengatakan pada dirinya sendiri meskipun ketakutannya tidak seperti dulu tapi tetap saja dia takut. Karena itu ia akan memeriksakan giginya secara bersamaan karena berpikir pasti akan lebih baik jika memiliki teman saat pemeriksaan. Saki pun mengatakan keinginanya pada dokter Naruse dan pekerja

bersama dengan dokter Naruse. Setelah selesai pemeriksaan trauma Saki terhadap dokter gigi sejak kanak-kanak pun sembuh begitu juga dengan pasien tersebut.

Saki bahkan mulai memikirkan keinginannya untuk mendalami ilmu kedokteran gigi dan menjadi dokter gigi.

3.2 Nilai-nilai pragmatik yang terdapat dalam novel “Cinderella Teeth”

karya Sakaki Tsukasa

1. Cuplikan cerita halaman 10-13:

[...“Ngomong-ngomong, Saki. Kau tidak ingin mencoba kerja paruh waktu?”

“Eh? Kok tiba-tiba?” Aku menyahut tanpa menoleh, masih berkutat dengan tali sepatuku sambil menunduk.

“Ada kenalan yang membuka lowongan resepsionis. Hanya sementara sampai ada pengganti saja karena yang sebelumnya berhenti mendadak. Lalu, kebetulan sekali Saki sedang liburan musim panas. Baguskan untuk mencari pengalaman?”

“...Resepsionis?”

“Iya. Kerjanya sangat mudah, tapi mereka ingin anak yang ramah dan baik.]

[....Tanpa sadar, aku bangkit dari kursi. Sambil tetap melihatku, Mama memberiku secarik memo.

“Kalau tertarik, coba saja kesana. Dengan begitu, Saki juga bisa langsung merasakan bagaimana suasananya.”

Katanya, Mama akan menelpon kalau aku sudah menentukan harinya. Mama tersenyum lebar. Seharusnya saat itu aku mulai menyadari keanehan tulisan di memo tersebut.

Di memo tertulis Shinagawa Guchi Clinic yang disertai peta dari stasiun terdekat. Ditulis terburu-buru oleh Mama saat menelpon.

Aku seenaknya menyimpulkan bahwa huruf berbentuk persegi itu adalah kanji

’mulut’, lalu berjalan sambil berpikir, Klinik penyakit dalam atau luar, ya? Lebih enak kalau klinik anak. Sejauh mata memandang, yang kulihat hanyalah gedung perkantoran. Sepertinya, klinik itu ada di dalam salah satu gedung perkantoran ini.

Gedung cantik dikelilingi kaca ini tak mungkin kudatangi jika tidak ada urusan semacam ini. Meskipun agak takut pada penjaga di pintu masuk, aku memencet tombol lift. Lantai delapan. Saat pintu terbuka, aku langsung mendengar suara yang membuatu merasakan pertanda buruk. Seperti sesuatu yang di kikir atau suara air yang mengalir. Suara seperti itu. Mungkinkah .... Tidak mungkin, kan?

Takut-takut, aku mendekati pintu klinik. Saat aku melakukannya .... APA?! Di sana bukan tertulis guchi, tetapi “D”. Lalu di atas huruf itu juga tertulis penjelasannya yang di tulis dengan sopan dan rapi.

Shinagawa Dental Clinic.

“...Dokter gigi!”

Kena deh! Pikirku. Mama sangat tahu kebencianku pada dokter gigi. karena itu, beliau sengaja menulis nama kliniknya dengan cara seperti itu. Bahkan dia mau hubungi sendiri. Pasti alasannya karena akan ketahuan kalau aku yang

menelepon. Namun, aku tidak sadar karena karena ku terlalu tertarik pada gajinya.]

Analisis:

Dari cuplikan teks diatas dapat diketahui bahwa ibu menawarkan pekerjaan paruh waktu kepada Saki. Ibu mengatakan, Ada kenalan yang membuka lowongan resepsionis dan kebetulan sekali Saki sedang liburan musim panas. Baguskan untuk mencari pengalaman?. Dari cuplikan, Ada kenalan yang membuka lowongan resepsionis dan kebetulan sekali Saki sedang liburan musim panas.

Baguskan untuk mencari pengalaman? mengindeksikalkan adanya dorongan dari seorang ibu yang mendorong anaknya (Saki) bekerja agar mencari pengalaman.

Setelah itu, ibu memberi secarik memo kepada Saki. Di memo tertulis Shinagawa Guchi Clinic yang disertai peta dari stasiun terdekat. Ditulis terburu-buru oleh Mama saat menelpon. Saki seenaknya menyimpulkan bahwa huruf berbentuk persegi itu adalah kanji ’mulut’, lalu berjalan sambil berpikir, Klinik penyakit dalam atau luar, ya? Lebih enak kalau klinik anak. Saki pun tiba di salah satu gedung perkantoran dan menekan tombol lift lantai delapan. Saat pintu terbuka, Saki langsung mendengar suara yang membuat ia merasakan pertanda buruk.

Seperti sesuatu yang di kikir atau suara air yang mengalir. Lalu mengatakan, APA?! Di sana bukan tertulis guchi, tetapi “D”. Lalu di atas huruf itu juga tertulis penjelasannya yang di tulis dengan sopan dan rapi. Shinagawa Dental Clinic. “...Dokter gigi!”. Dari cuplikan Di memo tertulis Shinagawa Guchi Clinic yang disertai peta dari stasiun terdekat. Ditulis terburu-buru oleh Mama saat

menelpon dan APA?! Di sana bukan tertulis guchi, tetapi “D”. Lalu di atas huruf itu juga tertulis penjelasannya yang di tulis dengan sopan dan rapi. Shinagawa Dental Clinic. “...Dokter gigi!” menunjukkan adanya keterkejutan dari Saki.

Namun kalimat diatas mengindeksikalkan adanya usaha dari seorang ibu untuk menyembuhkan traumatik dokter gigi yang dialami anaknya yaitu Saki. Ibu sengaja membohongi Saki dengan menulis kata Guchi dalam memo agar Saki mau bekerja. Padahal seharusnya yang tertulis adalah huruf ‘D’. Hal ini dikarenakan ibu yakin jika ditulis dengan huruf ‘D’ Saki pasti akan menolak karena D merupakan simbol dari kata Dental. Saki pun terkejut karena merasa ditipu ibunyasambil berkata, kena deh! Pikirku. Mama sangat tahu kebencianku pada dokter gigi. karena itu, beliau sengaja menulis nama kliniknya dengan cara seperti itu. Bahkan dia mau hubungi sendiri. Pasti alasannya karena akan ketahuan kalau aku yang menelepon. Kalimat diatas megindeksikalkan adanya unsur keterbukaan dari seorang ibu. Unsur keterbukaannya yaitu seorang ibu yang seharusnya menutupi masalah traumatik dokter gigi anaknya. Namun dalam teks ini seorang ibu justru mendorong anaknya (Saki) bekerja di klinik gigi agar traumatik terhadap dokter giginya sembuh.

Nilai pendidikan yang diajarkan dalam cuplikan teks di atas adalah kasih sayang dari seorang ibu yang dibuktikan dengan mendorong anaknya yang traumatik terhadap dokter gigi agar terbuka untuk menyampaikan masalah traumatiknya kepada orang lain. Salah satunya dengan cara si ibu mendorong anaknya (Saki) bekerja di klinik gigi yang dianggap menakutkan agar traumatiknya terhadap dokter gigi sembuh.

Jika dilihat dari sikap dan kebiasaan orang Jepang yang tertutup, sebenarnya sikap seorang ibu yang menyuruh anaknya terbuka terhadap masalahnya khususnya masalah traumatiknya terhadap dokter gigi merupakan sikap yang baru dan jarang terjadi di masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat Jepang pada zaman dahulu baik seorang anak, ibu ataupun keluarga tidak akan terbuka terhadap masalah yang dialaminya baik masalah jiwanya atau yang lain.

Masyarakat Jepang lebih suka menutup masalahnya dan masalah keluarganya sendiri karena merasa bahwa aib keluarga. Ditambah lagi sifat orang Jepang yang pemalu dan tidak suka ada campur tangan dari orang lain juga menjadi salah satu penyebabnya (http://gate-jp.com/benarkah-orang-jepang-pemalu). Namun jika dilihat dari sudut pandang lain, sikap keterbukaan atau menyampaikan masalah diringnya kepada orang lain merupakan salah satu pemikiran dan sikap orang-orang barat. Masyarakat barat seperti orang-orang-orang-orang Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Eropa Barat, yaitu Prancis, Jerman, Inggris dan lainnya adalah orang-orang yang berpikiran terbuka terhadap masalahnya (https://saripedia.wordpress.com/tag/peradaban-barat). Masyarakat barat cenderung akan menceritakan masalah yang mereka alami dengan orang disekelilingnya karena berpikir orang lain mungkin dapat membantunya dalam menghadapi masalah tersebut atau bahkan hanya sekadar ingin orang lain bisa memahami dirinya.

2. Cuplikan cerita halaman 27-28:

[...”Ngomong-ngomong, kenapa Saki-chan bisa membenci dokter gigi?Bisa kau ceritakan pada kami?” Kasai-san menaruh sumpit khas Jepang miliknya sebelum bertanya padaku. Aku pun menceritakan pengalaman seramku pada semuanya. Mungkin ada kata-kata yang seharusnya tidak kuucapkan di depan orang-orang yang bekerja di bidang kesehatan gigi, tetapi diluar dugaan, semuanya menggangguk-angguk mendengar ceritaku.

“Aku sangat mengerti, Saki-chan. Dokter gigi di masa kecil memang betul-betul pengalaman yang seram.”

“Apalagi sampai berdarah....Aku ingat, waktu kecil aku pernah mengira aku muntah darah dan akan mati,” ujar Dokter Naruse sambil menggaruk-garuk kepala.

Kasuga-san tertawa. “Sebetulnya aku pernah bekerja di dokter gigi untuk anak kecil. Dan kulihat memang banyak anak yang seperti itu.”

“Ng...itu tidak aneh?” tanyaku

“Tentu saja tidak. Banyak kok yang seperti itu. Tapi biasanya kesan itu akan berubah kalau diberi perhatian setelahnya,” sahut Kasuga-san

Nakano-san bergumam melanjutkan ucapan Kasuga-san, “Berarti tempat yang di datangi Saki-chan tidak memahami cara menangani anak. Ditambah lagi, cara bicaranya dingin. Tak heran Saki-chan tidak mau datang lagi.

Kupikir aku tidak akan pernah mendapat simpati dari orang-orang yang bekerja dibidang ini. Kupikir akulah yang pengecut, anak yang payah.Yotsuya-san lalu berkata pelan padaku, “Fobia pengobatan gigi adalah sebuah penyakit yang disebut dalam pelajaran medis. Bukan cuman kau yang mengalaminya. ]

Analisis:

Dari cuplikan diatas dapat dilihat bahwa Kasai-san bartanya kepada Saki,

“kenapa Saki-chan membenci dokter gigi? Bisa kau ceritakan pada kami?”. Saki pun menceritakan pengalamannya mengenai traumatik terhadap dokter gigi kepada semua staf di klinik tersebut. Dari cuplikan, “kenapa Saki-chan membenci dokter gigi? Bisa kau ceritakan pada kami?” dan Aku pun menceritakan pengalaman seramku pada semuanya mengindeksikalkan adanya unsur keterbukaan dari seorang Saki. Unsur keterbukaanya yaitu Saki yang seharusnya tidak menceritakan pengalaman traumatiknya. Namun dalam teks ini Saki mau menceritakan masalah traumatiknya kepada orang lain. Semua staff di klinik mengangguk-angguk mendengar ceritanya. Mereka menunjukkan rasa empati kepada Saki yang sebelumnya Saki kira tidak akan pernah mendapat respons yang baik dari orang-orang yang bekerja di klinik gigi. Hal ini menunjukkan bahwa sikap keterbukaan akan menimbulkan rasa kepedulian dan respons orang lain terhadap masalah yang kita hadapi sehingga akan timbul solusi sebagai alat penyelesaian. Selain itu, hal ini juga membuktikan bahwa sifat tertutup yang dimiliki masyarakat Jepang tidak akan menguntungkan bagi diri sendiri, keluarga atau orang lain.

Nilai pendidikan yang dapat diambil dalam cuplikan teks diatas adalah sikap keterbukaan. Sikap terbuka pada orang lain yaitu sikap yang menunjukkan bahwa bersedia untuk menerima hal-hal yang berbeda dengan kondisi dirinya. Sikap ini mencerminkan bahwa orang tersebut dapat memberi dan menerima segala hal yang disampaikan oleh pihak lain berdasarkan pemikiran yang logis dan benar (http://brainly.co.id/tugas/1052707). Dengan adanya keterbukaan dari tokoh Saki, timbul keinginan untuk menerima segala hal yang disampaikan oleh pihak lain berdasarkan pemikiran yang logis dan benar. Hal ini dibuktikan oleh dokter dan para staff yang memberikan spirit kepada Saki agar mau mengatasi traumatik dokter giginya.

3. Cuplikan cerita halaman 57:

[...”Kalau bekerja sebagai dokter, mungkin akan menemukan kasus seperti ini lagi. Supaya saat itu terjadi kita tidak panik, kita harus memikirkan perasaan pasien sejak awal.”

Aku merasakan ada aura yamg mengancam dari perintah Pak Kepala itu.

“Untuk mencegah kejadian ini terulang, aku berpikir mulai sekarang klinik ini akan mendekati pasien dengan dialog yang lebih akrab. Lalu, di kartu pasien kedua aku siapkan materi yang menggambarkan kehidupan atau pekerjaan pasien agar berguna bagi perawatan.”

Kurasa ini adalah ide yang bagus, tetapi kenapa Pak Kepala terus menatapku?

“Dan yang pertama kali berhubungan langsung dengan pasien adalah orang yang berada di meja resepsionis. Saat pasien sedang menunggu, aku ingin dia melakukan percakapan ringan untuk mengumpulkan data.”

“Eh? Itu maksudnya...”

“Aku mengandalkanmu, Saki-kun.”

”Izinkan saya berhenti bekerja!” Kata-kata itu tersangkut di tenggorokanku.

Itu karena aku hanyalah karyawan paruh waktu. Lagi pula, yang penting aku sangat membenci dokter gigi.

“Tentu saja tidak cuma-Cuma. Sebagai gantinya, aku akan menambah gaji karyawan paruh waktu.’

Hmm, tapi semua staff disini baik, ya. Tempatnya juga mudah dijangkau.

Lalu... aku juga tidak berpikir untuk menilai apakah pekerjaan ini cocok untukku atau tidak. Aku menatap Pak Kepala yang mengangguk sambil tersenyum. Aku balas tersenyum seperti tertangkap basah.

[Jadi, akhirnya tetap kau lanjutkan?

“Mau bagaimana lagi...” Sambil memegang ponsel, aku berguling-guling di tempat tidur.]

Analisis:

Dari cuplikan diatas dapat diketahui bahwa Pak Kepala memberikan perintah, kita harus memikirkan perasaan pasien sejak awal. Dari cuplikan kalimat kita

harus memikirkan perasaan pasien sejak awal mengindeksikalkan adanya rasa empati. Sikap empati yang ditunjukkan seorang dokter. Sikap empatinya yaitu seorang dokter yang seharusnya hanya bertugas menyembuhkan sakit pasien.

Namun dalam teks ini seorang dokter justru memikirkan perasaan pasiennya sejak awal. Menurut Saki memikirkan bagaimana perasaan pasien sejak awal adalah ide yang bagus. Kemudian Pak kepala mengatakan bahwa ia mengandalkan Saki-kun.

Kata-kata izinkan saya berhenti bekerja! Langsung tersangkut di tenggorokan Saki. Namun Saki mengurungkan niatnya karena berpikir semua staff di klinik baik.

Dari cuplikan ”Izinkan saya berhenti bekerja!” dan Hmm, tapi semua staff disini baik, ya mengindeksikalkan adanya respons atau perubahan prilaku yang dilakukan Saki akibat dari sikap empati yang diperlihatkan oleh staff di klinik.

Dari cuplikan ”Izinkan saya berhenti bekerja!” dan Hmm, tapi semua staff disini baik, ya mengindeksikalkan adanya respons atau perubahan prilaku yang dilakukan Saki akibat dari sikap empati yang diperlihatkan oleh staff di klinik.

Dokumen terkait