• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Larva Ikan

Ichthyoplankton merupakan cabang ilmu yang membahas tentang larva ikan yang hidup plantonik, merupakan cabang ilmu ichthyologi yang membahas tentang stadia larva ikan yang sifatnya sangat ditentukan oleh lingkungannya tertutama dalam pergerakan dan migrasinya. Awal daur hidup ikan, menurut Effendie (1978) dan Metarase et.all. (1989), meliputi stadia telur dan perkembangannya, yaitu stadia larva dan juvenil (ikan muda). Ikan-ikan pada stadia telur dan larva ikan dapat digolongkan sebagai plankton yaitu sebagian dari siklus hidupnya merupakan plankton sementara atau meroplankton (Odum, 1993). Pemijahan sebagai salah satu bagian dari reproduksi merupakan mata rantai daur hidup yang menentukan kelangsungan hidup spesies. Penambahan populasi ikan bergantung kepada berhasilnya pemijahan dan bergantung kepada kondisi dimana telur dan larva ikan kelak berkembang (Effendie, 1997).

Secara umum tahap awal dari daur hidup ikan ialah setelah telur dibuahi yang juga dinamakan zygot terjadi perkembangan embryonic terjadinya organ genesis sampai tiba saatnya menetas. Pasca penetasan disebut larva sampai tahap juvenil dimana ikan sudah mulai seperti ikan dewasa dengan hilangnya organ- organ larva yang bersifat sementara (Sulistiono, Rahardjo, dan Effendie, 2001). Selanjutnya (Effendie, 1997) mengemukakan bahwa anak ikan yang baru ditetaskan dinamakan larva, tubuhnya belum dalam keadaan sempurna baik organ luar maupun organ dalamnya.

Larva ikan merupakan fase ikan setelah telur menetas (Gambar 2). Istilah larva ikan yang merujuk kepada stadia kantung kuning telur dan postlarva untuk ikan muda antara stadia larva dan juvenil. Stadia larva ini berakhir ketika kuning telur telah habis diserap. Romomihtarto dan Juwana (1998) membagi fase larva ikan menjadi pre flexion larva, flexion larva, dan post-flexion larva. Selanjutnya Russel (1976) menggunakan istilah larva yang merujuk pada larva beryolk sac dan “postlarva” untuk ikan muda antara stadia larva dan juvenile. Stadia ini berakhir setelah persediaan kuning telur yang ada telah habis diserap.

Gambar 2. Siklus hidup ikan Kakap Merah (Sulistiono et al,. 2000). Keterangan :

(1) Telur yang telah dibuahi (diameter 0,9 – 11 mm) (2) Perkembangan telur

(3) Larva ikan (baru menetas, panjang 2,1 mm) (4) Larva ikan (15 hari, panjang total 5,5 mm) (5) Juvenil (2 bulan, panjang total 36,0 mm) (6) Muda

(7) Dewasa (lebih dari 4 tahun)

Perkembangan larva, dalam garis besarnya dibagi menjadi dua tahap yaitu prolarva dan postlarva. Untuk membedakannya, prolarva masih mempunyai kantung kuning telur, tubuhnya transparan dengan beberapa butir pigmen yang fungsinya belum diketahui. Sirip dada dan ekor sudah ada tetapi belum sempurna bentuknya dan kebanyakan prolarva yang baru keluar dari cangkang telur ini tidak punya sirip perut yang nyata melainkan hanya bentuk tonjolan saja. Mulut dan rahang belum berkembang dan ususnya masih merupakan tabung yang lurus. Sistem pernapasan dan peredaran darahnya tidak sempurna. Makanannya didapatkan dari sisa kuning telur yang belum habis dihisap. Adakalanya larva ikan

9

yang baru ditetaskan letaknya dalam keadaan terbalik karena kuning telurnya masih mengandung minyak. Apabila kuning telurnya telah habis dihisap, posisi larva tersebut akan kembali seperti biasa. Larva ikan yang baru ditetaskan pergerakannya hanya sewaktu-waktu saja dengan menggerakkan bagian ekornya ke kiri dan ke kanan dengan banyak diselingi oleh istirahat karena tidak dapat mempertahankan keseimbangan posisi tegak. Sedangkan masa post larva ikan ialah masa larva mulai dari hilangnya kantung kuning telur sampai terbentuknya organ-organ baru atau selesainya taraf penyempurnaan organ-organ yang telah ada sehingga pada masa akhir dari postlarva tersebut secara morphologis sudah mempunyai bentuk hampir seperti induknya. Sirip dorsal sudah mulai dapat dibedakan, demikian juga sirip ekor sudah ada garis bentuknya. Berenangnya sudah lebih aktif dan kadang-kadang memperlihatkan sifat bergerombol walaupun tidak selamanya demikian (Effendie 1997). Selanjutnya apabila masa postlarva berakhir, ikan akan memasuki masa juvenile. Untuk beberapa ikan dalam memasuki masa ini ada yang mengalami beberapa perubahan bentuk tubuhnya atau bermetamorphose. Diantara beberapa ikan yang mengadakan metamorphose ialah ikan sidat, ikan paru-paru, ikan berlistrik (Gymnarchus) dan ikan sebelah.

Sumber makanan larva ikan diperoleh dari sisa kuning telur yang belum habis dihisap. Masa postlarva ikan ialah masa larva ikan dimana mulai hilangnya kantung kuning telur sampai terbentuknya organ-organ baru atau selesainya tahap penyempurnaan organ-organ yang telah ada sehingga pada tahap akhir dari postlarva ikan tersebut secara morfologi sudah mempunyai bentuk hampir seperti induknya (Effendie 1997).

Kuning telur terletak pada bagian anterior/ventral tubuh pada larva ikan yang baru menetas. Bentuknya menonjol dan seringkali menutupi hampir separuh panjang tubuh total. Mata belum berpigmen, mulut belum berfungsi dan anus belum terbuka. Selang perkembangan larva, mata menjadi berpigmen, mulut serta anus mulai terbuka. Posisi anus dapat digunakan sebagai salah satu karakter untuk identifikasi. Dalam perkembangan isi kuning telur dan kelenjar minyak digunakan secara bertahap. Ketika kuning telur habis, organ-organ yang dibutuhkan untuk mencari dan mengunyah makanan sudah berfungsi. Pada tahap ini larva ikan menghadapi fase yang kritis (Russell 1976).

yaitu :

1. Berbagai struktur atau bentuk tubuh seperti mata, kepala, bagian lambung dan sirip khususnya sirip dada.

2. Urutan munculnya sirip-sirip dan kedudukannya, fotofora dan unsur tulang, pigmentasi (letak, jumlah dan bentuk melanophora).

3. Tanda-tanda yang sangat khas seperti lipatan sirip yang membengkak, sirip yang memanjang dan berubah, sungut dan pada preoperculum dan lain-lain (Romomihtarto dan Juwana 1998).

2.2 Migrasi dan Distribusi Ikan Terumbu Karang

Migrasi atau ruaya, adalah pergerakan perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain yang mempunyai arti penyesuaian, terhadap kondisi alam yang menguntungkan untuk eksistensi hidup dan keturunannya. Migrasi dan distribusi suatu jenis ikan merupakan hal yang fundamental dari ikan. Ikan mengadakan migrasi dalam rangka : (1) pemijahan; (2) mencari makan; (3) mencari daerah yang cocok untuk kelangsungan hidupnya, tidak terlepas dari beberapa faktor yang mempengaruhinya. Pola migrasi suatu jenis ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor Eksternal dan Internal dari suatu jenis ikan. Faktor eksternal berupa faktor lingkungan yang secara langsung atau tidak langsung memegang peranan dalam migrasi ikan. Sedangkan internal adalah faktor yang terdapat di dalam tubuh misalnya sekresi kelenjar hormon dan lain-lainnya yang berhubungan dengan faktor luar tadi (Baskoro. Wahyu, dan Effendy, 2004).

Perairan karang adalah salah satu diantara ekosistem yang amat penting di laut. Salah satu diantara kelompok biota yang hidup disana adalah ikan. Ikan karang merupakan sumberdaya yang penting sebagai sumber protein hewani bagi kehidupan manusia (Adrim 1997 dalam Sulistiono 2000).

Sale (1991) dalam Sulistiono (2000) mengemukakan bahwa ikan tidak mempunyai sifat khusus, banyak spesies ikan serupa mempunyai kebutuhan yang sama, dan terdapat persaingan aktif diantara spesies. Sebagai akibat dari jumlah spesies yang besar dan pembagian-pembagian habitat, dapat dikatakan bahwa kebanyakan ikan-ikan terumbu karang meskipun gerakan-gerakan mereka jelas tetapi ternyata mereka terbatas pada daerah tertentu di terumbu yang sangat

11

terlokalisasi. Mereka juga tidak berpindah dan banyak yang ukurannya kecil, seperti ikan belosoh, ikan tembakul, dan ikan betok yang terkenal dalam mempertahankan wilayahnya.

Tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang memungkinkan perairan ini sering merupakan tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan

(nursery ground), dan mencari makan (feeding ground) dari kebanyakan ikan.

Sehingga secara otomatis produktivitas sekunder atau produksi ikan, termasuk hewan-hewan laut lainnya seperti ikan, udang-udangan (lobster), octopus, kerang- kerangan (oyster), di daerah terumbu karang juga sangat tinggi (Supriharyono, 2000).

Menurut Nybakken (1992) dalam Sulistiono (2000) faktor kedalaman juga berperan dalam distribusi ikan karang. Pada umumnya mereka mempunyai kisaran kedalaman yang sempit, yang disebabkan faktor ketersediaan makanan, ombak dan predator. Selanjutnya Sulistiono, Rahardjo dan Effendie (2001) mengatakan bahwa kondisi fisik dapat berfungsi sebagai faktor yang mengekang larva ikan bermigrasi vertikal. Gradien suhu dapat membatasi migrasi vertikal dari organisme planktonik, termasuk larva ikan. Di lautan terbuka beberapa spesies terus menerus ditemukan di permukaan lapisan tercampur pada kolom air yang distratifikasi karena suhu misalnya herring, (Heath dkk, 1988; cod, Bucley dan Lough 1987; Ellersen dkk 1981; mackerel, Coombs dkk 1981, 1983; de Lafontaine dan Gascon 1989; Ropke 1989). Bagaimanapun juga, penafsiran dari beberapa pola ini harus dilakukan dengan alasan bahwa banyak zooplankton juga menunjukkan konsentrasi yang meningkat di lapisan permukaan kolom air yang distratifikasi. Motivasi sebenarnya distribusi larva ikan yang diamati mungkin karena bertemunya mangsa.

Ikan akan cenderung mengelompok di lokasi yang kaya akan makanan dan menghindari ombak dengan menempati daerah yang lebih dalam. Sebagian besar ikan karang merupakan ikan bertulang keras (Teleostei) dari ordo Percimorfes yang mulai berkembang sejak jaman tersier (Hutomo 1995 dalam Sulistiono 2000). Terumbu karang mempunyai keanekaragaman yang tinggi disebabkan karena daerah terumbu karang tidak hanya terdiri dari karang saja, namun terdapat

juga perairan dangkal dan dalam serta zona-zona yang berbeda melintasi karang. Keanekaragaman spesies ikan-ikan karang mempunyai hubungan yang erat dengan keberadaan terumbu karang di daerah tersebut. Ikan-ikan akan cenderung mengelompok pada bentuk karang tertentu dan umumnya mempunyai pergerakan yang terbatas dibandingkan invertebrata lain yang sama ukurannya. Hal ini disebabkan lingkungan yang berstruktur akibat bentuk terumbu karang yang kompleks (Nybakken 1992; Hutomo, 1993 dalam Sulistiono 2000).

2.3 Asosiasi Ekosistem Terumbu Karang dan Komunitas Ikan

Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini di sebabkan oleh kemampuan terumbu karang untuk menahan nutrien dalam sistem dan berperan sebagai kolam untuk menampung segala masukan dari luar. Selanjutnya Odum (1993) menyatakan bahwa meskipun karang adalah binatang (phylum Coelenterata) namun banyak terumbu yang dengan penuh semangat memenuhi kebutuhan sendiri, tetapi terorganisasi secara baik dalam menggunakan, menimbun, mendaur ulang masukan-masukan yang diterima dari perairan sekitarnya.

Terumbu karang memiliki spesies yang amat beragam, dan sebagian besar dari spesies tersebut bernilai ekonomi tinggi. Tingginya tingkat keanekaragaman tersebut disebabkan antara lain oleh besarnya variasi habitat yang terdapat di dalam ekosistem terumbu karang. Terumbu karang menempati areal yang cukup luas dan terdiri dari berbagai bentuk asosiasi yang kompleks, dengan sejumlah tipe habitat yang berbeda-beda, dan semuanya berada di satu sistem yang terjalin dalam hubungan fungsional yang harmonis (Dahuri, 2003).

Organisme yang mendominasi daerah karang adalah ikan. Ikan merupakan organisme yang paling banyak ditemukan di daerah karang. Ikan karang digolongkan menjadi dua golongan, yaitu golongan ikan hias (ornamental fish) dan ikan yang dikonsumsi (food fish). Selanjutnya Sulistiono et al., (2000) menyatakan bahwa fisiografi dasar perairan merupakan faktor utama yang menentukan distribusi dan kelimpahan ikan-ikan karang.

13

Sulistiono et al., (2000) menyatakan bahwa sebagian besar ikan di ekosistem terumbu karang adalah ikan-ikan yang bersifat diurnal (aktif pada siang hari). Mereka mencari makan dan tinggal di permukaan karang dan memakan plankton yang lewat di atasnya. Ikan-ikan diurnal ini seperti Famili Pomacentridae, Chaetodontidae, Pomacanthidae, Acanthuridae, Labridae, Lutjanidae, Balistidae, Serranidae, Cinrhitidae, Tetraodontidae, Blennidae, dan Gobiidae. Sebagian kecil lainnya adalah ikan-ikan bersifat nocturnal (aktif pada malam hari). Ikan ini pada siang hari menetap di gua-gua dan celah-celah karang. Yang termasuk dalam kelompok ikan ini adalah Holocentridae, Apogonidae, Haemulidae, Muraenidae, Scorpaenidae dan termasuk juga Famili Serranidae dan Labridae. Ada pula sebagian kecil jenis-jenis ikan yang sering melintasi ekosistem terumbu karang seperti Famili Scombridae, Sphyraenidae dan Caesionidae.

Sulistiono et al., (2000) menyatakan hal menarik tentang ikan ini adalah adanya perbedaan antara jenis ikan di siang hari (yang bersifat diurnal) dan jenis ikan di malam hari (yang bersifat nocturnal). Jenis ikan-ikan yang terlihat pada siang hari tidak akan terlihat di malam hari. Hal ini dikarenakan pada malam hari ikan-ikan yang bersifat diurnal bersembunyi dan berlindung di celah atau gua terumbu karang untuk menghindari pemangsaan dari ikan-ikan yang bersifat nocturnal.

2.4 Plankton Sebagai Sumber Makanan Bagi Larva Ikan

Plankton merupakan kosakata Yunani yang berarti mengapung (drifting), yang dapat didefenisikan sebagai komunitas organisme termasuk tumbuhan kecil

(tiny plants) yang disebut phytoplankton, dan hewan (tiny animals) yang disebut

zooplankton, yang tidak cukup memiliki kekuatan untuk mempertahankan atau menghindari pergerakan air atau arus. Untuk perikanan, keberadaan ikan selalu dikaitkan dengan keberadaan palnkton dan secara tegas mengikuti moto lama: “ Tidak ada plankton, tidak ada ikan” (no plankton, no fish) (Widodo dan Suadi, 2006).

Plankton tidak hanya mempunyai peranan penting dalam ekosistem laut, tetapi juga memberikan kemungkinan untuk percontohan kuantitatif (Odum, 1993). Selanjutnya Riley (1967) dalam Odum (1993) menemukan bahwa jumlah dan distribusi musiman fitoplankton maupun zooplankton dikawasan mana pun

keterbatasan penting tertentu dan koefisien fisiologi yang ditetapkan pada percobaan dalam laboratorium.

Ikan mengadakan ruaya pemijahan, ruaya ke daerah makanan, pembesaran, tidak terlepas dari beberapa faktor yang mempengaruhinya dimana mereka menemukan kondisi yang diperlukan oleh fase tertentu dari daur hidupnya (Nikolsky 1963 dalam Effendie 1997).

Besarnya populasi ikan dalam suatu perairan antara lain ditentukan oleh makanan yang tersedia. Makanan ikan mulai dari awal pembentukannya sampai ke makanan yang dimakan oleh ikan, merupakan mata rantai yang dinamakan rantai makanan (food chains). Dari makanan ini ada beberapa faktor yang berhubungan dengan populasi yaitu jumlah dan kualitas makanan yang tersedia, mudahnya tersedia makanan dan lamanya masa pengambilan makanan oleh ikan dalam populasi tersebut. Umumnya makanan pertama kali datang dari luar untuk semua ikan dalam mengawali hidupnya adalah plankton bersel tunggal yang berukuran mikroskopis. Jika untuk pertama kali ikan itu menemukan makanan yang berukuran tepat dengan mulutnya, diperkirakan akan dapat meneruskan hidupnya (Baskoro, Wahyu, dan Effendy, 2004).

Makanan alami yang terdapat di alam seperti plankton atau jenis organisme lain merupakan sumber makanan bagi ikan. Kepadatan plankton merupakan indikator kesuburan suatu perairan. Makin subur suatu perairan maka semakin tinggi pula pertumbuhan plankton di perairan tersebut (Djajadiredja 1973). Keberadaan plankton berhubungan pula dengan keberadaan faktor fisika dan kimia dari perairan itu sendiri. Keterkaitan antara beberapa parameter fisika dan kimia merupakan suatu hubungan yang tak terpisahkan antara ketersediaan hara bagi fitoplankton dan kelangsungan keberadaan larva ikan sebagai salah satu organisme penghuni perairan.

Penyesuaian terhadap ketersediaan makanan alami bagi ikan sangat erat hubungannya dengan faktor fisika-kimia dari perairan tersebut. Ketersediaan makanan alami pada suatu perairan sangat menentukan keberadaan dari organisme pemakan makanan alami tersebut. Demikian halnya bila terjadi perubahan lingkungan akan dapat merubah kebiasaan makan dari organisme yang

15

bersangkutan. Fluktuasi komposisi makanan dalam suatu perairan dimana ikan harus mampu untuk menyesuaikan pada ketersediaan makanan yang ada. Hal ini mengakibatkan persaingan pada kelompok tersebut bahkan persaingan antar individu dalam kelompok yang sama. Jenis / individu yang menang dalam kompetisi berpeluang untuk bertahan dan berkembang (Tjahyo, 1987). Dengan demikian keberadaan larva ikan pada suatu perairan sangat ditentukan oleh faktor makanan dan faktor-faktor fisika dan kimia sebagai faktor pendukung keberadaan dari ikan yang berarti kelangsungan dari komunitas sebagai bagian yang lebih besar.

2.5 Ekologi Larva Ikan dan Pembentukan Komunitas

Kemampuan melawan pencampuran fisik dan terdapatnya kedalaman tertentu tidak hanya tergantung dari kemampuannya berenang dan daya apungnya, tetapi juga motivasi untuk mengatasi kedalaman. Seleksi vertikal (kedalaman) yang cukup disebabkan beberapa parameter, misalnya :

1. Diutamakan untuk menghindari kondisi fisika seperti suhu, intensitas cahaya atau hempasan gelombang

2. Mencari lokasi yang banyak terdapat sumber makanan / mangsa (prey) 3. Menghindari daerah yang banyak pemangsa

4. Memenuhi tahap khusus dalam fisiologis seperti hasrat untuk berenang 5. Optimalisasi distribusi horizontal akibat gesekan vertikal.

Pentingnya syarat ini membedakan antar spesies, antara tahap pertumbuhan dari suatu spesies, dan secara temporal (misalnya selama pergantian siklus) dari beberapa spesies (Sulistiono, Rahardjo dan Effendie 2001).

Penelitian yang dilakukan terhadap larva yang mengungkapkan aspek-aspek tertentu dari fisiologi dan tingkah lakunya yang mengakibatkan terbentuknya komunitas. Telah diketahui bahwa larva dapat memilih daerah yang akan mereka tempati. Jadi, larva tidak menetap begitu saja pada perairan atau substrat yang ada jika tiba waktunya bermetamorfosis menjadi dewasa.

Berbagai jenis biota telah beradaptasi dengan baik terhadap kondisi habitat di berbagai zona maupun tipe ekosistem (Dahuri, 2003). Secara alami ikan akan selalu mencari tempat yang sesuai dengan sifat hidupnya. Pada umumnya ikan

ikan lainnya mempunyai syarat-syarat lingkungan yang tidak sama. (Baskoro, Wahyu, dan Effendy, 2004)

Banyak larva dari invertebrata yang juga mempunyai kemampuan menunda metamorfosisnya sendiri selama jangka waktu tertentu sebelum mereka menemukan substrat yang baik pada saat mereka harus menetap. Penundaan metamorfosis ini mempunyai periode terbatas, jika setelah jangka waktu tertentu mereka belum juga menemukan substrat yang baik, metamorfosis akan berlangsung juga walaupun pada substrat yang kurang baik. Kemampuan menunda metamorfosis merupakan faktor untuk menjaga agar larva menetap pada tempat yang sesuai (Sulistiono, Rahardjo dan Effendie 2001). Selanjutnya Eidman, dkk (1988) dalam Sulistiono, Rahardjo dan Effendie (2001) mengatakan bahwa larva juga bereaksi terhadap faktor fisika-kimia lain seperti cahaya, tekanan, dan salinitas. Banyak larva yang mengapung bersifat fototaksis positif pada tahap awal kehidupan larvanya. Ini membuat mereka terdapat pada perairan bebas yang bergerak cepat dan jika tiba waktunya untuk menetap, mereka menjadi fototaksis negatif dan bermigrasi ke arah dasar. Beberapa larva sangat sensitif terhadap cahaya dan tekanan sehingga mereka hanya menempati tingkatan tertentu pada kolom air, yaitu daerah dengan keadaan sinar dan tekanan yang tepat. Penyebaran larva ke dalam berbagai lapisan air juga menunjukkan bahwa lapisan yang dekat dasar hanya akan mengandung larva yang siap untuk menetap.

Walaupun larva mempunyai kemampuan yang cukup besar untuk memisahkan substrat dan memilih tempat untuk menetap, sering ada variasi kelimpahan dan komposisi spesies yang cukup besar pada komunitas infauna dasar dari tahun ketahun. Hal ini berkenaan dengan sejarah hidup berbagai invertebrata yang membentuk komunitas, interaksi satu sama lain dan dengan lingkungan fisiknya, serta pengaruh pemangsa (Sulistiono, Rahardjo dan Effendie 2001).

3 BAHAN DAN METODE

Dokumen terkait