• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.2.1 Klasifikasi Ikan Teri Merah (Encrasicholina heteroloba)

Munro (1967). mengklasifikasikan ikan teri merah sebagai berikut: Kingdom: Animalia

Phylum:Pisces

Kelas: Teleostomi

Sub Kelas: Actinopterygii Ordo: Clupeiformes

Famili: Engraulidae

Genus: Stolephorus

Spesies: S. hetetolobus

Belakangan ini nama S. heterolobus dikenal dengan nama Encrasicholina heteroloba

Gambar 2. Ikan teri merah Encrasicholina heteroloba Ruppell, 1837

Selanjutnya dideskripsikan oleh mereka karakteristik Encrasicholina heteroloba

sebagai berikut: bentuk tubuh agak seperti tabung, perut bundar dengan 4-6 (biasanya 5) sisik tebal yang berduri antara sirip dada dan sirip perut. Ujung tulang rahang meruncing melampui ujung tulang rahang atas dan mencapai pinggiran belakang dari keping tutup insang depan. Tapis insang sebelah bawah berjumlah antara 22 sampai 30, tetapi umumnya berkisar antara 23-37. Jari sisik sirip punggung dan dubur yang tidak bercabang hanya berupa ii.0, sirip dubur pendek dengan jari jari umumnya berjumlah ii.14 sampai ii.16. Dalam keadaan hidup terdapat garis perak pupus atau kelabu pada sisi tubuh dengan punggung berwarna kuning gading.

2.2.2 Habitat

Ikan teri merah adalah jenis ikan yang hidup di laut, bersifat neritik-oseanis (oceanodromous) dari laut terbuka sampai di teluk dan berasosiasi dengan terumbu karang. Hidupnya berkelompok (schooling), ditemukan pada permukaan sampai kedalaman 20- 50 m (Whitehead et al, 1988). Perilaku ikan-ikan teri yang berkelompok ini responsive terhadap perubahan suhu dan sinar. Laevastu dan Hayes (1981) menyatakan bahwa ikan-ikan anchovy (teri) selama siang hari membentuk gerombolan di dasar perairan dan bermigrasi menuju permukaan pada malam hari dimana konsentrasi gerombolan berada pada kedalaman 6 – 15 m. Kedalaman renang dari gerombolan anchovy bervariasi selama siang hari pada waktu pagi dan sore hari, dimana hal tersebut berkaitan dengan cahaya. Habitat kedalaman renang ikan teri

merah yang dipantau dengan alat echogram oleh Waas (1994), pada musim timur di Teluk Ambon Dalam (TAD) berkisar 6 - 7 m, sedangkan pada musim Barat, kelompok ikan umpan tersebut terkonsentrasi pada kedalaman 8-15 m (Latumeten, 2003).

2.2.3 Pertumbuhan Reproduktif dan Somatik

Informasi mengenai pertumbuhan reproduktif ikan teri merah yang didapatkan di Teluk Manila, New Ireland Papua New Guinea dan Jepara (Jawa Tengah), pada dasarnya ikan teri merah bereproduksi secara berkelanjutan sepanjang tahun kecuali di China dan Papua New Guinea. Di Daya bay Guang Dong China hanya ditemukan musim pemijahan dari bulan Maret sampai Oktober. Di perairan New Ireland Papua New Guinea pada bulan Mei hingga Juni atau Juli dan puncaknya pada September sampai November (Whitehead et al, 1988). Reproduksi yang menghasilkan telur dengan fekunditas untuk jenis nothern anchovy (teri) adalah 359±59 telur per betina (Hunter dan Golberg, 1980); Maack dan George (1999) menemukan fekunditas E puncifier di Padang (West Sumatera) adalah 985±359 telur per betina; Wright (1990) menemukan teri merah di Jawa Tengah dengan fekunditas adalah 422±32 telur per betina. Pertumbuhan reproduktif dapat terindikasi dari pertumbuhan somatik yaitu panjang ikan pertama ikan mencapai perkembangan gonad dan matang telur. Hubungan tingkat kematangan gonad dan matang telur dengan panjang minimum pertumbuhan somatik di beberapa lokasi dapat berbeda. Ongkers (1999) menemukan di TAD ikan teri merah mencapai matang gonad pertama pada ukuran nilai tengah 55 mm dengan prosentase kelimpahan 20%. Di perairan Utara Jawa (Wright, 1989 in

Blaber dan Copland, 1990), tingkat kematangan pertama ditemukan pada ikan teri merah berumur muda (ukuran berkisar 33-42 mm) dengan prosentase kelimpahan 65.1%. Wright (1990) di perairan bagian Utara Jawa Tengah mendapatkan perkembangan gonad mencapai matang pada ukuran 66-69 mm. Menurut Whitehead

et al (1988), ikan tersebut umumnya mencapai panjang matang gonad pertama kali pada panjang 5 - 6.7 cm. Setelah telur yang berkembang akan menetas dengan lama tetas telur jenis larva anchovy 48 jam atau 2 hari (Balakkrisman (1969); Milton and

Blaber (1999) serta Wan et al (2008), sedangkan waktu perkembangan larva, DT (Development Time), untuk jenis anchovy (Hunter, 1976; Dulcic, 1979) diperlukan 14 hari lamanya, dengan estimasi persentase sintasan setelah penetasan dari fase telur menjadi larva antaara 40%-80%. Pada kondisi laboratorium dari family Engraulidae bisa mencapai 80% (Milton et al, 1996) ini semua tergantung dari pakan yang tersedia, jenis Engraulis encrasicolus di Barat Laut Mediteranean berkisar antara 42%-83% (Palomera dan Lleonart, 1989).

Pertumbuhan somatik ikan teri merah yang ditemukan di TAD mengikuti pertumbuhan allometrik (Tapilatu, 2001) dengan koefisien pertumbuhan negatif (b= 2.875). Pertumbuhan isometrik dengan koefisien pertumbuhan b= 2.976 (Sumadhiharga,1978) dan b=2.989 (Sumadhiharga et al, 1987). Pertumbuhan ikan teri merah di perairan pantai utara Jawa Tengah didapatkan koefisien b pada tingkat pasca larva, juwana dan dewasa masing-masing sebesar 4.34, 3.42, dan 2.74 (Wright

et al , 1989 dalam Blaber dan Copland,1989). Wright et al (1989) in Blaber dan

Copland, (1990) menyampaikan informasi L∞ dan K ikan teri merah dari berbagai

tempat yaitu : di TAD, masing-masing L∞=10.97cm, dan K=2.48 tahun 1974-1975 (Wouthuysen et al, 1984); L∞=10.65cm dan K=2.83 tahun 1982-1983 (Wouthuysen

et al, 1984); L∞=10.55cm, dan K=2.55 tahun (Ongkers, 1999). Di Manila di

dapatkan (L∞ =121mm dan K=1.6) dan (L∞=114mm dan K=0.95); Singapore (L∞=

89mm dan K=2.08); Palau (L∞= 98mm dan K=2.08); Jepara (L∞= 98 mm dan

K=2.12). Panjang ikan tersebut dapat mencapai panjang maksimum 12 cm, tetapi pada biasanya 7.5 cm (Whitehead et al, 1988).

2.3 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan

Pengelolaan Sumber Daya Perikanan (Fisheries Resource Management) merupakan ilmu perikanan dalam rangka melindungi sumber daya perikanan agar eksploitasi dapat berlanjut. Untuk mewujudkan tujuan perikanan tersebut maka didekati dengan ilmu Dinamika Populasi Ikan (Fish Population Dynamic) yaitu suatu studi kuantitatif dari empat proses pada aksioma Russel. Kempat proses tersebut berupa pertumbuhan, rekrutmen, mortalitas penangkapan dan alami (Pauly, 1984).

Berbeda dengan Dinamika Populasi Ikan, maka pengkajian stok ikan (Fish Stock Assessment) merupakan suatu studi ilmiah untuk melihat status dan produktivitas dari suatu sumberdaya perikanan, pengaruh dari penangkapan terhadap sumberdaya dan dampak-dampak yang timbul pada sumberdaya perikanan tersebut akibat pola-pola penangkapan untuk kepentingan manajemen (Gulland, 1983). Dalam mengelola suatu stok perikanan, potensi hasil tangkapan (potential yield) yang tereksploitasi dan belum tereksploitasi sangat diperlukan, terutama pada sumberdaya laut di daerah tropis dan subtropis. Data yang diestimasi didekati dari Hasil Maksimum Yang Lestari (Maximum Sustainable Yield, MSY) dimana MSY≃ 0.5 M.B (Gulland, 1971) dimana M adalah mortalitas alami dan B adalah biomassa stok awal (virgin stock). Model ini berlaku jika kondisi stok belum dieksploitasi (unexploited). Jika pada kondisi yang sudah dieskploitasi, maka pengaruh mortalitas akibat aktivitas manusia (penangkapan) maka perlu dipertimbangkan untuk memasukan faktor mortalitas penangkapan (F), sehingga MSY≃ 0.5 (Y+M. )B dimana Y =F B). Mortalitas penangkapan (F) dan alami (M) bisa digabungkan menjadi Z (mortalitas total), maka MSY≃ 0.5 (Z+M. )B (Caddy dan Csirke, 1983).

Dalam sejarah pengelolaan sumberdaya perikanan, terdapat tiga pendekatan model pengelolaan yaitu: model Stok, model Analitik dan model Produksi.

2.3.1 Model Stok

Model stok pada mulanya menduga parameter populasi (pertumbuhan, mortalitas dan rekrutmen). Model tersebut berkembang dan sehingga muncul model prediktif stok seperti Thomson dan Bell (1934) in Spare dan Venema (1998) dan Beverton dan Holt (1957), untuk menduga besarnya hasil tangkapan dan biomassa. Salah satu model yang sederhana yang didasarkan pada asumsi yang ketat, tetapi memerlukan lebih sedikit perhitungan telah dikembangkan oleh Beverton dan Holt

(1957) dan Ricker (1975) yang dikenal dengan nama ’Yield Per Recruit” (YPR).

Model YPR ini pada prinsipnya adalah suatu model keadaan tetap (steady state model), yaitu, model yang menggambarkan keadaan stok dan hasil tangkapan dimana

pola penangkapannya sama untuk waktu yang cukup panjang dimana dialami oleh semua pesintas sejak saat direkrut. Asumsi yang ketat mendasari penggunaan model Beverton dan Holt ini adalah: 1) rekrutmen konstan tetapi tidak ada spesifikasi, 2) semua ikan dari suatu kohort ditetaskan pada waktu yang sama, 3) rekrutmen dan seleksi berbentuk mata pisau (knife edge), 4) mortalitas alami (M) dan penangkapan (F) adalah konstan pada saat masuk ke fase eksploitasi, 5) terjadi pencampuran secara sempurna di dalam stok, 6) pola pertumbuhan mempunyai pangkat 3, yaituW = aL3. Model Beverton dan Holt (1957) ternyata bermanfaat untuk melakukan estimasi atas beberapa pengaruh yang dapat diakibatkan oleh adanya berbagai perubahan pada batas ukuran (size limit) ikan yang boleh ditangkap maupun pada intensitas penangkapan terhadap berbagai stok, terutama yang tersusun dari satu jenis ikan (single spesies).

Secara holistik, model stok mempunyai ide dasar sebagai berikut: 1) jika terlalu sedikit ikan tua, maka stok mengalami tangkap lebih dan tekanan penangkapan harus dikurangi, 2) jika terlalu banyak ikan tua maka stok dalam keadaan underfished dan perlu dilakukan penangkapan untuk memaksimumkan hasil. Oleh karena itu keseluruhan konsep laju tangkap (catch rate) yang akhirnya dikenal sebagai catch per unit effort (CPUE) sebagai suatu indeks ukuran kelimpahan stok ikan dalam menduga hasil tangkapan lestari. Hasil tangkapan maksimum lestari (Hasil Tangkapan Maximum Lestari, MSY). MSY akan merupakan pedoman dasar bagi eksploitasi rasional stok ikan (Gulland, 1983; Pauly, 1984).

2.3.2 Model Analitik

Model ini dikembangkan oleh Russel (1931) in Beverton dan Holt (1957), dalam sistem perairan tertutup. Keberadaan stok dapat meningkat oleh adanya rekrut dan pertumbuhan (Russel, 1931) in Beverton dan Holt (1957). Kondisi stok yang meningkat dimbangi dengan penangkapan. Oleh karenanya model Russel ini dikenal dengan model keseimbangan dinamik, dimana menerapkan jumlah (stock numbers) sebagai kelimpahan. Perkembangan dari jumlah ke biomassa stok menghasilkan suatu kondisi stok yang mantap (stabil). Kemantapan stok merupakan perubahan biomassa

stok berkenaan dengan tingkat eksploitasi terhadap pembentukan biomassa dari suatu stok dalam periode waktu tertentu. Kemantapan stok ditentukan oleh daya dukung stok (Rekrutmen dan Pertumbuhan) dan tingkat eksploitasi (Penangkapan). Kemantapan stok (KST) ditentukan dari :

KST = (R+G)-(F)

………...(2)

Keterangan :

KST = Kemantapan stok R = Biomassa rekrutmen G = Biomassa pertumbuhan F = Biomassa hasil penangkapan

Apabila hasil penangkapan (F) lebih kecil dari daya dukung stok (R+G) maka KST positif, bertahan dan berkembang meningkat, sebaliknya apabila hasil penangkapan (F) lebih besar dari daya dukung stok (R+G) maka KST negatif, keberadaan stok menurun dan apabila hasil penangkapan (F) sama dngan daya dukung stok (R+G) maka KST nol, keberadaan stok tetap.

Berhubung karena perairan Teluk Ambon Dalam (TAD) bersifat semi enclosed bay, maka kesimbangan dinamik Russel perlu dimodifikasi karena adanya biomassa yang masuk dan keluar Teluk Ambon Dalam, sehingga kemantapan stok ditentukan oleh:

KST = (R+G)-(F)-(±E)

...(3) Keterangan : KST = Kemantapan stok R = Biomassa rekrutmen G = Biomassa pertumbuhan F = Biomassa hasil penangkapan E = Eliminasi

Eliminasi pertama kali dipergunakan dalam perhitungan jumlah biomassa yang hilang (tereliminasi) dari produksi suatu populasi (Allen 1951) in Heip (1976). Berhubung karena perubahan produksi di suatu perairan terbuka tidak bisa diterapkan pada suatu perairan yang semi terbuka, maka ada sesuatu biomassa yang terleiminasi(masuk dan keluar perairan) akibat dari proses internal (daya dukung stok dan hasil tangkapan). Perubahan rekrut, pertumbuhan dan keluar masuk ikan merupakan potensi daya dukung stok terhadap tekanan eksploitasi. Apabila tekanan

eksploitasi tidak melampaui daya dukung maka stok akan bertahan meningkat mantap, sedangkan apabila tekanan eksploitasi melampaui daya dukung maka stok akan mengalami degradasi.

Dari pendekatan dinamika stok tersebut maka keberadaan stok ikan teri merah di TAD sangat ditentukan oleh rekrutmen, pertumbuhan, keluar masuk ikan dan tingkat eksploitasi. Dinamika stok dapat dinyatakan sebagai dinamika kelimpahan stok atau dinamika pembentukan biomassa :

B

t2

= B

t1

+ BR + BG BF ± B(N

i

-N

o

)

……….(4)

Keterangan:

Bt2 = Biomassa pada waktu t=2 Bt1 = Biomassa pada waktu t=1 BR = Biomassa rekrutmen BG = Biomassa pertumbuhan BF = Biomassa penangkapan

B(Ni-No)= Biomassa masuk keluar ikan di TAD

2.3.3 Model Produksi

Model Produksi telah dikembangkan oleh Ricker (1946) dan Allen (1951) in

Chapman (1978) dalam menghitung pertumbuhan biomassa. Pertumbuhan biomassa (Produksi) yaitu kemampuan pembentukan biomassa persatuan waktu; ditentukan oleh keberadaan kelimpahan dan bobot ikan. Pada populasi yang mampu bereproduksi secara kontinu maka pembentukan biomas ditentukan oleh pertumbuhan biomas sesaat dari rataan biomas yang ada, yaitu : P = G x B. (P adalah produksi, G adalah laju pertumbuhan, dan B adalah rataan biomassa) Pertumbuhan biomassa merupakan perpaduan antara kematian sesaat z dan pertumbuhan sesaat g yang ditentukan oleh perubahan kelimpahan serta bobot individu stok. Kematian sesaat z dan pertumbuhan sesaat g mengikuti pola pertumbuhan eksponensial.

Pertumbuhan biomassa dari suatu stok (Chapman, 1978), merupakan

perpaduan dari laju pembentukan biomasa dan rataan biomasa antar waktu (∑ΔB = G.B ), atau dengan kata lain bahwa laju pertumbuhan biomassa merupakan perpaduan atau fungsi laju pembentukan biomasa (g) dan laju kematian (z) atau G = ƒ (g,z).

z dan g pada pola reproduksi kontinu. Pertumbuhan biomas ditentukan nilai z dan g. Apabila g>z, maka G = e(g-z) -1, dan apabila g < z maka G = 1- e (g-z) .