• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alat tangkapan ikan umpan yang beroperasi pada TAD adalah jenis jenis pukat/ jaring pantai sebesar 8% (5 unit) dan bagan 5% (3 unit) dari 65 unit alat penangkapan di Teluk Ambon (Pemkot Ambon dan Unpatti, 2003). Jaring insang dasar menempati urutan pertama (sekitar 59%) dari unit penangkapan. Sisanya berupa bubu, pancing tangan, jaring insang permukaan dan jaring lingkar. Kedua jenis alat penangkapan (jaring pantai dan bagan) saat ini telah berubah jumlahnya yaitu jaring pantai sebesar 7 unit dan bagan 5 unit. Kedua alat tangkap ini menggunakan alat bantu cahaya, yang disebut dengan light fishing. Hutubessy (2009) meneliti alat tangkap yang beroperasi di Teluk Ambon, menemukan jaring redi (beach seine) 7 unit serta bagan (lift net) 10 unit.

Eksploitasi ditentukan oleh intensitas penangkapan serta efektifitas alat yang digunakan untuk mendapatkan hasil tangkapan. Ikan teri merah dieksploitasi dengan jaring pantai dan bagan. Kedua alat penangkapan ikan teri merah ini dilengkapi dengan cahaya. Menurut informasi, alat tangkap tersebut lebih efektif dioperasikan pada bulan gelap. Di TAD, intensitas penangkapan relatif tetap, tetapi efektivitas ditentukan oleh ketertarikan ikan pada cahaya lampu. Di TAD, nelayan jaring pantai menggunakan bantuan cahaya dengan memakai perahu untuk mengumpulkan ikan umpan. Cahaya berasal dari lampu petromaks yang di letakan pada perahu. Jumlah lampu tersebut antara 2 – 4 buah dan diletakan 1.5 m di atas permukaan laut (Sumadhiharga, 1992).

Nicols (1989) telah melakukan penelitian mengenai penglihatan dan penerimaan cahaya oleh ikan dan menyimpulkan bahwa mayoritas mata ikan laut sangat tinggi sensitivitasnya terhadap cahaya. Ini berhubungan dengan sel cone (berfungsi untuk mendeteksi intensitas cahaya) dan rod (berfungsi untuk mendeteksi panjang gelombang cahaya) dari retina mata ikan. Setiap spesies mempunyai reaksi yang berbeda-beda terhadap ketertarikan pada cahaya. Umumnya ikan tertarik pada

cahaya antara 0.001 – 10 lux (Mitsugi, 1974). Berbeda jenis ikan maka berbeda pula respons terhadap cahaya. Hasil penelitian Baskoro (1999) melaporkan bahwa pada bagan dengan lampu petromaks 4 unit diperoleh intensitas cahaya sebesar 0.1 lux pada kedalaman 14m, sedangkan Natsir (2000) pada kedalaman 20 meter, intensitasnya antara 3 – 5 lux. Penelitian Baskoro (1998) dengan menggunakan bagan terhadap hasil tangkapan ikan anchovy (Stolephorus commersonii) menunjukkan reaksi yang kuat terhadap sumber cahaya di bawah air, dan cenderung berada pada kolom air antara 2 sampai 5 meter dimana intensitas antara 10 – 100 lux.

Di TAD, jika stok tidak dipengaruhi dari luar teluk, dan hanya ditentukan oleh proses di dalam teluk, maka laju eksploitasi (exploitation rate) dari kedua alat tangkap (jaring pantai dan bagan), dapat diketahui. Pauly (1984) menyatakan bahwa laju eksploitasi merupakan rasio antara mortalitas penangkapan dan mortalitas total (E=F/Z). Eksploitasi optimum terjadi pada ratio kematian akibat penangkapan dan kematian total, dimana nilai E sebesar 0.5.

2.5 Pengelolaan (Pengendalian Tingkat Eksploitasi)

Tujuan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan teri merah yaitu untuk mendapatkan hasil tangkapan optimal sesuai dengan daya dukung pembentukan biomassa stok tanpa mengganggu keseimbangan lingkungan perairan serta menjamin kelestariannya. Sasaran utama pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan yang menurut Widodo dan Nurhakim (2002), bahwa pada umumnya sumberdaya mempunyai sifat “open access” dan “common property” yang artinya pemanfaatan bersifat terbuka oleh siapa saja dapat memanfaatkan sumberdaya dan kepemilikannya bersifat umum (milik semua orang) . Sifat sumberdaya seperti ini menimbulkan beberapa konsekuensi. Konsekuensi tersebut antara lain yaitu :

1. Tanpa adanya pengelolaan akan menimbulkan gejala eksploitasi berlebihan (over exploitation), investasi berlebihan (over investment) dan tenaga kerja berlebihan (over employment).

2. Perlu adanya hak kepemilikan (property rights), misalnya oleh Negara (state property rights), oleh masyarakat (community property rights) atau oleh swasta/perorangan (private property rights).

3. Mempertahankan kelestarian sumberdaya dan fungsi lingkungan

4. Mencegah terjadinya konflik antara pelaku utama usaha penangkapan ikan Untuk mewujudkan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya yang produktif dan berkelanjutan maka perlu pendekatan :

1. Penerapan teknologi berkelanjutan. Dalam hal ini adalah teknologi yang ramah lingkungan. FAO (1995) memberikan ciri-ciri alat penangkapan yang ranah lingkungan adalah: (a). Memiliki selektivitas yang tinggi, (b). Tidak merusak habitat/ekosistem, (c). Tidak membahayakan keanekaragaman hayati dan spesies yang dilindungi, (d). Tidak membahayakan kelestarian ikan target, (e). Tidak membahayakan nelayan.

2. Konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan perairan. Menurut Maarif (2009), bahwa UU No. 31 tahun 2004 pasal 1 angka 8 dengan revisi perubahannya dalam UU No 45 tahun 2009 dan pasal 13 ayat 1 dan 2 dan peraturan turunannya yaitu PP No. 60 tahun 2007 tentang konservasi ikan yang didalam kedua hukum mengatur tentang perlunya upaya konservasi untuk pengelolaan sumberdaya ikan melalui, perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya ikan.

3. Pendekatan keterpaduan antar sektoral. Lilley (1999) menyatakan, sampai saat ini pengelolaan sumber daya laut masih sangat bersifat sektoral. Ia mengindentifikasi berbagai permasalahan antara lain : a). Ketidakjelasan tanggung jawab dari instansi yang berkepentingan dengan masalah sumber daya kelautan, sementara tidak ada badan khusus yang mengatur masalah sumber daya kelautan. b). Ada perbedaan kepentingan antar departemen sehingga peraturan yang dikeluarkan seringkali bersifat sangat sektoral, tumpang tindih atau bertentangan. c). Lemahnya kerangka hukum yang mengatur sumber daya kelautan dan pesisir, serta perangkat hukum untuk penegakannya. d). Tidak adanya tata ruang yang mengatur secara khusus

kawasan pantai dan pesisir. e). Kurangnya pemahaman akan pentingnya nilai dari sektor kelautan, sifat-sifat dari kelautan, termasuk sumber daya lautnya. f). Masih minimnya keikutsertaan masyarakat pesisir dalam pengelolaan sumber daya laut dan pesisir. g). Kurangnya kekuatan hukum dan pengakuan terhadap sistem-sistem tradisional serta wilayah ulayat laut dalam pengelolaan sumber daya laut dan pesisir. h). Kurangnya tenaga ahli, sumber daya manusia dan keuangan untuk bidang kelautan, i). Pengelolaan kawasan yang telah ditetapkan menjadi kawasan konservasi laut tidak sepenuhnya berjalan efektif.

Dari analisa potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan teri merah dapat ditentukan strategi pengelolaan dan pemanfaatan melalui :

1. Zonasi kawasan pengembangan sumberdaya ikan teri merah. Kepmen Kelautan dan Perikanan No. 34 tahun 2002 (DKP, 2002) menyebutkan bahwa salah satu dari 5 zona pengelolaan perikanan adalah zona pemanfaatan, dimana zona yang secara intensif dilakukan, tapi mempertimbangkan daya dukung lingkungan.

2. Penerapan teknologi yang produktif berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (Monintja, 1994).

3. Pendekatan bisnis perikanan tangkap, dimana menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 5 tahun 2008 tentang usaha perikanan tangkap pada pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa usaha perikanan (bisnis perikanan) tangkap adalah usaha perikanan yang berbasis pada penagkapan ikan.

Setiap strategi pengelolaan pemanfaatan sumberdaya tersebut perlu ditetapkan kebijakan operasional penangkapan ikan teri merah berkenaan dengan :

1. Intensifikasi, eksploitasi pada saat stok berlimpah. Wiadnya et al (2006) menyatakan bahwa ketika belum terjadi penurunan stok maka eksploitasi dapat dilakukan.

2. Pelestarian atau konservasi sumberdaya suatu stok mengalami defleksi. Untuk mencegah defleksi sumberdaya, maka strategi pengembangan kawasan

perlindungan laut sebagai alat pengelolaan perikanan tangkap berbasis ekosistem (Wiadnya et al, 2006)

3. Pembinaan intensif pelaku utama penangkapan ikan teri merah dalam mengelola eksploitasi dan menjamin kelestarian sumberdaya secara partisipasi dan terpadu antar sektoral. Kenyataan yang ada, hubungan antar sektor dalam pengelolaan sumber daya perikanan tidak diatur secara terkoordinasi dan terintegrasi (sectoral policy), sehingga setiap sektor cenderung berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan visi sektornya masing-masing (Agoes, 1999).