4.8. Analisis Data
5.2.1. Biomassa Hutan Primer dan Areal TPTJ
100 150 200 250 300 350 400 450 0 100 200 300 400 500 600 Cmic 20cm-40cm (ug/g) C m ic /C O rg 20 c m -40c m Observed Poly. (Observed) r = 0,940**
Gambar 93. Grafik korelasi antara karbon mikroorganisme pada kedalaman 20 cm – 40 cm dengan sifat biologi tanah
5.2. Pembahasan
5.2.1. Biomassa Hutan Primer dan Areal TPTJ
Biomassa serasah segar, serasah hancur dan akar meningkat dengan bertambahnya umur areal TPTJ, peningkatan ini telah memberikan kontribusi yang berarti terhadap bahan organik tanah. Biomassa serasah segar yang merupakan gabungan antara cabang, ranting, daun, bunga dan buah mendominasi pada seluruh plot penelitian, kemudian diikuti oleh biomassa akar dan biomassa serasah hancur. Potensi biomassa serasah segar pada hutan primer lebih besar dibandingkan dengan biomassa serasah segar pada areal bekas tebangan TPTJ (ABT0, ABT2, ABT3 dan ABT4). Demikian pula halnya dengan biomassa serasah hancur, dimana potensinya di hutan primer lebih tinggi dibanding areal bekas tebangan TPTJ.
Peningkatan biomassa serasah hancur yang berasal dari (biomassa) serasah segar pada areal TPTJ merupakan sumbangan yang sangat berharga sebagai bahan
Berdasarkan uji korelasi antara biomassa serasah segar dengan KTK tanah diperoleh koefisien korelasi sebesar 0,775*, 0,788* (Gambar 69 b dan c). Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang berbanding lurus diantara kedua variabel tersebut.
Kecepatan dekomposisi dari setiap plot penelitian dapat diketahui dari besarnya perbedaan biomassa serasah hancur yang dihasilkan. Biomassa serasah hancur yang dimaksud adalah serasah di permukaan tanah, yang lolos ayakan dengan ukuran lubang 10 mm. Hilangnya bobot biomassa serasah hancur dikarenakan karbon dimanfaatkan oleh mikroorganisme tanah dan dibebaskan
menjadi CO2, demikian pula senyawa kompleks yang berbobot molekul tinggi
akan diubah menjadi senyawa yang lebih sederhana dengan bobot molekul yang lebih rendah.
Perbedaan potensi biomassa serasah hancur menunjukkan pula besarnya kehilangan bobot biomassa serasah hancur di setiap plot penelitian, hal ini disajikan pada Tabel 9. Dari Tabel 9 terlihat bahwa besarnya kehilangan bobot biomassa tertinggi dihasilkan dari areal bekas tebangan 0 tahun untuk jalur tanam dan jalur antara. Besarnya kehilangan bobot yang besar ini karena serasah segar yang terakumulasi dipermukaan tanah akan dengan cepat diserang oleh mikroorganisme yang ada di dalam tanah dan dipergunakan untuk memperoleh energi dan penyusun sel tubuh mikroorganisme. Kondisi ini di sebabkan oleh tingginya suhu yang terbentuk di areal bekas tebangan 0 tahun untuk jalur tanam
pada kedalaman 0 – 20 cm (270C), yang dapat meningkatkan populasi dan
aktivitas mikroorganisme. Terdapat korelasi negatif yang bersifat nyata antara biomassa serasah segar dengan suhu pada kedalaman 0 – 20 cm pada jalur antara dengan koefisien korelasi sebesar -0,842** (Gambar 69 f). Hal ini menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel tersebut adalah berbanding terbalik sangat nyata, dimana peningkatan biomassa serasah segar akan menurunkan suhu tanah secara nyata pada kedalaman 0 – 20 cm.
Kehilangan bobot serasah hancur memiliki kecenderungan semakin kecil dengan bertambahnya umur areal TPTJ sebab sumber karbon bahan serasah
rendah di seluruh plot penelitian. pH yang rendah dapat memperlambat proses dekomposisi bahan organik, karena pH berkaitan sekali dengan keaktifan dekomposer (tidak aktif).
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa biomassa akar terendah ABT2 yaitu 11,7046 ton/ha dan tertinggi berasal dari hutan primer yaitu 22,605 ton/ha, dengan perbedaan tertinggi terjadi pada ABT0 untuk jalur tanam (Tabel 8). Hal ini berhubungan dengan suhu tanah dan bobot isi tanah yang terbentuk pada areal tersebut.
Secara umum, berat kering (biomassa) akar dipengaruhi oleh kondisi suhu
dengan pertumbuhan optimum pada suhu 250C (Kaspar & Bland 1992). Suhu
tanah yang terbentuk di areal bekas tebangan 0 tahun pada kedalaman 0 – 20 cm
dan 20 cm – 40 cm untuk jalur tanam berkisar antara 26 0C – 27 0C. Jika mengacu
dari pernyataan Kaspar & Bland (1992) di atas, maka akar pohon di areal bekas tebangan 0 tahun untuk jalur tanam sudah tumbuh pada kondisi suhu tanah di atas kondisi suhu yang optimum untuk pertumbuhannya. Suhu tanah yang tinggi akan dapat menyebabkan kerusakan akar, sebaliknya pada suhu yang rendah dapat menghambat penyerapan hara oleh tanaman (Chang 1968 di acu dalam Fibrianty 2004).
Menurut Elias (2002) dampak pemanenan kayu terhadap tanah dapat meningkatkan kepadatan tanah yang disebabkan oleh penggunaan alat-alat berat dalam pemanenan kayu yang akhirnya dapat menurunkan kesuburan tanah. Jika kepadatan tanah meningkat maka ruang pori makro menurun dan penetrasi akar
menjadi terhambat (Russel 1977 di acu dalam Rusdiana et al 2000).
Bobot isi tanah pada areal bekas tebangan 0 tahun untuk jalur tanam pada kedalaman 0 – 20 cm adalah tertinggi jika dibandingkan dengan bobot isi tanah
pada areal bekas tebangan yang lain termasuk hutan primer, yaitu 1,4 gr/cm3.
Adanya bobot isi tanah tersebut juga berkaitan erat dengan kondisi porositas. Peningkatan bobot isi akan diikuti dengan adanya penurunan porositas tanah, sehingga suplai oksigen menuju akar akan berkurang. Pada kondisi oksigen yang
Hal ini juga berhubungan dengan peningkatan pH tanah yang nyata pada areal bekas tebangan 0 tahun untuk jalur tanam pada setiap kedalaman jika dibandingkan dengan hutan primer. Menurut Weaver (1926) di acu dalam
Bathke et al (1992) pada kondisi pH tanah yang ekstrim, pertumbuhan akar
menjadi terhambat akibat peningkatan konsentrasi Al.
Biomassa akar akan meningkat dengan meningkatnya umur areal bekas tebangan, sampai ABT3. Bahkan peningkatan biomassa yang terjadi telah melebihi biomassa akar di ABT4. Hal ini berarti bahwa pada areal bekas tebangan 3 tahun untuk jalur antara, merupakan lebar jalur pertumbuhan akar mencapai angka maksimal.
Konsentrasi akar di atas permukaan tanah juga memungkinkan akar bercampur dengan serasah, berbagai organisme yang telah mati, dan organisme pengurai. Hal ini memungkinkan akar dapat dengan cepat dan lebih banyak menyerap berbagai hasil penguraian yang dilakukan organisme pengurai
di sekelilingnya. Selanjutnya kondisi ini menyebabkan proses recycling berjalan
dengan baik sehingga hara yang tercuci keluar dari sistem menjadi sangat kecil.
Kondisi ini memicu tingginya aktivitas biologi tanah dan turnover perakaran.
Menurut Hairiah et al (2004), akar pohon yang berkembang dalam profil tanah
sangat bermanfaat dalam mempertahankan jumlah pori makro tanah, karena akar pohon yang mati meninggalkan liang sehingga jumlah pori makro tanah bertambah.
Salah satu bentuk adaptasi konservasi hara secara alami di hutan tropis yang memiliki tanah yang miskin hara adalah dengan menghasilkan biomassa akar yang relatif besar dibanding bagian tubuh tumbuhan lainnya, dan konsentrasi dari akar tersebut sebagian besar di atas permukaan tanah. Tumbuhan yang tumbuh di tanah yang miskin hara memiliki konsentrasi akar yang sangat besar di atas permukaan tanah. Keuntungan dari adaptasi ini adalah akar dapat menyerap hara lebih banyak.
penelitian, hal ini diduga menurut Putz & Holbrook (1986) di acu dalam Susilo
(1999) bahwa meskipun ada yang berbentuk pohon, ara (Ficus indica) pada
umumnya hemiepiphyt, yaitu tumbuhan yang hidupnya sebagai epiphyt, bermula dari biji yang menempel di percabangan batang pohon inang berkecambah dan kemudian mengeluarkan akar udara (akar gantung) dan lama kelamaan bisa
sampai ke permukaan lantai hutan dan menembus tanah. Beberapa jenis Ficus ada
yang mengembangkan akarnya ke samping kiri dan kanan menyelimuti pohon inangnya hingga mencekik, akar-akar yang sampai ke tanah akan menyaingi pohon inangnya. Tajuknya dapat tumbuh cepat, hingga dapat lebih tinggi dan lebih lebar dibandingkan dengan tajuk inangnya.
Akibatnya, pohon inang mendapat saingan yang keras dalam mendapatkan cahaya dan nutrisi. Inang yang tercekik akhirnya mati karena mendapat persaingan yang hebat di atas tanah dan di bawah tanah juga mendapat cekikan pada batangnya. Pada umumnya ara memilih pohon inang yang kuat dan berumur
panjang seperti ulin (Eusideroxylon zwageri) yang termasuk suku Lauraceae
dan pada jenis-jenis dari suku Dipterocarpeceae (Leigton & Leigton 1983 di acu dalam Susilo 1999).
Adanya kecenderungan peningkatan jumlah jenis akar pohon pada areal bekas tebangan TPTJ terutama pada jalur tanam seiring dengan bertambahnya umur tanam, namun kecenderungan ini tidak diikuti dengan peningkatan kontribusi dari setiap kelas diameter biomassa akar, hal ini menunjukkan adanya persaingan yang tinggi di antara setiap jenis pohon untuk mendapatkan unsur hara. Menurut Snaydon dan Harris (1981) di acu dalam Fisher dan Dunham (1992) persaingan di bawah tanah adalah lebih kuat dari pada persaingan di atas tanah untuk mendapatkan cahaya.
5.2.2. Cadangan Karbon Hutan Primer dan Areal TPTJ
Adanya kegiatan pemanenan kayu dan tindakan silvikultur TPTJ telah menyebabkan terjadinya perubahan akumulasi serasah pada permukaan tanah
yang signifikan. Akumulasi serasah tersebut ditentukan oleh jumlah dan komposisi masukan serasah, baik yang gugur (cabang, ranting, daun, bunga
areal bekas tebangan TPTJ telah mempengaruhi cadangan karbon dalam serasah segar dan cadangan karbon dalam serasah hancur.
Secara statistik menunjukkan adanya perbedaan yang nyata jika dibandingkan dengan hutan primer. Walaupun ada kecenderungan untuk meningkat, namun belum bisa mengembalikan ke tingkat cadangan karbon dalam serasah di hutan primer. Hal ini diduga adanya perbedaan yang relatif kecil dari input serasah dari segi kuantitas (hasil biomassa) dibandingkan dengan hutan primer.
Menurut Ishizuka et al (2002) potensi karbon memiliki ketergantungan yang
tinggi terhadap keberadaan biomassa. Dari hasil uji korelasi, diperoleh korelasi yang sangat nyata antara biomassa serasah segar dengan cadangan karbon dalam serasah segar, dari hasil uji korelasi terhadap kedua variabel tersebut di peroleh
koefisien korelasi sebesar (r) 1,000** (Gambar 43 b) pada jalur tanam dan 1,000** (Gambar 71 a) pada jalur antara.
Biomassa serasah segar, serasah hancur dan akar memberikan kontribusi yang besar terhadap bahan organik. Bahan organik sangat mempengaruhi besarnya kandungan karbon pada setiap bagian pohon, sehingga terdapat korelasi antara biomassa dengan kandungan karbon. Menurut Hilmi (2003) besarnya potensi bahan organik akan meningkatkan potensi karbon, karena potensi bahan organik dapat mempengaruhi besarnya potensi selulosa, lignin, zat ekstraktif dan hemiselulosa, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi potensi karbon yang dikandung oleh pohon tersebut. Selulosa merupakan gula linier yang berantai panjang yang tersusun oleh karbon, sehingga makin tinggi selulosa maka kandungan karbon akan semakin meningkat.
Cadangan karbon dalam akar sebagian besar berasal dari hutan primer, kemudian diikuti ABT3, ABT4, ABT0 dan ABT2. Kandungan karbon dalam akar memberikan pengaruh yang signifikan akibat dari kegiatan pemanean kayu dan perlakuan silvikultur TPTJ. Terutama untuk akar dengan diameter < 0,5 cm dan 0,5 cm – 2 cm pada jalur tanam. Akar tersebut ternyata memberikan proporsi perkembangan akar yang cukup besar untuk jumlah total cadangan karbon dalam
di acu dalam Sulistiyanto (2005) di hutan Amazon, dimana hampir 80 % akar mempunyai diameter kurang dari 1 cm.
Secara statisitk kandungan karbon dalam tanah di areal TPTJ menunjukkan perbedaan yang tidak nyata jika dibandingkan dengan hutan primer. Hal ini menunjukkan bahwa produksi bahan organik yang dihasilkan dari biomassa serasah segar, serasah hancur dan biomassa akar adalah belum banyak berbedaan yang signifikan.
Cadangan karbon dalam tanah pada kedalaman 0 – 20 cm sebagian besar berasal dari ABT3, kemudian di ikuti ABT4, hutan primer, ABT2 dan ABT0. Sedangkan untuk cadangan karbon dalam tanah pada kedalaman 20 cm – 40 cm sebagian besar berasal dari ABT0 kemudian diikuti oleh cadangan karbon dalam
tanah pada kedalaman 20 cm – 40 cm pada ABT4, ABT3, hutan primer dan ABT2.
Hal tersebut menunjukkan bahwa cadangan karbon pada setiap plot penelitian dan kedalaman tanah adalah berbeda. Hal ini mengindikasikan adanya laju dekomposisi yang berbeda pada setiap plot penelitian dan kedalaman tanah, sehingga menghasilkan keragaman kandungan karbon. Menurut Sanchez (1976) di acu dalam Siringoringo dan Siregar (2006), laju dekomposisi bahan organik (serasah, daun, cabang, kulit, buah, batang yang melapuk) dari vegetasi pada lahan suatu areal menjadi C-organik tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tambahan bahan organik segar ke dalam tanah, kecepatan dekomposisi bahan organik, serta kecepatan konversi bahan organik segar menjadi C-organik. Kandungan karbon tanah pada lapisan paling atas suatu profil tanah lebih tinggi dari pada lapisan yang lebih dalam karena perkembangan struktur tanah pada lapisan tanah kemungkinan besar dipengaruhi oleh jumlah bahan organik tanah yang lebih tinggi, perkembangan akar yang lebih cepat dan juga kegiatan mikroorganisme.
Jika mengacu dari hasil penelitian Pamoengkas (2006) yang dilakukan pada lokasi yang sama, baik di hutan primer maupun di areal TPTJ (0,1,2,3 4,5 tahun), di peroleh nilai rasio C/N serasah berkisar antara 32 – 56, hal ini menunjukkan bahwa serasah di seluruh plot penelitian akan terdekomposisi dengan lambat.
< 15 % dan polyphenol < 3 %.
Sehingga perbedaan kandungan karbon dalam tanah dan serasah mungkin
lebih di pengaruhi oleh rumpang (gap) yang terbentuk. Di areal TPTJ, terutama
areal bekas tebangan 0 tahun untuk jalur tanam memiliki keterbukaan tajuk yang tinggi jika dibandingkan dengan plot penelitian yang lain. Hal ini menunjukkan
adanya rumpang (gap). Kondisi suhu yang lebih tinggi akan terjadi pada rumpang
(gap) yang terbentuk disuatu areal jika dibandingkan kondisi sekitarnya,
walaupun tanah pada lapisan bawah di hutan lebih basah (Jetten 1994a di acu dalam Dam, 2001). Hal ini dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme untuk melakukan dekomposisi serasah. Kajian terhadap dekomposisi telah dilakukan di Amerika dan diperoleh adanya perbedaan yang nyata antara ukuran rumpang
(gap) dengan keterbukaan tajuk dan kecepatan dekomposisi (Denslow et al 1998,
Luizäo et al 1998 di acu dalam Dam 2001). Sedangkan kajian di negara China
yang dilakukan, menunjukkan adanya tingkat dekomposisi yang rendah pada
rumpang (gap) yang besar jika dibandingkan pada hutan dengan rumpang (gap)
yang kecil dan hutan primer.
5.2.3. Sifat Fisik Tanah pada Hutan Primer dan Areal TPTJ
Suhu tanah merupakan faktor iklim mikro yang sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Karena di dalam lingkungan tanah, akar menyerap hara air untuk pertumbuhannya serta berpengaruh terhadap keberadaan mikroorganisme tanah Oleh karena itu penting untuk mengetahui suhu lokasi tanah yang diteliti. Pengukuran suhu tanah dilakukan pada saat pengambilan contoh tanah. Hasil
pengukuran suhu tanah berkisar antara 240C - 270C. Pada saat penelitian
dan pengambilan sampel tanah, hasil pengukuran suhu tanah tertinggi pada areal
bekas tebangan 0 tahun pada kedalaman 0 – 20 cm (270C) dan terendah pada areal
bekas tebangan 3 tahun pada kedalaman 20 cm – 40 cm untuk jalur tanam dan areal bekas tebangan 3 tahun jalur antara pada kedalaman 20 cm – 40 cm (240C).
dibandingkan dengan hutan primer, sehingga cahaya matahari yang masuk ke lantai areal bekas tebangan lebih besar dibandingkan pada hutan primer. Kondisi ini mengakibatkan naiknya suhu dan menurunkan kelembaban tanah di areal TPTJ, sehingga mempercepat aktivitas dekomposer didalam proses perombakan serasah. Suhu tanah di setiap plot penelitian memiliki kecenderungan menurun seiring dengan kedalaman tanah.
Suhu tanah pada areal TPTJ khususnya areal bekas tebangan 0 tahun mempunyai suhu yang tertinggi pada kedalaman 0 – 20 cm jika dibandingkan dengan plot penelitian yang lain karena rendahnya biomassa serasah segar dan serasah hancur yang dihasilkan pada areal tersebut terutama pada jalur tanam akibat dari rendahnya kerapatan tajuk yang terbentuk, sehingga banyak sinar matahari yang dapat langsung sampai ke tanah. Peningkatan suhu tersebut berbeda nyata jika dibandingkan dengan hutan primer.
Namun terjadi penurunan suhu tanah yang nyata dengan bertambahnya umur areal TPTJ, karena semakin bertambahnya biomassa serasah segar, serasah hancur dan biomassa akar pada areal tersebut. Kegiatan pembebasan vertikal dan horizontal maupun kegiatan pemangkasan pada areal TPTJ, telah membentuk lapisan yang akan menghalangi cahaya matahari secara langsung untuk sampai kepermukaan tanah, sehingga suhu tanah menjadi lebih rendah jika dibandingkan dengan areal bekas tebangan 0 tahun yang belum mendapat perlakuan pembebasan vertikal dan horizontal maupun kegiatan pemangkasan. Terutama akumulasi biomassa serasah maupun akar yang terbentuk di areal bekas tebangan 3 tahun dapat mengurangi fluktuasi suhu tanah untuk jalur tanam pada kedalaman
20 cm – 40 cm (240C) dan jalur antara pada kedalaman 0 – 20 cm (240C) jika
dibandingkan dengan suhu di areal bekas tebangan 0 tahuan yang berkisar antara 26 0C – 27 0C.
Keragaman suhu pada kedalaman 0 – 20 cm lebih besar dibandingkan pada kedalaman 20 cm – 40 cm, karena suhu pada lapisan 0 – 20 cm mengikuti fluktuasi suhu udara di atasnya. Perubahan suhu terjadi secara bertahap, dimana suhu tanah pada permukaan akan mempengaruhi lapisan-lapisan di bawahnya. Dimulai dari lapisan terdekat dengan permukaan sampai lapisan yang lebih dalam.
tanah.
Dampak pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur TPTJ terhadap bobot isi tanah adalah nyata. Bobot isi tanah tertinggi pada areal bekas tebangan 0 tahun
untuk jalur tanam 1,405 g/cm3 pada kedalaman 0 – 20 cm. Hal ini di sebabkan
pemadatan tanah akibat pemanenan kayu dan oleh serasah segar (0,54 ton/ha) dan serasah hancur (0,14 ton/ha) yang dihasilkan pada areal bekas tebangan 0 tahun pada jalur tanam sangat sedikit jika dibandingkan dengan plot penelitian lain.
Dari Tabel 9 menunjukkan adanya penurunan perbedaan biomassa serasah segar, serasah hancur dan akar yang dihasilkan dari areal TPTJ, hal ini berarti adanya peningkatan biomassa yang dihasilkan dari areal TPTJ. Kecenderungan ini berlangsung seiring dengan bertambahnya umur areal TPTJ yang diikuti oleh nilai bobot isi yang menurun.
Bobot isi makin menurun dengan meningkatnya kandungan bahan organik, karena bahan organik dapat menciptakan struktur tanah yang lebih baik sehingga porositas meningkat dan bobot isi akan menurun. Menurut Djajakirana (1996) peranan bahan organik terhadap tanah yang terdegradasi sangat penting, khususnya dalam memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Hal ini
di perkuat oleh pernyataan Adam (1973) di acu dalam Rawls et al (2004), bahwa
karbon organik memiliki efek yang signifikan terhadap bobot isi tanah. Bahan organik dapat mengurangi nilai bobot isi tanah dengan membentuk agregasi tanah.
Bobot isi terendah berasal dari areal bekas tebangan 4 tahun untuk jalur
antara pada kedalaman 20 cm – 40 cm yaitu 1,075 g/cm3, bahkan nilai bobot isi
ini lebih rendah jika dibandingkan dengan hutan primer. Hal ini berhubungan dengan biomassa serasah segar dan serasah hancur yang dihasilkan pada plot tersebut. Dimana biomassa pada areal bekas tebangan 4 tahun untuk jalur antara adalah tertinggi jika dibandingkan dengan areal bekas tebangan yang lain, terutama untuk biomassa serasah hancur yaitu 1,51 ton/ha dan 5,25 ton/ha untuk serasah segar. Perkembangan perakaran tanaman diduga ikut berperan terhadap agregasi dan menghasilkan struktur tanah yang lebih sarang yang pada akhirnya menyebabkan penurunan bobot isi tanah
tanam dan cenderung meningkat dengan makin dalamnya tanah. Hal ini berhubungan erat dengan komponen dan komposisi bahan penyusun tanah tersebut. Dengan meningkatnya kedalaman tanah, jumlah bahan organik didalamnya menurun sehingga tanah menjadi lebih padat. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya biomassa serasah dan akar pada areal bekas tebangan 0 tahun untuk jalur tanam. Keberadaan akar yang menyebar di berbagai lapisan dalam
profil tanah, akan meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan menggemburkan tanah sehingga dapat meningkatkan jumlah air yang masuk
ke dalam tanah.
Beberapa proses yang terlibat dalam pembentukan agregat tanah antara lain oleh pengikat butiran-butiran kasar atau agregat mikro oleh bahan koloida seperti liat dan bahan organik, dimana bahan organik menghasilkan bahan penyemen yang berfungsi sebagai bahan pengikat butiran tanah membentuk agregat.
Porositas tanah merupakan bagian yang tidak terisi bahan padat tanah (terisi oleh udara dan air). Peningkatan porositas disebabkan produksi biomassa yang berbeda antar plot penelitian. Perbedaan biomassa yang dihasilkan akan mempengaruhi produk akhir berupa residu bahan organik tanah. Peningkatan porositas tanah berkaitan dengan meningkatnya residu bahan organik seiring dengan meningkatnya umur areal bekas tebangan dan menurun seiring dengan makin dalamnya tanah.
Menurut Hardjowigeno (2003), porositas tanah akan meningkat jika bahan organik tinggi. Tanah-tanah dengan struktur granuler atau remah mempunyai
porositas yang lebih tinggi dari pada tanah-tanah dengan struktur massive (pejal).
5.2.4. Sifat Kimia Tanah pada Hutan Primer dan Areal TPTJ
Reaksi tanah merupakan refleksi konsentrasi hidrogen di dalam tanah atau biasa dinyatakan dengan pH tanah. Berkenaan dengan nilai pH, maka tanah dapat digolongkan ke dalam tanah masam, netral dan basa.
Serasah yang terakumulasi di atas permukaan tanah akan terdekomposisi, karena bahan ini merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme untuk mendapatkan sumber karbon dari bahan organik. Sehingga senyawa penyusun
Adanya kegiatan pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur TPTJ
berpengaruh nyata terhadap pH tanah pada kedalaman 0 – 20 cm dan 20 cm – 40 cm (Tabel 15).
Tingkat keasaman (pH) pada kedalaman 0 – 20 cm dan 20 cm – 40 cm pada tiap plot pengamatan sangat rendah, karena seluruh plot penelitian merupakan daerah berlereng. Sehingga akan banyak mengalami proses pencucian serta proses penghilangan yang dominan pada basa-basa, sebagai akibat adanya kandungan almuminium dapat dipertukarkan (Al-dd) yang tinggi pada areal bekas tebangan dan hutan primer. Namun juga pH tanah memiliki kecenderung untuk meningkat seiring bertambahnya kedalaman tanah. Hal ini disebabkan karena peran bahan organik serasah yang dapat menghasilkan asam-asam organik yang dapat mengikat Al sehingga Al tidak aktif.
Peningkatan pH tanah telah terjadi secara nyata pada areal bekas tebangan 0 tahun untuk jalur tanam pada kedalaman 0 – 20 cm (4,725), areal bekas tebangan 0 tahun untuk jalur antara pada kedalaman 0 – 20 cm (4,65) dan areal bekas tebangan 2 tahun untuk jalur antara pada kedalaman 0 – 20 cm (4,77) jika dibandingkan dengan hutan primer pada kedalaman 0 – 20 cm (4,555).