• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ukuran dewan (board size) adalah jumlah antara dewan komisaris independen dan non-independen (Elfeky, 2017). Board size merupakan faktor penting yang mempengaruhi efektivitas dewan dengan ukuran keseluruhan dewan komisaris (Allegrini dan Greco, 2013). Teori agensi menunjukkan bahwa semakin besar ukuran dewan komisaris dapat melakukan peran penting dalam memantau manajemen dan membuat keputusan jangka panjang.

Menurut Hussainey dan Wang (2010) menyatakan bahwa ukuran dewan komisaris yang besar cenderung tidak dikendalikan oleh manajemen. Susunan dewan yang lebih besar akan menjadi lebih kuat, karena dapat membuat koordinasi, komunikasi, dan pengambilan keputusan yang lebih praktis

53

dibandingkan dengan susunan dewan yang lebih kecil. Menurut Allegrini dan Greco (2013) menyatakan ukuran dewan komisaris yang lebih besar dapat menawarkan lebih banyak pengetahuan dan keahlian, serta kapasitas lebih untuk memantau maupun berbagi beban kerja terhadap kinerja manajemen (direksi). Penelitian ini menggunakan pengukuran yang sesuai dengan penelitian Elfeky (2017) dan Allegrini dan Greco (2013) yaitu jumlah anggota dewan komisaris yang dimiliki perusahaan.

Sumber: Allegrini dan Greco (2013) Keterangan:

Board Size = Ukuran Dewan Komisaris

Board Members = Jumlah Keselurahan Dewan Komisaris 2. Board Independence

Menurut Jouirou dan Chenguel (2014) dewan komisaris independen adalah dewan komisaris dari pihak luar perusahaan untuk membantu mengendalikan dan membatasi oportunisme para manajer berkat kompetensi, independensi, dan objektivitas yang diperlukan untuk fungsi kontrol. Agar mengurangi resiko tersebut maka dewan komisaris diduduki sejumlah anggota yang disebut sebagai dewan komisaris independen (Achmad, 2012). Menurut Kurniawati dan Yaya (2017) dewan komisaris independen adalah dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan, tidak memiliki saham baik secara langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan, tidak memiliki hubungan usaha serta hubungan afiliasi dengan perusahaan. Adanya komisaris independen diperlukan untuk

54

meningkatkan independensi dewan komisaris terhadap kepentingan pemegang saham dan benar-benar menempatkan kepentingan perusahaan di atas kepentingan lainnya.

Salah satu fungsi utama komisaris independen adalah mampu melakukan pengawasan terhadap kinerja perusahaan secara independen bertujuan untuk menstabilkan pengambilan keputusan untuk perlindungan terhadap pemodal minoritas/outsider (Pramana dan Ramantha, 2015). Komposisi dewan komisaris dalam teori ini menekankan pada lebih banyaknya outsider dalam perusahaan untuk menjaga agar dewan komisaris tetap independen. Outsider memiliki motivasi pengendalian lebih besar untuk melakukan ratifikasi dan pengawasan (Fama dan Jensen, 1983).

Menurut Surya dan Yustiavandana (2006) beberapa kriteria tentang komisaris independen sebagai berikut:

1. Komisaris independen tidak memiliki hubungan afiliasi dengan pemegang saham mayoritas dan pemegang saham pengendali (controlling shareholders) perusahaan tercatat yang bersangkutan.

2. Komisaris independen tidak memiliki hubungan dengan direktur ataupun komisaris lainnya dari perusahaan tercatat yang bersangkutan.

3. Komisaris independen tidak memiliki kedudukan rangkap atau ganda pada perusahaan lainnya yang terafiliasi dengan perusahaan tercatat yang bersangkutan.

4. Komisaris independen harus memahami keseluruhan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

55

5. Komisaris independen diusulkan dan dipilih oleh pemegang saham minoritas yang bukan merupakan pemegang saham pengendali (controlling shareholders) dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Menurut Abdillah (2015) menyatakan komisaris independen memiliki tanggung jawab pokok untuk mendorong diterapkannya prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dalam suatu perusahaan melalui pemberdayaan dewan komisaris agar dapat melakukan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada direksi secara efektif lebih memberikan nilai tambah bagi perusahaan. Penelitian menggunakan pengukuran yang sesuai dengan penelitian Elfeky (2017) dan Jouirou dan Chenguel (2014) yaitu jumlah dewan komisaris independen pada keseluruhan dewan komisaris perusahaan.

Sumber: Elfeky (2017) Keterangan:

Board Independence = Dewan Komisaris Independen Board Member Independence = Keseluruhan Komisaris Independen Board Members = Keseluruhan Dewan Komisaris 2.2.6 Blockholder Ownership

Menurut Elfeky (2017) blockholder ownership merupakan pemegang saham besar yang dimiliki oleh karyawan, direktur, ataupun perusahaan yang kepemilikan saham paling sedikit 5% dari total saham beredar milik perusahaan. Struktur kepemilikan saham menjabarkan pihak-pihak yang memiliki saham suatu perusahaan, hal ini berarti setiap pihak dapat dikatakan sebagai pemegang

Board Independence =βˆ‘ π΅π‘œπ‘Žπ‘Ÿπ‘‘ π‘€π‘’π‘šπ‘π‘’π‘Ÿπ‘  𝐼𝑛𝑑𝑒𝑝𝑒𝑛𝑑𝑒𝑛𝑐𝑒

56

kekuasaan perusahaan berdasarkan jumlah saham yang dimiliki (Lestari, 2014). Menurut Juhmani (2013) blockholder ownership merupakan kepemilikan saham yang mewakili persentase saham biasa yang dimiliki oleh pemegang saham substansial (5% atau lebih). Blockholder ownership yang besar berarti saham dikendalikan olek sekelompok orang, oleh karena itu kepemilikan terkonsentrasi berfungsi sebagai mekanisme pemantauan yang efisien.

Menurut Lestari (2014) blockholder ownership merupakan salah satu struktur kepemilikan perusahaan dengan kepemilikan saham paling sedikit 5% (lima persen) atas total saham perusahaan. Menurut Edmans (2014) manajer memiliki saham yang tidak memadai di perusahaan sehingga blockholders ownership memainkan peranan yang penting dalam pengelolaan perusahaan (corporate governance) karena blockholders dapat mengintervensi perusahaan dengan suara yang dimilikinya untuk memaksimalkan nilai perusahaan. Blockholders ownership yang tinggi menunjukkan pemantauan yang sangat ketat terhadap pengelolaan entitas untuk mendorong para manajer meningkatkan kinerjanya serta mengelola bisnis secara lebih transparan dan menurunkan perilaku oportunistik manajer (Puspitaningrum dan Atmini, 2012).

Menurut Salehi et al,(2011) mengatakan ada kemungkinan bahwa blockholders ownership secara aktif akan memainkan peran pemantauan, namun hanya pada tingkat kepemilikan tertentu. Begitu mereka melampaui tingkat kepemilikan akan muncul motivasi untuk membuat keputusan yang hanya akan menguntungkan dengan mengorbankan orang lain, mengindikasikan ada hubungan antara blockholders ownership dan voluntary disclosure. Penelitian ini

57

menggunakan pengukuran yang sesuai dengan penelitian Elfeky (2017) dan Juhmani (2013) sebagai berikut:

Sumber: Juhmani (2013) Keterangan:

Blockholder Ownership = Pemegang Saham Block Shareholders Ownership = Kepemilikan Saham > 5% Total of Shares = Total Saham Beredar 2.2.7 Auditor Type

Menurut Damayanti dan Priyadi (2016) auditor type merupakan auditor yang dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan kantor akuntan publik yang memiliki lingkup global/internasional (The Big Four) dan lingkup domestik/lokal (Non-The Big Four). Kantor Akuntan Publik (KAP) adalah badan usaha yang telah mendapatkan izin sesuai dengan perundang-undangan yang berusaha dibidang pemberian jasa profesional dalam praktek akuntan publik (Hidayat ,2017). Kantor akuntan publik di Indonesia yang berafiliasi big four sesuai directory Ikatan Akuntan Publik Indonesia (IAPI) tahun 2017 (www.iapi.or.id):

1. Kantor Akuntan Publik Tanudiredja, Wibisana, Rintis dan rekan – affiliate of PricewaterhouseCooper (PwC).

2. Kantor Akuntan Publik Purwantono, Sungkoro dan Surja – affiliate of Ernst & Young (EY).

3. Kantor Akuntan Publik Siddartha, Widjaja dan rekan – affiliate of Klynveld Peat Marwick Goerdeler (KPMG).

Blockholders Ownership =π‘†β„Žπ‘Žπ‘Ÿπ‘’β„Žπ‘œπ‘™π‘‘π‘’π‘Ÿπ‘  π‘‚π‘€π‘›π‘’π‘Ÿπ‘ β„Žπ‘–π‘>5%

58

4. Kantor Akuntan Publik Satrio, Bing, Eny, dan rekan – affiliate of Deloitte. Menurut Jensen dan Meckling (1976) teori agensi menyarankan agar perusahaan menjalankan pilihan auditor sebagai mekanisme untuk mengurangi konflik kepentingan yang terjadi antara pemegang saham (principal) dan manajer perusahaan (agent), karena audit memfasilitasi pemegang saham dalam proses pemantauan kinerja manajemen. Menurut Jouirou dan Chenguel (2014) perusahaan audit (KAP) besar mendorong perusahaan untuk mengungkapkan informasi tambahan yang diaudit dan lebih transparan kepada pemegang saham.

Kantor akuntan publik (The Big Four) sudah dikenal masyarakat luas memiliki reputasi yang baik, sumber daya yang lebih berkualitas dan lebih ahli dalam mengidentifikasi kesalahan akuntansi yang terjadi sehingga dalam melakukan audit lebih berhati-hati dan mengungkapkan informasi secara transaparan (Fitriana dan Prastiwi, 2014). Tujuan pengauditan merupakan sarana bagi pihak berkepentingan dengan para stakeholders untuk memverifikasi validitas atau kewajaran penyajian laporan keuangan yang dibuat oleh manajemen (Krishna, 2013). Penelitian ini menggunakan indikator yang sesuai dengan penelitian Damayanti dan Priyadi (2016) dan Wany (2015) sebagai berikut:

Sumber: Damayanti dan Priyadi (2016) Keterangan:

KAP (Big Four) = β€˜1’ KAP (Non-Big Four) = β€˜0’

Afiliasi The Big Four = ”1” Non Afiliasi The Big Four = ”0”

59

2.2.8 Umur Perusahaan

Menurut Wardani (2012) umur perusahaan adalah indikator perusahaan yang memiliki pengalaman dalam mempublikasikan laporan keuangan dan kebutuhan konstituennya akan informasi tentang perusahaan. Umur perusahaan adalah umur sejak berdirinya hingga perusahaan tersebut mampu menjalankan operasinya dengan menunjukkan seberapa lama perusahaan mampu bertahan (Nurmayanti et al, 2014). Iklim perusahaan yang semakin ketat dan berkembang mempengaruhi keputusan manajemen perusahaan dalam mengendalikan perkembangan dunia usaha.

Umur listing perusahaan merupakan seberapa lama perusahaan terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai perusahaan go public (Indriani, 2013). Menurut Owusu-Ansah (1998) dalam Abeywardana (2016) menyatakan bahwa perusahaan yang lebih muda enggan mengungkapkan beberapa informasi tertentu yang berkaitan tentang biaya operasional seperti pengeluaran penelitian, belanja modal, dan pengembangan produk karena rasa takut kehilangan keunggulan kompetitif. Namun, perusahaan lama percaya bahwa penyajian informasi tersebut tidak akan berdampak pada kehilangan posisi kompetitif mereka dalam dunia usaha. Penelitian ini menggunakan indikator yang sesuai dengan penelitian Damayanti dan Priyadi (2016), Abeywardana (2016) dan Wardani (2012) sebagai berikut:

Sumber: Indriani (2013)

60

2.2.9 Pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Voluntary Disclosure.

Kinerja keuangan merupakan gambaran dari pencapaian keberhasilan perusahaan serta kondisi keuangan perusahaan pada suatu periode tertentu yang menunjukkan kemampuan perusahaan dalam mengelola dan mengendalikan sumber daya yang dimilikinya (Kurniawati dan Yaya, 2017). Menurut Puspitasari (2012) bagi setiap perusahaan dalam meningkatkan kinerja keuangan adalah suatu kewajiban perusahaan agar saham perusahaan tetap dianggap menarik bagi investor. Andriani dan Subardjo (2017) menyatakan kinerja perusahaan sebagai emiten di pasar modal merupakan prestasi dan hasil operasional (operating result) perusahaan yang mencerminkan kondisi keuangan perusahaan diukur dalam rasio keuangan.

Menurut Wany (2015) perusahaan dengan kinerja keuangan yang baik dan mampu memberikan pengembalian return yang tinggi akan cenderung memberikan signal (good news) melalui pengungkapan keuangan yang lebih detail mengenai kondisi perusahaan kepada pengguna laporan keuangan (investor dan kreditur). Berdasarkan penelitian Gunawan (2016) dan Wiguna (2013) menyatakan bahwa kinerja keuangan berpengaruh signifikan terhadap voluntary

Dokumen terkait