• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bulu babi merupakan salah satu pemakan lamun yang menonjol. Untuk mengkaji potensi bulu babi sebagai pemakan lamun, sebuah penelitian telah diadakan pada dua pulau di Kepulauan Spermonde yaitu Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang. Kombinasi pengamatan di lapangan dan analisis laboratorium dilaksanakan untuk meneliti beberapa aspek yang meliputi komposisi jenis, kepadatan, diameter cangkang dan analisis isi perut. Terdapat 6 jenis bulu babi yang sama pada masing-masing pulau yaitu Diadema setosum, Echinothrix calamaris, Echinothrix diadema, Echinometra mathaei, Mespilia globulus dan Tripneustes gratilla. T. gratilla dan D. setosum merupakan dua jenis bulu babi yang dominan dan memiliki kepadatan tertinggi di kedua pulau. Lamun Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides memiliki komposisi terbesar dalam isi lambung bulu babi yang diamati. Indeks pilihan masing-masing jenis bulu babi mengindikasikan bahwa bulu babi menyukai berbagai jenis lamun, terutama T. hemprichii.

Kata kunci: bulu babi, lamun, Barranglompo, Bonebatang

Abstract

Sea urchins are among outstanding grazer to seagrass leaves. In order to analyze the potency of sea urchins as seagrass grazer, a study has been done in two small islands within Spermonde Archipelago i.e. Barranglompo and Bonebatang Islands. Combined field sampling and laboratory analysis were applied to measure several aspects including species composition, urchin density, test diameter and gut content analysis. There were six similar species found in both islands i.e. Diadema setosum, Echinothrix calamaris, Echinothrix diadema, Echinometra mathaei, Mespilia globulus and Tripneustes gratilla. T. gratilla and D. setosum were two dominant species having the highest density in both islands. Index of Preponderance revealed that Thalassia hemprichii and Enhalus acoroides were the largest seagrass diet within almost all sea urchin guts. Electivity index indicated that sea urchins prefer several seagrass species especially T. hemprichii.

Keywords: sea urchins, seagrass, Barranglompo, Bonebatang

Pendahuluan

Hewan herbivora sering memberikan pengaruh yang besar terhadap produktivitas dan kelimpahan tumbuhan pada lingkungan perairan (Valentine & Heck 1999). Secara teoritis, peningkatan diversitas herbivora akan mengurangi

biomassa komunitas tumbuhan karena banyak biota pemangsa yang akan mendominasi sistem sehingga mengarah ke pemangsaan berlebih atau overgrazing (Duffy et al. 2003).

Di antara semua fauna invertebrata, bulu babi (Echinoidea) merupakan pemangsa (grazer) lamun yang paling menonjol. Kadang-kadang populasinya cukup besar untuk mengkonsumsi proporsi lamun yang besar (Klumpp et al. 1989). Perhatian besar telah diberikan terhadap bulu babi yang memakan lamun (Christie et al. 2009).

Bulu babi dapat dijumpai sangat melimpah pada padang lamun, dimana mereka memakan daun-daun epifit segar, detritus atau kombinasi dari keduanya. Bulu babi ungu Lythecinus variegatus di Teluk Mexico memotong-motong daun lamun sehingga meninggalkan banyak daerah-daerah gundul (Hogarth 2007). Dampak grazing bulu babi terhadap pertumbuhan dan kelimpahan lamun Thalassia testudinum di Florida Keys, Amerika Serikat sangat bervariasi tergantung musim dan kondisi faktor lingkungan (Valentine et al. 2000).

Grazing oleh bulu babi Tripneustes gratilla terhadap lamun Thalassodendron ciliatum telah diteliti oleh Alcoverro dan Mariani (2002) di Kenya. Mereka menggunakan penelitian eksperimental dan penelitian lapangan deskriptif untuk menguji pengaruh aggregasi bulu babi yang padat terhadap padang lamun di Lagoon Mombasa. Mereka menemukan bahwa 39% lamun Thalassodendron ciliatum mengalami grazing berat (> 75% tegakan mati), 23.4% mengalami grazing sedang (> 50% tegakan mati), dan 38.5% mengalami grazing ringan (19.8% tegakan yang mati). Dari model sederhana yang dibuatnya, mereka mendapatkan waktu pulih lamun ini adalah 44 bulan.

Penelitian mengenai grazing bulu babi Tripneustes gratilla pada tiga jenis lamun yaitu Thalassia hemprichii, Halodule uninervis dan Cymodocea rotundata di Pulau Bonebatang, kepulauan Spermonde telah dilakukan oleh Vonk et al. (2008). Mereka menemukan bahwa total konsumsi Tripneustes gratilla pada kepadatan 1.55 ± 0.07 bulu babi/m2 sekitar 1,28 berat kering/m2/hari setara dengan 26 % produksi bersih lamun di atas permukaan substrat. Mereka menyimpulkan bahwa peningkatan grazing Tripneustes gratilla hanya mempengaruhi kerapatan tegakan di atas permukaan substrat untuk Halodule

uninervis dan Cymodocea rotundata saja dan tidak mempengaruhi Thalassia hemprichii.

Grazing langsung makrofita (lamun dan makroalgae) oleh fauna herbivora dapat mengindikasikan transfer karbon dan energi yang signifikan dalam rantai makanan (Alongi 1998). Grazing oleh bulu babi juga memiliki peran ekologis dalam mengontrol ketebalan algae. Hal ini terbukti setelah terjadinya penurunan populasi bulu babi Diadema antillarum di Karibia akibat kematian massal tahun 1983. Pada daerah-daerah yang telah habis bulu babinya, ketebalan pada algae meningkat dari 1-2 mm ke 20-30 mm (Karleskint et al. 2010). Pada daerah yang lamunnya berkurang akibat grazing yang intensif oleh bulu babi, algae epifit yang bersifat oportunistik akan berkembang. Hal ini akan memberi lamun kesempatan untuk pulih (Tewfik et al. 2005).

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi grazing oleh bulu babi pada daerah padang lamun yang ada di pulau dengan tekanan antropogenik yang berbeda. Dua pulau dalam kawasan Kepulauan Spermonde dipilih yaitu Pulau Barranglompo yang memiliki penduduk yang sangat padat dan Pulau Bonebatang yang tidak berpenghuni.

Bahan dan Metode

Penelitian ini berlangsung dari bulan Mei 2010 – Mei 2011 di Pulau Barranglompo (5o02’ 44.28‖- 5o03’ 05.65‖ S, 119o 19’ 38.56‖- 119o19’ 52.27‖

E) dan Pulau Bonebatang (5o 00’ 47.46‖- 5o 00’ 51.82 S, 119o 19’ 35.55‖- 119o

19’ 36.71‖ E) yang termasuk dalam Kepulauan Spermonde Provinsi Sulawesi Selatan. Peta kedua pulau ini dapat dilihat pada Gambar 6 (Bab 4).

Sebaran dan Kepadatan Bulu Babi (Echinoidea)

Pengamatan terhadap populasi bulu babi Echinoidea dilakukan bersamaan dengan pengambilan data bioekologi lamun. Untuk menghitung kepadatan bulu babi ini, digunakan plot kuadrat (3m x 3m) yang dipasang secara acak pada daerah lamun mulai dari pinggir pantai sampai kedalaman dimana lamun masih tumbuh. Jenis bulu babi yang didapatkan dalam plot kuadrat, didentifikasi jenisnya berdasarkan Clark (1971) dan Grzimek et al. (1974). Diameter cangkang

(test) jenis-jenis bulu babi yang dijumpai di dalam kuadrat juga diukur menggunakan mistar geser (Gambar 69).

Gambar 69 Pengukuran diameter cangkang bulu babi menggunakan mistar geser. Foto diambil saat penelitian

Analisis Isi perut (Gut Content Analysis)

Sampel bulu babi dipecahkan cangkangnya untuk melihat jenis-jenis makanan yang dikonsumsinya. Isi lambung dan usus dimasukkan ke dalam botol sampel dan difiksasi dengan alkohol 70 % (Zupo et al. 2001). Untuk mempermudah identifikasi jenis-jenis makanan bulu babi tersebut digunakan mikroskop stereo (Leica Wild Heerbrugg M-8).

Analisis Data Grazing Bulu Babi

Untuk menganalisis jenis-jenis makanan utama bulu babi, digunakan indeks bagian terbesar atau Index of Preponderance (Natarajan & Jhingran 1961 diacu Kumar et al. 2007).

IP =

x 100

IP = Indeks bagian terbesar

Vi = Persentase volume satu macam makanan

Oi = Persentase frekuensi kejadian satu macam makanan ∑Vi.Oi = Jumlah Vi.Oi dari semua macam makanan

Untuk menganalisis preferensi jenis-jenis bulu babi terhadap makanan berupa lamun dan makroalgae, digunakan indeks pilihan atau Electivity Index (Straus 1979; Lechowicz 1982).

E

=

E = Indeks Pilihan

ri = Kelimpahan relatif jenis makanan i dalam lambung pi = Kelimpahan relatif makanan i di lingkungan

Nilai indeks ini berkisar antara -1 sampai +1, dimana nilai mendekati +1 menunjukkan bahwa lamun lebih melimpah dalam kandungan diet (lebih disukai), sedangkan nilai mendekati -1 berarti lamun lebih melimpah di alam tapi tidak dalam diet (dihindari). Nilai E = 0 menunjukkan bahwa makanan yang dikonsumsi bersifat proporsional dengan ketersediaannya di alam (Straus 1979; Vanderploeg & Scavis 1979; Lyimo et al. 2011).

Uji t-test digunakan untuk membandingkan kepadatan dan diameter test populasi bulu babi antar lokasi penelitian (Pulau Barranglompo dan Bonebatang). Sedangkan korelasi linier antara kerapatan lamun (Bab 5) dengan kepadatan bulu babi dianalisis menggunakan Korelasi Pearson Product-Moment. Kedua analisis ini menggunakan perangkat lunak Statistica 6.0.

Hasil dan Pembahasan Komposisi Jenis Bulu Babi

Terdapat 6 jenis bulu babi yang ditemukan pada daerah padang lamun baik di Pulau Barranglompo maupun Bonebatang (Tabel 39 dan Gambar 70). Tabel 39 Komposisi jenis Bulu Babi di Pulau Barranglompo dan Pulau

Bonebatang

Ordo Famili Marga dan Spesies

Diadematoida Diadematidae Diadema setosum (Leske, 1778) Echinothrix calamaris (Pallas, 1774) Echinothrix diadema (Linnaeus, 1758) Echinoida Echinometridae Echinometra mathaei (De Blainville,

1825)

Temnopleuroida Temnopleuroidae Mespilia globulus (Linnaeus 1758) Toxopneustidae Tripneustes gratilla (Linnaeus, 1758)

Gambar 70 Jenis-jenis bulu babi yang terdapat di Pulau Barranglompo dan Pulau

Bonebatang. (a) Diadema setosum; (b) Tripneustes gratilla; (c) Echinothrix calamaris; (d) Echinothrix diadema; (e)

Bulu babi yang ditemukan merupakan kelompok reguler (regular urchins), selain itu, bulu babi juga ditemukan dalam bentuk irreguler yang terdiri atas heart urchin (Spatangoida) dan sand dollar (Clypeasteroida). Bulu babi hidup pada kisaran yang luas mulai dari daerah pasang surut hingga kedalaman 5000 m (Miskelly 2002).

Di daerah padang lamun, bulu babi dapat hidup soliter atau hidup mengelompok tergantung jenis dan habitatnya (Aziz 1994). Dari semua jenis bulu babi yang ditemukan di kedua pulau, Tripneusies gratilla dan Diadema setosum hidup mengelompok, sedangkan keempat jenis lain hidup menyendiri. Jenis T. gratilla memiliki duri pendek dengan warna yang bervariasi, umumnya merah keunguan atau putih, sedangkan D. setosum berwarna hitam dengan duri yang panjang. Selain T. gratilla, jenis bulu babi yang mempunyai duri pendek adalah Mespilia globulus.

Kepadatan Bulu Babi

Tripneustes gratilla merupakan jenis bulu babi yang mempunyai kepadatan tertinggi dibandingkan dengan jenis lain yang ditemukan baik di Pulau Barranglompo ataupun Pulau Bonebatang (Tabel 40 dan Gambar ). Di Pulau Barranglompo spesies ini memiliki kepadatan 1.37 ± 0.96 individu/m2, sedangkan di Pulau Bonebatang sebesar 1.57 ± 0.15 individu/m2. Di Pulau Bonebatang ini, Vonk et al. (2008) menemukan kepadatan yang hampir sama dengan yang didapatkan pada penelitian ini yaitu 1.55 ± 0.07 individu/m2. Kepadatan yang hampir sama (1.6 individu/m2) ditemukan oleh Alcoverro & Mariani (2002) di daerah padang lamun di Kenya pada komunitas bulu babi yang didominasi oleh T. gratilla. Komunitas bulu babi yang didominasi oleh T. gratilla juga ditemukan oleh Dobo (2009) di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku.

Bulu babi jenis T. gratilla di Pulau Barranglompo memiliki variabilitas sebaran yang tinggi dibandingkan dengan Pulau Bonebatang. Hal itu disebabkan karena melimpahnya jenis ini di stasiun yang berada di sisi utara pulau. Namun, uji statistik menunjukkan bahwa kepadatan semua jenis bulu babi tidak berbeda nyata antara kedua pulau (Tabel 40).

Tabel 40 Kepadatan Bulu babi rata-rata setiap stasiun (Individu/m2) di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang

Spesies Barranglompo Bonebatang p

A B C A B C D. setosum 1.67 1.27 0.89 1.42 1.33 1.09 0.9897ns E. calamaris 0.11 0.25 0.14 0.10 0.32 0.31 0.2300ns E. diadema 0.09 0.07 0.05 0.06 0.12 0.14 0.2643ns E. mathaei 0.02 0.02 0.19 0.04 0.11 0.07 0.9145ns M. globulus 0.05 0.26 0.07 0.10 0.75 0.51 0.05417ns T. gratilla 0.43 2.35 1.33 1.44 1.73 1.53 0.6671ns Keterangan: ns = tidak berbeda nyata

Kepadatan dua jenis bulu babi dominan di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang yaitu T. gratilla dan D. setosum (Gambar 71) lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditemukan di Bali dan Pulau Padaido (Tabel 41) (Dobo 2009). Begitupula dengan E. matthaei yang meskipun populasinya di kedua pulau lokasi penelitian ini cukup rendah, namun memiliki kepadatan yang masih lebih tinggi dibanding di Pulau Padaido (Dobo 2009). Jenis ini memang lebih banyak ditemukan pada cangkang ataupun pecahan karang di daerah terumbu karang sehingga populasinya di daerah padang lamun rendah.

Gambar 71 Kepadatan Bulu Babi rata-rata (individu/m2 ± sd) di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang Individu/m2

-0.50 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 K epa da ta n B ulu B a bi (I nd iv idu /m 2)

Spesies Bulu Babi

Barranglompo Bonebatang

Tabel 41 Kepadatan beberapa jenis bulu babi di berbagai lokasi di Indonesia (Dobo 2009)

Jenis Lokasi Kepadatan

(Individu/m2)

Sumber

Tripneustes gratilla Bali 0.02-1.2 Darsono & Sukarno (1993) Tripneustes gratilla Padaido 0.003-0.021 Radjab (2004)

Diadema setosum Padaido 0.001-0.002 Radjab (2004) Brissus latecarinatus Padaido 0.010 Radjab (2004) Heterocentrotus

mammilatus

Padaido 0.001 Radjab (2004)

Echinometra mathaei Padaido 0.008 Radjab (2004) Protoreaster gratiosa Padaido 0.001 Radjab (2004)

Echinoidea Spermonde 0.17-0.61 De Beer (1990)

Echinoidea Bunaken 0.17-0.61 Rondo (1992)

Diameter Cangkang Bulu Babi

Hasil pengukuran diameter cangkang (test) jenis-jenis bulu babi (Tabel 42 dan Gambar 72) menunjukkan bahwa diameter cangkang semua jenis bulu babi tidak berbeda nyata antara kedua pulau. T. gratilla merupakan jenis yang memiliki diameter cangkang rata-rata terbesar dibandingkan jenis-jenis lainnya. Tabel 42 Diameter cangkang (cm ± sd) setiap jenis bulu babi di Pulau

Barranglompo dan Pulau Bonebatang

Spesies Barranglompo Bonebatang p

A B C A B C D. setosum 4.70 ± 1.24 4.73 ± 1.35 4.30 ± 1.63 4.64 ± 0.91 4.78 ± 1.18 4.38 ± 1.32 0.4001ns E. calamaris 5.49 ± 0.35 5.68 ± 0.52 5.59 ± 0.38 5.54 ± 0.29 5.63 ± 0.51 5.58 ± 0.50 0.9203ns E. diadema 4.97 ± 0.66 4.94 ± 0.58 4.91 ± 0.56 4.92 ± 0.73 5.02 ± 0.75 5.08 ± 0.52 0.8918ns E. mathaei 3.19 ± 0.04 3.28 ± 0.06 3.34 ± 0.30 3.03 ± 0.06 3.10 ± 0.27 3.13 ± 0.26 0.0567ns M. globulus 2.79 ± 0.28 3.45 ± 0.34 2.92 ± 0.28 3.08 ± 0.33 3.38 ± 0.32 3.24 ± 0.29 0.4909ns T. gratilla 5.96 ± 0.48 6.28 ± 0.49 5.65 ± 0.66 6.12 ± 0.40 6.45 ± 0.59 5.69 ± 0.69 0.0662ns Keterangan: ns = tidak berbeda nyata

Studi sebelumnya oleh Tuwo (1995) di Pulau Kapoposan yang juga termasuk dalam gugus Kepulauan Spermonde mendapatkan bahwa dari 230 individu T. gratilla yang diukur diameter cangkangnya pada 4 kohor, 85 % diantaranya memiliki diameter rata-rata sebesar 6.12 ± 0.34. Nilai ini hampir sama dengan nilai yang diperoleh dari kedua lokasi penelitian (Tabel 42).

Gambar 72 Diameter cangkang rata-rata (cm ± sd) setiap jenis bulu babi di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang

Komposisi Makanan Bulu Babi

Nilai indeks bagian terbesar (preponderance index) menunjukkan bahwa lamun jenis T. hemprichii dan E. acoroides merupakan bagian terbesar dalam komposisi makanan keempat jenis bulu babi yang diamati (Gambar 73 dan 74). Kasim (2009) juga mendapatkan bahwa kedua jenis lamun ini memiliki proporsi terbesar dalam isi lambung bulu babi T. gratilla di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara masing-masing dengan persentase sebesar 55% dan 32%.

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 Dia m et er T est (cm )

Spesies Bulu Babi

Barranglompo Bonebatang

Gambar 73 Persentase makanan rata-rata dalam lambung bulu babi berdasarkan nilai indeks bagian terbesar (preponderance index) di Pulau Barranglompo

Gambar 74 Persentase makanan rata-rata dalam lambung bulu babi berdasarkan indeks bagian terbesar (preponderance index) di Pulau Bonebatang

Preferensi Makanan Bulu Babi

Nilai Indeks Pilihan (Tabel 43) digunakan untuk mengetahui preferensi jenis-jenis bulu babi terhadap jenis makanan yang terdiri atas lamun dan makroalgae.

Tabel 43 Nilai Indeks Pilihan (Electivity Index) empat jenis bulu babi terhadap makanan lamun dan makroalgae di Pulau Barranglompo (BL) dan Pulau Bonebatang (BB)

Jenis makanan

D. setosum E. calamaris M. globulus T. gratilla

BL BB BL BB BL BB BL BB C. rotundata 0.43 -0.04 0.30 -0.02 0.53 -0.07 0.30 -0.08 E. acoroides 0.15 0.49 -0.02 0.43 -0.33 0.22 -0.12 0.20 H. uninervis -0.01 -0.22 0.13 -0.18 0.39 0.15 0.02 0.00 H. ovalis 0.14 -0.04 -0.66 0.04 -0.54 0.11 0.18 0.04 S. isoetifolium 0.03 0.24 0.12 0.10 0.05 0.24 0.50 0.37 T. hemprichii 0.34 0.12 0.49 0.14 0.49 0.25 0.52 0.28 Makroalgae -0.55 -0.48 -0.59 -0.40 -0.69 -0.61 -0.60 -0.55 Kebiasaan makan bulu babi tergantung pada kombinasi dua faktor yaitu ketersediaan makanan dan preferensi, dimana preferensi atau selektivitas makanan mungkin disebabkan oleh nilai nutrisi suatu jenis makanan atau kehadiran substansi kimia tertentu yang tidak disukai bulu babi (Beddingfield & McClintock 1998; Lyimo et al. 2011).

Bulu babi lebih menyukai lamun dibandingkan dengan algae (Klumpp et al. 1993; Aziz 1999). Lamun yang paling disukai oleh jenis T. gratilla di daerah Bolinao, Filipina adalah jenis T. hemprichii (Klumpp et al. 1993). Analisis usus bulu babi Tripneustes gratilla dan Salmacis sphaeroides menunjukkan bahwa spesies-spesies ini secara efisien mencerna dan menyerap  60% lamun T. hemprichii (Klump et al. 1993; Alongi 1998). Makroalgae dapat menghasilkan senyawa kimia (senyawa sekunder) yang bersifat protektif (Lobban et al. 1997). Sebagai contoh, jenis Sargassum dan Turbinaria umumnya memiliki zat kimia yang disebut tannin yang mengakibatkan algae ini jadi keras dan sukar dicerna (Aziz 1999). Penimbunan zat kapur pada Halimeda dan Coralline Algae juga menyebabkan hewan herbivor sulit untuk mencerna jenis makroalgae ini (Hatta

1991). Selain secara kimia, secara morfologis makroalgae juga memiliki cara adaptasi untuk tidak didekati oleh herbivor, misalnya dengan membentuk bagian- bagian luar tubuhnya sedemikian rupa sehingga sulit didekati. Pembentukan cabang-cabang kecil yang menyerupai duri pada Gelidiella acerosa dan Acanthophora sp, bagian pinggir yang bergerigi pada Sargassum sp dan Caulerpa serrulata, serta thalli yang bersudut tajam pada Turbinaria sp (Hatta 1991).

Laju pemangsaan bulu babi berlangsung cepat dan dalam proses makan ini dibantu oleh bagian mulut yang telah terspesialisasi (Klumpp et al. 1989). Pada bagian mulut bulu babi kelompok reguler terdapat membran peristome yang di dalamnya terdapat organ yang disebut lentera aristoteles. Lentera aristoteles merupakan organ yang terdiri atas gigi/rahang, tulang serta otot (Gambar 75). Alat pemotong ini sangat rumit dibangun oleh 40 keping kerangka kapur yang terdiri atas 5 pasang gigi, 10 keping demipyramid, 10 keping ephyphysis, 5 keping rotulae dan 5 keping compass dan digerakkan oleh sekitar 60 otot motoris dengan fungsi yang berbeda-beda (Aziz 1987).

Gambar 75 Bagian dalam cangkang bulu babi Tripneustes gratilla yang dikoleksi dari perairan Pulau Barranglompo. A. Lentera Aristoteles, b. Potongan makanan. Inset adalah Lentera Aristoteles yang diperbesar

Gambar 76 dan 77 memperlihatkan hasil uji korelasi Pearson Product Moment untuk melihat korelasi antara kerapatan lamun dan kepadatan bulu babi di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang. Secara teoritis, peningkatan jumlah hewan herbivora akan mengurangi biomassa komunitas tumbuhan karena banyaknya grazer yang akan datang mendominasi sistem sehingga akan mengarah ke overgrazing (Duffy et al. 2003). Namun, hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan korelasi yang lemah (Gambar 76 & 77). Di Pulau Barranglompo terdapat korelasi negatif yang lemah (r = -0.2215), sedangkan di Pulau Bonebatang terdapat korelasi positif yang lemah (r = 0.4957) (Reimann et al. 2008).

Dengan demikian, meningkatnya jumlah tegakan lamun tidak selalu diikuti dengan meningkatnya populasi bulu babi di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang, begitu pula sebaliknya. Namun, korelasi negatif yang signifikan antara kepadatan bulu babi dengan biomassa lamun, tinggi kanopi, kerapatan tegakan dan persentase penutupan diamati oleh Mamboya et al. (2009) di perairan Dar es Salaam, Tanzania yang mengindikasikan bahwa grazing bulu babi berperan terhadap pengurangan biomassa di atas substrat pada lokasi dengan kepadatan bulu babi yang tinggi.

Gambar 76 Korelasi antara kerapatan lamun dengan kepadatan bulu babi di Pulau Barranglompo  Selang kepercayaan 95%

Korelasi negatif antara kerapatan lamun dengan kepadatan bulu babi di Pulau Barranglompo meskipun lemah, namun hal itu mengindikasikan bahwa grazing di Pulau Barranglompo lebih intensif dibandingkan dengan Pulau Bonebatang. Meningkatnya kadar nutrien dan tutupan epifit yang tinggi pada lamun membuatnya lebih disukai oleh herbivora yang secara eksperimental didapatkan memangsa lebih intensif pada kondisi seperti itu (McGlathery 1995).

Penelitian menunjukkan bahwa bulu babi berukuran kecil (diametet test 

30 mm) dimangsa oleh predatornya seperti ikan predator dan gastropoda dengan laju yang lebih cepat dibandingkan dengan bulu babi yang lebih besar dengan diameter test antara 31-60 mm (Heck & Valentine 1995). Jadi pada ekosistem padang lamun dapat terjadi keseimbangan antara populasi bulu babi dengan kerapatan lamun karena bulu babi yang lebih muda (new recruits) dimangsa lebih banyak oleh predatornya sehingga populasi bulu babi berkurang. Hal ini menyebabkan lamun yang telah mengalami grazing dapat pulih kembali. Peningkatan kerapatan lamun yang meningkat akan memberi bulu babi perlindungan struktural dari pemangsanya. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan lagi grazing lamun yang akan kembali mengurangi kerapatan lamun.

Populasi bulu babi yang ada baik di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang masih belum merupakan ancaman serius bagi vegetasi lamun yang ada di pulau-tersebut. Penelitian eksperimental sebelumnya oleh Vonk et al. (2008) menunjukkan bahwa bulu babi T. gratilla dapat mengurangi 74% biomassa di atas substrat, namun tidak mempunyai pengaruh terhadap biomassa di bawah substrat. Grazing yang tidak intensif hanya mengakibatkan pengurangan biomassa di atas substrat, sehingga dapat pulih dengan cepat. Namun, grazing yang sangat intensif dapat mengakibatkan lamun hilang secara permanen (Heck & Valentine 1999). Pada berbagai wilayah telah dilaporkan terjadinya ledakan populasi bulu babi yang cepat dengan kepadatan mencapai 500-600 individu/m2, mengakibatkan hilangnya daerah lamun yang luas bahkan menghabiskan padang lamun yangada (Heck & Valentine 1995; Mamboya et al.

2009). Oleh karena itu, pemantauan populasi bulu babi pada daerah padang lamun perlu dilakukan secara periodik mengingat ledakan populasi bulu babi dapat terjadi bila predatornya berkurang.

Gambar 77 Korelasi antara kerapatan lamun dengan kepadatan bulu babi di Pulau Bonebatang

Simpulan

1. Terdapat 6 jenis bulu babi yang dijumpai di daerah padang lamun Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang yaitu Diadema setosum, Echinometra mathaei, Echinothrix calamaris, Echinothrix diadema, Mespilia globulus, dan Tripneustes gratilla.

2. T. gratilla dan D. setosum merupakan jenis bulu babi yang memiliki kepadatan tertinggi di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang.

3. Thalassia hemprichii merupakan jenis lamun yang memiliki komposisi terbesar dalam isi lambung bulu babi.

4. Nilai indeks pilihan mengindikasikan bahwa bulu babi menyukai beberapa jenis lamun terutama T. hemprichii.

5. Populasi bulu babi yang ada saat ini belum merupakan ancaman serius terhadap komunitas lamun di Pulau Barranglompo dan Bonebatang.

10. PEMBAHASAN UMUM

Padang lamun merupakan salah satu ekosistem penting baik secara ekologi maupun ekonomi. Namun karena posisinya yang berada pada batas antara ekosistem darat dan laut (Waycott et al. 2004) maka padang lamun merupakan ekosistem yang mudah mengalami degradasi akibat pengaruh dari kedua ekosistem yang mengapitnya tersebut (Green & Short 2003; Warry & Hindell 2009). Secara global diperkirakan kehilangan areal padang lamun akibat dampak langsung dan tidak langsung aktivitas antropogenik mencapai 33 000 km2 selama kurun waktu dua dasawarsa terakhir (Short & Wyllie-Echeverria 1996). Dengan demikian padang lamun yang tersisa saat ini di seluruh dunia diprediksi seluas 177 000 km2 (Green & Short 2003).

Lamun tropis memiliki interaksi penting dengan mangrove dan terumbu karang (Fortes 1990; Green & Short 2003; Short et al. 2007). Saat ini, ketiga ekosistem laut tropis ini mengalami degradasi yang intensif akibat disturbansi alami dan antropogenik (Short & Wyllie-Echeverria 1996). Degradasi atau kehilangan salah satu ekosistem ini akan menyebabkan kerusakan bagi ekosistem di laut secara keseluruhan (Fortes 1990). Gambar 78 menunjukkan interaksi utama yang terjadi pada tiga ekosistem utama di daerah tropis. Interaksi tersebut meliputi proses fisika, kimia, biologis maupun dampak antropogenik (Ogden & Gladfelter 1983).

Salah satu interaksi antara ketiga ekosistem ini yang memperlihatkan peningkatan intensitas adalah dampak antropogenik. Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk di daerah pantai terutama di pulau-pulau kecil, maka pengaruh dari aktivitas antropogenik semakin potensial mempengaruhi ekosistem yang ada di daerah pantai. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dampak aktivitas antropogenik tersebut terhadap kondisi nutrien dan kualitas perairan yang pada akhirnya akan berdampak pada interaksi organisme yang hidup berasosiasi pada daerah padang lamun.

Dokumen terkait