• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budaya Kapitalisme Baru Semakin Memacu Radikalisme

Haryatmoko

(Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta)

“Legitimasi masyarakat modern tergantung pada dua hal, kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi. Bila gagal memberi dua hal itu, masyarakat itu kehilangan hormat dan kesetiaan dari warganya. Mereka berharap hidup lebih baik dan standar hidup mereka meningkat” (E.Gellner, 1998). Ekonomi menjadi struktur pemaknaan yang menyatukan praktik-praktik wacana dewasa ini. Semua cenderung diukur dari perspektif ekonomi. Masyarakat yang mendefinisikan diri sepenuhnya dari segi ekonomi menjadikan manfaat sebagai nilai tertinggi dan menomorduakan nilai-nilai lain.

Dalam konteks seperti itu, penerimaan pluralisme menjadi penting. Adanya penafikan atas dasar kepemilikan agama atau etnis melalui dikotomi antar “kita” (kelompok

dominan) dan “mereka” (di luar anggota kelompok dominan) dilembagakan dalam rangka menjauhkan kelompok terpinggir dari posisi kekuasaan. Pelembagaan diskriminasi ini terjadi di wilayah-wilayah penting dalam kehidupan seperti pekerjaan, pendidikan, jabatan-jabatan publik dan hubungan-hubungan sosial lain (Arbuckle 1993:6). Agar diskriminasi ini mem-peroleh legitimasi, kelompok-kelompok terpinggir secara budaya, agama atau etnis ditekan dan dianggap sebagai tidak berhak sehingga kehilangan self-worth. Yang terpinggir secara budaya bisa juga dimaknai tersingkir karena kalah bersaing dalam pendidikan dan ketrampilan. Perasaan tak berguna akan mudah membakar emosi sosial, bahkan menjadi ladang subur tumbuhnya radikalisme.

Tantangan Budaya Kapitalisme Baru

Ideal yang dikejar dalam budaya kapitalisme baru ialah menjadi kaya dengan berpikir jangka pendek (Sennett, 2006:7). Ekonomi menjadi episteme atau struktur pemaknaan hidup yang utama, bahkan dalam hal-hal yang menyangkut bidang pelayanan publik baik di bidang kesehatan, dana pensiun, maupun pendidikan (ibid., hlm.8). Maka institusi-institusi ber-ubah hanya mengacu ke tuntutan ekonomi seperti teknologi, global finance, perusahaan pelayanan baru (ibid., hlm.12). Kriterium utama adalah efisiensi. Budaya baru yang ber-kembang dalam kapitalisme melahirkan tantangan-tantangan baru. Tantangan-tantangan itu bisa dirumuskan dalam tiga kelompok: pertama, struktur organisasi cepat berubah; kedua,

Dinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan Kado 60 Tahun Musa Asy’arie

kekerasan struktural serta defisit struktural.

Pertama, struktur organisasi yang cepat berubah ditandai dengan semakin memperpendek kerangka organisasi, yaitu menekankan tugas-tugas jangka pendek dan segera. Maka pekerja dituntut pro-aktif dihadapkan pada situasi tak menentu dalam struktur yang cair karena akhirnya kepekaan akan situasi akan menggantikan tugas yang terdefinisi. Pembagian kerja lebih dalam bentuk task-oriented, bukan lagi model pembagian kerja dengan peran-peran yang sudah ditentukan. Maka semakin banyak pekerjaan-pekerjaan outsourcing yang dialihkan ke perusahaan-perusahaan lain. Akibatnya kontrak terbatas menjadi hal biasa. Kontrak berubah sesuai dengan aktivitas institusi. Bisnis harus bereaksi cepat untuk berubah sesuai dengan permintaan konsumen.

Telah terjadi perubahan dari kekuasaan manajerial ke pemegang saham. Pemegang saham tidak akan mau tahu kondisi perusahaan atau bagaimana dikelola, mereka hanya ingin keuntungan. Eksekutif mendapat tekanan. Maka pada gilirannya kecenderungan pimpinan akan berharap anda tahu bagaimana mengerjakan segalanya, padahal anda sering tidak tahu. Situasi semacam itu menjadi tantangan, membutuhkan ketrampilan human relation dan orang harus memiliki toleransi tinggi terhadap ambiguitas.

Kedua, individu dan kelompok semakin ditekan untuk bersaing. Diciptakan persaingan antarindividu melalui individualisasi hubungan kerja dengan ditetapkan apa yang harus dicapai oleh setiap orang; diadakan evaluasi individual; sistem kenaikan gaji individual; sistem pemberian bonus atas

dasar prestasi; sistem karir individual, masing-masing merasa bertanggungjawab sehingga memacu untuk menjadi yang terbaik. Sistem panoptisme, atau internalisasi pengawasan diri, serta teknik yang membuat patuh dan memaksakan diri untuk investasi berlebihan di dalam kerja. Iklim persaingan antar tim dipupuk dengan membentuk kelompok-kelompok kerja otonom.

Ketiga, kekerasan struktural dan defisit struktural. Globalisasi ekonomi melandaskan diri pada suatu dunia model Darwin (survival of the fittest). Dasar tatanan ekonomi semacam itu ialah menciptakan rasa tidak aman pada semua tingkat hierarki karena kekawatiran sewaktu-waktu PHK, penutupan perusahaan atau delokalisasi. Dengan demikian terdapat banyak tenaga kerja yang dibuat menjadi patuh oleh situasi tidak menentu dan oleh ancaman sewaktu-waktu akan anggur (Bourdieu, 1998). Berarti tatanan ekonomi yang meng-agungkan kebebasan individu ini ternyata mendasarkan pada kekerasan struktural dalam bentuk pengangguran, ketidak-amanan dan ketakutan akan PHK.

Ketidakpedulian terhadap jasa dan nasib pekerja, individualisasi karir, tekanan pada persaingan sangat melekat dengan dua mekanisme ekonomi neo-liberal yang pertama cenderung mau menghancurkan struktur-struktur kolektif agar utopia pasar murni terlaksana; kedua, memisahkan logika eknonomi dari logika sosial. Logika ekonomi sangat menekan-kan persaingan untuk mendorong efisiensi. Sedangmenekan-kan logika sosial sangat menekankan aturan keadilan dan peduli untuk mengatur pertarungan kepentingan. Maka di dalam persaingan, kelemahan dalam kapital ekonomi atau budaya bisa

Dinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan Kado 60 Tahun Musa Asy’arie

dikompensasi dengan kapital sosial. Lalu, agama diandalkan karena bisa berfungsi sebagai kapital sosial.

Dalam konteks persaingan itu, agama bukan lagi menjadi tempat di mana orang menemukan kedamaian, kedalaman hidup, dan harapan yang kukuh. Atas nama agama orang bisa semena-mena memperlakukan orang lain, melakukan diskrimi-nasi, kekerasan, bahkan pembunuhan. Agama sering, bukannya mengelakkan konflik, tetapi malahan memberikan landasan ideologis dan pembenaran simbolis. Pembenaran ini bukan hanya berfungsi meringankan atau memberi alibi tanggung-jawab pribadi, tetapi semakin meneguhkan tekad, memper-tajam permusuhan dan memistiskan motif pertentangan menjadi perjuangan membela iman dan kebenaran, singkat kata demi Tuhan sendiri.

Dalam Persaingan, Agama Menjadi Kapital Sosial

Perbaikan terus menerus dalam performance ekonomi menuntut selalu ada inovasi. Tuntutan ini menciptakan struktur kesibukan tidak stabil. Mobilitas menuntut manusia harus menyesuaikan diri dengan standar perubahan terus-menerus (posisi-posisi baru dalam struktur ekonomi dan sosial yang berubah). Masyarakat yang menekankan orientasi pada ekonomi merupakan masyarakat yang hanya kenal satu pola hubungan, yaitu bertarung dalam kompetisi. Masyarakat seperti ini menjadi arena di mana orang-orang dan kelompok-kelompok bertarung tanpa ada yang menengahi.

Persaingan menjadi sangat tajam. Terlebih lagi media elektronik dan komputer memungkinkan pertukaran informasi

dalam waktu yang singkat. Logika waktu pendek menjadi dominan. Pada gilirannya, logika ini mengubah kapitalisme. Teknik informasi ini menjamin mobilitas modal sangat tinggi. Sewaktu-waktu pemodal bisa pindah ke perusahaan yang lebih menguntungkan (P.Bourdieu, 1998). Selain investasi jangka panjang, dewasa ini kecenderungannya mengarah ke investasi

kapital yang tak sabar yang menginginkan uang segera kembali

dengan untung besar, tentu saja ini mengubah semua institusi agar menyesuaikan diri untuk bisa menarik pemodal (R.Sennett, 2006:40). Kapitalisme pasar uang menggagalkan visi jangka panjang negara demi performance jangka pendek, demi sirkulasi cepat kapital di tingkat global dan transaksi ekonomi yang kian cepat (G.Lipovetsky, 2004:88). Mereka yang kuat dalam ke-pemilikan kapital ekonomi, dan budaya akan sangat diuntungkan.

Persaingan di dalam arena sosial dan politik untuk meng-akumulasi kapital atau menempatkan diri dalam posisi sosial tergantung dari kepemilikan kapital. Menurut Bourdieu, sumberdaya atau kapital meliputi kapital ekonomi, budaya, sosial dan simbolik. Konsep arena perjuangan menjadi sangat menentukan karena dalam semua masyarakat ada yang menguasai dan dikuasai. Dalam pembedaan ini terletak prinsip dasar pengorganisasian sosial. Dominasi ini sangat tergantung pada situasi, sumber daya dan strategi pelaku.

Bourdieu mengusulkan suatu visi pemetaan hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat dengan mendasarkan pada logika posisi-posisi dan kepemilikan sumber daya. Pemetaan ini tidak berupa suatu lingkup pembedaan atas dasar

Dinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan Kado 60 Tahun Musa Asy’arie

1 Konsep “kapital” meskipun merupakan khasanah ilmu ekonomi dipakai oleh Bourdieu karena beberapa cirinya yang mampu menjelaskan hubungan-hubungan kekuasaan: 1)kapital terakumulasi melalui investasi; 2)kapital bisa diberikan kepada yang lain melalui warisan; 3) modal dapat memberi keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya (P.Bonnewitz, 1998: 43). Kapital merupakan hubungan sosial, artinya suatu energi sosial yang hanya ada dan membuahkan hasil-hasil dalam arena perjuangan di mana ia memproduksi dan mereproduksi. Setiap kepemilikan yang terkait dengan kelas menerima nilainya dan efektivitasnya dari hukum-hukum khas setiap arena: dalam praktik, artinya dalam suatu arena khusus, semua disposisi dan kepemilikan obyektif (kekayaan ekonomi atau budaya) (Bourdieu, 1979: 127).

kepemilikan kapital-kapital1 dan komposisi kapital-kapital tersebut. Pendekatan ini memperhitungkan bahwa setiap kelas sosial tidak dapat didefinisikan secara terpisah, tetapi selalu dalam hubungan dengan kelas-kelas lain.

Dunia sosial digambarkan dalam bentuk ruang dengan beberapa dimensi yang mendasarkan pada prinsip diferensiasi dan distribusi. Para agent menempati posisi-posisi masing-masing yang ditentukan oleh dua dimensi: pertama, menurut besarnya modal yang dimiliki, dan kedua sesuai dengan bobot komposisi keseluruhan modal mereka. “Untuk memahami bahwa sistem kepemilikan yang sama (yang menentukan posisi di dalam arena perjuangan kelas) memiliki unsur yang dapat menjelaskan, apapun bidang yang dikaji, konsumsi makanan, praktik prokreasi, opini politik atau praktik keagamaan, dan bahwa bobot yang terkait dengan faktor-faktor yang mem-bentuknya berbeda di satu arena dengan yang lain, faktor tertentu akan lebih berperan dari pada yang lain, dalam arena perjuangan yang satu mungkin modal budaya, di tempat lain

mungkin modal ekonomi, arena lainnya lagi modal sosial, dan seterusnya…”(1979: 127).

Dalam arena politik di Indonesia, agama mempunyai peran besar sebagai kapital sosial. Maka untuk mendapatkan dukungan, agama akan dimainkan sebagai pembenaran simbolis dan dasar legitimasi kekuasaan. Maka upaya-upaya untuk mendorong ke penerimaan pluralisme perlu memper-hitungkan kecenderungan kelompok untuk memanfaatkan agama sebagai kapital sosial. Kapital sosial sendiri merupakan sumberdaya yang sangat diperlukan untuk suatu pencapaian tujuan. Dalam kapital sosial, tersirat beberapa nilai: pertama, kemampuan kerja sama. Budaya kerjasama melahirkan kepercayaan. Kedua, mengandaikan pengakuan timbal balik (tidak hanya instrumental) potensi. Ketiga, kapital sosial mengandung makna adanya interiorisasi nilai, solidaritas, kepercayaan dan pengawasan diri. Hanya masalahnya, memberdayakan agama sebagai kapital sosial sangat rentan konflik karena berarti agama digunakan untuk memenangkan persaingan, dominasi atau mengakumulasi kapital.

Kapital sebagai Modalitas Kekuasaan

Dalam semua masyarakat, selalu ada yang menguasai dan dikuasai. Hubungan dominasi ini tergantung pada situasi, sumber daya (kapital) dan strategi pelaku. Pemetaan hubungan kekuasaan didasarkan atas kepemilikan kapital-kapital dan komposisi kapital tersebut. Kapital ekonomi merupakan sumber daya yang bisa menjaadi sarana produksi dan sarana

Dinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan Kado 60 Tahun Musa Asy’arie

kapital lain (Bourdieu, 1994: 20, 22, 31-56). Kapital budaya bisa berupa ijasah, pengetahuan, kode budaya, cara berbicara, kemampuan menulis, cara pembawaan, cara bergaul yang berperan dlm penentuan kedudukan sosial (Bourdieu, 1994: 20-46, 56, 130; 1980: 214-215). Kapital sosial merupakan jaringan hubungan sebagai sumber daya untuk penentuan kedudukan sosial (1994: 33, 196-197). Kapital simbolik meng-hasilkan kekuasaan simbolik. Maka kekuasaan simbolik sering membutuhkan simbol-simbol kekuasaan seperti jabatan, mobil mewah, kantor prestise, gelar, status tinggi, nama keluarga ternama. Jadi kapital simbolik adalah semua bentuk pengakuan oleh kelompok baik secara institusional atau tidak (Bourdieu, 1980: 32, 201-221). Ke empat kapital tersebut memungkinkan untuk membentuk struktur lingkup sosial. Di antara berbagai macam kapital tersebut, kapital ekonomi dan kapital budaya merupakan yang menentukan di dalam memberi kriteria diferensiasi yang paling relevan bagi lingkup masyarakat yang sudah maju.

Posisi pelaku dalam lingkup kelas-kelas sosial tergantung pada kepemilikan besarnya dan struktur kapital mereka. “Menurut bidangnya, konfigurasi khas sistem kepemilikan yang melekat pada kelas terkonstruksi, yang didefinisikan secara teoritis oleh keseluruhan faktor yang bekerja dalam bidang praktik, besarnya modal dan struktur modal yang didefinisikan pada waktu tertentu dan perkembangannya, jenis kelamin, umur, status keluarga, tempat tinggal yang berpengaruh” (Bourdieu, 1979: 126).

Dari kriteria ini, Bourdieu menata masyarakat dalam dimensi vertikal. Dengan demikian antara para pelaku dapat dipertentangkan antara yang punya modal besar dalam hal ekonomi dan budaya dengan mereka yang sangat lemah. Penataan secara hirarkis ini sangat menentukan. Para industria-lis, bankir, dokter, insinyur, dosen berada pada hirarki tertinggi. Sedangkan yang paling tidak punya apa-apa dalam hal modal ekonomi dan modal budaya adalah buruh pabrik dan buruh tani yang berada pada tangga paling bawah. Pembedaan menurut struktur modal, maksudnya pentingnya kedua modal tersebut dalam besarnya secara keseluruhan.

“Menjadi logika khas arena perjuangan, apa yang diper-taruhkan dan jenis modal yang diperlukan untuk berperan di dalam permainan, yang mengarahkan logika kepemilikan yang menentukan hubungan antara kelas sosial dan praktiknya” (1979: 126). Maka orang cenderung akan mengakumulasi kapital untuk bisa mendominasi, memenangkan persaingan atau memperoleh kekuasaan. Padahal setiap kekuasaan selalu men-cari legitimasi. Kekuasaan biasanya menuntut lebih dari keyakinan yang kita miliki. Untuk mengisi kekurangannya, agama berperan sebagai sistem pembenaran dominasi. Sistem pembenaran dominasi ini berakar pada identitas kelompok. Maka agama bisa berperan sebagai fasilitas interaksi kekuasaan sejauh agama tersebut dipeluk oleh penduduk mayoritas. Dominasi akan semakin kuat bila mendapat dukungan atau fasilitas dari agama. Dengan demikian agama berperan sebagai faktor identitas.

Dinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan Kado 60 Tahun Musa Asy’arie

Faktor identitas ini bisa didefinisikan sebagai bentuk ke-pemilikan pada kelompok sosial tertentu. Keke-pemilikan ini memberi stabilitas sosial, status, pandangan hidup, cara berpikir dan etos tertentu. Jabatan tertentu hanya mungkin diampu oleh orang yang beragama tertentu. Kepemilikan pada agama tertentu akan memberi fasilitas mendapatkan pekerjaan, sekolah atau kemudahan-kemudahan lain entah dalam hal ekonomi atau sosial-budaya. Identitas agama ini lalu menjadi bagian dari martabat, harga diri dan kebanggaan. Dasar penghayatan semacam itu berasal dari dua fungsi agama. Pertama, agama sebagai faktor perekat sosial dan, kedua, agama menjadi struktur simbolis ingatan kolektif pemeluknya. Ingatan kolektif terhadap peristiwa perwahyuan itu menjadi raison d’être ke-lompok sosial tersebut. Jadi identitas agama dikaitkan langsung dengan status sosial dan stabilitas hidup. Lalu hubungan antar agama-agama menjadi rentan konflik karena menyangkut raison

d’être pemeluknya.

Persaingan dan Emosi Sosial

Tuntutan performance ekonomi memacu persaingan antar pekerja, terutama dengan individualisasi hubungan kerja, yaitu target setiap orang, sistem kenaikan gaji, sistem karier, strategi agar masing-masing merasa bertanggung jawab, menerapkan pengawasan diri dalam manajemen partisipatif. Sistem yang berlaku adalah pemenang-berhak-atas-semua imbalan (Sennet, 2006: 51). Persaingan adalah bagian sistem panoptisme (manajemen pengawasan): pengawasan atau kehadiran secara fisik bisa diskontinu, namun efek kesadaran diawasi tetap berlangsung.

Dibiarkan terjebak dalam persaingan tanpa penengah membuat tidak jelas batas antara kolega dan pesaing. Akibat-nya, ada rasa tidak aman pada semua tingkat hierarki, stres tinggi, dan gelisah. Pekerja dibuat patuh oleh situasi tidak menentu dan oleh ancaman sewaktu-waktu akan menganggur. Budaya baru ini cenderung menghancurkan struktur-struktur kolektif (keluarga, asosiasi, solidaritas). Dalam sistem ini, hanya mereka yang mempunyai teknik ketrampilan tinggi mampu ber-saing dan kerasan. Sedangkan yang tidak memiliki ketrampil-an khusus akketrampil-an terpinggirkketrampil-an. Globalisasi ekonomi cenderung masih meninggalkan mayoritas penduduk merasa tak-berguna. Sistem ini hanya butuh elite yang kompeten. Selain perusahaan selalu di bawah ancaman permanen ditutup atau delokalisasi, ketakutan PHK juga datang dari adanya pasokan pekerja glo-bal, otomatisasi (komputerisasi), serta manajemen yang meminggirkan orang berumur. Otomatisasi memungkinkan mesin meng ganti manusia. Otomatisasi tidak peduli pengalaman.

Perasaan tak-berguna juga datang dari peminggiran yang telah berumur. Ini karena anggapan bahwa semakin tua berarti semakin lamban, kreativitas melemah, dan kurang energik, atau terjadi skills extinction (ibid., hlm.95). Kebanyakan pekerja selama berkarir butuh setidaknya tiga kali untuk belajar kembali atau melatih diri. Kebanyakan perusahaan lebih memilih merekrut pekerja muda yang masih segar dan kreatif dari pada mengirim karyawannya untuk pelatihan atau belajar lagi. Selain dari segi beaya lebih murah, juga dalam perusahaan yang selalu bergerak dan luwes, lemahnya loyalitas dan institutional

knowl-Dinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan Kado 60 Tahun Musa Asy’arie

edge tidak terlalu meresahkan. Tersingkir dari sistem ekonomi

karena tidak terampil, kalah dalam persaingan yang ketat, pasokan pekerja global, otomatisasi dan manajemen peminggiran tenaga berumur mengakibatkan perasaan tak-berguna.

Diam melingkupi keterping giran, bahkan untuk merumuskan bentuk bantuan macam apa mereka tidak mampu lagi. Sedangkan lembaga-lembaga publik tidak siap menghadapi masalah pengangguran ini. Hal ini diperparah dengan suasana persaingan yang menumbuhkan perasaan ketidakadilan, terutama ketika persaingan kian mempertajam polarisasi masyarakat dalam kelompok kelas. Lalu perasaan ketidakadilan itu melanggengkan ketertutupan dan perasaan tidak aman bagi tiap orang. Tumbuh perasaan-tak-berguna. Perasaan tak-berguna ini dengan mudah bisa berubah menjadi kemarahan dan kebencian.

Emosi sosial akan mudah disulut dengan dalih bahwa elite atau kelompok mapan dianggap telah mencuri hak-hak mereka. Mencari pelarian dalam kehidupan pribadi atau kelompok kekerabatan yang tertutup (agama, etnik, daerah) menjadi kecenderungan yang semakin menggejala. Dalam situasi semacam itu, agama atau etnik bisa digunakan menjadi senjata untuk balas dendam. Radikalisasi agama diperparah oleh kesenjangan ekonomi seperti ini.

Sistem individualisasi karier semakin mempertajam persaingan dan pekerja merasa tak terlindungi yang sewaktu-waktu bisa tersingkir. Dorongan untuk bersaing dan

2006:63-69): pertama, rendahnya loyalitas kepada lembaga; kedua, berkurangnya kepercayaan informal diantara para pekerja itu sendiri karena tim kerja cepat berganti; ketiga, melemahnya pengetahuan/ketrampilan institusional (institutional knowledge). Akibatnya, dalam institusi-institusi kapitalis berkembang gejala semakin miskinnya kapital sosial, baik dalam arti keterlibatan sukarela di dalam organisasi, maupun jaringan, pendidikan dan kerja yang pada dasarnya mengarahkan pada loyalitas. Tetapi sebaliknya agama justru semakin menjadi situs di mana kapital sosial sangat berkembang. Alasannya, globalisasi yang membuyarkan batas-batas sosial dan budaya membuka peluang agama untuk berperan memberi identitas yang pasti dan legitimasi etis hubungan sosial. Agama tidak mau didekte melulu oleh logika ekonomi yang menekankan efisiensi melalui persaingan. Agama sangat peduli pada logika sosial seperti solidaritas, loyalitas dan keadilan.

Dalam era globalisasi, logika sosial yang menekankan pada partisipasi dan keadilan agak diabaikan. Padahal logika sosial biasanya sangat mempertimbangkan untuk menghindari konflik kepentingan. Maka tepat kata Ulrich Beck: “Tanpa rasionalitas sosial, rasionalitas ilmiah akan tetap kosong; tanpa rasionalitas ilmiah, rasionalitas sosial menjadi mata gelap” (Ulrich Beck, 2001:55). Jangan-jangan radikalisme merupakan bentuk gagasan yang mengabaikan rasionalitas ilmiah sehingga menjadi mata gelap.

Dinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan Kado 60 Tahun Musa Asy’arie

Ketersingkiran dan Radikalisme

Dalam era globalisasi ini, mereka yang tidak mempunyai ketrampilan khusus akan terpinggirkan dan hanya yang mempunyai teknik ketrampilan tinggi bisa merasa masuk dan krasan (Sennett, 2006: 44, 61). Kehilangan penghargaan diri ini dalam banyak kasus akan memperoleh kompensasinya dari radikalisme agama.

Kunci sukses radikalisme adalah kemampuan memberi kepastian. Dalam ketidakpastian ekonomi global yang melahir-kan pengangguran dan ketidakadilan, radikalisme agama menjanjikan ekonomi adil dan persaudaraan melalui revolusi moral. Dengan cara ini, radikalisme memberi identitas pasti. Bukan hanya memberi janji, namun menjamin; bukan atas dasar analisa, namun melandaskan pada keyakinan. Keyakinan ini memberi kepastian. Dari mana kepastian itu datang?

Visi Manikean menumbuhkan keyakinan bahwa dunia hanya terdiri dari dua kelompok, yaitu baik dan jahat (agama pilihan dan musuh). Kepastian diberikan kepada pemeluk agama pilihan. Janji akan masa depan tanpa kesusahan dikaitkan dengan pemisahan baik-jahat. Pemisahan ini berfungsi untuk satanisasi musuh. Pembunuhan musuh dibenarkan karena musuh adalah negasi terhadap nilai-nilai agama pilihan. Maka tidak mungkin ada perdamaian dengan orang-orang bukan pemeluk agama pilihan.

Ramalan bahwa musuh agama pilihan akan binasa menjadi alat pembenaran untuk melakukan apa saja, termasuk kekerasan dan pembunuhan (self-fulfilled prophecy). Logika kekerasan yang memuncak pada pembunuhan mendasarkan pada tiga

mekanisme, yaitu penunjukkan kambing hitam, radikalisasi pertentangan dan pembunuhan (pemurnian kelompok atau penghancuran musuh). Krisis menciptakan situasi kondusif bagi tumbuhnya radikalisme agama.

Ketika masalah sosial-ekonomi memburuk dan situasi membingungkan karena tiada pegangan, radikalisme menemukan peluangnya. Bila semua upaya sudah dikerahkan (reform ekonomi, clean gouvernance, program kerjasama internasional) tetap tidak terjadi perbaikan, sebetulnya landasan imajiner institusi-institusi bangsa sedang mengalami krisis (C.Castoriadis). Imajiner itu memberi makna dan mengikat karena memberi landasan hidup bersama sehingga mengenali diri sebagai bangsa. Padahal imajiner kolektif melampaui sekedar urusan teknis atau manajemen. Siapa mampu menawarkan perspektif baru sebagai jalan keluar dari krisis?

Kelompok radikal akan merekayasa emosi kolektif. Caranya menciptakan wacana yang mengaitkan krisis dengan traumatisme massa. Menempatkan diri sebagai korban dan sasaran penghinaan akan mempertajam kebencian. Para pemimpin kelompok radikal mahir menggunakan metafora yang berakar pada budaya, sejarah dan agama kelompok sasarannya.