• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bukti dua arah

Dalam dokumen INTERSECTIONS JOURNAL (Halaman 28-40)

METODE PEMBUKTIAN MATEMATIKA

PRINSIP INDUKSI: Bila S himpunan bagian

9. Bukti dua arah

Suatu pernyataan berupa bi-implikasi, p . Ada dua q kemungkinan bi-implikasi bernilai benar p yaitu p q benar dan q benar, atau p salah dan q salah. Dalam prakteknya, pernyataan ini terdiri dari p dan qq  . p

Membuktikan kebenaran bi-implikasi p berarti q membuktikan kebenaran kedua implikasi p dan qq  . p

Selanjutnya dapat

menggunakan bukti langsung, taklangsung atau mungkin dengan kontradiksi.

Contoh

Diberikan ruang metrik (X,d) dan barisan { }xnX . Barisan

{ }xn memiliki titik cluster xX jika dan hanya jika terdapat subbarisan { } k n n xx di mana k n n xx . Bukti

()Diketahui merupakan titik cluster dari { }xn , maka untuk setiap kN bola terbuka B x( , )1

k memuat tak hingga banyak elemen

dari { }xn , Sehingga untuk setiap kN dapat dipilih

1 ( , ) { } k n n x B x x k   . Akan dibuktikan{ } k n x konvergen ke x . Diperhatikan bahwa untuk setiap kN berlaku 1 ( , ) k n x B x k  dengan kata lain d x x( , n) 1 k  . Diambil sebarang

0, berdasar-kan Archimedes maka terdapat NN, untuk kN berlaku 1 1 kN . Dengan demikian untuk setiap

kN berlaku 1 1 ( , ) k n d x x k N   . Jadi untuk sebarang

0 terdapat NN , untuk setiap kN berlaku ( , nk) d x x  . Kesimpulan: { } k n x konvergen ke x. ()Diketahui terdapat

sub-barisan { } k n n xx di mana k n n x x . Dengan demikian untuk sebarang

0 terdapat NN , untuk kN berlaku ( , ) k n d x x . Hal ini berarti berlaku

1 ( , ) k n x B x k  untuk semua

ISSN : xxxxxxxxxxx

0

 , bola terbuka B x( , ) memuat tak hingga banyak elemen dari {xnk}, dengan kata lain merupakan titik

cluster dari { } k n x . Kesimpulan: karena { } k n n xx maka x juga merupakan titik cluster dari

{xnk}.

KESIMPULAN

Persepsi bahwa matematika identik dengan angka-angka dan operasi hitung (tambah, kali, bagi,kurang, pangkat, dll) tidak selamanya benar. Matematika berhubungan juga dengan penalaran karena matematika merupakan hasil abstraksi (pemikiran) manusia terhadap objek-objek sekitar. Produk

utama matematika berupa

pernyataan-pernyataan berupa definisi, teorema, akibat, keonjektur, dll. Angka dan operasi aritmatika yang menyertainya merupakan produk turunan matematika. Dalam matematika kebenaran pernyataan perlu dibuktikan.

PENUTUP

Belajar matematika dengan cara memahami bukti tidaklah mudah. Dibutuhkan waktu untuk

memahami matematika sebagai bahasa logika. Juga, dibutuhkan wawasan matematika yang luas untuk belajar membuktikan fakta-fakta yang lebih rumit. Di dalam bukti termuat nilai-nilai strategis yang dapat melatih kita berpikir secara logis. Keindahan matematika juga banyak terdapat pada harmonisasi penalaran-penalaran dalam bukti. Dengan memahami bukti kita dapat mengikuti alur berpikir para ahli yang pertama kali menemukannya, yang berdampak pada kekaguman terhadap para inventor matematika dan pada akhirnya menyenangi matematika itu sendiri. Berlatih memahami bukti merupakan modal utama untuk dapat melakukan riset matematika. DAFTAR PUSTAKA

1. Bartle, Robert G and D.R. Sherbet, 1994. Introduction to real analysis, second edition, John Willey & sons, New York.

2. Royden, HL.1998. Real Analysis 3rd ed, Macmillan Publishing Company, New York

3. Sukirman.2006.Pengantar teori Bilangan. yogyakarta: Hanggar Kreator

ISSN : xxxxxxxxxxx Perubahan Pembelajaran yang Berpusat pada Guru ke Berpusat pada Siswa

Yenny Anggreini Sarumaha

Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan, Universitas Cokroaminoto Yogyakarta yenny@ucy.ac.id

Abstrak

Kajian ini bertujuan untuk memaparkan dan menggali lebih dalam perubahan pembelajaran yang berpusat pada guru ke berpusat pada siswa. Dilengkapi dengan beberapa hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, kajian ini menjelaskan bagaimana seyogyanya pembelajaran yang berpusat pada guru dilaksanakan di kelas. Guru dituntut harus lebih kreatif dan aktif memfasilitasi siswa belajar, salah satunya dengan merancang aktivitas yang mendorong siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan yang mereka miliki. Sedangkan siswa dihadapkan pada kontrak didaktis yang baru, diantaranya keharusan berfikir untuk diri sendiri, untuk menjelaskan dan mengklarifikasi solusi yang mereka miliki, untuk mencoba dan memahami pemahaman siswa lain, untuk bertanya tentang penjelasan yang tidak mereka pahami, dan untuk berargumen apabila mereka tidak setuju.

Kata kunci: pembelajaran berpusat pada siswa, students centered, belajar bermakna.

I. Pendahuluan

Paradigma pembelajaran matematika telah berubah dari hanya sekedar transfer ilmu dari guru ke siswa ke konstruksi pengetahuan oleh siswa sebagai pebelajar aktif. Guru tidak lagi sebagai orang yang maha tahu dan maha benar tentang berbagai hal mengenai materi yang diajarkannya. Sebaliknya, saat ini guru dituntut untuk belajar dari siswa, bagaimana mereka menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan, bagaimana mereka bereaksi atas tugas yang diberikan

dan bagaimana interaksi mereka dengan teman maupun guru dalam menghadapi masalah yang diberikan. Jawaban-jawaban dari pertanyaan inilah yang diharapkan nantinya akan memberikan masukan dalam perbaikan pembelajaran ke depan. Sehingga metode, model ataupun pendekatan yang digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran akan berkembang dengan lebih baik lagi.

Perubahan paradigma ini tidak bisa dilakukan dengan instan. Perlu

Daftar Pustaka

proses dan pengalaman-pengalaman yang diperuntukkan agar dapat membatu terjadinya perubahan yang dimaksud. Beberapa perubahan yang harus diperhatikan dalam mendorong terlaksananya pembelajaran yang berpusat pada guru adalah pengorganisasian kelas, pengelolaan waktu, pemanfaatan alat peraga, penggunaan konteks, dan peran guru

dalam pembelajaran.

Keseluruhannya tidak mutlak dapat berubah seklaigus dalam waktu yang cepat. Guru dapat membuat beberpa perubahan sederhana untuk mengubah iklim kelas yang terbiasa dengan metode guru sebagai tokoh utama.

Pada kenyataannya di lapangan, masih banyak guru-guru yang tetap mengguanakan teacher centered sebagai metode dalam pembelajaran. Beberapa alasan yang diberikan misalnya karena mereka telah terbiasa dengan metode tersebut sehingga tidak dapat mengubahnya, pembelajaran yang berpusat pada siswa menghabiskan waktu yang terlalu banyak untuk membahas satu materi tertentu, dan mereka belum memiliki gambaran bagaimana

pelaksanaan pembelajaran yang berpusat pada siswa serta dampak ke depannya bagu guru dan siswa tersebut. Hal ini lah yang menjadi sumber keingintahuan penulis bagaimana sebenarnya pembelajaran yang berpusat pada guru itu dilaksanakan dan apa maknanya bagi guru dan siswa. Pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengkaji perubahan pembelajaran yang berpusat pada guru ke pembelajaran yang berpusat pada siswa.

II. Isi

Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, dunia pendidikan terutama pendidikan matematika mengalami perubahan paradigma yang ditandai dengan beralihnya makna pembelajaran dari transfer ilmu menjadi konstruksi pengetahuan (Gravemeijer, 2010). Perubahan paradigma yang bisa kita sebut dengan reformasi pendidikan matematika ini menuntut adanya budaya kelas atau norma di dalam kelas yang sangat berbeda dengan budaya sebelumnya. Guru dalam hal ini, diminta untuk membangun norma di mana diskusi kelas

ISSN : xxxxxxxxxxx termasuk di dalamnya pendugaan,

penjelasan, dan pengklarifikasian memegang peranan penting. Dengan kata lain, reformasi dalam pendidikan matematika bertujuan untuk mengganti pola pengajaran teaching by telling dengan students constructing atau penemuan kembali (Gravemeijer, 2004). Implikasinya

adalah perubahan penekanan dari semulanya pada apa yang guru lakukan menjadi penekanan pada apa yang siswa lakukan. Sejalan dengan hal tersebut, terjadi perubahan dari pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) ke pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered).

Tabel 1. Perbedaan teacher centered dan students centered.

Domain Teacher-centered

(Behaviorism)

Learner-centered(Constructivism) Pengetahuan Menerima dari instruktur Dikonstruksi oleh pembelajar

Partisipasi pembelajar Pasif Aktif

Peran Guru Pemimpin/autority Fasilitator/partner dalam belajar Peran Penilaian Beberapa test Banyak test, untuk umpan balik Penekanan Belajar untuk menjawab

benar

Pengembangan

pemahaman lebih mendalam Metode penilaian Penilaian satu dimensi Hasil multidimensional, on

going diagnostic Kultur akademik Kompetitif, individualistik Kolaboratif, suportif. Sumber : Schuman, L (1996). Perspective on instruction.

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa perubahan paradigma menjadi berpusat pada guru menuntut adanya keaktifan dari siswa dalam mengikuti proses pembelajaran di kelas. Hal ini tentunya tidak lepas dari

aktivitas atau masalah yang diangkat oleh guru dalam pembelajaran dan norma-norma yang ada di kelas, terutama norma matematika sosial. Peranan guru tidak lagi sebagai sumber dari segalanya, sumber

Daftar Pustaka

dari ilmu pengetahuan. Guru dalam hal ini, dituntut harus lebih kreatif dan aktif memfasilitasi siswa belajar, salah satunya dengan merancang aktivitas yang mendorong siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan yang mereka miliki. Selain itu, perlu diperhatikan bentuk umpan balik dari jawaban yang diberikan siswa, bagaimana guru membimbing siswa untuk menemukan kembali konsep matematika yang ada lewat masalah atau aktivitas yang disajikan.

Paradigma baru ini, ditandai dengan diterimanya pendekatan,

metode, dan model

pembelajaran baru yang

inovatif, munculnya kesadaran bahwa informasi atau pengetahuan dapat diakses lewat berbagai cara dan media oleh peserta didik, mulai diterapkannya teknologi pembelajaran berbasis teknologi informasi (TI), perubahan orientasi pendidikan tidak hanya pada pengembangan sumber daya manusia (human resources development) tetapi juga pada pengembangan kapabilitas manusia (human capability development), diperkenalkannya e-learning, dependence ke independence, individual ke team work oriented, dan large group ke small class (Das Salirawati, 2010).

Gambar 1. Keefektifan Model Pembelajaran Sumber: Edgar Dale. Audio Visual Methods in Teaching.

ISSN : xxxxxxxxxxx Gambar 1 menunjukkan dua

kelompok model pembelajaran yaitu pembelajaran pasif dan pembelajaran aktif. Gambaran tersebut juga menunjukkan bahwa kelompok pembelajaran aktif cenderung membuat siswa lebih cepat dan taham lama dalam mengingat (retention rate of knowledge) materi pembelajaran. Model pembelajaran aktif ini merupakan salah satu alternatif pembelajaran yang dapat

mendukung siswa dalam

mengkonstruksi pengetahuan.

Selain itu, terdapat beberapa model pembelajaran yang dapat digunakan, diantaranya diskusi kelompok kecil, role play and simulation, studi kasus, metode penemuan, self directed learning, collaborative learning, contextual instruction, project bases learning, problem based learning,inquiry, and solution based learning.

Implementasi perubahan paradigma pembelajaran yang berpusat pada siswa jelas memerlukan usaha yang lebih. Gravemeijer (2004) menyatakan bahwa apa yang diperlukan untuk reformasi

pendidikan matematika adalah sebuah bentuk dari desain instruksional yang mendukung berbagai instruksi guna membantu siswa mengembangkan cara berfikir mereka menjadi lebih baik dan matang dalam hal penalaran. Pada kenyataannya, siswa belum terbiasa berfikir sendiri dan berbagi pemikiran mereka dengan guru dan teman sekelas. Hal ini disebabkan masih melekatnya norma sosial di kelas pada diri siswa di mana guru selalu benar (Cobb & Yackel, 1996). Brosseau (1996) dalam Gravemeijer (2010) menyatakan secara implisit adanya kontrak didaktis. Pembelajaran yang berpusat pada siswa menghendaki adanya kontrak didaktis yang baru, diantaranya keharusan berfikir untuk diri sendiri,

untuk menjelaskan dan

mengklarifikasi solusi yang mereka miliki, untuk mencoba dan memahami pemahaman siswa lain, untuk bertanya tentang penjelasan yang tidak mereka pahami, dan untuk berargumen apabila mereka tidak setuju. Kontrak didaktis inilah yang hendaknya dinegosiasikan

Daftar Pustaka

dengan siswa. Namun,

pelaksanaannya merupakan suatu proses pembiasaan diri siswa dalam kurun waktu tertentu.

Dalam kelas matematika, norma-norma yang ada dikembangkan menjadi norma matematika sosial yang berisi cara-cara yang diharapkan dalam mengajak siswa aktif dalam diskusi matematika. Cara-cara ini tentunya memberi

pengaruh pada kemampuan

matematika siswa. (Kilpatrick, Swafford, dan Findell, 2001). Frye (2013) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa dia dan siswa di kelas menerapkan norma yang disebut persistensi dalam pembelajaran matematika. Mereka mendefinisikan persistensi sebagai bekerja untuk mengidentifikasi tahapan penyelesaian, menemukan solusi penyelesaian, bekerja dengan solusi yang mungkin untuk mengekspor metode lain yang bisa digunakan dalam menyelesaikan masalah, dan mengembangkan

masalah yang ada guna

memunculkan permasalahan baru. Pertanyaan kunci yang membantu

siswa mengkonstruksi pemahaman mereka (Frye, 2013) diantaranya: konsep matematika apa yang bisa digunakan dalam menyelesaikan permasalahan, strategi mana yang paling efisien, dan kesalahan apa yang saya buat sehingga teman-teman dapat belajar dari kesalahan tersebut. Guru dalam hal ini dituntut untuk mendorong siswa menjadi ingin tahu tentang ide teman lain dan pemahaman yang mereka miliki karena tiap siswa memiliki tanggung jawab dalam mengembangkan pemahaman dan berpartisipasi serta mendukung pemahaman teman mereka.

Belajar Bermakna

Belajar bermakna (meaningful learning) adalah pembelajaran dimana suatu konsep atau pengetahuan yang dipelajari dipahami sepenuhnya oleh individu dan kaitan pengetahuan ini dengan pengetahuan yang telah ada sebelumnya dalam fikirannya. Ausubel (1963) menyatakan pembelajaran bermakna adalah suatu

ISSN : xxxxxxxxxxx proses pembelajaran dimana siswa

lebih mudah memahami dan mempelajari pelajaran karena guru mampu memberi kemudahan bagi siswa untuk mengaitkan pengalaman atau pengetahuan yang sudah ada dalam pikirannya dengan materi baru. Kebalikan dari meaningful learning adalah rote learning. Rote learning adalah kemampuan mengingat sesutu tanpa adanya pemahman secara menyeluruh dan tidak mengetahui kaitan informasi baru dengan pengetahuan yang telah ada sebelumnya.

Misalkan terdapat 5 konsep yang dipelajari dalam satu semester yang dinomori 1-5. Siswa yang menggunakan rote learning dalam mempelajarinya, memahami kelima konsep tersebut sebagai pengetahuan yang tidak berkaitan. Hal ini merupakan kebalikan dari meaningful learning dimana tiap pengetahuan memiliki kaitan satu dengan yang lainnya. Rote learning dan meaningful learning dapat diilustrasikan melalui gambar berikut

Gambar 2. Perbedaan rote learning dan meaningful learning

Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas dan

kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke

Daftar Pustaka

dalam skema yang telah ia punya.

Dalam prosesnya siswa

mengkonstruksi apa yang ia pelajari

dan ditekankan pelajar

mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru ke dalam sistem pengertian yang telah dipunyainya. Pembelajaran kreatif dan bermakna bisa terjadi jika relevan dengan kebutuhan siswa disertai motivasi instrinsik dan kurikulum yang tidak kaku.

Ausubel (1963) mengklasifikasikan belajar dalam dua dimensi. Pertama, menyangkut cara penyajian materi diterima oleh siswa. Melalui dimensi ini, siswa memperoleh materi atau informasi melalui penerimaan dan penemuan. Dimensi kedua, menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi atau materi pelajaran dengan struktur kognitif yang telah ada. Jika siswa hanya mencoba-coba menghafalkan informasi atau materi pelajaran baru tanpa menghubungkannya dengan konsep-konsep atau hal lainnya yang ada dalam struktur kognitifnya, maka terjadilah yang disebut dengan belajar hafalan. Sebaliknya, jika siswa menghubungkan informasi

atau materi pelajaran baru dengan konsep-konsep atau hal lainnya yang telah ada dalam struktur kognitifnya, maka terjadilah yang disebut dengan belajar bermakna.

Belajar bermakna sejalan dengan teori konstruktivis tentang pembelajaran (Maciejewski, Mgombelo, and Savard, 2012). Keduanya menekankan pentingnya siswa mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru ke dalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru ke dalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa dan mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu siswa aktif. Contohnya dalam pembelajaran matematika di Sekolah Dasar (SD). Konsep-konsep matematika di SD tidak dapat diajarkan melalui definisi, tetapi melalui contoh-contoh yang relevan. Guru membantu pemahaman suatu konsep dengan

mengajak siswa

beraktifitas, melibatkan mereka langsung dalam kegiatan pembelajaran, serta memberikan contoh-contoh yang dapat diterima

ISSN : xxxxxxxxxxx kebenarannya secara intuitif. Artinya

siswa dapat menerima kebenaran itu dengan pemikiran yang sejalan dengan pengalaman yang sudah dimilikinya. Sedangkan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, akan lebih efektif jika menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram dan ilustrasi. Pembelajaran suatu konsep perlu memperhatikan proses terbentuknya

konsep tersebut. Dalam

pembelajaran bermakna, siswa mempelajari matematika mulai dari proses terbentuknya suatu konsep kemudian berlatih menerapkan dan memanipulasi konsep-konsep tersebut pada situasi baru. Dengan pembelajaran seperti ini, siswa terhindar dari verbalisme karena dalam setiap hal yang dilakukannya dalam kegiatan pembelajaran ia memahaminya mengapa dilakukan dan bagaimana melakukannya. Oleh karena itu akan tumbuh kesadaran tentang pentingnya belajar. Ia akan belajar dengan baik.

Penggunaan alat atau media pembelajaran juga dapat mendorong terlaksananya pembelajaran bermakna. Penelitian yang dilakukan

Chaves, White, dan Hock (2007) menemukan bahwa penggunaan kalkulator grafik dapat meningkatkan proses belajar mengajar yang bermakna bagi siswa. Prasyarat agar belajar menerima menjadi bermakna menurut Ausubel (1963), yaitu:

1. Belajar menerima yang

bermakna hanya akan

terjadi apabila siswa memiliki strategi belajar bermakna,

2. Tugas-tugas belajar

yang diberikan kepada siswa

harus sesuai dengan

pengetahuan yang

telahdimiliki siswa,

3. Tugas-tugas belajar

yang diberikan harus sesuai dengan tahap perkembangan intelektual siswa.

Jadi belajar bermakna (meaningful learning) itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Kebermaknaan belajar sebagai hasil dari peristiwa mengajar ditandai oleh terjadinya hubungan antara aspek-aspek, konsep-konsep, informasi atau

Daftar Pustaka

situasi baru dengan komponen-komponen yang relevan didalam struktur kognitif siswa. Proses belajar tidak sekedar menghafal konsep-konsep atau fakta-fakta belaka, tetapi merupakan kegiatan menghubungkan konsep-konsep untuk menghasilkan pemahaman yang utuh, sehingga konsep yang dipelajari akan dipahami secara baik dan tidak mudah dilupakan.

Dengan demikian, agar

terjadi belajar bermakna maka guru harus selalu berusaha mengetahui dan menggali konsep-konsep yang telah dimiliki siswa dan membantu

memadukannya secara

harmoniskonsep-konsep tersebut dengan pengetahuan baru yang akan diajarkan.

Dengan kata lain, belajar akan lebih bermakna jika siswa mengalami langsung apa yang dipelajarinya dengan mengaktifkan lebih banyak indera daripada hanya mendengarkan orang atau guru menjelaskan. Pembelajaran itu sendiri pada hakekatnya adalah suatu proses interaksi antar siswa, siswa dengan sumber belajar, dan siswa dengan pendidik. Kegiatan

pembelajaran ini akan

menjadi bermakna bagi siswa jika dilakukan dalam lingkungan yang nyaman dan memberikan rasa aman. Jaworski (2011) menyatakan belajar matematika yang efektif mencakup 3 hal, yaitu kesenangan, pemahaman, dan penguasaan. Pemahaman dan penguasaan berkaitan erat dan tanpa adanya kesenangan, maka proses pembelajaran akan menjadi lebih berat, siswa akan menghindari matematika dan berfikir bahwa matematika bukanlah keahlian mereka.

III. Penutup

Dalam dokumen INTERSECTIONS JOURNAL (Halaman 28-40)

Dokumen terkait