• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN SAKSI DALAM PEMBUKTIAN HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

3.1 Macam-macam Alat Bukti

Ketentuan-ketentuan tentang alat bukti dalam Hukum Acara Tata

Usaha Negara sedikit sekali (pasal 100 sampai dengan 107) jika

dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum Acara Peradilan

Perdata sebagai akaibat diikutinya ajaran pembuktian bebas, yang tidak

dikehendaki adanya ketentuan yang mengikat hakim dalam memilih alat-alat bukti yang dipergunakan dalam pembuktian.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika didalam Undang-undang

Nomor 51 Tahun 2009, misalnya tidak terdapat ketentuan tentang ketentuan

pembuktian dari suatu alat bukti,tidak seperti halnya didalam Hukum Acara

Perdata. 27

Pasal 100 ayat (1) menentukan bahwa alat bukti adalah:28

1. Surat atau tulisan

2. Keterangan ahli

3. Keterangan saksi

4. Pengakuan para pihak

5. Pengetahuan hakim

27 Wiyono, 2007, Op.cit., hal 154

28 Zairin Harahap, 2007, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. hal 129

Dengan adanya kentuan tersebut, dapat diketahui bahwa alat bukti

yang dapat dipergunakan dalam memeriksa, memutus, dan meneyelesaikan

sengketa Tata Usaha Negara sifatnya adalah terbatas, karena sudah ditentukan oleh Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 alat bukti apa saja

yang dapat dipergunakan .

1. Surat atau Tulisan, Di dalam Undang-undang Nomor 51 Tahun 209 tidak ada ketentuan yang memberi arti apa yang dimaksud dengan alat bukti yang berupa surat atau tulisan. 29

Menurut Sudikno Mertokusumo, yang dimaksud dengan surat atau tulisan adalah segala sesuatu yang membuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. 30

Pasal 101 menentukan bahwa surat sebagai alat bukti terdiri atau 3 (tiga) jenis, yaitu sebagai berikut.

a. Akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perudang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.

b. Akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.

29 Martiman Prodjohamidjojo, Op.cit., hal 115 30 Wiyono, 2007, loc.cit,.

c. Surat-surat lainnya yang bukan akta

Menurut Indroharto termasuk dalam pengertian surat atau tulisan adalah hasil dari pemeriksaan persiapan guna mematangkna perkara yang bersangkutan dalma pemeriksaan di muka sidang pengadilan nanti .

2. Keterangan Ahli, Pasal 102 ayat (1) menentukan : “Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal apa yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuan”.

Dalam penjelasan Pasal 102 ayat (1) disebutkan bawah termasuk keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh juru taksir. Jika hanya diperhatikan pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 102 ayat (1) saja, maka keterangan ahli dalma bentuk tertulis bukan merupakan alat bukti berupa keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1) huruf b. Dengan demikian yang merupakan alat bukti berupa keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1) huruf b, menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 102 ayat (1) adalah keterangan ahli yang diberikan dalam pemeriksaan sidang Pengadilan, sehingga keterangan ahli tersebut bentuknya tidak tertulis. Pasal 103 ayat (2) menentukan “Seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik dengan surat maupun dengan lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut sepanjang pengetahuannya yang sebaik-baiknya”. Jika diperhatikan pada perumusan dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 103 ayat (2) tersebut, ternyata keterangan ahli di samping dapat diberikan dalam bentuk tidak tertulis atau lisan, juga dapat diberikan dalam bentuk tertulis atau surat.

3. Keterangan Saksi, Di dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tidak ada ketentuan yang memberikan arti apa yang dimaksud dengan saksi.

Pasal 104 menentukan : “Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal dialami, dilihat atau didengar oleh saksi sendiri”.31

Oleh Indroharto32 dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan keterangan saksi tersebut adalah keterangan saksi yang didengar oleh hakim selama pemeriksaan perkara dilakukan.

Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 104 tersebut dapat diketahui bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan tentang sesuatu hal yang dialami, dilihat atau didengar sendiri dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.

Bagaimana kedudukan dari keterangan saksi yang keternagannya diperoleh dari pihak ketiga atau yang bisa dikenal dengan testimonium de auditu?

Dalam Hukum Acara Perdata, pada umumnya kesaksian de auditu tidak diperkenankan, karena keterangan itu tidak berhubungan dengan peristiwa yang dialaminya sendiri. Dengan demikian, maka saksi de auditu bukan merupakan alat bukti dan tidak perlu dipertimbangkan, Terhadap kesaksian de auditu tersebut, Indroharto mengemukakan bahwa adakalanya nanti kesaksian de auditu itu juga akan mempunyai suatu nilai tertentu dalam proses penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara. Hanya saja pada waktu

31 Wiyono, 2007, Op.cit., hal 157. 32 Indroharto, Op.cit., hal 202

memberikan kekuatan pembuktian terhadap kesaksian de auditu harus sangat hati-hati.

Pasal 88 menentukan bahwa yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah :

3. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa;

4. Istri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa, meskipun sudah bercerai;

5. Anak yang belum berusia 17 (tujuh belas) tahun; 6. Orang sakit ingatan.

4. Pengakuan Para Pihak, ialah Yang dimaksud dengan pengakuan di sini adalah pengakuan para pihak yang diberikan pada waktu pemeriksaan di sidang pengadilan. Pengakuan adalah keterangan sepihak yang membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh pihak lawan. 33

Meskipun pengakuan merupakan keterangan sepihak, sehingga tidak perlu adanya persetujuan dari pihak lawan, tetapi Pasal 105 menentukan bahwa pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim. 34

Pengakuan yang diberikan oleh Penggugat dan/atau Tergugat belum tentu menunjukkan kebenaran materill yang berkaitan denga terjadinya sengketa Tata Usaha Negara antara Penggugat dan Tergugat. Oleh karena itu,

33 Wiyono, 2007, Op.cit., hal 159 34 Martiman, Op.cit., hal 116

meskipun Penggugat dan/atau Tergugat telah memberikan pengakuan, tetapi masih mempunyai wewenang untuk meneliti lebih lanjut terhadap pengakuan yang telah diberikan oleh Penggugat dan/atau Tergugat tersebut. Hal ini berbeda dengan pengakuan yang diberikan dalam sengketa perdata, karena dengan adanya pengakuan dari Penggugat dan Tergugat, maka sengketa perdata dianggap selesai dan hakim tidak perlu meneliti tentang kebenaran dari pengakuan tersebut.

5. Pengetahuan Hakim, Oleh Pasal 106 ditentukan bahwa yang dimaksud dengan pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Pengetahuan hakim tersebut adalah pengetahuan dari hakim yang diperoleh selama pemeriksaan di sidang Pengadilan berlangsung.

Termasuk pemeriksaan di sidang pengadilan adalah pemeriksaan setempat (gerechtelijke plaatselijk onderzoek), karena hanya tempat sidangnya saja yang pindah, dan tidak lagi di kantor Peradilan Tata Usaha Negara, tetapi berlangsung misalnya di kantor Tergugat.

Oleh Indroharto35 diberikan beberapa contoh alat bukti yang berupa pengetahuan hakim, misalnya :

1. Pemeriksaan gedung yang dinyatakan telah melanggar garis sepadan, tanah yang dinyatakan masuk dalam jalur hijau;

2. Barang-barang dan orang-orang yang ditunjukkan kepada hakim yang sedang memeriksa perkara itu.

Dokumen terkait