• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN SAKSI DALAM PEMBUKTIAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEDUDUKAN SAKSI DALAM PEMBUKTIAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN SAKSI DALAM PEMBUKTIAN

PERADILAN TATA USAHA NEGARA

OLEH :

Ni Kadek Sudiasih

NPM : 13 10 12 12 11

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS WARMADEWA

DENPASAR

2017

(2)

KEDUDUKAN SAKSI DALAM PEMBUKTIAN

PERADILAN TATA USAHA NEGARA

OLEH :

Ni Kadek Sudiasih

NPM : 13 10 12 12 11

Skripsi Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

(3)

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI DAN DISAHKAN

PADA TANGGAL :

(4)

PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa sepanjang pengetahuan saya, di dalam naskah Skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara terang dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.

Apabila ternyata di dalam naskah ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur jiplakan, saya bersedia Skripsi ini digugurkan dan gelar akademik yang telah saya peroleh (Sarjana Hukum) dibatalkan, serta di proses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 29 Mei 2017 Mahasiswa, Ni Kadek Sudiasih NPM 1310121211

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan tuntunan dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban terakhir sebagai mahasiswa guna melengkapi persyaratan dalam menyelesaikan studi Program Sarjana (S1) di Fakultas Hukum Universitas Warmadewa. Adapun judul dari skripsi ini adalah “KEDUDUKAN SAKSI DALAM PEMBUKTIAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA)”. Penulis menyadari bahwa materi yang penulis sajikan dalam karya tulis ini masih jauh dari kualitas dan syarat-syarat karya tulis yang bersifat ilmiah., mengingat keterbatasan pengetahuan, pengalaman dan kemampuan yang dimiliki penulis. Maka kritik, saran dan bimbingan dari semua pihak sangat penulis harapkan guna kelengkapan dan penyempurnaan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof.dr.Dewa Putu Widjana, DAP&E Sp.Park. selaku Rektor Universitas Warmadewa yang telah memberikan kesempatan dan berbagai sarana dan prasaranan kepada penulis guna kelancararan proses belajar di Universitas Warmadewa.

(6)

2. Bapak Dr. I Nyoman Putu Budiartha SH.,M.MH. Dekan Fakultas Hukum Universitas Warmadewa, atas segala kebijaksanaannya, bantuan dan fasilitas yang diberikan selama penulis mengikuti perkuliahan.

3. Ibu Ida Ayu Putu Widiwati, SH.,M.Hum Pembimbing Akademik saya yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga skripsi ini selesai. 4. Bapak Dr. I Made Arjaya, SH.,MH. Pembimbing I yang telah memberikan

bimbingan dan nasehat selama penyusunan skripsi ini

5. Ibu A A SG Laksmi Dewi, SH.,MH. Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan nasehat selama penyusunan skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Warmadewa yang telah mendidik dan memberikan bimbingan kepada penulis selama mengikuti pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Warmadewa.

7. Bapak dan Ibu Pegawai Administrasi Fakultas Hukum Universitas Warmadewa yang telah membantu penulis dalam proses administrasi perkuliahan.

8. Orangtua saya I Nengah Suanjaya dan Ni Ketut Susanti serta saudara yang selalu menjaga, memberikan suport, memberikan doa, dorongan serta motivasi baik moral maupun material demi keberhasilan studi penulis.

9. Sahabat-sahabat saya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan banyak masukan dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa materi yang penulis sampaikan dalam skripsi ini masih jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan yang dimiliki penulis untuk itu kritik, saran, dan bimbingan dari

(7)

semua pihak sangat penulis harapkan guna kelengkapan dan penyempurnaan skripsi ini.

Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak pada umumnya dan bagi perkembangan ilmu hukum pada khususnya. Atas perhatian dan kerjasamanya penulis mengucapkan terima kasih.

Denpasar, 29 Mei 2017 Penulis,

Ni Kadek Sudiasih NPM 1310121211

(8)

ABSTRAK

Saksi merupakan salah satu alat bukti, yang keterangannya dibutuhkan untuk keperluan proses pembuktian dimuka Hakim, dalam suatu perkara di persidangan. Dengan demikian pendapat, dugaan, anggapan, atau keterangan yang diperoleh dari orang lain manjadi tidak relevan diajadikan kesaksian saksi. Begitu pula seorang saksi tentunya memiliki hak dan kewajiban. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem pembuktian yang dianut dalam Undang-undang Nomer 51 Tahun 2009 tentang Pradilan Tata Usaha Negara dan kedudukan saksi dalam proses pembuktian Peradilan Tata Usaha Negara. Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundangan-udangan yang berlaku. Sistem pembuktian dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran materiil dan bagaimna jalannya persidangan untuk menemukan suatu putusan hakim. Hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara menganut sistem atau ajaran pembutian bebas terbatas Dalam pasal 107 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara disbutkan bahwa hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktiaan, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim. Begitu pula kedudukan saksi menjadi pendukung dan memperkuat dari alat bukti surat atau tulisan, agar pembuktiannya menjadi lebih sempurna. Dan saksi merupakan salah satu alat bukti yang telah diatur dalam pasal 100 sampai dengan 107 dalam pembuktian Undang-undang Peradiilan Tata Usaha Negara.

(9)

ABSTRACT

The witness is one of the evidences, whose information is required for the purpose of verification process before the Judge, in a case at the hearing. In such a way, the opinion, assumptions, assumptions, or attributes obtained from others are irrelevant to make a reaction. Also a witness must have rights and obligations. This study aims to determine the evidentiary system adopted in Law Number 51 of 2009 on the State Administrative Court and the position of witnesses in the process of proofing the State Administrative Court. The type of research used in this study is the normative legal research with the prevailing law enforcement approach. The evidentiary system in the procedural law of the State Administrative Court is conducted in order to obtain material truth and how the trial proceeds to find a judge's verdict. The procedural law of the State Administration Courts embraces a system or teaching of free unlimited discourse. In article 107 of the State Administrative Justice Act, it is stated that the judge determines what should be proved, the burden of proof and the verification of judgment, and for the validity of proof is required at least two evidences based on Judge's conviction. Similarly, the position of the witness becomes a supporter and strengthen from the evidence of letters or writings, so that the proof becomes more perfect. And the witness is one of the evidences set forth in articles 100 to 107 in the proof of the State Administration Peradiilan Law.

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGAJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7 1.3 Tujuan Penelitian ... 7 3.1.1 Tujuan Umum ... 7 3.1.2 Tujuan Khusus ... 7 1.4 Kegunaan Penelitian ... 8 1.4.1 KegunaanTeoritis ... 8 1.4.2 KegunaanPraktis ... 8 1.5 TinjauanPustaka ... 8 1.6 MetodePenelitian ... 13 1.6.1 TipePenelitiandanPendekatan Masalah ... 13 1.6.2 SumberBahan Hukum ... 13 1.6.3 TeknikPengumpulanBahan Hukum ... 14

(11)

1.6.4 AnalisaBahan Hukum ... 14 BAB II SISTEM PEMBUKTIAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMER 51

TAHUN 2009

2.1 PENGERTIAN PEMBUKTIAN DAN PENGERTIAN ALAT BUKTI .... 15 2.2 TUJUAN PEMBUKTIAN DALAM ACARA PERADILAN TATA

USAHA NEGARA ... 21 2.3 SISTEM ACARA PEMBUKTIAN PERADILAN TATA USAHA

NEGARA ... 26 BAB III KEDUDUKAN SAKSI DALAM PEMBUKTIAN HUKUM ACARA

PERADILAN TATA USAHA NEGARA

3.1. MACAM-MACAM ALAT BUKTI ... 30 3.2. KEKUATAN KETERANGAN SAKSI DALAM PEMBUKTIAN ... 36 3.3. KEDUDUKAN SAKSI DALAM ACARA PERADILAN TATA USAHA

NEGARA ... 39 BAB IV SIMPULAN DAN SARAN

4.1 SIMPULAN ... 43 4.2 SARAN ... 44 DAFTAR BACAAN

(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah negara hukum yang bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan yang sejahtera, aman, tenteram dan tertib. Dalam usaha mencapai tujuan tersebut Administrasi Negara turut campur tangan dalam berbagai segi kehidupan masyarakat melalui pembangunan nasional dengan mengadakan tindakan-tindakan hukum tertentu. Salah satu dari tindakan tersebut adalah tindakan mengeluarkan keputusan untuk mengatur dan menyelesaikan masalah-masalah demi kepentingan kesejahteraan masyarakat umum.

Pada umumnya dalam negara hukum dan negara kesejahteraan seperti Indonesia, administrasi negara mengeluarkan keputusan tersebut dikategorikna sebagai tindakan pelaksanaan yaitu melaksanakan peraturan perundang-undangan yang telah ada dan juga sebagai tindakan untuk menyelengarakan kepentingan umum dengan berpijak pada asas kebijaksanaan. Kebijaksanaan merupakan suatu pandangan yang jauh kedepan dari pada administrasi negara yang lebih menekankan pada dimensi memanfaatkan dan kegunaan.1

Akan tetapi dalam pelaksanaannya tindakan-tindakan mengeluarkan keputusan itu tidak jarang menimbulkan kerugian bagi pihak yang dikenai putusan yang dikeluarkan tersebut. Kerugian man pada umumnya

1

(13)

disebabkan karena perbuatan sewenang-wenang, atau penyalahgunaan kekuasaan, atau melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan oleh administrasi negara. 2

Didalam negara hukum, warga masyarakat yang dirugikan tersebut perlu diberikan perlindungan hukum melalui suatu badan yang independen, dan badan tersebut pada saat ini sudah terbentuk melalui disahkannya dan iundangkna UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada tanggal 29 Desember 1986, dan telah beroperasi sejak Undang-Undang tersebut diberlakukan pada tanggal 14 Januari 1991 yang lalu.

Peradilan Tata Usaha Negara ini Bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, sedang yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara, adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara sebagai akibat dikeluarkannya keputusan-keputusan termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang dan badan hukum perdata.

Penyerahan sengketa tata usaha negara ke pengadilan tata usaha negara adalah dengan mengajukan gugatan, dimana salah satu alasan yang

2Sjachran basah, 1985, Eksirensi dan Tolak ukur Badan Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta, hal 238

(14)

dapat digunakan sebagai dasar gugatan itu adalah bila sengketa itu disebabkan karena adanya penyalahgunaan wewenang/kekuasaan oleh Badan Atau Pejabat Tata Usaha Negara, gugatan adalah :

Permohonan yang berisikan tuntutan terhadap badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang diajukan kepada pengadilan untuk mendapatkan putusan. Istilah gugatan dimaksud disini mempunyai arti khusus dengan fungsi peradilan Tata Usaha Negara. 3

Dalam proses pemeriksaan sengketa dimuka hakim didepan sidang peradilan Tata Usaha Negara adalah sekurang-kurangnya ada dua pihak yang bertikai satu sama lainnya yaitu tergugat dan penggugat. Tergugat menurut Pasal 1 angka 6 UU No. 5 Tahun 1986 adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan yang berdasarkan wewenang yang ada atau dilimpahkna padanya. Pasal 1 angka 6 ini menunjuk bahwa yang berkedudukan sebagai tergugat adalah : “Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau dilimpahkan padanya. Sedangkan penggugat menurut pasal 53 adalah : “Seorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan”. Mengenai siapa yang mempunyai hak untuk menggugat dalam pasal 53 di atas hanya disebutkan seorang atau Badan Hukum Perdata seorang itu tentunya manusia sebagai pendukung hak-hak dan kewajiban-kewajiban.

(15)

Pada hakekatnya hak untuk menggugat baru boleh digunakan kalau yang diberi hak itu merasa kepentingannya telah dirugikna oleh keluarnya suatu keputusan Tata Usaha Negara yang berupa suatu penetapan tertulis. Jadi disini berlaku faktor :

“Baru kalau ada suatu kepentingan, maka hak untuk menggugat itu boleh digunakan sebab menggugat tanpa suatu kepentingan apa-apa akan berarti merugikan : umum, tenaga, dan biaya akan hilang tanpa adanya manfaat bagi siapapun. 4

“Seorang penggugat sebelum ia menggugat harus mengetahui benar siapa yang akan digugat, mengapa ia menggugat dan apa yang digugat, hal ini terlebih dahulu harus dipahami oleh penggugat untuk menghindari adanya kemungkinan suatu gugatan dianggap tidak sempurna, sehingga berakibat gugatan dinyatakan tidak terima.

Suatu gugatan hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu Sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya ata diumumkannya keputusan atau Pejabat Tata Usaha Negara hal ini sesuai dengan pasal 55, dan pengadilan baru berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, jika seluruh upaya administrasi telah digunakan, hal ini sesuai dengan pasal 48. Sehingga dengan demikian upaya administrasi merupakan prosedur yang ditentukan yang ditentukan suatu peraturan perundang-undang untuk menyelesaikan suatu sengketa

4 KuntjoroPurbapranoto, 1975, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintah dan Peradilan

(16)

Tata Usaha Negara yang dilaksanakan dilingkungan pemerintah sendiri (bukan peradilan yang bebas) yang terdiri dari :

a. Prosedur Keberatan

Apabila seseorang atau Badan Hukum Perdata yang terkena suatu keputusan Tata Usaha Negara yang tidak disetujui boleh mengajukan keberatan kepada instansi yang mengeluarkan keputusan tersebut. b. Prosedur Banding Administrasi

Apabila penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara itu dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan.

Namun apabila setelah melewati upaya administratif hasilnya tetap tidak memuaskan dan saat untuk mengajukan gugatan masih dalam masa tenggang waktu 90 hari sebagai mana ditentukan dalam pasal 5, maka dapatlah orang atau Badan Hukum Perdata yang berhak menggugat tersebut mulai menyusun surat gugatan kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana ditentukan dalam pasal 51.

Surat Gugatan yang diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut merupakan suatu surat permohonan dari orang atau Badan Hukum Perdata yang berhak menggugat yang tidak menyetujui terhadap suatu keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan oleh suatu Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang dirasakan sebagai merugikan dirinya dan karena itu dia menggugat Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dimuka Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memperoleh suatu putusan yang menyatakan keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu batal atau tidak sah

(17)

“Peradilan Tata Usaha Negara diharapkan dapat menyelesaikan sengketa antara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat yang dapat merugikan atau menghambat pembangunan nasional. Peradilan Tata Usaha Negara tersebut diharapkan dapat menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum sehingga dapat memberikan pengayoman kepada masyarakat, k h u s u s n y a d a l a m h u b u n g a n a n t a r a B a d a n a t a u P e j a b a t Tata Usaha Negara dengan masyarakat”.

Dalam rangka mencari kebenaran material maka peranan hakim dalam Hukum Tata Usaha Negara lebih aktif dibadningkna dengan peranan hakim menurut Hukum Perdata. Hal ini penting artinya mengingat bawah kedudukan antara penggugat dengan tergugat yang Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak seimbang. Keaktifan hakim ini dapat dilihat sejak awal yaitu sebagaimana yang diwajibkan oleh pasal 63, melakukan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas, begitu pula halnya pembuktian, berbeda dengan sistem hukum pembuktian dalam hukum acara perdata, maka dengan memperhatikan hal-hal yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa tergantung pada fakta-fakta dan hal-hal yang diajukan oleh pihak, Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dapat menentukan sendiri :

a. Apa yang harus dibuktikan,

b. Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa saja yang harus dibuktikan pihak berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan hakim sendiri,

(18)

c. Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian,

d. Kekuatan pembuktian yang telah diajukan.

Beban pembuktian dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara bukan saja merupakan kewajiban para pihak yang bersengketa tetapi hakim juga dapat menentukan fakta-fakta dan bahkan bila perlu dapat mencari dan menemukan fakta-fakta sendiri .

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas dapat dikemukakan masalah sebagai berikut :

1.2.1. Bagaimana sistem pembuktian yang dianut Undang-undang nomer 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara ?

1.2.2. Bagaimana kedudukan saksi dalam proses pembuktian Peradilan Tata Usaha Negara ?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

1. Untukmelaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi Khususnya dibidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa.

2. Untuk melatih siswa dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis sebagai syarat akhir perkuliahan untuk mencapai kelulusan dan meraih gelar sarjana.

(19)

4. Untuk mengembangkan diri pribadi mahasiswa kedalam kehidupan sebelum terjun kemasyarakat.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk Mengetahui sistem pembuktian yang dianut dalam Undang-undang Nomer 51 Tahun 2009 tentang PTUN.

2. Untuk Mengetahui kedudukan saksi dalam proses pembuktian Peradilan Tata Usaha Negara.

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secarat eoritis maupun praktis yang di jelaskan sebagai berikut:

1.4.1. Kegunaan Teoriritis

Penelitianini di harapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis, sekurang-kurangnya dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi dunia pendidikan

1.4.2. Kegunaan Praktis

Menambah wawasan bagi penulis mengenai kedudukan saksi dalam pembuktian peradilan Tata Usaha Negara sehingga bias melatih diriuntuk menyampaikan gagasan-gagasan ilmiah yang berkaitan dengan masalah kongkrit dalam masyarakat

1.5 Tinjauan Pustaka

Suatau kerangka teori dalam pembahasan yang bersifat ilmiah memiliki kegunaaan untuk mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenerannya.

(20)

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menetukan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakuakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bahwahnya untuk menyelenggarakn peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut telah membawa perubahanpenting terhadap penyelenggaraan kekuasaan keahakiman sehingga membawa konsekuensi perlunya pembentukan atau perubahan seluruh perundang-undangan dibidang kekuasaan kehakiman.

Pembentukan atau perubahan perundang-undangan tersebut dilakukan dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan.

Undang-undang Nomer 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomer 51 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-undang 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, merupakan salah satu undang-undang yang menagtur lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung . Perubahan kedua yang dilakukan atas Undang-undang Nomer 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara melatakan dasar kebijakan bahwa Usaha Neagara meletekan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai Peradilan Tata Usaha Negara baik menyangkut teknis yudisial maupun non yudisialyaitu urusan oraganisasi, administrasi, dan finansial di bawah kekuasaan Mahakamah Agung.

(21)

Perubahan penting lainnya atas Undang-undang Nomer 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagai mana telah diubah dengan Undang-undang Nomer 51 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-undang Nomer 5 Tahun 1986 tenatang Peradilan Tata Usaha Negara antara lain sebagai berikut :

1. Penguatan pengawasan Hakim, baik pengawasan internal oleh Mahkamah Agung maupun pengawasan eksternal atas perilaku hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam menajaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.

2. Memperketat persayaratan pengangkatan hakim, baik hakim pada Pengadilan Tata Usaha Neagara maupun Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara antara lai melalui proses seleksi hakim yang dilakukan secara transparan, akuntebal dan partisipatif serta harus melalui proses atau lulus pendidikan hakim.

3. Pengaturan mengenai pengadilan khusus dan hakim ad hoc.

4. Pengaturan mekanisme dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim.

5. Kesejahteraan hakim .

6. Tranpasrasi putusan danlimitasi pemberian salinan putusan.

7. Tranparasi biaya perkara serta pemeriksaan pengelolaan dan pertanggung jawaban biaya perkara.

8. Bantuan hukum

9. Majelis Kehormatan Hakim dan kewajiban hakim untuk menaati kode etika dan pedoman perilaku hakim.

(22)

Perubahan secara umum atas Undang-undang Nomer 5 Tahun 1986 tebtang peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomer 51 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang-undang Nomer 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada dasarnya untuk mewujudkan penyelenggaraan kekuasaan keahakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta beribawa, yang dilakukan melalui penataan sistem peradilan yang terpadu, terlebih Pengadilan Tata Usaha Negara secara konstitusional merupakan salah satu badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang mempunyai kewenangan dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara tata usaha negara.

Demikian dengan adanya perubahan Undang-undanng tidak merubah keyakinan hakim untuk menjadikan keterangan saksi sebagai alat bukti dalam Acara Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara . adapun yang telah dia

Dan Perlu diperhatikan bahwa teori-teori bukanlah pengetahuan yang pasti, akan tetapi dianggap sebagai petunjuk hipotesis. Menurut SF Marbun dalam bukunya Peradilan Tata Usaha Negara mengemukan bahwa :

“tujuan pembuktian adalah untuk mengajukan alat-alat bukti tertentu kepada hakim akan adanya fakta-fakta hukum yang disengketakan unutk kemudian dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam putusannya”5

(23)

Berdasarkan pasal 88 sampai 107 UU No 51 Tahun 2009 beban merupakan kewajiban para pihak yang bersengketa, tetapi hakim juga dapat menetukan fakta-fakta sendiri. Hal ini sesuai dengan sifat-sifat atau tidak menunggu dari hakim.

Sehingga sistem pembuktian yang berlaku dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara menurut Undang-undang No 51 Tahun 2009 adalah sistem pembuktian yang bebas terbatas. Dikatakan bebas yang terbatas karena mengenai alat-alat bukti yang boleh digunakan dalam membuktikan suatu sudah ditentukan secara limitative dalam pasal 100 UU No 51 Tahun 2009 yaitu mengenai alat bukti yang terdiri dari :

1. Alat-alatbuktiyaitu : a. Surat atau tulisan b. Keterangan ahli c. Keterngan saksi d. Pengakuan para pihak e. Pengetahuan hakim

2. Keadaan yang telah diketahui secara umum tidak perlu dibuktikan. Untuk menilai sahnya pembuktian, Hakim dapat menentukan apa yang harus dibuktiakan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim. Yang berbunyi dalam pasal 107 PTUN. Dari beberpa perumusan diatas, dapat diketahui peranan alat bukti dalam hukum acara Peraadilan Tata Usaha Negara adalah sengat penting, karena alat-alat pembuktian tersebut dapat menjamin bahwa hakim

(24)

dalam melakukan pembuktian tidak mengada-ngada. Agar pula dalam penyelesaian suatu sengketa itu, hakim dapat memberikan suatu keputusan yang seadil-adilnya dan memuasakan para pihak baik kepentingan orang perorangan (penggugat) dan kepentingan yang bersifat public (tergugat)

1.6 Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan kontruksi, yang dilakukan secara meteologis, sistematis, dan konsisten dalam mengumpulkan bahan hokum sebagai bahan penyusunan tentunya mempergunakan metode-metode tertentu yakni:

1.6.1 Tipe penelitian dan pendekatan masalah

Berdasarkan judul skripsi beserta ruang lingkup yang akan dibahas, maka diperlukan adanya tertentu, yang dalam penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normative artinya dengan menganalisa terhadap pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.

1.6.2 Sumber Bahan Hukum

Bahan pengkajian dalam penulisan karya ilmiah ini adalah : a. Bahan primer, yaitu :

Bahanhukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang dapat berupa peraturan Perundang-undangan yakni :

(25)

Undang-undang Republik Indonesia Nomer 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-undang Nomer 9 Tahun 2004 tentang Perubahan pertama Undang-undang Nomer 5 Tahun 1986 dan Undang-undangNomer 51 Tahun 2009 tentangperadilan Tata Usaha Negara.

b. Data Sekunder, yaitu :

Penelitian kepusatakaan (librayresearch )yaitu bahan yang diper oleh dari beberapa buku bacaan atau literatur- literatur yang akan mendukung pembahasan yang akan dibahas .

1.6.3 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan Hukum Primer dan bahan Sekunder dilakukan dengan menggunakan pencatatan yaitu mengutif, meringkas, serta member usulan bahan-bahan hukum, kemudian dicatat dalam kertas lepas dengan mencantumkan nama pengarang, judul buku, nama penerbit, tahun penerbit, dan nomer halam kutip.

1.6.4 Analisa Bahan Hukum

Setelah Bahan Hukum dikumpulkan dan di olah sesuai dengan tentang pemecahan masalah dan dengan menghubungkan bahan-bahan yang diperoleh baik itu dari literatur-literatur yang ada dan kemudian dianalisis dengan menggunakan logika hukum induktif dan logika deduktif yang diuraikan secara deskriptif analisis dalam bentuk skripsi.

(26)

BAB II

SISTEM PEMBKTIAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO 51 TAHUN 2009

2.1 PENGERTIAN PEMBUKTIAN DAN ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI

Pembuktian dalam ilmu hukum sangat berbeda dengan pembuktian eksak. Pembuktian dalam ilmu eksak bersifat empiris yang dapat dilakukan oleh orang lainmenurut dalil-dalil yang sudah ditemukan. Cara pembuktian seperti ini tidak dikenal dalam ilmu hukum karena adanya ada ketidakpastian. Menurut Martiman Prodjohamidjojo dalam ilmu hukum pembuktian tidak bersifat logis, tetapi bersifat kemasyarakatan. Orang harus memberikan kepada hakim suatu kepastian yang masuk akal, bahwa apa yang diuraikan dalam fakta-fakta selaras dengan kebenaran.6

Dalam hukum acara, dikenal ketentuan yang mengatur pembuktian yang sering disebut hukum pembuktian. Hukum pembuktian adalah hukum yang mengatur tata cara untuk menetapkan terbuktinya fakta yang menjadi dasar pertimbangan dalam menjatuhkan suatu putusan. Dengan pembuktian akan didapat suatu kepastian yang sesuai dengan penalaran tentan ekstensi fakta hukum yang disengketakan.

Pembuktian berasal dari kata “bukti yang berarti fakta yang dikemukakan dipersidanngan untuk mendukung dalil-dalil gugatan penggugat atau dalil-dalil bantahan tergugat atau untuk membantah keterangan pihak lawan. Dalam arti luas membuktikan adalah suatu upaya

6 Martiman Prodjohamidjojo, 1996, Hukum Acrara Peradilan Tata Usaha Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal. 95

(27)

untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau posita yang dikemukakan dalam suatu perkara yang pada hakikatnya mempertimbangkan secara kemasyarakatan mengapa dalil posita tertentu dianggap benar. Land-Aggens sebagaimana diikuti oleh Martiman berpendapat bahwa membuktikan dalam arti luas adalah memperkuat kesimpulan hakim dengan alat-alat bukti yang sah.

Sama halnya dengan pengertian hukum pembuktian terhadap banyak pendapat dikalangan yuris. Subekti, mengemukakan bahwa hukum pembuktian memberikan aturan tentang bagaimana berlangsungnya suatu perkara di muka Hakim. Penulis kurang menyetujui batasan yang terlalu umum itu, karena bukan hanya hukum pembuktian yang memberikan aturan tentang bagimana berlangsungnya suatu perkara dimuka hakim. Penulis lebih setuju definasi yang dikemukakan oleh Edward W. Clear, bahwa:7

“The law of evidence is the system of rules and standars by which the admission of proof at the trial of law suit is regulated”.

Definisi Cleary di atas lebih menampakan kehususan hukum pembuktian dalam peranannya melalui pembuktian dimuka persidangan, juga menunjukan suatu sistem hukum dan standar bagi keseluruhan aturan pembuktian. Oleh karena itu, lebih tepatnya jika penulis merumuskan batasan tentang pengertian hukum pembuktian sebagai berikut :

“Hukum pembuktian adalah keselurahan aturan tentang pembuktian yang menggunakan alat bukti yang sah sebagai alatnya dengan

7 Achmad ali, wiwie Herayani, 2012, Asas-asas Hukum Pembuktian Perdata, cetakan pertama, Kenacana Perdana Media Group, Jakarta, hal 22.

(28)

tujuan untuk memperoleh kebenaran melalui putusan atau penetapan hakim”

Oleh karena itu Pembuktian merupakan salah satu tahapan dalam proses beracara diperadilan dalam rangka menyelesaikan suatu sengketa, berupa penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh pihak berperkara kepada hakim dalam persidangan dan mengatur tentang cara untuk menetapkan terbuktinya fakta yang menjadi dasar dari pertimbangan dalam menjatuhkan suatu putusan.8

Fakta tersebut dapat terdiri dari :

1. Fakta hukum, yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang eksitensinya (kebenarannya) tergantung dari penerapan suatu peraturan Perundang-undangan,9 misalnya X, seorang Pegawai negri sipil dalam

daftar penilain pelaksanaan pekerjaan (Peraturan Pemerintah Nomer 10 Tahun 1979) yang dibuat oleh atasan langsungnya, untuk unsur prestasi kerja dapat niali amat baik (=95), karena telah menciptakan sesuatu program dibidang computer yang sangat berguna dibidang komputer yang sangat berguna dalam pelaksanaan tugas.

Yang merupakan fakta hukum adalah unsur prestasi kerja dengan niali amat baik (=95), karena penilaian prestasi kerja inimerupakan penerapan dari peraturan pemerintah Nomor 10 Tahun 1979.

8 R.Wiyono , 2007, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, cetakan pertama, Sinar Grafika, Jakarta , hal 148.

9 Indroharto, 1994, Usaha Memahami Undang-undangTentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku kedua, cetakan keempat, Pustaka Sinar Harapan, jakarta , hal 158.

(29)

2. Fakta biasa, yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang juga ikut menetukan adanya fakta hukum tertrntu, misalnya program komputer yang telah yang telah diciptakan oleh X seperti diatas.

Pasal 100 ayat (2) menentukan bahwa kejadian yang telah diketahui umum, tidak perlu dibuktikan.

Sekalipun untuk peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, namun pembuktian itu masih harus dinilai. Berhubungan dengan menilai pembuktian hakim dapat bertindak bebas, contoh: hakim tidak wajib mempercayai satu orang saksi saja, yang berarti hakim bebas menilai kesaksiannya atau diikat oleh undang-undang contoh: terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis hakim terkait dalam penilaiaanya.10

Terdapat teori yang menjelaskan tentang samapi berapa jauhkah hukum positif dapat mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa didalam sidang yaitu:

1. Teori Pembuktian Bebas, teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim, teori ini memberikan kelonggaran wewenang kepada hakim dalm mencari kebenaran.11

2. Teori pembuktian terikat, artinya hakim terikat dengan alat pembuktian yang diajukan oleh pihak berperkara, jadi harus memberikan putusan selaras dengan alat-alat bukti yang diajukan di persidangan teori ini menghendaki agar penialian hakim sedapat mungkin memberikan

10O.C. Kaligis, 2002, Praktek-praktek Peradilan Tata Usaha Negara, PT Alumi, Jakarta, hal 31 11http://bandakatik.blogspot.co.id/2012/02/teori-pembuktian-dalam-ptun.html?=1, diakses pada tanggal kamis 25 mei 2017, pkl 19.52

(30)

kepastian hukum, misalnya hakim terikat dengan alat bukti sumpah, utamanya sumpah pemutus, kelemahan teori ini adalah tidak menjamin adanya keadilan. Teori ini dibagi menajdi dua macam: Teori negatif, teori ini menginginkan adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat bagi hakim

di dalam pembuktian. Ketentuan-ketentuan tersebut bersifat

larangan-larangan bagi hakim yang merupakan pembatasan bagi kebebasan hakim

di dalam pembuktian.Teori positif, teori ini menginginkan adanya

ketentuan-ketentuan yang mengikat haikm, selain berupa

larangan-larangan juga berupa perintah-perintah.

Alat bukti jelas adalah alat untuk membuktikan kebenaran hubungan hukum, yang dinyatakan baik oleh penggugat maupun oleh tergugat dalam perkara perdata.

Lebih jelas lagi apa yang dikatakan oleh Milton C. Jacobs bahwa : “Evidance is the medium of proof,proof is the effect of evidence”

Adapun Soedikno Meturkusumo, menyatakan bahwa : apakah sesuatu itu merupakan alat bukti, tidak tergantung apakah sesuatu itu terjadi/diajukan dalam persidangan, tetapi ditentukan oleh sifatnya dan tidak ditetapkan oleh kenyataan apakah sesuatu itu diajukan atau tidak dipersidangan. Jadi, alat bukti itu adalah sesuatu yang sebelumnya diajukan ke persidangan, memang sudah berfungsi sebagai alat bukti. Sebagai contoh: akta notaris, walaupun belum diajukan ke muka persidangan, sudah merupakan bukti.

Seringan dikalangan yuris sendiri terjadi kesalahpahaman, dikiranya yang dimaksudkan sebagai alat bukti itu hanyalah bukti tertulis, pada hal

(31)

tidak demikian halnya, selai alat bukti tertulis, pengertian alat bukti masih banyak. Untuk itu berikut ini penulis memberikan klasifikasi alat bukti.12

Ketentuan-ketentuan tentang alat bukti dalam hukum acara Tata Usaha Negara sedikit kali (pasal 100 sampai dengan 107) jika dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan dalam Hukum Acara Perdata sebagai akibat dikutinya ajaran pembuktian bebas, yang tidak dikehendaki adanya ketentuan yang mengikat hakim dalam memilih alat-alat bukti yang pergunakan dalam pembuktian.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika didalam Undang-Undang Nomer 51 Tahun 2009, misalnya tidak terdapat ketentuan tentang ketentuan pembuktian dari suatau alat bukti, tidak seperti halnya di dalam Hukum Acara Perdata. 13

Pasal 100 ayat (1) menetukan bahwa alat bukti adalah: 1. Surat atau tulisan

2. Keterangan ahli 3. Keterangan saksi 4. Pengakuan para pihak 5. Pengetahuan Hakim

Dengan adanya ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa alat bukti yang dapat dipergunakan dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sifatnya adalah terbatas, karena sudah ditentukan oleh Undang-Undang Nomer 51 Tahun 2009 alat bukti apa saja yang dapat dipergunakan. Oleh karena itu, dengan ditambah alasan bahwa

12 Achmad ali, wiwie Herayani, 2012, Op.cit., hal 73.

13 Rozali Abdulah, 1997, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal 69

(32)

untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti berdasarkan keyakinan hakim, INDROHARTO mengemukakan bahwa ajaran pembuktianyang diikuti oleh pembuat undang-undang bukan ajaran pembuktian bebas, tetapi adalah ajaran pembuktian bebas terbatas.

Menurut PHILPUS M. HADJON dkk dan SUPARTO WIJOYO, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 100 dan pasal 107 merupakan ketentuan yang lazim terdapat dalam Hukum Acara Perdata yang seyoginya tidak perlu terdapat dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara, karena yang dipersoalkan dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara adalah sah atau tidak sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara. telok ukurannya adalah bukan alat bukti, tetapi adalah peraturan perundang-undangan dan/atau Asas-asas umum pemerintahan yang baik.

2.2 Tujuan pembuktian

Pembuktian adalah bagian terpenting pada proses pemeriksaan perkara dipersidangan karena dengan bukti yang benar dan tepat akan mempengaruhi menanng atau kalahnya seorang dalam suatu perkara atau sengketa yang dihadapi. Dalam arti sempit, pembuktian hanya diperlukan apabila apa yang dikemukakan penggugat dibantah oleh tergugat dan sebaliknya. Kebenaran yang tidak dibantah tidak perlu diselidiki atau dibuktikan.14

Tujuan dari pembuktian tersebut ialah meyakikan hakim akan persistiwa-peristiwa tertentu. Hal ini dilakukan secara langsung oleh hakim dengan menetapkan hukum suatu persitiwa, mengkualifikasinya, dan

(33)

kemudian membuktikannya.15 Dengan demikian, keputusan hakim

didasarkan pembuktian tersebut. Hali ini sejalan dengan kebenaran yang ingin dicapai dalam hukum administrasi, yakni kebenaran materiil maka disyaratkan peristiwa hatrusalah “beyound reasonable doubt”. 16

untuk menghasilkan suatu putusan, yang menyatakan salah satu pihak menang, dan pihak yang lainkalah (jika merupakan peradilan yang sebenernya) atau untuk menghasilkan suatu penetapan, jadi tujuan pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan pada pembuktian itu. Segi yang kalah dalam perkara perdata tentunya secara formal yuridis menjadi pihak yang merugi atau menjadi pihak yang dikenakan hukuman. Sama halnya jika terdakwa dalam perkara pidana terbukti bersalah, akan dijatuhi sanksi.

Sehubungan dengan hal tersebut, apakah dihukumnya pihak itu merupakan akibat dari perbuatan hukum yang pernah dilakukannya, dengan perkataan lain, apakah perbuatan yang dilakukan dengan hukuman yang diterimanya merupakan suatu hubungan sebab akibat.

Mengenai permasalahan ini, Hans Kelsen mengemukakan salah satu teori yang terkenal sebagai “Teorekeningstheoris” (teori pertanggung jawab)

Menurut teori Hans Kelsen yang kemudian diikuti oleh Paul Schoten itu, tindakan yang dilakukan seorang sehingga ia dihukum,bukan merupakan hubungan sabab akibat. Artinya bahwa hukuman yang diterimanya bukanlah akibat dari perbuatannya, melainkan bahwa hukuman itu merupakan

15Yusalim, 2016, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, cetakan kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal 137.

(34)

pertanggungjawaban atau perbuatannya sendiri. Berbeda dengan batu yang dilemparkan ke atas, maka akibatnya pasti akan jatuh kembali kebawah. Berlainan dengan tindakan seseorang yang membeli suatu baranng, belum tentu akibatnya ia harus membayar dan kemudian ia memang tidak membayar. Apakah akibatnya ia akan di hukum?. Belum tentu. Oleh karena itu, dalam hal ini lebih tepatlah jika dikatakan bahwa ia membeli suatu barang, maka sebagai pertanggungjawabanya ia harus membayar harga barang yang dibeli tadi. Atau, kalau ia tidak membayarnya sehingga berakibat ia dijatuhi hukuman oleh hakim, maka hukuman itu merupakan pertanggungjawaban atas perbuatan yang tidak membayarnya harga barang yang dibelinya. Jadi tidak berdasarkan hukum kausalitas seperti jatuhnya batu kebawah yang dilemparkan ke atas. Oleh karena itu, pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan pada pembuktian itu, maka disini terbukti lagi betapa besarnya peranan hukum pembuktian didalam menentukan kalah menangnya pihak-pihak yang berperkara.17

Sebagai tujuan akhir dari pembuktian itu tentu saja sejalan dengan tujuan dari hukum pada umumnya, disini kita harus ingat lagi, bahwa hukum pembuktian hanya subsistem dari sistem hukum acara keseluruhan.

Apakah tujuan hukum itu? Tujuan hukum adalah: keadilan, kemanfaatanya,

dan kepastian hukum.

Karena itulah selaras dengan tujuan hukum pada hakikatnya, maka

dengan pembuktian dalam proses perdata, bertujuan menyelesaikan persengketaan antara pihak yang berperkara, dengan jalan yang

(35)

adilnya, dengan memberi kepastian hukum baik bagi pihak yang berperkara

maupun terhadap masyarakat pada umumnya, dengan tidak melupakan

kemanfaatan putusan hakim itu terhadap masyarakat pada umumnya. Secara filosofinya dapat dikatakan bahwa tujuan pembuktian adalah:

“Quod Bonum Felix Faurtumque”, apa yang baik, bahagia dan karunia.18

Baik hukum acara PTUN maupun hukum Acara Perdata sama-sama

menganut asas bahwa beban pembuktian ada pada kedua belah pihak,

hanya karena yang mengajukan gugatan adalah pengguagt, maka

penggugatla yang mendapat kesempetan petama untuk membuktikannya.

Sedangkan kewajiban tergugat untuk membuktikan adalah rangka membantah bukti yang diajukan oleh penggugat dengan mengajukan bukti

yang lebih kuat (Pasal 100 samapai dengan Pasal 107 UU PTUN, dan Pasal

163 dan 164 HIR).

Yang dibuktikan pada dasarnya adalah peristiwanya bukan

hukumnya, karena secara ex offoicio hakim dianggap tahu tentang hukumnya

Adapun dari tujuan pembuktian yaitu 19

a. Diketahuinya definisi dari pembuktian.

Dimuka persidanngan pihak-pihak yang berperkara pihak-pihak yang

berperkara tentu akan mengemukakan peristiwa-peristiwa yang bisa

dijadikan dasar untuk menguatkan haknya, namun tidak cukup hanya

dikemukakan begitu saja, baik secara tertulis maupun lisan. Akan tetapi

18Achmad ali, wiwie Herayani, 2012, Op.cit., hal 59

19Victor Situmorang, Soedibyo, 1992, Poko-poko Peradilan Tata Usaha Negara, Rineka Cipta, Jakarta, hal 41

(36)

harus disertai bukti-bukti yang sah menurut hukum agar dapat dipastikan

kebenarannya . pembuktian yaitu penyajian alat-alatbukti yang sah

menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaram peristiwa yang dikemukakan.

b. Mengetahui teori-teori pembuktian.

Teori negatif, teori ini menginginkan adanya ketentuan-ketentuan yang

mengikat bagi hakim di dalam pembuktian. Ketentuan-ketentuan tersebut

bersifat larangan-larangan bagi hakim yang merupakan pembatasan bagi

kebebasan hakim di dalam pembuktian.20

Teori positif, teori ini menginginkan adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat haikm, selain berupa larangan-larangan juga berupa

perintah-perintah.

Teori bebas, teori ini menginginkan hakim sana sekali tidak diikat dengan

hukum positif tertulis dalam hal pembuktian, tetapi penilaian pembuktian

sepenuhnya diserahkan kepada pertimbangan hakim. c. Mengetahui siapa saja yang dibebani pembuktian.

Siapa yang harus dibebani pembuktian, penggugat atau tergugat adalah

masalah pembagian beban pembuktian. Sebagaimana disebutkan dalam

penjelasan Pasal 107 adalah bahwa Hakim Peradilan Tata Usaha Negara

dapat menetukan hal apa atau fakta apa saja yang harus dibuktikan oleh

hakim sendiri, artinya hakim dapat meletakan beban pembuktian pada diri

hakim sendiri terhadap suatu fakta yang ditemukan selama pemeriksaan di sidang pengadilan .

20http://sayetmdahri.blogspot.co.id/2015/02/pembuktian-dalam-hukum-acara perdata.html?m=, di akses pada tanggal 1 mei 2017 pkl 14.13 wita.

(37)

2.3 Sistem Pembuktian Peradilan Tata Usaha Negara

Hukum acara Peradila Tata Usaha Negara menganut sistem atau ajaran pembuktian bebas terbatas. Dari sistem itu, jelas pembentukan undang-undang dipengaruhi oleh ajaran pembuktian bebas, dan sistem pembuktian negatif. Ajaran pembuktian bebas atau teori pembuktian bebas adalah ajaran atau teori yang tidak menghendaki adanya ketentuan-ketetuan yang mengikat hakim, sehingga sejauh mana pembuktian dilakukan diserahkan kepada hakim .21

Sistem pembuktian dalam hukum acara perdata dillakukan dalam rangka memperoleh kebenaran formal, sedangkan dalam hukum acara PTUN dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran materiil dan bagai mana jalannya persidangan untuk menemukan suatu putusan dari Hakim.

Dalam Pasal 107 Undang-undang PTUN disebutkan bahwa hakim menentukan apa yang harus dibuktiakan, beban pembuktian beserta penilain prmbuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alar bukti berdasarkan keyakinan hakim. Selanjutnya dalam penjelasannya disebutkan bahwa Pasal ini mengatur ketentuan dalam rangka usaha menentukan kebenaran material. Berbeda dengan sistem hukum pembuktian Acara Perdata, maka dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, hakim PTUN dapat mentukan sendiri:22

a. Apa yang harus dibuktikan.

21Yusalim, 2016, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, cetakan kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal 139

(38)

Sebagaimana telah disebutkan dalam penjelasan Pasal 107, dalam proses pemeriksaan disidang pengadilan, Hakim tidak tergantung atau tidak terikat pada fakta dan hal yang diajukan oleh penggugat atau tergugat, demikian pula hakim dapat saja mengesampingkan fakta dan hal yang diajukan oleh penggugat atau tergugat, demikian pula hakim dapat saja memeriksa lebih lanjut tentang fakta dan hal yang tidak disangkal atau tidak cukup dibantah, apabila fakta dan hal tersebut mempunyai arti yang relevan untuk dijadikan dasar pertimbangan dari hakim dalam menjatuhkan putusan yang pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan belum cukup pasti keadaanya.

Jika penggugat atau tergugat dalam pemeriksaan disidang pengadilan berharap fakta dan hal yang diajukan dapat memperoleh perhatian hukim, maka sudah tentu fakta tersebut harus dibuktikan kebenarannya.

Sebagai contoh bahwa hakim adalah pemeriksa di sidang pengadilan tidak tergantung atau tidak terikat pada fakta atau hal yang diajukan oleh penggugat dan tergugat adalah putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta tanggal 16 Januari 1992 Nomor 02/G/1991/PT.TUN.JKT yang menyatakan bahwa putusan Pnitia Penyelesain Perselisihan Perubahan Pusat adalah tidak sah dan harus dibatalkan, karena masa kerja atau masa tugas dari panitia Penyelesain Perubahan Pusat tersebut telah dialampui atau tidak ada perpanjangan, meskipun fakta yang berupa masa kerja atau masa tugas dari Panitia

(39)

yang dimaksud tidak diajukan oleh Penggugat dan terutama oleh Tergugat selama pemeriksaan disidang pengadilan.

b. Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara dalam hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri.23

Siapa yang harus dibebani pembuktian, penggugat atau tergugat adalah masalah pembagian beban pembuktian. Yang dimaksud dengan beban pembuktian adalah kewajiban yang dibebankan kepada suatu pihak untuk membuktikan fakta yang menjadi dasar pertimbangan dari hakim dalam menjatuhkan putusannya.

Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 107 adalah bahwa

Hakim Peradilan Tata Usaha Negara dapat menetukan hal apa atau fakta

apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri, artinya hakim dapat

meletakan beban pembuktian pada diri hakim sendiri terhadap suatu

fakta yang ditemukan selama pemeriksaan di sidang pengadilan. Dengan demikian dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata

Usaha Negara, hakim mempunyai kebebasan atau dapat mentukan

sendiri siapa yang harus dibenahi pembuktian.

c. Alata bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam

pembuktian.

Sebenarnya masing-masing alat bukti sebagaimana ditentukan dalam

pasal 100 ayat (1) mempunyai derajat bobot yang sama, artinya tidak adanya tingkat-tingkat mengenai ketentuan pembuktian dari

23Indroharto, 1994, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pustaka Sinar Harapan, Buku kedua, Jakarta, hal 195

(40)

masing alat bukti tersebut, atau dengan perkataan lain tidak ada

perbedaan mengenai perbedaan mengenai kekuatan pembuktian antara

alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain.24

Meskipun demikian dalm penjelasan pasal 107 disebutkan bahwa hakim

dapat mentukan sendiri alat bukti mana saja yang diutamakan untuk

dipergunakan dalam pembuktian.

Maksud dari penjelasan Pasal 107 tersebut adalah dalam

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara,

Hakim mempunyai wewenang untuk memilih alat bukti terntu diantara

alat-alat bukti sebagaimana ditentukan dalam Pasal 100 ayat (1) dan memberikan penilain tentang kekuatan pembuktian dari alat bukti

tersebut untuk dipergunakan dalam pembuktian.

d. Kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan

Dalam penjelasan Pasal 107 disebutkan bahwa hakim dapat

menetukan sendiri kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan. Maksud dari penjelasan Pasal 107 tersebut adalah hakim mempunyai

wewenang untuk memberikan penilai terhadap hasil pembuktian dalam

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara.25

Hanya saja untuk memberikan penilaian terhadap hasil pembuktian

tersebut, hakim harus memperhatikan pembatasan sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 107, yaitu “untuk sahnya pembuktian diperlukan

sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim”.

24 Indroharto, 1994, Op,cit., hal 204. 25 Wiyono, 2007, Op.cit., hal153

(41)

Teori dalam Sistem Pembuktian dikemukakan oleh Yahya Harap sebagaimana

diikuti oleh W.Riawan Tjandra26 yaitu:

a. Conviction in time , menurut sistem ini, untuk menentukan sah atau tidaknya KTUN semata-mata didasarkan pada penilaian keyakinan hakim.

Hakim menarik kesimpulan berdasarkankeyakinan yang yang diperoleh

dari alat-alat bukti yang diperiksa dalam persidangan dan pendapat para

pihak keyakinan hakim sangat dominan dalam sistem ini.

b. Conviction Rationee, dalam sistem keyakinan hakim dibatasi dan

didukung oleh alasan-alasan yang jelas. Hakim harus menguraikan dan

menjelasakan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya. Keyakinan hakim dibatasi oleh reasoning yang bersifat logis dan dapat

diterima akal.

c. Pembuktian menurut Undang-undang secara Positif atau Afirmatif, sistem

ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat yang

ditentukan oleh undang-undang. Untuk menentukan putusannya hakim semesta-mata didasarkan pada alat bukti yang sah tanpa diperlukan

keyakinan hakim.

d. Pembuktian menurut Undang-undang secara Negatif, sistem ini

merupakan perpaduan antara teori pembuktian menurut undang-undang

secara positif dan pembuktian menurut keyakinan hakim (conviction

intime). Hakim harus memutuskan berdasarkan alat-alat bukti yang sah

dan mengikuti prosedur dalam undang-undang dengan didukung oleh keyakinan hakim.

(42)

BAB III

KEDUDUKAN SAKSI DALAM PEMBUKTIAN HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

3.1 Macam-macam Alat Bukti

Ketentuan-ketentuan tentang alat bukti dalam Hukum Acara Tata

Usaha Negara sedikit sekali (pasal 100 sampai dengan 107) jika

dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum Acara Peradilan

Perdata sebagai akaibat diikutinya ajaran pembuktian bebas, yang tidak

dikehendaki adanya ketentuan yang mengikat hakim dalam memilih alat-alat bukti yang dipergunakan dalam pembuktian.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika didalam Undang-undang

Nomor 51 Tahun 2009, misalnya tidak terdapat ketentuan tentang ketentuan

pembuktian dari suatu alat bukti,tidak seperti halnya didalam Hukum Acara

Perdata. 27

Pasal 100 ayat (1) menentukan bahwa alat bukti adalah:28

1. Surat atau tulisan

2. Keterangan ahli

3. Keterangan saksi

4. Pengakuan para pihak

5. Pengetahuan hakim

27 Wiyono, 2007, Op.cit., hal 154

28 Zairin Harahap, 2007, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. hal 129

(43)

Dengan adanya kentuan tersebut, dapat diketahui bahwa alat bukti

yang dapat dipergunakan dalam memeriksa, memutus, dan meneyelesaikan

sengketa Tata Usaha Negara sifatnya adalah terbatas, karena sudah ditentukan oleh Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 alat bukti apa saja

yang dapat dipergunakan .

1. Surat atau Tulisan, Di dalam Undang-undang Nomor 51 Tahun 209 tidak ada ketentuan yang memberi arti apa yang dimaksud dengan alat bukti yang berupa surat atau tulisan. 29

Menurut Sudikno Mertokusumo, yang dimaksud dengan surat atau tulisan adalah segala sesuatu yang membuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. 30

Pasal 101 menentukan bahwa surat sebagai alat bukti terdiri atau 3 (tiga) jenis, yaitu sebagai berikut.

a. Akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perudang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.

b. Akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.

29 Martiman Prodjohamidjojo, Op.cit., hal 115 30 Wiyono, 2007, loc.cit,.

(44)

c. Surat-surat lainnya yang bukan akta

Menurut Indroharto termasuk dalam pengertian surat atau tulisan adalah hasil dari pemeriksaan persiapan guna mematangkna perkara yang bersangkutan dalma pemeriksaan di muka sidang pengadilan nanti .

2. Keterangan Ahli, Pasal 102 ayat (1) menentukan : “Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal apa yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuan”.

Dalam penjelasan Pasal 102 ayat (1) disebutkan bawah termasuk keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh juru taksir. Jika hanya diperhatikan pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 102 ayat (1) saja, maka keterangan ahli dalma bentuk tertulis bukan merupakan alat bukti berupa keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1) huruf b. Dengan demikian yang merupakan alat bukti berupa keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1) huruf b, menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 102 ayat (1) adalah keterangan ahli yang diberikan dalam pemeriksaan sidang Pengadilan, sehingga keterangan ahli tersebut bentuknya tidak tertulis. Pasal 103 ayat (2) menentukan “Seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik dengan surat maupun dengan lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut sepanjang pengetahuannya yang sebaik-baiknya”. Jika diperhatikan pada perumusan dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 103 ayat (2) tersebut, ternyata keterangan ahli di samping dapat diberikan dalam bentuk tidak tertulis atau lisan, juga dapat diberikan dalam bentuk tertulis atau surat.

(45)

3. Keterangan Saksi, Di dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tidak ada ketentuan yang memberikan arti apa yang dimaksud dengan saksi.

Pasal 104 menentukan : “Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal dialami, dilihat atau didengar oleh saksi sendiri”.31

Oleh Indroharto32 dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan keterangan

saksi tersebut adalah keterangan saksi yang didengar oleh hakim selama pemeriksaan perkara dilakukan.

Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 104 tersebut dapat diketahui bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan tentang sesuatu hal yang dialami, dilihat atau didengar sendiri dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.

Bagaimana kedudukan dari keterangan saksi yang keternagannya diperoleh dari pihak ketiga atau yang bisa dikenal dengan testimonium de auditu?

Dalam Hukum Acara Perdata, pada umumnya kesaksian de auditu tidak diperkenankan, karena keterangan itu tidak berhubungan dengan peristiwa yang dialaminya sendiri. Dengan demikian, maka saksi de auditu bukan merupakan alat bukti dan tidak perlu dipertimbangkan, Terhadap kesaksian de auditu tersebut, Indroharto mengemukakan bahwa adakalanya nanti kesaksian de auditu itu juga akan mempunyai suatu nilai tertentu dalam proses penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara. Hanya saja pada waktu

31 Wiyono, 2007, Op.cit., hal 157. 32 Indroharto, Op.cit., hal 202

(46)

memberikan kekuatan pembuktian terhadap kesaksian de auditu harus sangat hati-hati.

Pasal 88 menentukan bahwa yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah :

3. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa;

4. Istri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa, meskipun sudah bercerai;

5. Anak yang belum berusia 17 (tujuh belas) tahun; 6. Orang sakit ingatan.

4. Pengakuan Para Pihak, ialah Yang dimaksud dengan pengakuan di sini adalah pengakuan para pihak yang diberikan pada waktu pemeriksaan di sidang pengadilan. Pengakuan adalah keterangan sepihak yang membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh pihak lawan. 33

Meskipun pengakuan merupakan keterangan sepihak, sehingga tidak perlu adanya persetujuan dari pihak lawan, tetapi Pasal 105 menentukan bahwa pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim. 34

Pengakuan yang diberikan oleh Penggugat dan/atau Tergugat belum tentu menunjukkan kebenaran materill yang berkaitan denga terjadinya sengketa Tata Usaha Negara antara Penggugat dan Tergugat. Oleh karena itu,

33 Wiyono, 2007, Op.cit., hal 159 34 Martiman, Op.cit., hal 116

(47)

meskipun Penggugat dan/atau Tergugat telah memberikan pengakuan, tetapi masih mempunyai wewenang untuk meneliti lebih lanjut terhadap pengakuan yang telah diberikan oleh Penggugat dan/atau Tergugat tersebut. Hal ini berbeda dengan pengakuan yang diberikan dalam sengketa perdata, karena dengan adanya pengakuan dari Penggugat dan Tergugat, maka sengketa perdata dianggap selesai dan hakim tidak perlu meneliti tentang kebenaran dari pengakuan tersebut.

5. Pengetahuan Hakim, Oleh Pasal 106 ditentukan bahwa yang dimaksud dengan pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Pengetahuan hakim tersebut adalah pengetahuan dari hakim yang diperoleh selama pemeriksaan di sidang Pengadilan berlangsung.

Termasuk pemeriksaan di sidang pengadilan adalah pemeriksaan setempat (gerechtelijke plaatselijk onderzoek), karena hanya tempat sidangnya saja yang pindah, dan tidak lagi di kantor Peradilan Tata Usaha Negara, tetapi berlangsung misalnya di kantor Tergugat.

Oleh Indroharto35 diberikan beberapa contoh alat bukti yang berupa

pengetahuan hakim, misalnya :

1. Pemeriksaan gedung yang dinyatakan telah melanggar garis sepadan, tanah yang dinyatakan masuk dalam jalur hijau;

2. Barang-barang dan orang-orang yang ditunjukkan kepada hakim yang sedang memeriksa perkara itu.

(48)

3.2 kekuatan keterangan saksi dalam pembuktian

Setelah para pihak mengajukan alat buktinya, maka adalah tugas hakim

untuk mengadakan penilaian terhadap alat bukti, sejauh mana kekuatan alat bukti itu berdasarkan ketentuan yang berlaku. Begitu pula alat bukti saksi ini

kadang kala diberikan dalam bentuk tertulis yang lalu diajukan oleh pihak yang

bersangkutan dimuka pemeriksaan. Kekuatan pembuktian dari keterangan saksi

demikian itu tidak selalu sama satu dengan yang lain, kecuali kalau tidak

disangkal oleh pihak lawan.

Kekuatan yang terbesar pada keterangan saksi adalah keterangan saksi yang

diberikan dimuka pemeriksaan Hakim dan36 dibawah sumpah. Dalam keadaan itu terhadap saksi dapat diajukan pertanyaan-pertanyaan oleh semua pihak .

pendengeran saksi dibawah sumpah ini dapat pula dilakukan di dalam

pemeriksaan persiapan. Ada kalanya nanti kesaksian “de auditu” itu juga akan

mempunyai suatu nilai tertentu dalam proses ini. Sudah tentu harus sangat

hati-hati pada waktu memberikan suatu kekuatan pembuktian terhadap kesaksian demikian itu. Undang-undang menetapkan bahwa keterangan saksi tidak cukup,

artinya hakim tidak boleh mendasarkan putusan tentang kalah menangnya suatu

pihak atas keterangannya satu saksi saja, jadi kesaksian itu selalu harus

ditambah dengan suatu alat pembuktian lain sperti akta.

Ada lima jenis kekuatan pembuktian atau daya bukti dari alat bukti yaitu: 1. Kekuatan pembuktian yang sempurna, yang lengkap (volledig

bewijsracht)

2. Kekuatan pembuktian lemah, yang tidak lengkap (on-volledig bewijsracht)

(49)

3. Kekuatan pembuktian sebagian (gedeeltelijk bewijsracht)

4. Kekuatan pembuktian yang menentukan (beslissendebewijsracht) 5. Kekuatan pembuktian perlawanan (tegenbewijs atau kracht)

a. Kekuatan pembuktian sempurna, adalah kekuatan yang memberi kepastian yang cukup kepada hakim, kecuali kalau ada pembuktian perlawanan (tegenbewijs) sehingga hakim akan memberi akibat hukumnya.

Contoh :akta

Jadi, dalam hal ini bilamana akta tersebut digunakan sebagai alat bukti dan akta ini berisi perjanjian jual beli, pihak penggugat telah berhasil membuktikan dengan akta tersebut bahwa benar ada perjanjian jual beli antara penggugat dan tergugat. Dan bila tergugat menyangkali kebenaran itu, tergugat lah yang dibebani pembuktian untuk membuktikan tidak adanya perjanjian. Yang penting digarisbawahi kekuatan pembuktian sempurna ini adalah alat bukti sudah tidak perlu dilengkapi dengan alat bukti lain, tetapi masih memungkinkan pembuktian lawan.37

Dari contoh di atas, ternyata bahwa kekuatan bukti sempurna masih dapat digugurkan dengan kekuatan pembuktian lawanyang kuat.

b. Kekuatan pembuktian lemah, atau tidak lengkap ini adalah tidak memberikan kepastian yang cukup, sehingga hakim tidak memberikan akibat hukum hanya atas dasar alat bukti yang lemas. Gugata, yang hanya didasarkan pada alat bukti demikian itu harus ditolak.

(50)

c. Kekuatan pembuktian sebagian, ini memang sepintas lalu mirip dengan kekuatan pembuktian lemah, tetapi berbeda. Untuk menjelaskan sekaligus penulis memberikan contoh untuk keduanya: jika ai A menggugat si B, bahwa si B telah berutang kepada si A sejumlah Rp 1000.000, pada tangl 1 januari 2012 , dandengan perjanjian utang itu akan dibayar oleh si B paling lambat tanggal 27 maret 2015.

Dalam kasus ini, ternyata si A hanya dapat mengajukan alat bukti berupa satu orang saksi saja, padahal berdasarkan sas kesaksian Unus Testi Nullus Testis, kesaksian demikian tidak dapat diterima sebagai kesaksian, karena satu saksi bukan saksi.

Kekuatan pembuktian sebagaian, tergantung dari tanggapan tergugat.38

1) Jika tergugat menyangkali sama sekali gugatan si A, jadi si B manyatakan, bahwa si B sama sekali tidak pernah beruntung kepada si A dalam jumlah berapa pun, maka kekuatan pembuktian si A dalam jumlah berapa pun, maka kekuatan pembuktian si A itu bersifat lemah dan karenanya harus ditolak.

2) Adapun si B selaku tergugat menyangkali sebagian, tatapi mengakui bagian, jadi misalnya si B mengakui bahwa benar ia telah berutang pada si A sesejumlah yang digugat oleh si A , yaitu Rp 1000.000, tetapi tidak benar si B menjanjikan untuk dibayar oaling lambat

(51)

tanggal tanggal 27 maret 2015, melainkan tanggal 9 november 2016, inilah yang merupakan kekuatan pembuktian sebagian.

d. Kekuatan pembuktian menentukan, Kekuatan pembuktian yang bersifat menentukan adalah kekuatan pembuktian yang tidak memungkinkan pembuktian perlawanan sama sekali. Jadi, inilah bedanya dengan kekuatan pembuktian sempurna, yang masih memungkinkan pembuktian lawan.

Contoh : dari alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang menentukan adalah alat bukti SUMPAH.

e. Kekuatan pembuktian perlawanan, adalah kekuatan dari alat bukti yang melumpuhkan pembuktian dari pihak lawan.39

Sebagai contoh: si A menggugat si B bahwa pada tanggal 15 Agustus 2016, si B telah menabrak mobil si A yang diparkirkan di depan took buah Hidayat jl. G. Lampobatang 5 Ujungpandang, sehingga mobil si A rusak berat, si A menggajukan tiga orang saksi untuk membutikan gugatannya itu.

Tetapi si B mengajukan pembuktian perlawanan, dengan mengemukakan sejumlah alat bukti bahwa pada tanggal 14 Agustus 20176 hingga tanggal 17 agustus 2016, ia tidak berada di Ujungpandang tetapi berada diluar negeri.

3.3 Kedudukan Saksi Dalam Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Saksi merupakan salah satu alat bukti, yang keterangannya dibutuhkan untuk keperluan proses pembuktian dimuka Hakim, dalam suatu perkara di persidangan. Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti

Referensi

Dokumen terkait

Terhadap para pihak yang merasa tidak puas atas putusan yang diberikan pada tingkat pertama (PTUN), berdasarkan ketentuan Pasal 122 terhadap putusan PTUN tersebut dapat

Selain itu informasi dan dokumen elektronik sebagai alat bukti surat yang mempunyai kekuatan hukum yang sah dalam sistem pembuktian peradilan perdata harus memenuhi persyaratan

Oleh karena itu, keterangan terdakwa bukan alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan, penuntut umum tetap mempunyai kewajiban untuk

Tidak semua alat bukti surat mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, misalnya surat-surat biasa seperti yang dinamakan surat di bawah tangan, suatu perjanjian yang

setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu (14) empat belas hari. 2) Dalam hal empat bulan setelah

(1) Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas

Dengan praktek nepotisme ini terjadi ketidak adilan yang signifikan sehingga yang lemah semakin lemah dan yang kuat semakin kuat.Ketiga contoh perbuatan di atas merupakan praktek

(1) Sepanjang mengenai kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (11) apabila tergugat tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna malaksanakan putusan Pengadilan