• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahan Makalah Peradilan Tata Usaha Negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bahan Makalah Peradilan Tata Usaha Negara"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara

BAB I

PENDAHULUAN

Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang

berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara (UU PTUN), Peradilan Tata Usaha Negara diadakan untuk menghadapi

kemungkinan timbulnya perbenturan kepentingan, perselisihan, atau sengketa antara Badan

atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat. UU PTUN memberikan 2 macam

cara penyelesaian sengketa TUN yakni upaya administrasi yang penyelesaiannya masih

dalam lingkungan administrasi pemerintahan sendiri serta melalui gugatan ke Pengadilan

Tata Usaha Negara (PTUN).

Dalam PTUN, seseorang dapat mengajukan gugatan terhadap kebijakan pemerintah

yang dipercaya telah merugikan individu dan atau masyarakat. Subjek atau pihak-pihak yang

berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada 2 yakni, Pihak penggugat, yaitu seseorang

atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya

Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, serta

Pihak Tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan

berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya. Dalam Undang

Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Perubahan UU PTUN), pihak ketiga tidak dapat lagi

melakukan intervensi dan masuk ke dalam suatu sengketa TUN.

(2)
(3)

BAB II

TATA CARA BERPERKARA PADA BADAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA

A.

GAMBARAN SINGKAT

1. Pengertian Umum

Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, diuraikan tentang

pengertian-pengertian yang berkaitan dengan Peradilan Tata Usaha Negara, sebagai berikut:

1. Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk

menyelenggarakan urusan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah.

2. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan

pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan

atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual,

dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

4. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara

antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik

di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara,

termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

5. Gugatan Tata Usaha Negara adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan keputusan.

6. Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan

berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat

oleh orang atau badan hukum perdata.

7. Penggugat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun

2004 adalah Setiap Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan

akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.

(4)

memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok

dimaksud (Pasal 1 huruf a Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2002)

2. Subyek Peradilan Tata Usaha Negara

Subyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara sering disebut dengan para pihak, yaitu:

a. Penggugat

Dari pengertian penggugat diatas dapat ditentukan bahwa pihak-pihak yang dapat

mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara adalah:

o

Orang yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara

(KTUN);

o

Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata

Usaha Negara (KTUN).

b. Tergugat

Yang dapat digugat atau dijadikan tergugat sebagaimana diuraikan dalam pengertian

tergugat diatas adalah jabatan yang ada pada Badan Tata Usaha Negara yang mengeluarkan

KTUN berdasarkan wewenang dari Badan TUN itu atau wewenang yang dilimpahkan

kepadanya. Hal ini mengandung arti bahwa bukanlah orangnya secara pribadi yang digugat

tetapi jabatan yang melekat kepada orang tersebut. Misalnya; Kepala Dinas Pendidikan

Kabupaten Buleleng, Bupati Buleleng dan lain-lain, sehingga tidak akan menjadi masalah

ketika terjadi pergantian orang pada jabatan tersebut.

Sebagai jabatan TUN yang memiliki kewenangan pemerintahan, sehingga dapat

menjadi pihak Tergugat dalam Sengketa TUN dapat dikelompokkan menjadi:

a. Instansi resmi pemerintah yang berada di bawah Presiden sebagai Kepala eksekutif.

b. Instansi-instansi dalam lingkungan kekuasaan negara diluar lingkungan eksekutif yang

berdasarkan peraturan perundang-undangan, melaksanakan suatu urusan pemerintahan.

c. Badan-badan hukum privat yang didirikan dengan maksud untuk melaksanakan tugas-tugas

pemerintahan.

d. Instansi-instansi yang merupakan kerja sama antara pemerintahan dan pihak swasta yang

melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.

e. Lembaga-lembaga hukum swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan (Siti Soetami,

2005: 5).

(5)

Yang menjadi obyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha

Negara (KTUN). Keputusan Tata Usaha Negara adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan

oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara

yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret,

individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum

perdata.

B.

PENERIMAAN, PEMERIKSAAN DAN PENYELESAIN PERKARA

1. PROSEDUR PENERIMAAN GUGATAN DI PTUN

UU PTUN tidak mengatur secara tegas dan terperinci tentang prosedur dan penerimaan

Perkara Gugatan di PTUN yang harus ditempuh oleh seseorang atau Badan Hak Perdata yang

akan mengajukan /memasukkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara, namun

pokok-pokok yang dapat diuraikan adalah sebagai berikut:

a. Penerimaan Perkara

Gugatan yang telah disusun / dibuat ditandatangani oleh Penggugat atau Kuasanya,

kemudian didaftarkan di Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara yang berwenang sesuai

dengan ketentuan Pasal 54.

Ayat (1) Gugatan Sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang

berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Tergugat

Ayat (2) Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan

berkedudukan tidak dalam satu faerah Hukum Pengadilan, Gugatan diajukan kepada

Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata

Usaha Negara

Ayat (3) Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum

Pengadilan tempat kediaman Pengugat, maka Gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang

daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat selanjutnya diteruskan kepada

Pengadilan yang bersangkutan.

Ayat (4) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara yang

bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, Gugatan dapat diajukan kepada

Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat

(6)

Ayat (6) Apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat di luar negeri,

Gugatan diajukan kepada Pengadilan ditempat kedudukan Tergugat.

b. Administrasi di Pengadilan Tata Usaha Negara

Panitera yang telah menerima Pengajuan Gugatan tersebut kemudian meneliti Gugatan

apakah secara formal telah sesuai dengan syarat-syarat sebagaimana ditentukan oleh Pasal 56

UU No.5 tahun 1986, apabila ada kekurang lengkapan dari Gugatan tersebut Panitera dapat

menyarankan kepada Penggugat atau Kuasanya untuk melengkapinya dalam waktu yang

telah ditentukan paling lambat dalam waktu 30 hari baik terhadap Gugatan yang sudah

lengkap ataupun belum lengkap selanjutnya Panitera menaksir biaya panjer ongkos perkara

yang harus dibayar oleh Penggugat atau Kuasanya yang diwujudkan dalam bentuk SKUM

(Surat Kuasa Untuk Membayar) atau antara lain:

Biaya Kepaniteraan

Biaya Materai

Biaya Saksi

Biaya Saksi Ahli

Biaya Alih Bahasa

Biaya Pemeriksaan Setempat

Biaya lain untuk Penebusan Perkara

Gugatan yang telah dilampiri SKUM tersebut kemudian diteruskan ke Sub bagian

Kepaniteraan Muda Perkara untuk penyelesaian perkara lebih lanjut.

Atas dasar SKUM tersebut kemudian Penggugat atau kuasanya dapat membayar di kasir

(dibagian Kepaniteraan Muda Perkara) dan atas pembayaran tersebut kemudian dikeluarkan,

kwitansi pembayarannya. Gugatan yang telah dibayar panjer biaya perkara tersebut kemudian

didaftarkan didalam buku register perkara dan mendapat nomor register perkara.

Gugatan yang sudah didaftarkan dan mendapat nomor register tersebut kemudian

dilengkapi dengan formulir-formulir yang diperlukan dan Gugatan tersebut diserahkan

kembali kepada Panitera dengan buku ekspedisi penyerahan berkas.

(7)

2. PROSES PEMERIKSAAN GUGATAN DI PTUN

Di Pengadilan Tata Usaha Negara suatu gugatan yang masuk terlebih dahulu harus

melalui beberapa tahap pemeriksaan sebelum dilaksanakan Pemeriksaan didalam Persidangan

yang terbuka untuk umum. Apabila dilihat dari Pejabat yang melaksanakan pemeriksaan ada

3 (tiga) Pejabat yaitu Panitera, Ketua dan Hakim/Majelis Hakim, akan tetapi apabila dilihat

dari tahap-tahap materi gugatan yang diperiksa ada 4 tahap pemeriksaan yang harus dilalui:

Tahap I

Adalah Tahap penelitian administrasi dilaksanakan oleh Panitera atau Staf panitera yang

ditugaskan oleh Panitera untuk melaksanakan Penilaian administrasi tersebut

Tahap II

Dilaksanakan oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara, dan pada tahap ke-II tersebut Ketua

memeriksa gugatan tersebut antara lain:

i.

Proses Dismissal: yaitu memeriksa gugatan tersebut apakah gugatannya terkena dismissal.

Apabila terkena maka berdasar pasal 62 UU PTUN, artinya gugatan tidak diterima dan Ketua

dapat mengeluarkan Penetapan Dismissal. Sedangkan apabila tidak, ternyata gugatan tersebut

tidak

ii.

Ketua dapat juga memeriksa apakah didalam gugatan tersebut ada Permohonan Penundaan

Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat atau tidak dan sekaligus dapat

mengeluarkan penetapan.

iii.

Ketua dapat juga memeriksa apakah ada permohonan Pemeriksaan dengan Cuma-Cuma

dan mengeluarkan Penetapan

iv.

Ketua dapat juga memeriksa apakah dalam gugatan tersebut ada permohonan untuk

diperiksa dengan acara cepat ataukah tidak.

v.

Ketua dapat pula menetapkan bahwa gugatan tersebut diperiksa dengan acara biasa dan

sekaligus menunjuk Majelis Hakim yang memeriksanya.

Tahap III

Setelah Majelis Hakim menerima berkas perkara sesuai dengan Penetapan Penunjukan

Majelis Hakim yang menyidangkan perkara tersebut yang dikeluarkan oleh Ketua PTUN.

(8)

Setelah dilaksanakan Pemeriksaan Penetapan terhadap gugatan kemudian Majelis

menetapkan untuk Pemeriksaan gugatan tersebut didalam persidangan

yang terbuka untuk umum.

Proses pemeriksaan di muka Pengadilan Tata Usaha Negara dimaksudkan untuk

menguji apakah dugaan bahwa KTUN yang digugat itu melawan hukum beralasan atau tidak.

Gugatan sifatnya tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya KTUN yang digugat

tersebut, selama hal itu belum diputuskan oleh pengadilan maka KTUN itu harus dianggap

menurut hukum. Hal ini dikarenakan Hukum Tata Usaha Negara mengenal asas

praduga

rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid)

=

praesumptio instae causa

terhadap semua

tindakan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, termasuk KTUN yang telah dikeluarkan

(Suparto Wijoyo, 1997: 54).

3. PENYELESAIAN PERKARA

Saat berkas gugatan masuk dalam meja persidangan, maka sengketa tersebut akan

melalu beberapa tahapan-tahapan pokok, yaitu:

1.

Tahap pembacaan isi gugatan dari penggugat dan pembacaan jawaban dari tergugat.

Pasal 74 ayat (1) menyatakan bahwa ”Pemeriksaan sengketa dimulai dengan membacakan isi

gugatan dan surat yang memuat jawabannya oleh Hakim Ketua Sidang dan jika tidak ada

surat jawaban, pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan jawabannya”. Dalam

prakteknya bisa saja hakim tidak membacakan gugatan atas persetujuan tergugat, mengingat

tergugat sudah mendapatkan salinan gugatan. Begitu juga terhadap jawaban gugatan dari

tergugat bisa saja tidak dibacakan oleh hakim tetapi hanya diserahkan salinannya kepada

penggugat.

2.

Tahapan Pangajuan Reflik

Replik diartikan penggugat mengajukan atau memberikan tanggapan terhadap jawaban yang

telah diajukan oleh tergugat. Sebelum penggugat mengajukan replik, atas dasar ketentuan

yang terdapat dalam Pasal 75 ayat (1), penggugat dapat mengubah alasan yang mendasari

gugatannya, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat.

Replik diserahkan oleh penggugat kepada Hakim Ketua Sidang dan salinannya oleh Hakim

Ketua Sidang diserahkan kepada tergugat.

3.

Tahapan Pengajuan Duplik

(9)

cukup serta tidak merugikan kepentingan penggugat (Pasal 75 ayat (2)). Duplik diserahkan

oleh tergugat kepada Hakim Ketua Sidang dan salinannya oleh Hakim Ketua Sidang

diserahkan kepada penggugat

4.

Tahapan pengajuan Alat Bukti

Pada tahap pengajuan alat-alat bukti, baik penggugat maupun tergugat sama-sama

mengajukan alat-alat bukti yang terbatas berupa:

a. Surat atau tulisan (Pasal 100 ayat (1) huruf a);

b. Keterangan ahli (Pasal 100 ayat (1) huruf b); dan

c. Keterangan saksi (Pasal 100 ayat (1) huruf c)

5.

Tahapan Kesimpulan

Pada tahap pengajuan kesimpulan ini, pemeriksaan terhadap sengketa Tata Usaha Negara

sudah selesai. Masing-masing pihak mengemukakan pendapat yang terakhir berupa

kesimpulan dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan mengenai sengketa Tata Usaha

Negara antara penggugat dengan tergugat, yang intinya adalah sebagai berikut:

a.

Penggugat mengajukan kesimpulan bahwa KTUN yang dikeluarkan oleh tergugat agar

dinyatakan batal atau tidak sah.

b.

Tergugat mengajukan kesimpulan bahwa KTUN yang telah dikeluarkan adalah sah.

6.

Tahap Penjatuhan Putusan

Setelah penggugat dan tergugat mengemukakan kesimpulan, maka Hakim Ketua Sidang

menyatakan sidang ditunda, karena Majelis Hakim akan mengadakan musyawarah untuk

mengambil putusan (Pasal 97 ayat (2)). Putusan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka

untuk umum (Pasal 108 ayat (1)), artinya siapapun dapat hadir untuk mendengarkan putusan

yang diucapkan. Sebagai akibat dari putusan yang diucapkan tidak dalam sidang yang

terbuka untuk umum, putusan tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum

(Pasai 108 ayat (3)). Disamping itu putusan harus dituangkan dalam bentuk tertulis.

Secara garis besar dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara dikenal dua Jenis putusan,

yaitu:

a. Putusan yang bukan putusan akhir

(10)

i.

Pasal 113 ayat (1) yang menyatakan bahwa: ”Putusan Pengadilan yang bukan putusan

akhir meskipun diucapkan dalam sidang, tidak dibuat sebagai putusan tersendiri melainkan

hanya dicantumkan dalam berita acara sidang”.

ii.

Pasal 124 yang menyatakan bahwa: “Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bukan

putusan akhir hanya dapat dimohonkan pemeriksaan banding bersama-sama dengan putusan

akhir”.

Dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara, yang termasuk putusan yang bukan putusan

akhir, misalnya:

- Putusan Hakim Ketua Sidang yang memerintahkan kepada Penggugat atau Tergugat untuk

datang menhadap sendiri ke pemeriksaan sidang pengadilan, meskipun sudah diwakili oleh

seorang kuasa (Pasal 58);

- Putusan Hakim Ketua Sidang yang mengangkat seorang ahli alih bahasa atau seseorang yang

pandai bergaul dengan Penggugat atau saksi sebagai juru bahasa (Pasal 91 ayat (1) dan Pasal

92 ayat (1));

- Putusan Hakim Ketua Sidang yang menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli atas

permintaan Penggugat dan Tergugat atau Penggugat atau Tergugatatau karena jabatannya

(Pasal 103 ayat (1));

- Putusan Hakim Ketua Sidang mengenai beban pembuktian (Pasal 107).

b. Putusan akhir

Putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim setelah pemeriksaan sengketa TUN

selesai yang mengakhiri sengketa tersebut pada tingkat pengadilan tertentu. Sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 97 ayat (7), diketahui bahwa putusan akhir dapat berupa:

1. Gugatan ditolak

Putusan yang berupa gugatan ditolak adalah putusan yang menyatakan bahwa KTUN yang

menimbulkan sengketa TUN adalah KTUN yang tidak dinyatakan batal atau dinyatakan sah.

2. Gugatan dikabulkan

Putusan yang berupa gugatan dikabulkan adalah putusan yang menyatakan bahwa KTUN

yang menimbulkan sengketa TUN adalah KTUN yang dinyatakan batal atau tidak sah. Dalam

hal gugatan dikabulkan maka dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh tergugat

sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 97 ayat (9), berupa:

(11)

- pencabutan KTUN bersangkutan dan penerbitan KTUN yang baru, atau

- penerbitan KTUN baru.

Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 97 ayat (10) bahwa kewajiban yang dilakukan oleh

Tergugat tersebut dapat disertai pembebanan ganti kerugian. Disamping pembebanan ganti

kerugian terhadap gugatan dikabulkan berkenaan dengan kepegawaian dapat juga disertai

rehabilitasi atau kompensasi.

- Ganti rugi adalah pembayaran sejumlah uang kepada orang atau badan hukum perdata atas

beban Badan Tata Usaha Negara berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara karena

adanya kerugian materiil yang diderita oleh penggugat.

- Rehabilitasi adalah memulihkan hak penggugat dalam kemapuan dan kedudukan, harkat dan

martabatnya sebagai pegawai negeri seperti semula sebelum ada putusan mengenai KTUN

yang disengketakan.

- Kompensasi adalah pembayaran sejumlah uang berdasarkan keputusan Pengadilan Tata Usaha

Negara akibat dari rehabilitasi tidak dapat atau tidak sempurna dijalankan oleh Badan Tata

Usaha Negara.

3. Gugatan tidak dapat diterima

Putusan yang berupa gugatan tidak diterima adalah putusan yang menyatakan bahwa

syarat-syarat yang telah ditentukan tidak dipenuhi oleh gugatan yang diajukan oleh penggugat.

4. Gugatan gugur

Putusan yang berupa gugatan gugur adalah putusan yang dijatuhkan hakim karena penggugat

tidak hadir dalam beberapa kali sidang, meskipun telah dipanggil dengan patut atau

penggugat telah meninggal dunia.

Terhadap putusan pengadilan tersebut, penggugat dan/atau tergugat dapat menentukan sikap

sebagai berikut:

a.

Menerima putusan pengadilan;

b.

Menolak Putusan

1. mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat banding, jika yang menjatuhkan putusan

adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (Pasal 122)

2. mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi, jika yang menjatuhkan putusan

adalah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat pertama (Pasal 51

ayat (4)).

(12)

C.

UPAYA HUKUM

a. Banding

Terhadap para pihak yang merasa tidak puas atas putusan yang diberikan pada tingkat

pertama (PTUN), berdasarkan ketentuan Pasal 122 terhadap putusan PTUN tersebut dapat

dimintakan pemeriksaan banding oleh Penggugat atau Tergugat kepada Pengadilan Tinggi

Tata Usaha Negara (PTTUN).

Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya

yang khusus diberi kuasa untuk itu, kepada PTUN yang menjatuhkan putusan tersebut, dalam

tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan diberitahukan kepada yang

bersangkutan secara patut.

Selanjutnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sesudah permohonan pemeriksaan

banding dicatat, Panitera memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat

melihat berkas perkara di Kantor Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam

tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mereka menerima pemberitahuan tersebut.

Para pihak dapat menyerahkan memori atau kontra memori banding, disertai surat-surat

dan bukti kepada Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, dengan

ketentuan bahwa salinan memori dan kontra memori banding diberikan kepada pihak lawan

dengan perantara Panitera Pengadilan (Pasal 126).

Pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi TUN dilakukan sekurang-kurangnya terdiri

dari 3 (tiga) orang hakim. Dalam hal Pengadilan Tinggi TUN berpendapat bahwa

pemeriksaan Pengadilan Tata Usaha Negara kurang lengkap, maka Pengadilan Tinggi

tersebut dapat mengadakan sendiri untuk pemeriksaan tambahan atau memerintahkan

Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan pemeriksaan

tambahan.

Setelah pemeriksaan di tingkat banding selesai dan telah diputus oleh Pengadilan Tinggi

TUN yang bersangkutan, maka Panitera Pengadilan Tinggi TUN yang bersangkutan, dalam

waktu 30 (tiga puluh) hari mengirimkan salinan putusan Pengadilan Tinggi tersebut beserta

surat-surat pemeriksaan dan surat-surat lain kepada Pengadilan TUN yang memutus dalam

pemeriksaan tingkat pertama, dan selanjutnya meneruskan kepada pihak-pihak yang

berkepentingan (Pasal 127).

(13)

diajukan oleh yang bersangkutan, walaupun tenggang waktu untuk mengajukan permohonan

pemeriksaan banding belum lampau (Pasal 129).

b. Kasasi

Terhadap putusan pengadilan tingkat Banding dapat dilakukan upaya hukum Kasasi ke

Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan ditingkat Kasasi diatur dalam pasal 131, yang

menyebutkan bahwa pemeriksaan tingkat terakhir di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara

dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung. Untuk acara pemeriksaan

ini dilakukan menurut ketentuan UU No.14 Tahun 1985 Jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang

Mahkamah Agung.

Menurut Pasal 55 ayat (1) UU Mahkamah Agung, pemeriksaan kasasi untuk perkara

yang diputus oleh Pengadilan dilingkungan Pengadilan Agama atau oleh pengadilan di

lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan menurut ketentuan UU ini. Dengan

demikian sama halnya dengan ketiga peradilan yang lain, yaitu Peradilan Umum, Peradilan

Agama, dan Peradilan Militer, maka Peradilan Tata Usaha Negara juga berpuncak pada

Mahkamah Agung.

Untuk dapat mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi, Pasal 143 UU No

14 Tahun 1985 menentukan bahwa permohonan kasasi dapat diajukan jika pemohon terhadap

perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding, kecuali ditentukan lain oleh

undang-undang.

Menurut Pasal 46 ayat (1) UU No 14 Tahun 1985, permohonan pemeriksaan di tingkat

kasasi harus diajukan dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan Pengadilan Tinggi Tata

Usaha Negara diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 hari tersebut telah

lewat tanpa ada permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak yang berperkara, maka menurut

Pasal 46 ayat (2) UU Nomor 14 Tahun 1985 ditentukan bahwa pihak yang berperkara

dianggap telah menerima putusan.

(14)

Alasan pengajuan kasasi sebagaimana tertuang dalam Pasal 30 ayat (1) UU No 14

Tahun 1985 jo UU No 5 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa MA dalam tingkat kasasi

membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan

peradilan, karena:

i.

tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;

ii.

salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;

iii.

lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang

mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

c. Peninjauan Kembali

Sementara itu apabila masih ada diantara para pihak masih belum puas terhadap

putusan Hakim Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi, maka dapat ditempuh upaya hukum

luar biasa yaitu Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan Peninjauan

Kembali diatur dalam pasal 132, yang menyebutkan bahwa :

Ayat (1) : “Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat

diajukan permohonan Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung.”

Ayat (2) : “Acara pemeriksaan Peninjauan Kembali ini dilakukan menurut ketentuan sebagaimana

yang dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.”

Dengan mengikuti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 67 UU No 14 Tahun 1985, dapat

diketahui bahwa permohonan peninjauan kembali terhadap putusan perkara sengketa TUN

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, hanya dapat diajukan berdasarkan

alasan-alasan sebagai berikut:

1. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang

diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti baru yang kemudian

oleh hakim pidana dinyatakan palsu;

2. Apabila perkara setelah diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang

pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;

3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut;

4. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan

sebab-sebabnya;

(15)

6. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang

nyata.

BAB III

PENUTUP

Peradilan Tata Usaha Negara adalah Peradilan yang menyelenggarakan dan

menyelesaikan sengketa administrasi negara yang menyangkut fungsi dalam

menyelenggarakan urusan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah. Dimana Sengketa

Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara

orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat

maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk

sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Subyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara sering disebut dengan para pihak, yaitu:

a. Penggugat

o

Orang yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara

(KTUN);

o

Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata

Usaha Negara (KTUN).

b. Tergugat

Sebagai jabatan TUN yang memiliki kewenangan pemerintahan, sehingga dapat

menjadi pihak Tergugat dalam Sengketa TUN dapat dikelompokkan menjadi:

a. Instansi resmi pemerintah yang berada di bawah Presiden sebagai Kepala eksekutif.

b. Instansi-instansi dalam lingkungan kekuasaan negara diluar lingkungan eksekutif yang

berdasarkan peraturan perundang-undangan, melaksanakan suatu urusan pemerintahan.

c. Badan-badan hukum privat yang didirikan dengan maksud untuk melaksanakan tugas-tugas

pemerintahan.

d. Instansi-instansi yang merupakan kerja sama antara pemerintahan dan pihak swasta yang

melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.

e. Lembaga-lembaga hukum swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan (Siti Soetami,

2005: 5).

(16)

Yang menjadi obyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha

Negara (KTUN.

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Amrah Muslimin, 1985,

Beberapa Asas dan Pengertian Pokok tentang Administrasi dan Hukum

Administrasi,

Alumni, Bandung

Indroharto, 1993,

Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara

(Buku II)

, Sinar Harapan, Jakarta.

________, 1988,

Peradilan Tata Usaha Negara

, Liberty, Yogyakarta.

Siti Soetami, A, 2005,

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

, PT Refika Aditama, Jakarta.

_______,

UU No. 05 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara

,

http://www.ptun-jakarta.go.id/index.php?option

= com_content&task=v iew&id=32&Itemid= 41

________,

UU No. 09 tahun 2004 Tetang Perubahan atas UU No. 05 tahun 1986 tentang

Peradilan

Tata

Usaha

Negara,http://www.ptun-jakarta.go.id/index.php?

option

=com_content&task=view&id=32&Itemid= 41

(18)

subjek dan objek hukum pada PTUN

Bab 1

Pendahuluan

1. Latar Belakan Masalah

Ketentuan normatif mengenai sengketa Tata Usaha Negara di atur dalam Pasal 1 butir 4

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Pasal tersebut memberikan batasan pengertian sengketa

Tata Usaha Negara, yaitu sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau

badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai

akibat dikeluarnya Keputusan TUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

2. Rumusan Masalah

(19)

Bab II

Pembahasan

Subjek dan Objek dalam Pengadilan Tata Usaha Negara.

A. Subjek PTUN

Yang menjadi subjek dalam Pengadilan Tata Usaha Negara ialah:

1. Penggugat

Penggugat adalah :

a. Orang yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara.

b. Badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara.

Jadi , pada pemeriksaan disidang pengadilan di lingkungan PTUN tidak dimungkinkan badan atau pejabat, bertindak sebagai penggugat.

Dalam kepustakaan hukum Tata Usaha Negara yang ditulis sebelum berlakunya Undang-undang No. 5 tahun 1986, masih dimungkinkan badan atau pejabat Tata Usaha Negara bertindak sebagai penggugat[1]. Tetapi setelah berlakunya Undang-undang No. 5 tahun 1986 , hal tersebut sudah tidak dimungkinkan lagi.

Hanya saja untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), ada yang mempunyai pendapat, bahwa BUMN dapat juga bertindak sebagai penggugat dalam sengketa Tata Usaha Negara, khusus tentang sertifikat tanah, karena dasar hak dari gugatan adalah keperdataan dari BUMN tersebut[2]. Disini BUMN tidak bertindak sebagai Badan Tata Usaha Negara, tetapi sebagai Badan Hukum Perdata.

Oleh karena unsur kepentingan ada ketentuan yang terdapat dalam pasal 53 ayat 1 sangat penting dan menentukan agar seseorang atau bada hukum perdata dapat bertindak sebagai penggugat, maka perlu terlebih dahulu diketahui apa yang dimaksud dengan “ Kepentingan” pada ketentuan tersebut.

Menurut INDROHARTO, pengertian kepentigan dalam kaitannya dengan hukum acara tata usaha Negara itu mengandung arti , yaitu :

(20)

b. Kepentingan proses, artinya apa yang hendak dicapai dengan melakukan suatu proses gugatan yang bersangkutan. [3]

Selanjutnya oleh Indroharto dikemukakan bahwa nilai yang harus dilindungi oleh hukum tersebut ditentukan oleh factor-faktor sebagai berikut :

a. Kepentingan dalam kaitannya yang berhak menggugat

Atas dasar yurisprudensi peradilan perdata yang ada sampai sekarang, kepentuingan yang harus dilindungi oleh hukum iyu baru ada, jika kepentingan tersebut jelas;

1. Ada hubungannya dengan penggugat sendiri. 2. Kepentingannya harus bersifat pribadi 3. Kepentingan itu harus bersifat langsung

4. Kepentingan itu sejara objektif dapat ditentukan, baik mengenai luas maupun intensitasnya. b. Kepentingan dalam hubungannya dengan keputusan tata usaha Negara yang bersangkutan.

(21)

2. Tergugat

Yang disebtu dengan tergugat adalah badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang mengluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya, atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukukm perdata.

Dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam pasal 1 angkan 6 tersebut dapat diketahui bahwa sebagai tergugat dibedakan antara :

a. Badan Tata suaha Negara yang mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.

Disini sebagai tergugat adalah jabatan pada badan Tata usaha Negara yang mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan wewenang dari Badan Tata Usaha Negara tersebut atau wewenang yang dilimpahkan padanya.

Badan tata usaha Negara sendiri tidak mungkin dapat mengeluarkan keputusan tata usaha Negara. Yang dapat mengeluarkan keputusan tata usaha Negara adalah jabatan pada tata usaha Negara yang dalam kegiatanya sehari-hari dilakukan oleh pemangku jabatan yang merupakan personifikasi dari jabatan pada badan tata usaha Negara tersebut. Sebagai salah stu contoh adalah badan pertimbangan kepegawaian yaitu badan yang termasuk lembaga ekstra structural yang bertanggung jawab kepada presiden[4]

b. Pejabat atau Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan wewenang yang ada padanya atau dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang.

Disini sebagai tergugat adalah jabatan Tata Usaha Negara yag mengeluarkan keputusan Tata usaha Negara berdasarkan wewenangnya atau yang dilimpahkan kepadanya.

Oleh undang-undang no 5 tahun 1986 istilah “ jabatan “ tersebut disebut dengan “ pejabat “ , yang akibatnya dapat menyesatkan, karena pejabat adalah sama dengan pemangku jabatan. Akan tetapi meskipun demikian istilah pejabat tetap kami pergunakan karna undang-undang no 5 tahun 1986 memang mempergunakan istilah tersebut.

(22)

B. Objek PTUN

Berdasarkan ketentuan Pasal 53 ayat (1) jo Pasal 1 angka 4 jo Pasal 3 UU no. 5 tahun

1986, dapat disimpulkan yang dapat menjadi objek gugatan dalam sengketa Tata Usaha Negara

adalah:

1. Keputusan Tata Usaha Negara

Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh

badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang

berdasarkan peraturan peraturan perundang-undangan berlaku, yang bersifat konkret, individual,

dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

[5]

Istilah

penetapan tertulis

terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk

keputusan yangbdikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan itu

diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukan bentuk formalnya seperti surat

keputusan pengakuan dan sebagainya. Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan bagi

pembuktian. Oleh karena itu sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan

akan merupakan suatu keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menurut

Undang-Undang ini apabila sudah jelas.

2. Penetapan norma-norma hukum secara bertingkat

Setiap perbuatan hukum badan atau Pejabat tata Usaha Negara itu selalu merupakan

penentuan norma-norma hukum.

Didalam Tata Usaha Negara itu sering terjadi penentuan norma-norma hukum secra

bertingkat dalam dua atau lebih fase-fase. Sebab pengaturan suatu bidang kehidupan itu dalam

kenyataannya tidak cukup dilakukan dengan penentuan normanya oleh suatu Undang-undang

saja, tetapi sering merupakan kombinasi dari peraturan-peraturan yang bertingkat dan satu dengan

yang lain berkaitan.

(23)

3. Penetapan tertulis (Beschikking)

Penetapan tertulis inilah yang merupakan satu-satunya obyek kompetensi dalam

Peradilan TUN. Penetapan tertulis merupakan keputusan administrasi yang bersifat sepihak.

Sebagai salah satu bentuk perbuatan hukum administrasi penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh

Badan Atau Pejabat adminstrasi juga bersifat sepihak.

[7]

C. Contoh Kasus dan anilisisnya.

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menolak guga-tan Direktur PT Genta Pranata yang diwakili direkturnya Drs Dolok F Sirait terhadap Kepala BPN (tergugat I), Kepala Kantor Pertanahan Bogor (tergugat II) dan PT Buana Estate selaku tergugat II intervensi.

Dolok Sirait selaku penggugat I dan HM Sukandi penggugat II yang diwakili kuasa hukum-nya Denny Kailimang menggugat Surat Keputusan Kepala BPN Nomor 9/HGU/ BPN/2006 tentang Pemberian Jangka Waktu HGU atas tanah yang terletak di desa Hambalang, Keca-matan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Dalam penjelasannya kepada wartawan, kemarin, kuasa tergugat II intervensi Drs Anim San-joyo Romansyah mengatakan, sejak awal pihaknya yakin akan dimenangkan PTUN dalam gugatan tersebut karena berada dalam posisi yang benar. Terbukti, PTUN menolak gugatan pihak penggugat,” katanya menanggapi putusan PTUN Jakarta, Kamis lalu.

Adapun obyek gugatan dalam perkara tersebut adalah SK Kepala BPN No 9/HGU/BPN/2006 tentang Pemberian Jangka Waktu HGU atas tanah yang terletak di Kabu-paten Bogor atas na-ma PT Buana Estate yang diterbitkan tergugat 1 Juni 2006. Sertifikat HGU No 149/Ham-balang atas nama PT Buana Estate yang diterbitkan oleh tergugat II pada 15 Juni 2006 atas tanah seluas 4.486.975 M2.

Dalam gugatannya, penggugat menyatakan selaku pemilik/pemegang hak atas tanah seluas 2.117.500 meter persegi yang terletak di desa Hambalang, termasuk dalam bagian tanah ob-yek Surat keputusan N0 9/HGU/BPN 2006 tentang Jangka Waktu HGU atas tanah yang ter-letak di Kabupaten Bogor atas nama PT Buana Estate.

Penggugat juga menyatakan pihak paling yang berhak atas tanah seluas 211,75 Ha karena te-lah memiliki/menguasai tanah tersebut dari penguasaan penggarap yang tete-lah menguasai dan menggarap lokasi tanah tersebut sejak sekitar tahun 1960.

(24)

Majelis hakim juga menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara dan diberi waktu 14 hari untuk menentukan apakah banding atau menerima putusan tersebut.

Para pihak dalam kasus ini yaitu:

1. Direktur PT Genta Pranata sebagai penggugat I yang diwakili direkturnya Drs Dolok F Sirait 2. HM Sukandi sebagai penggugat II yang diwakili kuasa hukumnya Denny Kailimang

Melawan

1. Kepala BPN sebagai tergugat I

(25)

Bab III

Kesimpulan

1. Subjek dalam PTUN yaitu :

a. Penggugat

b. Tergugat

2. Objek dalam PTUN Yaitu :

a. Keputusan Tata Usaha Negara

b. Penetapan norma-norma hukum secara bertingkat

c. Penetapan tertulis (Beschikking)

[1]

Sjachran Basah,

Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di

Indopnesia,

Bandung, Cetakan 1, 1985, hal. 46.

[2]

Rumusan kesimpulan hasil ceramah / diskusi tentang perbandingan pradilan administrasi

perancis dan peradilan tata usaha Negara Indonesia. Gema peratun, tahun 1997, hal. 93.

[3]

Indroharto,

Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,

Buku

II, Pustaka sinar Harapan, Jakarta, cetakan 4, 1993, Hal. 38-40.

[4]System administrasi Negara republik Indonesia,

jilid 1, took gunung agung, Jakarta 1997, hal.

81.

[5]

R. Soegijatno Tjakranegara, S.H,

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di

Indonesia,

Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 88.

(26)
(27)

BAB I

NEGARA HUKUM DAN PERADILAN ADMINISTRASI

A. Negara Hukum

Negara hukum menghendaki segala tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada legalitasnya baik berdasarkan hukum tertulismaupun berdasarkan hukum tidak tertulis. Negara hukum pada dasarnya tertuma bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat. Menurut Philipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintahan dilandasi oleh dua prinsip, prinsip HAM dan Prinsip Negara Hukum. Menurut Philipus M. Hadjon Negara hukum hanya 3 macam konsep yaitu rechtsstaat, the rule of law, dan Pancasila.

M. Tahir Azhari Negara hukum ada 5 konsep yaitu:

1. Nomokrasi Islam: konsep Negara hukum yang pada umumnya diterapkan di Negara-negara Islam.

2. rechtsstaat: konsep Negara yang diterapkan di Negara-negara Eropa Kontinental, misalnya: Belanda, Jerman, Prancis.

3. Rule of Law: Konsep Negara yang di terapkan di Negara Aglo Saxon, Misal: Inggris, Amerika Serikat. 4. Socialist Legality: Konsep Negara hukum yang diterpkan di Negara komunitas.

5. Konsep Negara hukum Pancasila adalah konsep Negara hukum yang diterapkan di Indonesia. Salah satu cirri-ciri pokok dalam Negara hukum Pancasila ialah adanya jaminan terhadap fredoom of religion atau kebebasan beragama, Tetapi kebebasan beragama di Negara hukum Pancasila selalu dalam konotasi yang positif, artinya tiada tempat bagi ateisme atau propaganda anti agama di Bumi di Indonesia.

B. Negara Hukum Pancasila dan Peradilan Administrasi

Dasar peradilan dalam UUD 45 dapat ditemukan dalam pasal 24. Sebagai pelaksanaan dalam pasal 24 UUd 1945, dikeluarkanlah UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

kehakiman.kekuasan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan: 1. Peradilan Umum

2. Peradilan Agama 3. Peradilan militer

4. Peradilan Tata Usaha Negara

Dengan berlakunya UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berdasarkan Pasal 144 dapat disebut UU peradilan Administrasi Negara, maka dewasa ini perlindungan hukum terhadap warga masyarakat atas perbuatan yang dilakukan oleh penguasa dapat dilakukan melalui badan yakni:

a. Badan Tata Usaha Negara, dengan melalui upaya administrative.

b. Peradilan Tata Usaha Negara, Berdasarkan UU No. 5 tahun 1986 tentang PTUN. c. Peradilan Umum, melalui Pasal 1365 KUHPer.

BAB II

(28)

A. Pengertian

Menurut Rozali Abdullah, hukum acara PTUN adalah rangkaian perturan-peraturan yang memuat cara

bagaimana orang harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan Tata Usaha Negara. Pengaturan terhadap hukum formal dapat digolongkan menjadi dua bagian, Yaitu:

1. Ketentuan prosedur berperkara diatur bersama-sama dengan hukum materiilnya peradilan dalam bentuk UU atau perturan lainnya.

2. Ketentuan prosedur berperkara diaturtersendiri masing-masing dalam bentuk UU atau bentuk peraturan lainnya.

Hukum acara PTUN dalam UU PTUN dimuat dalam Pasal 53 samapai dengan pasal 141. UU PTUN terdiri atas 145 pasal. Dengan demikian komposisi hukum materiil dan hukum formilnya adalah hukum materiil swebanyak 56 pasal, sedangkan hukum materiil sebanyak 89 pasal.

B. Asas Hukum Acara PTUN

Menurut Scholten memberikan definisi asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar yang terdapat didalam dan di belakang system hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim,yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-putusan-keputusan-putusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.

Asas Hukum PTUN

1. Asas praduga Rechtmating ( Vermoeden van rechtmatigheid, prasumptio iustae causa). Ini terdapat pada pasal 67ayat 1UU PTUN.

2. Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan KTUN yang dipersengketakan, kecuali ada kepentingan yang mendesak dari penggugat. Terdapat pada pasal 67ayat 1dan ayat 4 huruf a.

3. Asas para pihak harus didengar (audi et alteram partem)

4. Asas kesatuan beracara dalam perkara sejenis baik dalam pemeriksaan di peradilan judex facti, maupun kasasi dengan MA sebagai Puncaknya.

5. Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari segala macam campur tangan kekuasaan yang lain baik secara langsung dan tidak langsung bermaksud untuk mempengaruhi keobyektifan putusan peradilan. Pasalb 24 UUD 1945 jo pasal 4 4 UU 14/1970.

6. Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan ringan ( pasal 4 UU 14/1970).

7. Asas hakim aktif. Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa hakim mengadakan rapat permusyawaratn untuk menertapakan apakah gugatan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar atau dilengkapi dengan pertimbangan (pasal 62 UU PTUN), dan pemeriksaan persiapan untuk mengetahui apakah gugatan penggugat kurang jelas, sehingga penggugat perlu untuk melengkapinya (pasal 63 UU PTUN).

8. Asas siding terbuka untuk umum. Asas inimembawa konsekuensi bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila di ucapkan dalam siding terbuka untuk umum (pasal 17 dan pasal 18 UU 14/1970 jo pasal 70 UU PTUN).

(29)

sebagai ultimatum remedium. ( pasal 48 UU PTUN).

11. Asas Obyektivitas. Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib mengundurkan diri, apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubngan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasihat hukum atau antara hakim dengan salah seorang hakim atau panitera juga terdapat hubungan sebagaimana yang di sebutkan di atas, atau hakim atau paniteratersebut mempunyai kepentingan langsung dan tidak langsung dengan sengketanya. (pasal 78 dan pasal 79 UU PTUN).

C. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara

Kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara berkaitan dengan jenis dan tingkatan pengadilan yang ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Cara untuk dapat mengetahui Kompetensi suatu pengadilan:

1. Dapat dilihat dari pokok sengketanya (geschilpunt, fundamentum petendi)

2. Dengan melakukan pembedaan atas atribusi (absolute competentie atau attributie van rechtmacht) dan delegasi (relatieve competentie atau distributie van rechtsmacht).

3. Dengan melakukan pembedaan atas kompetensi absolute dan kompetensi relatif.

BAB II

Persamaan dan Perbedaan Hukum Acara PTUN dengan Hukum Acara Perdata.

A. Persamaan Antara Hukum Acara Pengadilan TUN dengan Hukum acara Perdata 1. Pengajuan gugatan.

Pengajuan gugatan menurut hukum acara PTUN di atur dalam Pasal 54 UU PTUN, Hukum acara perdata di atur dalam pasal 118 HIR. Berdasarkan itu bahwa gugatan sama-sama diajukan ke pengadilan yang daerah

hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat. 2. Isi Gugatan

Isi gugatan hukum acara PTUN diatur dalam pasal 56 UU PTUN, dan Hukum acara perdata diatur dalam pasal 8 Nomor 3 Rv.

Isi gugatan terdiri dari yaitu: a. Identitas para pihak b. Posita

c. Petitum

3. Pendaftaran Perkara

(30)

membayar uang muka biaya perkara, dengan syarat membawa surat keterangan tidak mampu dari kepala desa atau lurah setempat (pasal 60 UU PTUN dan Pasal 237 HIR).

4. Penetapan Sidang

Penetapan hari siding di atur dalam pasal 59 ayat 3 dan pasal 64 UU PTUN, Hukum Acara perdata pada pasal 122 HIR. Setelah di daftarkan dalam buku daftar perkara maka hakim menentukan hari, jam, tempat

persidangan, dan pemanggilan para pihak untuk hadir. Dan hakim harus sudah menentukan selambat-lambatnya 30 hari setelah gugatan terdaftar.

5. Pemanggilan Para Pihak

Pemanggilan para pihak menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasal 65 dan 66 UU PTUN, sedangkan hukum acara perdata diatur dalam pasal 121 ayat 1 HIR dan pasal 390 ayat 1 dan pasal 126 HIR. Dalam Hukum acara TUN jangka waktu antara pemanggilan dan hari siding tidak boleh kurang dari 6 hari, kecuali sengketanya tersebut diperiksa dengan acara cepat. Panggilan dikirim dengan surat tercatat.

6. Pemberian Kekuasaan

Pemberian kekuasaan terhadap kedua belah pihak menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasal 57 UU PTUN, hukum acara perdata diatur dalam pasal 123 ayat 1 HIR. Pemberian kuasa dialkukan sebelumperkara diperiksa harus secara tertulis dengan membuat surat kuasa khusus. Dengan ini si penerima kuasa bisa melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan jalannya pemeriksaan perkara untuk dan atas nama si pemberi kuasa.

7. Hakim Majelis

Pemerisaan perkara dalam hukum acara PTUN dan acara perdata dilakukan dengan hakim majelis (3 orang hakim), yang terdiri atas satu orang bertindak selaku hakim ketua dan dua orang lagi bertindak selaku hakim anggota (pasal 68 UU PTUN).

8. Persidangan Terbuka untuk Umum

Ketentuan ini diatur dalam pasal 70 ayat 1 UU PTUN, sedangkan hukum acara perdata diatur dalam pasal 179 ayat 1 HIR. Setiap orang dapat untuk hadir dan mendengarkan jalannya pemeriksaan perkara tersebut. Apabila hakim menyatakan sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut hukum, kecuali hakim memandang bahwa perkara tersebut manyangkut ketertiban umum, keselamatan Negara, atau alasan-alasan lainnya yang di muat dalam berita acara.

9. Mendengar Kedua Belah Pihak

Dalam pasal 5 ayat 1 UU 14/1970 disebutkan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang. Hakim boleh mengangkat orang-orang sebagai juru bahasa, juru tulis, dan juru alih bahasa demi kelancaran jalannya persidangan.

10. Pencabutan dan Perubahan Gugatan

(31)

pasal 271 Rv). Dalam hukum acara perdata berdasarkan pasal 127Rv, perubahan dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah atau menambahkan petitum.

11. Hak Ingkar

Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib mengundurkan diri, apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubngan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasihat hukum atau antara hakim dengan salah seorang hakim atau panitera juga terdapat hubungan sebagaimana yang di sebutkan di atas, atau hakim atau paniteratersebut mempunyai kepentingan langsung dan tidak langsung dengan sengketanya (pasal 78 dan pasal 79 UU PTUN). 12. Pengikutsertaan Pihak Ketiga

Ketentuan ini diatur dalam pasal 83 UU PTUN. Pihak hadir selama pemeriksaan perkara berjalanbaik atas prakarsa dengan mengajukan permohonan maupunatas prakarsa hakim dapat masuk sebagai pihak

ketiga(intervenient) yang membela kepentingannya. Karena pangkal sengketa atau obyek sengketa TUN adalah KTUN, maka masuknya pihak ketiga ke dalam sengketa tersebut tetap harus memperhatikan kedudukan para pihak.

13. Pembuktian

Penggugat terlebih dahulu memberikan pembuktian, lalu kewajiban tergugat untuk membuktikan adalah dalam rangka membantah bukti yang di ajukan oleh penggugat dengan mengajukan bukti yang lebih kuat(pasal 100 sampai dengan pasal 107 UU PTUN dan pasal 163 dan 164 HIR. Yang di buktikan peristiwanya bukan hukumnya karena ex offocio hakim dianggap tahu tentang hukumnya( ius curia novit).

14. Pelaksanaan Putusan Pengadilan

Ketentuan ini diatur dalam pasal 115 UU PTUNdan pasal 116 UU PTUN dan pasal 195 HIR. Apabila yang dikalahkan tidak mau secara suka rela memenuhi isi putusan yang dijatuhkan, maka pihak yang dimenangkan dapat mengajukan permohonan pelaksanaan putusan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan itu dalam tingkat pertama ( pasal 116 UU PTUN dan Pasal 196 dan pasal 197 HIR.

15. Juru Sita

Ketentuan ini pada pasal 33 ayat 3 UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (UUKPKK-70), makahanya mengatur tugas jurusita perkara perdata, yang menyebutkan bahwa pelaksanaan keputusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan.

B. Perbedaan Antara Hukum Acara PTUN dengan Hukum Acara Perdata 1. Obyek Gugatan

Objek gugatan TUN adalah KTUN yang mengandung perbuatan onrechtsmatingoverheid daad (perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa. Hukum acara perdata adalah onrechtmating daad (perbuatan melawan hukum)

2. Kedudukan Para Pihak

Kedudukan para pihak dalam sengketa TUN, selalu menempatkan seseorang atau badan hukum perdata sebagai pihk tergugat dan badan atau pejabat TUN sebagai pihak tergugat. Pada hukum acara perdata para pihak tidakn terikat pada kedudukan.

3. Gugat Rekonvensi

(32)

oleh tergugat terhadap penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan antar mereka. 4. Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan

Dalam hukum acara TUN pengajuan gugatan dapat dilakukan dalam tenggang waktu 90 Hari. 5. Tuntutan Gugatan

Dalam hukum acara perdata boleh dikatakan selalu tuntutan pokok itu (petitum primair) disertai dengan tuntutan pengganti atau petitum subsidiar. Dalam hukum acara PTUN hanya dikenal satu macam tuntutan poko yang berupa tuntutan agar KTUN yang digugat itu dinyatakan batal atau tidak sah atau tuntutan agar KTUN yang dimohonkan oleh penggugat dikeluarkan oleh tergugat.

6. Rapat Permusyawaratan

Dalam hukum acara perdata tidak dikenal Rapat permusyawaratan. Dalam hukum acara PTUN, ketentuan ini diatur pasal 62 UU PTUN.

7. Pemeriksaan Persiapan

Dalam hukum acara PTUN juga dikenal Pemeriksaan persiapan yang juga tidak dikenal dalam hukum acara perdata. Dalam pemeriksaan persiapan hakim wajib member nasehat kepada pengugat untuk memperbaiki gugatan dalam jangka waktu 30 hari dan hakim memberi penjelasan kepada badan hukum atau pejabat yang bersangkutan.

8. Putusan Verstek

Kata verstek berarti bahwa pernyataan tergugat tidak dating pada hari sidang pertama. Apabila verstek terjadi maka putusan yang dijatuhkan oleh hakim tanpa kehadiran dari pihak tergugat. Ini terjadi karena tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya. PTUN tidak mengenal Verstek.

9. Pemeriksaan Cepat

Dalam hukum acara PTUN terdapat pada pasal 98 dan 99 UU PTUN, pemeriksaan ini tidak dikenal pada hukum acara perdata. Pemerikasaan cepat dilakukan karena kepentingan penggugat sangat mendesak, apabila

kepentingan itu menyangkut KTUN yang berisikan misalnya perintah pembongkaran bangunan atau rumah yang ditempati penggugat.

10. Sistem Hukum Pembuktian

Sistem pembuktian vrij bewijsleer) dalam hukum acara perdata dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran formal, sedangkan dalam hukum acara PTUN dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran materiil (pasal 107 UU PTUN).

11. Sifat Ega Omnesnya Putusan Pengadilan

Artinya berlaku untuk siapa saja dan tidaka hanya terbatas berlakunya bagi pihak-pihak yang berperkara, sama halnya dalam hukum acara perdata.

12. Pelaksanaan serta Merta (executie bij voorraad)

Dalam hukum acara PTUN tidak dikenal pelaksanaan serta merta sebagaimana yang dikenaldalam hukum acara perdata. Ini terdapat pada pasal 115 UU PTUN.

(33)

Dalam hukum acara perdata apabila pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela, maka dikenal dengan upaya emaksa agar putusan tersebut dilaksanakan. Dalam hukum acara PTUN tidak di kenal karena bukan menghukum sebagaimana hakikat putusan dalam hukum acara perdata. Hakikat hukum acara PTUN adalah untuk membatalkan KTUN yang telah dikeluarkan.

14. Kedudukan Pengadilan Tinggi

Alam hukum acara perdata kedudukan pebgadilan tinggi selalu sebagai pengadilan tingkat banding, sehingga tiap perkara tidak dapat langsung diperiksa oleh pengadilan tinggi tetapi harus terlebih dahulu melalui

pengadilan tingkat pertama (pengadilan Negeri). Dalam hukum acara PTUN kedudukan pengadilan tinggi dapat sebagai pengadilan tingkat pertama.

15. Hakim Ad Hoc

Hakim Ad Hoc tidak dikenal dalam hukum acara perdata, apabila diperlukan keterangan ahli dalam bidang tertentu, hakim cukup mendengarkan keterangan dari saksi ahli. Dalam hukum acara PTUN diatur pasal 135 UU PTUN. Apabila memerlukan keahlian khusus maka ketua pengadilan dapat menujuk seorang hakim Ad Hoc sebagai anggota majelis.

BAB IV

Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara

A. Pangkal Sengketa

Pangkal sengketa tata usaha negara dapat diketahui dengan menentukan apa yang menjadi tolak ukur sengketa tata usaha negara. Tolak ukur sengketa tata usaha negara adalah tolak ukur subyek dan pangkal sengketa. Tolak ukur subyek adalah para pihak yang bersengketa dalam hukum administrasi negara (tata usaha negara). Tolak ukur pangkal sengketa adalah sengketa administrasi yang diakibatkan oleh ketetapan sebagai hasil perbuatan administrasi negara.

Sengketa administrasi (pasal 1 angka 4 UU PTUN) dibedakan menjadi 2 yaitu: 1. Sengketa Intern

Sengketa intern adalah menyangkut persoalan kewenangan pejabat TUN yang disengketakan dalam satu departemen (instansi), atau kewenangan suatu departemen (instansi) terhadap departemen lainnya yang disebabkan tumpang tindih kewenangan, sehingga menimbulkan kekaburan kewenagan.

2. Sengketa Ekstern

Sengketa ekstern atau sengketa administrasi negara dengan rakyat adalah perkara administrasi yang menimbulkan sengketa antara administrasi negara dengan rakyat sebagai subyek-subyek yang berperkara ditimbulkan oleh unsur dari unsur peradilan administrasi murni yang mensyaratkan adanya minimal dua pihak dan sekurang-kurangnya salah satu pihak harus administrasi negara, yang mencakup administrasi negara di tingkat pusat, adminstrasi negara tingkat daerah, maupun administrasi negara pusat yang ada di daerah. Unsur-unsur KTUN (pasal 1 angka 3 UU PTUN) yaitu:

1. Suatu penetapan tertulis

(34)

2. Badan atau pejabat TUN

Badan atau pejabat TUN di pusat dan di daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif. 3. Tindakan hukum TUN

Perbuatan hukum badan atau pejabat TUN yang bersumber pada suatu ketentuan hukum TUN yang menimbulkan hak atau kewajiban apada orang lain.

4. Bersifat konkret

Objek yang di putuskan KTUN tidak Abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. 5. Bersifat individual

KTUN tidak ditujukan pada umum tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang dikena keputusan itu disebutkan. Missal: keputusan pelebaran jalan. 6. Bersifat Final

KTUN yang dikeluarkan itu bersifat definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. KTUN yang masih memerlukan persetujuan belum bersifat final. misal: Pengangkata seorang PNS perlu persetujuan dari BAKN.

B. Kedudukan Para Pihak dalam Sengketa TUN

Dalam pasal 1 angka 4 UU PTUN diketahui bahwa kedudukan para pihak dalam sengketa tata usaha negara adalah orang (individu) atau badan hukum perdata sebagai pihak penggugat dan badan atau pejabat tata usaha negara sebagai pihak tergugat.

Orang (individu) atau badan hukum perdata yang di rugikan akibat dikeluarkannya KTUN. Digolongkan menjadi 3:

1. Orang (individu) atau badan hukum perdata sebagai alamat yang dituju oleh KTUN.

2. orang (individu) atau badan hukum perdata yang dapat disebut pihak ketiga yang mempunyai kepentingan dan organisasi kemasyarakatan.

3. Badan atau pejabat TUN yang tidak boleh menggugat oleh UU PTUN.

Kepentingan ini dalam kaitannya yang berhak menggugat apabila bersifat langsung, pribadi, obyek dapat ditentukan dan atau kepentingan berhubungan dengan KTUN.

C. Para Pihak dalam Sengketa TUN

Para pihak dalam sengketa TUN adalah orang (individu) atau badan hukum perdata sebagai pihak penggugat dan badan atau pejabat tata usaha negara sebagai pihak tergugat.

D. Jalur Penyelesaian Sengketa TUN

Dalam pasal 48 UU P TUN nomor 5 tahun 1986 UU PTUNmenjelaskan upaya administrative, itu merupakan prosedur yang ditentukan dalam suatu peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan sengketa dalam TUN yang dilaksanakan di lingkungan pemerintah sendiri yang terdiri dari prosedur keberatan dan prosedur banding administratif.

(35)

lengkap, tetapi, penilaian secara lengkap tersebut tidak termasuk pasda prosedur banding. Pada prosedur banding, badan hukum TUN hanya melakukan penilaian daregi hukumnya saja.

BAB V

Gugatan ke PTUN

A. Alasan Mengajukan Gugatan

Alasan mengajukan gugatan diatur dalam Pasal 53 ayat 2 UU PTUN. Dalam mengajukan gugatan ada beberapa asas :

1. Asas kepastian hukum

2. Asas tertib penyelenggaraan negara 3. Asas kepentingan umum

4. Asas keterbukaan 5. Asas proposionalitas 6. Asas profesionalitas 7. Asas Akuntabilitas

B. Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan

Tenggang waktu mengajukan gugatan diatur dalam pasal 55 UU PTUN. Tengang waktu untuk mengajukan gugatan Sembilan puluh hari tersebut dihitung secara bervariasi:

1. Sejak hari diterimanya KTUN yang digugat itu memuat nama penggugat.

2. Setelah lewatnya tenggang waktu yang ditetapkan dalam aturan perundang-undangan yang memberikan kesempatan kepada administrasi negara untuk memberikan keputusan namun ia tidak berbuat apa-apa. 3. Setelah 4 bulan apabila peraturan perundang-undangan tidak memberikan kesempatan kepada administrasi negara untuk memberikan keputusan dan ternyata ia tidak berbuat apa-apa.

4. Sejak hari pengumuman apabila KTUN itu harus di umumkan.

C. Syarat-Syarat Gugatan

Syarat gugatan diatur daljm pasal 56 UU PTUN. Syaratnya adalah: 1. Gugatan harus memuat:

a. Nama, kewaganegaraan, temap[at tinggal, dan pekerjaanpenggugat atau kuasa hukumnya. b. Nama jabatan, dan tempat kedudukan tergugat

c. Dasar gugatan dan hal-hal yang diminta untuk diputuskan pengadilan

2. Apabila gugatan dibuat oleh dan ditanda tangani oleh seorang kuasa pengugat maka harus disertai surat kuasa yang sah.

3. Gugatan sedapat mungkin juga disertai KTUN yang disengketakan oleh penggugat. 4. Surat Gugatan harus bermaterai

(36)

Ketentuan dalam pasal 53 ayat 1 UU PTUN harus dikaitkan dengan pasal 3 UU PTUN tentang KTUN negatif dan pasal 117 ayat 2 tentang tuntutan sejkumlah uang atau kompensasi.

Dari situ diperoleh perihal tuntutan apa saja yang dapat diajukan dalam gugatan:

1. Tuntutan agar KTUN yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN itu dinyatakan batal atau tidak sah atau 2. Tuntutan agar badan atau pejabat TUN yang digugat untuk mengeluarkan KTUN yang di mohonkan penggugat atau tanpa

3. Tuntutan ganti rugi dan atau

4. Tuntutan rehabilitas dengan atau tanpa kompensasi

E. Permohonan Beracara dengan Cuma-Cuma

Pada dasarnya mengajukan gugatan ke pengadilan penggugat harus membayar terlebih dahulu membayar uang muka biaya perkara. Tetapi dalam hal tertentu penggugat membayar Cuma-Cuma (pasal 60 dan 62 UU PTUN). Penggugat dapat tidak membayar uang perkara apabila tidak mampu. Ketidakmampuan itu sudah diperiksa oleh ketua pengadilan dan telah dikabulkan, dan penggugat harus membawa surat keterangan tidak mampu dari kepala desa.

BAB VI

Acara Pemeriksaan di PTUN

A. Pemeriksaan dengan Acara Singkat

Pemeriksaan dengan acara singkat di PTUN dapat dilakukan apabila terjadi perlawanan atas penetapan yang diputuskan oleh ketua pengadilan dalam rapat permusyawaratan (pasal 62 UU PTUN).

Pemeriksaan dengan Acara Singkat mempunyai kelebihan dan kelemahan juga yaitu Kelebihannya adalah 1. Dapat mengatasi berbagai rintangan yang mungkin akan terjadi penghalang dalam penyelesaian secara cepat sengketa-sengketa TUN,

2. Dapat mengatasi harus masuknya perkara-perkara sebenarnya tidak memenuhi syarat, dan

3. dapat dihindarkan pemeriksaan perkara-perkara menurut acara biasa yang tidak perlu memakan banyak waktu dan biaya.

Kelemahannya adalah jangka waktu empat belas hari dalam melakukan perlawanan terhitung sejak penetapan dismissal itu di ucapkan dapat menjadi tidak realistis, karena dapat saja pada waktu itu diucapkan berhalangan hadir.

B. Pemeriksaan Persiapan

(37)

C. Pelaksanaan Permohonan Penangguhan Pelaksanaan KTUN.

Pelaksanaan permohonan penangguhan pelaksanaan KTUN diatur dalam pasal 67 UU PTUN. Pelaksanaan permohonan penangguhan pelaksanaan KTUN akan dikabulkan apabila

1. Keadaan yang sangat mendesak, misal kerugian yang akan di tanggung penggugat tidak seimbang dengan manfaat bagi kepentingan yang akan dilindungi oleh pelaksanaan KTUN.

2. Pelaksanaan KTUN yang digugat tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan umum dalam rangka pembangunan.

D. Pemeriksaan dengan Acara Cepat

Pemeriksaan dengan acara cepat diatur pasal 98 dan 99 UU PTUN. Dalam hukum acara PTUN terdapat pada pasal 98 dan 99 UU PTUN, pemeriksaan ini tidak dikenal pada hukum acara perdata. Pemerikasaan cepat dilakukan karena kepentingan penggugat sangat mendesak, apabila kepentingan itu menyangkut KTUN yang berisikan misalnya perintah pembongkaran bangunan atau rumah yang ditempati penggugat.

Pemeriksaan dengan acara cepat dilakikan dengan hakim tunggal. Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak masing-masing tidak melebihi empat belas hari.

E. Pemeriksaan dengan Acara Biasa

Pemeriksaan dengan acara biasa diatur dalam pasal 97 UUPTUN. Dari pasal itu dikemukakan Pemeriksaan dengan Acara Biasa adalah bahwa dengan Pemeriksaan dengan Acara Biasa dilakukan dengan majelis hakim ( 3 hakim). Hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan dinyatakan dengan tertutup untuk umum.

BAB VII Pembuktian

A. Alat-alat Bukti

Dalam pasal 100 sampai dengan 106 UU PTUN alat-alat bukti yang yang dapat diajukan dalam acara hukum PTUN adalah:

1. Surat atau tulisan

Surat sebagai alat bukti ada 3:

a. Akta aotentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut perturan perundang-undangan yang berwenang membuat surat ini dengan maksud untuk dipergunakan alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum didalamnya.

b. Akta dibawah tangan yaitu surat yang di buat dan di tandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk digunakan sebagi alat bukti.

c. Surat-surat lain yang bukan ahli. 2. Keterangan ahli

Pendapat orang yang diberikan sumpah dalam persidangan dalam tentang hal yang ia ketahui menurut

(38)

Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya hakim ketua sidang dapat menunjuk seorang atau beberapa ahli.

3. Keterngan saksi

Dalam pasal 88 UU PTUN disebutkan yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah: a. Keluarga sedarah

b. Istri atau suami salah seorang pihak meski sudah bercerai c. Anak yang belum berusia tujuh belas tahun

d. Orang sakit ingatan

Dalam pasal 89 UU PTUN yang berhak mengundurkan diri sebagai ahli adalah: a. Saudara laki-laki atau perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak

b. Setiap orang yang karena martabat pekerjaan atau jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat, pekerjaan atau jabatanhnya itu.

4. Pengakuan para pihak

Pengakuan dari para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali dengan alasan yang kuatdan dapat diterima oleh hakim. Pengakuan adalah meruapakan pernyataan sepihak sehingga tidak memerlukan persetujuan dari para pihak lain terutama dari pihak lawannya. Pengakuan secara lisan harus dilakukan dalam persidangan dan tidak boleh diluar persidangan. Pengakuan secara tertulis boleh dilakukan diluar persidangan dan dihadapan hakim. 5. Pengetahuan hakim

Menurut Wirjono Prodjodikoro yang dimaksud pengetahuan hakim dalah hal yang dialami oleh hakim sendiri selam pemeriksaan perkara dalam sidang. Missal kalau salah satu pihak memajukan sebagai bukti suatu gambar atau suatu tongkat, atau hakim melihat keadaan suatu rumah yang menjadi soal perselisihan d itempat.

B. Beban Pembuktian

Beban Pembuktian dalam pasal 107 UU PTUN bahwa hakim menentukan apa yang harus di buktikan, beban pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim.

BAB VIII

Putusan dan Pelaksanaan Putusan PTUN

A. Pengertian Putusan

Pada dasarnya penggugat mengajukan suatu gugatan ke pemngadilan adalah bertujuan agar pengadilan melalui hakim dapat menyelesaikan perkaranya dengan mengambil suatu putusan. Putusan yang di ucapkan di

persidangan (uitspraak) tidak boleh berbeda dengan yang tertulis (vonnis). Dalam literature Belanda dikenal vonnis dan gewijsde. Vonnis adalah putusan yang mempunyai kekuhukum yang yang pasti, sehingga masih tersedia upaya hukum biasa. Gewijsde adalah putusan yang asudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti sehingga hanya tersedia upaya hukum Khusus.

(39)

3. Putusan mahkamah agung dalam tingkat kasasi.

B. Putusan PTUN

Putusan Pengadilan diatur dalam pasal 97 UU PTUN. Ketentuamn pasal tersebut memuat prosedur pengambilan putusan yang harus diambil dengan musyawarah di antara majelis hakim, putusan yang diambil dengan suara terbanyak baru dapat dikatakan apabila musyawarah untuk mencap[ai kesepakatan bulat mengalami jalan buntu, apabila keputusan suara terbanyak itu juga mengalami kemacetan, maka barulah putusan dapat diambil oleh ketua majelis.

C. Isi Putusan

Isi putusan dari pasal 97 ayat 7 maka dapat diketahui bahwa isi putusan pengadilan TUn dapat berupa: 1. Apabila isi putusan pengadilan TUN adalah berupa penolakan tewrhadap gugatan pengguagat berarti memperkuat KTUN yang akan dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang bersangkutan. Pada umumnya suatu gugatan ditolak oleh majelis hakim, karena alat bukti yang di ajukan pienggugat tidak dapat mendukung gugatannya, atau alat-alat bukti yang diajukan pihak tergugat lebih kuat.

2. Gugatan Dikabulkan

Gugatan dikabulkan adakalnya pengabulan seluruhnya atau menolak sebagian lainnya. Isi pengadilan yang mengabulkan gugatan pihak penggugat itu, berarti tidak membenarkan KTUN yang dikeluarkan oleh pihak tergugat atau tidak membenarkan sikap tidak berbuat apa-apa yang dilakukan oleh tergugat, padahal itu sudah merupakan kewajibannya.

Dalam hal gugatan dikabulkan maka dalam putusan tersebut ditetapkan kewajibyang harus dilakukan oleh tergugat yang dapat berupa:

a. Pencabutan KTUN yang bersangkutan

b.

Referensi

Dokumen terkait

Yaitu pengajuan perkara ke pengadilan yang lebih tinggi untuk dimintakan pemeriksaan ulangan, apabila para pihak tidak puas terhadap putusan tingkat

Tolok ukur objek, PTUN tidak hanya memeriksa dan memutus KTUN, akan tetapi juga meliputi semua perbuatan pemerintahan yang bersumber dari wewenang hukum publik,

Perlu lebih diperkuat landasan filosofis Pancasila dalam proses penyelesaian Sengketa TUN yang obyeknya izin pemanfaatan dan dalam Putusan Hakim, sehingga PTUN

Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai salah satu badan peradilan khusus yang berada di bawah Mahkamah Agung, berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Selanjutnya yang dimaksud Keputusan Tata Usaha Negara menurut ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah suatu

Syarat obyektif, yaitu syarat yang menyangkut obyek yang disengketakan. Dari ketentuan Pasal 1 angka 4 tersebut dapat diketahui bahwa yang dapat dijadikan obyek perkara

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menolak guga-tan Direktur PT Genta Sandi yang diwakili direkturnya Drs Dolokanta terhadap Kepala BPN (tergugat I), Kepala

Hukum tata negara sendiri lebih fokus kepada hal mengenai konstitusi atau hukum dasar yang di gunakan oleh suatu negara untuk mengatur suatu negara mengeluarkan kebijakan pemerintah.4