• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM ACARA DAN PRAKTEK PERADILAN TATA USAHA NEGARA. Kode Mata Kuliah : BNI6349

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUKUM ACARA DAN PRAKTEK PERADILAN TATA USAHA NEGARA. Kode Mata Kuliah : BNI6349"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

BUKU AJAR

HUKUM ACARA DAN PRAKTEK PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Kode Mata Kuliah : BNI6349

Penyusun

Dr. I Ketut Tjukup, SH., MH I Ketut Artadi, SH., SU Nyoman. A Martana, SH., MH I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati, SH., MH Nyoman Satyayudha Dananjaya, SH., M.Kn

I Putu Rasmadi Arsha Putra, SH., MH Kadek Agus Sudiarawan, SH., MH Nyoman Wicaksana Wirajati, SH., LLM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2016

(2)

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat karuniaNya, Buku Ajar Hukum Kewarganegaraan berhasil diselesaikan. Buku Ajar ini adalah merupakan hasil Revisi dari penggabungan block book Tahun 2012 dan juga Buku Ajar Tahun 2006 yang dimaksudkan untuk memperbaiki format, mereformulasi jenis-jenis tugas serta pemutahiran substansi dan referensi. Buku Ajar mata kuliah Hukum Acara dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara ini dimaksudkan sebagai buku pedoman pelaksanaan proses pembelajaran, baik untuk mahasiswa maupun bagi dosen dan tutor, sehingga diharapkan pelaksanaan perkuliahan berjalan sesuai dengan rencana dan jadwal yang ditentukan di dalam Buku Ajar.

Substansi Buku Ajar meliputi identitas mata kuliah, pengajar, deskripsi mata kuliah, organisasi materi, metode dan strategi pembelajaran, tugas-tugas, ujian-ujian, penilaian, dan bahan bacaan. Selain itu terdapat pula kegiatan pembelajaran yang dilakukan pada setiap pertemuan berdasarkan pada jadwal kegiatan pembelajaran. Buku Ajar ini dilengkapi dengan Kontrak Perkuliahan dan Satuan Acara Perkulianan yang ditempatkan pada lampiran.

Dengan selesainya revisi ini, sepatutnya diucapkan terima kasih yang tulus kepada:

1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan para Pembantu Dekan yang telah berkomitmen dan konsisten untuk menerapkan metode problem

based learning dalam proses pembelajaran, sehingga setiap mata kuliah

diupayakan memiliki pegangan berupa buku ajar/block book. 2. Para pihak yang telah membantu penyelesaian buku ajar ini

Akhirnya, mohon maaf atas segala kekurangan dan kelemahan pada buku ajar ini. Semoga bermanfaat terhadap pelaksanaan proses pembelajaran dan mencapai hasil sesuai dengan kompetensi yang direncanakan.

Denpasar, 18 Agustus 2016 Penyusun.

(3)

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

HUKUM ACARA DAN PRAKTEK PERADILAN TATA USAHA NEGARA ...Error! Bookmark not defined. I. IDENTITAS MATA KULIAH ... 2

II. DISKRIPSI SUBSTANSI PERKULIAHAN ... 2

III. TUJUAN MATA KULIAH... 3

IV. MANFAAT MATA KULIAH ... 3

V. PERSYARATAN MENGIKUTI MATA KULIAH ... 3

VI. ORGANISASI MATERI ... 4

VII. METODE, STRATEGI, DAN PELAKSANAAN PROSES PEMBELAJARAN ... 5

VIII. TUGAS-TUGAS... 6

IX. UJIAN-UJIAN DAN PENILAIAN ... 6

X. BAHAN PUSTAKA ... 7

XI JADWAL PERKULIAHAN ... 7

PERTEMUAN I: PERKULIAHAN KESATU ... 9

PERTEMUAN II: TUTORIAL 1 ... 24

PERTEMUAN III: TUTORIAL 2 ... Error! Bookmark not defined. PERTEMUAN IV: PERKULIAHAN KE-2 ... Error! Bookmark not defined. PERTEMUAN V: TUTORIAL 3 ... Error! Bookmark not defined. PERTEMUAN KE VI. UJIAN TENGAH SEMESTER ... Error! Bookmark not defined. PERTEMUAN VIII: PERKULIAHAN KE-3 ... Error! Bookmark not defined. PERTEMUAN XI: PERKULIAHAN KE-4 ... Error! Bookmark not defined. PERTEMUAN XIV: UJIAN AKHIR SEMESTER... 93

LAMPIRAN 1. ... 95

KONTRAK PERKULIAHAN ... Error! Bookmark not defined. SATUAN ACARA PERKULIAHAN ...103 (SAP) ... Error! Bookmark not defined.

(4)

2

I IDENTITAS MATA KULIAH

Nama Mata Kuliah : Hukum Acara dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara

Kode Mata Kuliah/SKS : BNI6349

SKS : 6 SKS

Prasyarat : HAN

Semester : VI (Enam)

Status Mata Kuliah : Wajib Nasional

Tim Pengajar : Dr. I Ketut Tjukup, S.H., M.H. I Ketut Artadi, SH., SU

Nyoman. A Martana, SH., MH

I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati, SH., MH Nyoman Satyayudha Dananjaya, SH., M.Kn I Putu Rasmadi Arsha Putra, SH., MH Kadek Agus Sudiarawan, SH., MH Nyoman Wicaksana Wirajati, SH., LLM

II DISKRIPSI SUBSTANSI PERKULIAHAN

Mata kuliah ini merupakan mata kuliah Wajib Nasional, yang pada hakekatnya merupakan pendalaman dari salah satu substansi yang terdapat dalam mata kuliah Hukum Acara, yakni mengenai Peradilan Tata Usaha Negara. Karena itu bahasan dalam mata kuliah ini meliputi berbagai istilah dan pengertian-pengertian Hukum Acara dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara, asas-asas Acara dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara, sejarah pengaturan Hukum Acara dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia; Pemeriksaan Persiapan dan Pemeriksaan di Sidang, Hukum Acara Formil dan Proses Dismisal, Alur Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara, cara penyelesaian cara mengajukan gugatan, pembuktian, cara melakukan upaya hukum, dan eksekusi.

Mata kuliah ini berusaha sejauh mungkin untuk menghubungkan konsep-konsep hukum yang ada dibidang acara secara teori dengan realitas yang terjadi di dalam masyarakat. Karena itu, dalam perkuliahan dipergunakan berbagai contoh kasus yang terjadi di dalam masyarakat.

(5)

3

III. CAPAIAN PEMBELAJARAN

Pada akhir perkuliahan mahasiswa diharapkan mampu memahami istilah dan pengertian-pengertian Hukum Acara dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara, sasa-asas Hukum Acara dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara, sejarah pengaturan Hukum Acara dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia; Pemeriksaan Persiapan dan Pemeriksaan di Sidang, Hukum Acara Formil dan Proses Dismisal, Alur Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara, cara penyelesaian cara mengajukan gugatan, pembuktian, cara melakukan upaya hukum, dan eksekusi.

Dengan demikian maka, mahasiswa diharapkan mampu menganalisa berbagai masalah yang berkaitan dengan Hukum Acara dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara yang timbul dan ada dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dan mengembangkan sikap religius, rasa ingin tahu, kritis, logis dalam menyelesaikan masalah-masalah Hukum Acara dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara serta peduli terhadap lingkungan masyarakat.

IV. MANFAAT MATA KULIAH

Hukum Acara dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara merupakan mata kuliah yang bersifat teoritis dan praktis, sebagai pendalaman dari mata kuliah lain dalam kelompok mata kuliah keahlian hukum, terutama Hukum Acara, khususnya substansi Tata Usaha Negara. Karena itu, Hukum Acara dan Praktek Peradilan Tata Usaha selain memberikan manfaat teoritis bagi mahasiswa, yakni mahasiswa dapat memahami seluk-beluk istilah dan pengertian-pengertian Hukum Acara dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara, sasa-asas Acara dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara, sejarah pengaturan Hukum Acara dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia; Pemeriksaan Persiapan dan Pemeriksaan di Sidang, Hukum Acara Formil dan Proses Dismisal, Alur Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara, cara penyelesaian cara mengajukan gugatan, pembuktian, cara melakukan upaya hukum, dan eksekusi.

V. PERSYARATAN MENGIKUTI MATA KULIAH

Mata kuliah Hukum Acara dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara merupakan mata kuliah Wajib Nasional yang ditawarkan pada semester 6 (enam). Berdasarkan pada Keputusan Rektor Universitas UdayanaNomor : 980/Un14.1.11/PP/2013 Tentang Buku Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum

(6)

4

Universitas Udayana Tahun 2013 dan Keputusan Rektor Universitas UdayanaNomor: 849/Un14.1.11/PP/2013 Tentang Kurikulum Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2013, Hukum Acara dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara dipersyarati dengan mata kuliah Hukum Administrasi Negara. Hal itu berarti bahwa, mahasiswa dapat memprogramkan untuk menempuh mata kuliah ini hanya apabila sudah menempuh mata kuliah Hukum Administrasi Negara dengan nilai yang dapat dikreditkan, yakni paling rendah nilai 1 (satu) atau D dengan penguasaan kompetensi kurang. Sebaliknya, mahasiswa yang sudah menempuh mata kuliah Hukum Administrasi Negara namun nilai yang diperoleh tidak dapat dikreditkan, yakni nilai 0 (Nol) atau E dengan penguasaan kompetensi gagal, tidak dapat menempuh mata kuliah Hukum Acara dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara.

VI. ORGANISASI MATERI

Materi kuliah terdiri dari beberapa pokok bahasan dan sub pokok bahasan, yang dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Pendahuluan:

a. Negara Hukum dan Peradilan Administrasi b. Penamaan UU No. 5 Tahun 1986

c. Sistematika UU No. 5 Tahun 1986 d. Pengerian HAPTUN

e. Tugas Hakim TUN

2. Karakteristik dan Prinsip-Prinsip HAPTUN

a. Karakteristik Perbedaan dan Persamaan antara HAPTUN dengan Peradilan Perdata

b. Prinsip-prinsip /Azas-Azas HAPTUN 3. Alur Penyelesaian Sengketa TUN

a. Upaya Administratif

b. Gugatan Langsung ke PTUN c. Hukum Acara Formil

4. Pemeriksaan Sengketa Tata Usaha Negara a. Pemeriksaan Persiapan

b. Proses Dismissal / Rapat Permusyawaratan c. Kompetensi

5. Pengajuan Gugatan a. Pengertian

(7)

5

b. Elemen-elemen dalam Surat Gugatan

c. Alasan Mengajukan Gugatan d. Pengajuan Gugatan

e. Perwakilan Dalam Sengketa TUN 6. Pembuktian dan Beban Pembuktian

a. Pembuktian b. Beban Pembuktian 7. Putusan a. Pengertian Putusan b. Putusan PTUN c. Isi Putusan d. Sususnan Putusan 8. Upaya Hukum dan Eksekusi

a. Upaya Hukum b. Eksekusi

VII METODE, STRATEGI, DAN PELAKSANAAN PROSES PEMBELAJARAN

Metode perkuliahan yang digunakan yaitu metode Problem Based Learning. Mahasiswa belajar (learning) menggunakan masalah sebagai basis pembelajaran. Dosen bukan mengajar (teaching), tetapi memfasilitasi mahasiswa belajar.

Pelaksanaan perkuliahan dikombinasikan dengan tutorial. Perkuliahan dilakukan oleh dosen penanggung jawab mata kuliah sebanyak 4 (empat) kali, untuk memberikan orientasi materi perkuliahan per-pokok bahasan. Sedangkan tutorial dilaksanakan sebanyak 10 (Sepuluh) kali. Untuk mengetahui hasil belajar peserta didik, dilakukan dengan penilaian terhadap tugas-tugas, ujian tengah semester (UTS), dan ujian akhir semester (UAS). Dengan demikan, keseluruhan tatap muka pertemuan berjumlah 16 kali.

Perkuliahan Pokok-pokok Bahasan dan sub-sub pokok bahasan dipaparkan dengan alat bantu papan tulis, power point slide, dan penyiapan bahan bacaan tertentu yang dipandang sulit diakses oleh mahasiswa. Mahasiswa sudah mempersiapkan diri (self study) sebelum mengikuti perkuliahan dengan mencari bahan materi, membaca, dan memahami pokok-pokok bahasan yang akan dikuliahkan sesuai dengan arahan (guidance) dalam Block Book. Perkuliahan dilakukan dengan proses pembelajaran dua arah, yakni pemaparan materi, tanya jawab, dan diskusi.

(8)

6

Mahasiswa mengerjakan tugas-tugas, baik discussion task, study task, maupun problem task sebagai bagian dari self study. Tugas-tugas dikerjakan sesuai dengan petunjuk yang terdapat pada setiap jenis tugas-tugas. Kemudian presentasi dan berdiskusi di kelas tutorial.

VIII. TUGAS-TUGAS

Mahasiswa diwajibkan untuk membahas, mengerjakan dan mempersiapkan tugas-tugas yang ditentukan di dalam Buku Ajar. Tugas-tugas terdiri dari tugas mandiri yang dikerjakan di luar perkuliahan, tugas yang harus dikumpulkan, dan tugas yang harus dipresentasikan.

IX. UJIAN-UJIAN DAN PENILAIAN

Ujian-ujian terdiri dari ujian tertulis dalam bentuk essay dalam masa tengah semester dan akhir semester. Ujian tengah semester (UTS) dapat diberikan pada saat tutorial atas materi perkuliahan nomor 1 dan 2. UTS dapat diganti dengan menggunakan nilai tutorial 1, 2, 3, 4 dan 5 dari perkuliahan 1 dan 2. Sedangkan ujian akhir semester ( UAS ) dilakukan atas materi perkuliahan 3 dan 4 tutorial 6, 7, 8, 9 dan 10 yang dilakukan pada pertemuan ke-16.

Penilaian meliputi aspek hard skills dan aspek soft skills. Penilaian hard skill dilakukan melalui tugas-tugas (TT), UTS, dan UAS. Penilaian soft skill meliputi penilaian atas kehadiran, keaktifan, kemampuan presentasi, penguasaan materi, argumentasi, disiplin, etika dan moral berdasarkan pada pengamatan dalam tatap muka selama perkuliahan dan tutorial. Nilai soft skill ini merupakan nilai tutorial yang dijadikan sebagai nilai tugas. Nilai Akhir Semester (NA) diperhitungkan menggunakan rumus seperti pada Buku Pedoman FH UNUD 2013, yaitu

(UTS + TT ) + 2 (UAS) 2

NA =

3

Sistem penilaian mempergunakan skala 5 (0-4) dengan rincian dan kesetaraan sebagai berikut :

Skala Nilai Penguasaan Keterangan dengan skala nilai

(9)

7

Huruf Angka Kompetisi 0-10 0-100

A B C D E 4 3 2 1 0 Sangat baik Baik Cukup Sangat kurang Gagal 8,0-10,0 7,0-7,9 5,5-6,4 5,0-5,4 0,0-4,9 80-100 70-79 55-64 50-54 0-49 X. BAHAN PUSTAKA

1. SF. Marbun, 1988, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta.

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

3. Abdul Kadir Muhamad, 1986, Huum Acara Perdata Indonesia, Alumni, Bandung. 4. Philipus M. Hadjon, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah

Mada University Press.

5. SF. Marbun, 2003, Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif di Indonesia, UII Press, Yogyakarta.

6. Zairin Harahap, 2001, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Raja Grapindo Persada, Jakarta.

7. Indroharjo, 1996, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Perdailan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta

8. AT. Hamid, 1986, Hukum Acara Perdata Serta Susunan Kekuasaan Pengadilan, PT. Bina Ilmu, Surabaya.

9.

XI JADWAL PERKULIAHAN Jadwal perkuliahan secara rinci sebagai berikut:

NO PERTEMUAN TOPIK KEGIATAN

1 I Pengertian, Karakteristik, Prinsip-prinsip Hukum Acara dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara

Perkuliahan 1

2 II Peristilahan, Pengertian, Hukum Acara dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara

(10)

8

3 III Karakteristik dan

Prinsip-prinsip Hukum Acara dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara

Tutorial 2

4 IV Alur Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara dan Pemeriksaan Sengketa Tata Usaha Negara

Perkuliahan 2

5 V Upaya Administratif dan

Gugatan Langsung ke PTUN

Tutorial 3

6 VI

Hukum Acara Formil

Tutorial 4

7 VII Pemeriksaan Persiapan, Proses Dismissal / Rapat Permusyawaratan dan Kompetensi

Tutorial 5

8 VIII UJIAN TENGAH SEMESTER

9 IX Pengajuan Gugatan, dan

Pembuktian

Perkuliahan 3

10 X Pengertian ,Elemen-elemen dalam Surat Gugatan, Alasan Mengajukan Gugatan

Tutorial 6

11 XI Pengajuan Gugatan dan

Perwakilan Dalam Sengketa TUN

Tutorial 7

12 XII Pembuktian dan Beban

Pembuktian

Tutorial 8 13 XIII Putusan, Upaya Hukum dan

Eksekusi

Perkuliahan 4

14 XIV Putusan Tutorial 9

15 XV Upaya Hukum dan Eksekusi Tutorial 10

(11)

9

PERTEMUAN I: PERKULIAHAN KE- 1

PENGERTIAN, KARAKTERISTIK, PRINSIP-PRINSIP HUKUM ACARA DAN PRAKTIK PERADILAN TATA USAHA NEGARA

1. Pendahuluan

Pada pertemuan pertama perkuliahan disajikan Bahan kajian ini memberikan pemahaman Pengertian, Karakteristik, Prinsip-prinsip Hukum Acara dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara kepada mahasiswa mengenai hakikat Hukum Acara dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara. Paparan materi diawali dengan pemahaman atas pengertian dan hubungan Negara hukum dengan peradilan administrasi, penamaan dan sistematika Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara serta dijelaskan tugas dari hakim Tata Usaha Negara dan persamaan dan perbedaan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dengan Hukum Acara Perdata. Selain itu, dideskripsikan juga substansi yang fundamental mengenai Prinsip atau Asas Hukum Acara dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara.

Capaian pembelajaran yang diharapkan dari pertemuan perkuliahan pertama adalah mahasiswa mampu menguraikan mengenai peristilahan, pengertian, asasasas dan sejarah terbentuknya Hukum Acara dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara. Selain itu, mahasiswa dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis mendiskusikan konsep-konsep, prinsi-prinsip, sistem, ruang lingkup, dan asas-asas dalam Hukum Acara dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara.

Materi perkuliahan Hukum Acara dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara ini sangat penting dipahami untuk memudahkan mahasiswa dalammenyelesaikan tugas-tugas tutorial dalam pertemuan kedua dan ketiga. Selain itu juga menghindari terjadinya pengulangan penjelasan terhadap konsep-konsep yang berulang kali diketemukan dalam bahan kajian pada perkuliahan kedua, ketiga dan keempat.

2. Negara Hukum dan Peradilan Administrasi

Indonesia sebagai Negara Hukum (Recht Staat) menghendaki segala tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada legalitasnya baik berdasarkan hukum tertulis maupun berdasarkan hukum tidak tertulis. Keabsahan negara memerintah ada yang mengatakan bahwa karena negara merupakan lembaga yang netral, tidak berpihak, berdiri atas semua

(12)

10

golongan masyarakat, dan mengabdi kepada kepentingan umum.1 Namun dalam praktik tidak jarang istilah-istilah “demi kepentingan umum” pembangunan untuk seluruh masyarakat, negara tidak mungkin mau mencelakakan warganya, serta ungkapan ucapan lain yang selalu dikumandangkan dalam pernyataan-pernyataan polituk pemerintah, yang dapat saja dipakai pembenaran terhadap penggunaan kekuasaan negara untuk memaksa seseorang atau kelompok warga agar bersedia mematuhi keinginan negara.2

Negara hukum pada dasarnya terutama bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat. Oleh karena itu menurut Philipus M Hadjon menyatakan bahwa perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintahan dilandasi oleh dua prinsip; prinsip hak asasi manusia dan prinsip negara hukum. Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan daripada negarahukum. Sebaliknya dalam negara totaliter tidak ada tempat bagi hak asasi manusia.3

Indonesia sebagai negara hukum tengah berusaha meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh warganya dalam segala bidang. Kesejahteraan itu hanya dapat dicapai dengan melakukan aktivitas-aktivitas pembangunan di segala bidang. Dala melaksanakan pembangunan yang demikian kompleks sifatnya tidak dapat dipungkiri bahwa aparatur pemerintah memainkan peranan yang sangat besar. Konsekuensi negative atas peran pemerintah tersebut adalah munculnya sejumlah penyimpangan-penyimpangan seperti penyalah gunaan wewenang (detournement

de pouvoir), pelampauan batas kekuasaan (exces de pouvoir), sewenang-wenang

(willekeur) dan sebagainya. Penyimpangan – penyimpangan oleh alat alat pemerintah itu mungkin dibiarkan begitu saja. Di samping itu, juga diperlukan sarana hukum untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat.

Perlindungan hukum terhadap rakyat atas tindakan pemerntah tidak dapat ditampung oleh peradilan umum yang ada. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu peradilan khusus yang dapat menyelesaikan masalah tersebut, yakni sengketa antara pemerintah dengan rakyat. Peradilan ini dalam tradisi recht staat disebut dengan peradilan administrasi. Begitu pentingnya peradilan administrasi ini untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat pencari keadilan atas tindakan pemerintah, maka UU 14/1970 kemudian diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman secara tegas menyebutkan.

1 Arief Budiman, 1966, Teori Negara Hukum; Negara Kekuasaan, dan Ideologi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.1

2 Iibid. h. 1

3 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, h. 71

(13)

11

3. Penamaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.

Terbentuknya Peradilan Tata Usaha Negara telah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Undang-Undang ini disamping diberi Nama Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, juga disebut Undang-Undang Peradilan Administrasi Negara (pasal 144). Terdapatnya dua Nama untuk peradilan ini merupakan hasil kompromi yang maksimal yang menunjukan pada suatu indikasi betapa sulit dan luasnya materi yang diharapkan dicakup oleh peradilan ini.

Pemberian suatu Nama membawa konsekuensi pada difinisi atau makna yang terkandung dalam undang-undang itu. Setiap difinisi yang dimuat dalam suatu undang-undang merupakan difinisi stipulatif artinya makna yang diberikan harus sesuai dengan makna yang diterapkan dalam UU itu.

Pengertian Tata Usaha Negara dalam undang-undang ini adalah Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Sedang yang dimaksud dengan

urusan pemerintah ialah kegiatan yang bersifat eksekutif. Bahwa oleh karena

Undang-Undang ini tidak merumuskan pengertian Administrasi Negara, maka pengertian Administrasi dalam Undang-Undang ini harus dianggap sinonim dengan pengertian Tata Usaha Negara, walaupun sesungguhnya kebanyakan teoritis masih bersilang pendapat mengenai hal ini. Timbulnya hal demikian disebabkan antara lain: teori administrasi negara baik normative maupun diskriptif berada dalam keadaan tidak jelas, ada perbedaan yang tajam antara administrasi negara dengan disiplin ilmupolitik sehingga sulit untuk mendifinisikan administrasi negara dan menetapkan batas-batasnya. Agensi-agensi administrasi adalah pembuat-pembuat kebijakan, dan urusan-urusan manajemen serta administrasi dalam administrasi negara sedang digantikan oleh kebijakan dan isyu-isyu politik.4

Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, disetujui Dewan Peradilan Rakyat menjadi Undang-Undang pada hari sabtu, 20 Desember 1986. Kemudian pada hari Senin 29 Desember 1986 diundangkan dalam Lembaran Negara tahun 1986, nomor 77. Tambahan Lembaran Negara nomor 3344 dengan Nama Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang, Peradilan tata Usaha Negara.

4. Sistimatika UU No. 5 Tahun 1986

(14)

12

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang “Peradilan Tata Usaha Negara”, mengatur 2 (dua) materi pokok yaitu:

a. Susunan dan kedudukan pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha negara.

b. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 diatur atau dimuat pada Bab IV, Pasal 53 sampai dengan Pasal 132, yang sistimatikanya sebagai berikut :

a. Gugatan (Pasal 53 s/d Pasal 67); b. Pemeriksaan ditingkat pertama :

- Pemeriksaan dengan Acara Biasa (Pasal 68 s/d Pasal 97); - Pemeriksaan dengan Acara Cepat (Pasal 98 s/d Pasal 99); c. Pembuktian (Pasal 100 s/d 107);

d. Putusan Pengadilan (Pasal 108 s/d Pasal 114);

e. Pelaksanaan Putusan Pengadilan (Pasal 115 s/d Pasal 119); f. Ganti Rugi (Pasal 120);

g. Rehabilitasi (Pasal 121);

h. Pemeriksaan di Tingkat Banding (Pasal 122 s/d 130); i. Pemeriksaan di Tingkat Kasasi (Pasal 131);

j. Pemeriksaan Peninjauan Kembali (Pasal 132).

5. Pengertian HAPTUN

Istilah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara masih terdapat peristilahan lain dengan maksud yang hampir sama. Misalnya “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Pemerintahan”, “Hukum Acara Peradilan Administrasi Negara”, dan “Hukum Acara Peradilan Administrasi”. Sjachran Basah lebih cenderung untuk memilih dan menggunakan istilah “Hukum Acara Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Administrasi (HAPLA), karena disitu termuat pengertian yang lebih luas5.

Menurut Rozali Abdulah, Hukum Acara PTUN adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum Tata Usaha Negara (Hukum Administrasi Negara)6. Dengan kata lain hukum yang mengatur tentang cara-cara

5 Scahran Basah, 1989, Hukum Acara Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Administrasi (HAPLA), Rajawali Pers, Jakarta, h. 1

6 Rozali Abdulah, 1994, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cetakan Ketiga, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 1-2.

(15)

13

bersengketa di Peradilan Tata Usaha Negara serta mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak yang terkait dalam proses penyelesaian sengketa tersebut.

Disamping itu menurut Abdulkadir Muhammad, Istilah “beracara” dapat dipakai dalam arti luas dan sempit.

1) Dalam arti luas, beracara meliputi segala tindakan hukum di luar maupun di dalam sidang pengadilan, yang meliputi :

a) Tindakan persiapan, yaitu tindakan untuk mempersiapkan segala sesuatu guna keperluan sidang pemeriksaan, yang antara lain meliputi :

- Cara mengajukan gugatan kemuka pengadilan; - Memanggil pihak-pihak yang bersengketa;

- Pencatatan gugatan dalam daftar perkara oleh Panitera; - Menentukan hari, jam, dan tempat persidangan.

b) Tindakan beracara sesungguhnya, yaitu tindakan mengenai jalannya siding pengadilan atau pemeriksaan, dari siding pertama sampai di jatuhkannya putusan Hakim.

c) Tindakan pelaksanaan keputusan hakim, yaitu tindakan menjalankan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan tetap.

2) Dalam arti sempit, yaitu meliputi tindakan beracara sesungguhnya7. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara hanyalah merupakan salah satu bagian saja dari jenis hukum acara administrasi/tata usaha, karena ada jenis lainnya yang termasuk ke dalamnya yaitu, “Hukum Acara peradilan Semu” (quasi) atau “administratief beroep”

6. Tugas Hakim PTUN.

Dalam berbagai literature dinyatakan, bahwa tugas Hakim adalah menyelesaikan masalah-masalah yang termasuk:

1) Jurisdictio Contentiosa, yaitu kewenangan mengadili pihak-pihak yang bersengketa dalam siding pengadilan untuk kemudian memberikan suatu keputusan pengadilan.

2) Jurisdictio Voluntaria, yaitu suatu kewenangan memeriksa

perkara yang tidak bersifat mengadili, melainkan bersifat administrative saja. Misalnya, mengesahkan akte kelahiran.

(16)

14

Hakim PTUN hanyalah meliputi tugas yang termasuk “Jurisdictio Contentiosa” saja. Hakim PTUN bertugas memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan sengketa TUN, yang didasarkan kepada adanya gugatan dari pihak yang satu kepada pihak yang lainnya. Jadi disini paling tidak ada dua pihak yang bersengketa.

Dalam menjalankan tugasnya itu, Hakim PTUN harus berperan aktif, karena cepat atau lambatnya penyelesaian sengketa TUN tidak semata-mata bergantung kepada kehendak para pihak, melainkan Hakin harus selalu memperhatikan “kepentingan umum” yang tidak boleh terlalu lama dihabmat oleh sengketa tersebut, oleh kerena itu Hakim dalam proses pemeriksaan sengketa TUN adalah “aktif” dan menentukan serta memimpin jalannya siding agar pemeriksaan tidak berlarut-larut (Pasal 80 UU. No. 5/1986 dan penjelasannya).

Keaktifan Hakim PTUN dapat dilakukan sebelum dimulainya proses persidangan, yakni pada waktu penggugat mengajukan gugatannya, yaitu:

1) Memberikan nasehat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatannya dan agar melengkapi gugatannya tersebut;

2) Hakim dapat meminta penjelasan kepada Badan/pejabat TUN yang bersangkutan demi lengkapnya data yang diperlukan untuk gugatan penggugat;

3) Melalui panitra Pengadilan, memberikan bantuan merumuskan gugatan dalam bentuk tertulis kepada mereka yang buta aksara. (Pasal 63 dan Penjelasan U.U. No. 5/1986).

Keaktifan Hakim ini adalah untuk mengimbangi dan mengatasi kesulitan penggugat, karena mengingat bahwa kedudukan penggugat dengan Badan/Pejabat TUN tidaklah sama (khusus angka 2 diatas).

Keaktifan Hakim yang nampaknya memihak penggugat adalah didasarkan pada dua ha, yaitu:

1) Pada dasrnya perkara itu belum secara resmi dibawa kemuka persidangan. Setelah perkara itu dengan resmi di bawa kemuka pengadilan, maka hakim tidak boleh memihak. Dalam persidangan Hakim harus mendengar keterangan kedua belah pihak (audi et

alteram partem) dengan pembuktiannya masing-masing.

2) Berkaitan dengan adanya asas dimana peradilan mengutamakan adanya perlindungan kepada rakyat pencari keadilan, yang akan diuraikan pada pokok bahasan berikutnya.

7. Karakteristik, Prinsip-prinsip Hukum Acara dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara

(17)

15

Ada sementara kalangan yang berpendapat bahwa hukum acara peradilan tata usaha negara tidak berbeda dengan hukum acara perdata. Pendapat itu perlu mendapat perhatian, karena menyamakan begitu saja antara hukum acara peradilan tata usaha negara dengan hukum acara perdata merupakan satu kesalahan.

Paling tidak ada beberapa persamaan dan perbedaan antar hukum acara peradilan tata usaha negara dengan acara perdata8.

a. Karakteristik Perbedaan dan Persamaan antara HAPTUN dengan Peradilan Perdata

1) Perbedaannya antara lain :

- Hakim Tata Usaha Negara tidak usah membatasi diri pada bagian yang dipertentangkan dari suatu keputusan, akan tetapi dapat menguji seluruh keputusan atas keabsahannya, juga lepas dari motivasi yang mengajukan gugatan;

- Kemampuan adanya: “reformitio in peius” (mengubah vonis yang merugikan penggugat/pembanding), bisa juga suatu pembatalan yang bersifat hukum administrasi suatu keputusan pada akhirnya mengarah ke suatu hasil yang lebih negative bagi seorang penggugat dibandingkan dengan yang dihasilkan keputusan yang asli.

- Hakim Tata Usaha Negara hanya dapat membatalkan suatu keputusan. Dalam hal ini penguasa harus mengambil suatu keputusan baru dengan memperhatikan putusan hakim. Bisa juga dengan keputusan baru itu mengenai isinya sama yang dibatalkan namun hanya lebih baik dimotivasi dan atau lebih cermat dipersiapkan.

- Tindakan dari penguasa adalah sentral dan bukan (juga) tindakan dari penggugat (banding)

- Hak gugat dari pihak ketiga dapat dimungkkinkan dari sifat hukum positif yang melandasi penetapan penguasa.

- Pihak-pihak tidak bisa menentukan bersama apakah dapat dikatakan ada suatu keputusan. Hal itu ditentukan sendiri oleh hukum positif9.

8 Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,h. 151-188

9 Philipus M. Hadjon dkk, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Bulak Sumur, Yogyakarta, h. 308-309.

(18)

16

2) Persamaannya antara lain :

- Pengajuan Gugatan

Pengajuan gugatan menurut HAPTUN diatur dalam Pasal 54 UU PTUN, sedangkan menurut hukum acara perdata diatur alam Pasal 118 HIR (Herzein Indonesis Reglement).

Berdasarkan pasal-pasal tersebut baik hukum acara TUN maupun hukum acara perdata sama-sama menganut asas bahwa gugatan diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau tempat tinggal tergugat. Apabila tergugat lebih dari satu dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum pengadilan, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu tergugat.

- Isi Gugatan

Persyaratan mengenai isi gugatan menurut hukum acara PTUN diatur dalam Pasal 56 UU PTUN, sedangkan menurut hukum acara perdata diatur dalam pasal 8 Nomor 3 Rv (reglement op

de burgelijke Rechtsvordering).

Berdasarkan pasal-pasal tersebut persyaratan mengenai isi gugatan pada pokoknya harus memuat: pertama, identitas para pihak (penggugat dan tergugat); kedua, dalil-dalil kongkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alas an-alasan daripada tuntutan (fundamentum petendi) yang bisanya terdiri dari dua bagian yaitu: bagian-bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwanya dan bagian yang menguraikan tentang hukumnya, ketiga, petititum atau tuntutan ialah apayang oleh penggugat atau diharapkan agar diputuskan oleh hakim.

- Pendaftaran Perkara.

Pendaftaran perkara menurut hukum acara PTUN diatur dalam Pasal 59 UU PTUN, sedangkan dalam hukum acara perdata diatur dalam pasal 121 HIR.

Berdasarkan pasal-pasal tersebut, maka gugatan diajukan ke pengadilan yang berwenang baiksecara kompetensi absolute maupun relative. Dalam mengajukan gugatn, penggugat diwajibkan membayar uang muka biaya perkara.

(19)

17

- Penetapan hari sidang menurut HAPTUN diatur dalam pasal 59 ayat (3) dan pasal 64 UU PTUN, sedangkan menurut hukum acara perdata diatur dalam pasal 122 HIR.

- Berdasarkan pasal-pasal tersebut, maka setelah surat gugatan ddaftarkan dalam buku register perkara dan telah dianggap cukup lengkap, pengadilan menetukan hari sidang di pengadilan. Dalam menentukan hari sidang ini, hakim harus mempertimbangkan jarak antara tempat tinggal para pihak yang berperkara dengan pengadilan tempat persidangan.

- Dalam hukum acara TUN, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah gugatan dicatat, hakim menentukan hari, jam, tempat persidangan, dan pemanggilan para pihak unutuk hadir. - Pemanggilan Para Pihak

Pemanggilan para pihak menurut hukum acara PTUN diatur dalam Pasal 65 dan Pasal 66 UU PTUN, sedangkan menurut hukum acara perdata diatur dalam Pasal 121 ayat (1) HIR, Pasal 390 ayat (10, dan Pasal 126 HIR.

Berdasarkan pasal-pasl tersebut, pemanggilan para pihak dilakukan setelah gugatan dianggap sempurna dan sudah dicatat.

Dalam hukum acara TUN, jangka waktu antara pemanggillan dan hari sidang tidak boleh kurang dari 6(enam) hari, kecuali dalam hal sengketa tersebut harus diperiksa dengan acara cepat. Panggilan dikirimkan dengan surat tercatat. Apabila salah satu pihak berada atau berkedudukan di luar negeri, maka ketua pengadilan melakukan pemanggilan meneruskan surat penetapan hari sidang dan salinan gugatan kepada Departemen Luar Negeri, selanjutnya departemen Luar Negeri meneruskan kepada perwakilan RI di wilayah tempat yang bersangkutanberkedudukan. Dalam jangka waktu 7(tujuh) hari setelah pemanggilan itu petugas Perwakilan RI tersebut wajib memberikan laporan kepa da pengadilan.

- Pemberian Kuasa

Pemberian kuasa oleh kedua belah pihak menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasal 57 UU PTUN, sedangkan menurut hukum acara perdata diatur dalam pasal 123 ayat (1) HIR.

(20)

18

Berdasarkan pasal-pasal tersebut, maka apabila dikehendaki, para pihak dapat diwakilkan atau didampingi oleh seorang kuasa beberapa kuasa. Pemberian kuasa ini dapat dilakukan sebelum perkara diperiksa harus secara tertulis sengan membuat surat kuasa khusus. Dengan pemberian surat kuasa ini, sipenerima kuasa bisa melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan jalannya pemeriksaan perkara untuk dan atas nama si pemberi kuasa. Sedangkan pemberian kuasa yang dilakukan di persiangan biisa dilakukan secara lisan.

- Hakim Majelis

Pemeriksaan perkara dalam hukum acara PTUN dan hukum acar perdata dilakukan dengan hakim majelis (tiga orang hakim), yang terdiri atas satu orang bertindak selaku hakim ketua dan dua orang lagi bertindak selaku hakim anggota (pasal 68 Uu PTUN).

Namun, dalam hal-hal tertentu dimungkinkan untuk menempuh prosedur pemeriksaandengan hakim tunggal (unun judex). Dalam hukum acara PTUN hal ini dapat dilakukan dalam hal pemeriksaan dengan acara cepat (pasal 99 ayat 1). Dalam hukum acra perdata baik terhadap perkara deklatoir maupun kontradiktoir pemeriksaan dengan hakim tunggal ini tetap sah10. - Persidangan Terbuka Untuk Umum

Sidang pemeriksaan perkara dipengadilan pada asasnya terbuka untyk umum, dengan demikian setiang orang dapat untuk hadir dan mendengarkan jalannya pemeriksaan perkara tersebut. Ketentuan ini dapat dilihat dalam pasal 19 dan pasal 20 UU No 4 Tahun 2004. Dalam hukum acara PTUN ketentuan ini diatur dalam Pasal 70 ayat (1) UU PTUN, sedangkan dalam hukum acara perdata diatur dlam Pasal 179 ayat (1) HIR Apabila putusan diucapkan dalam sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut hukum. Kecuali, hakim memandang bahwa perkara tersebut menyangkut ketertiban umum, keselamatan

10 Soedikno Mertokusumo, 1985, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Kedua, Cetakan Pertama, Penerbit Liberty, Yogyakarta, h.23

(21)

19

negara, atau alasan-alasan penting lainnya yang dimuat dalam berita acara, maka hakim dapat menyatakan persidangan tertutup untuk umum. Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 70 ayat (2) UU PTUN dan Pasal 29 Reglement op de Rechtelijke

Organisatie (RO).

- Mendengar Kedua Belah Pihak

Dalam pasal 5 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004 disebut bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang. Denhan demikian ketentuan pasal ini mengandung asas kedua belah pihak haruslah diberlakukan sama, yang memihak, dan kedua belah piahk didengar dengan adil. Hakim tidak diperkenankan hanya mendengarkan atau memperhatikan keterangan salah satu pihak saja (audi et

alteram partem).

Asas tersebut bukan termasuk pengajuaan alat bukti karena ada kalanya para pihak atau saksi adalah bisu, tuli, tidak dapat menulis, atau tidak dapat berbahasa Indonesia. Dalam hal yang demikian ini, maka untuk kelancaran pemeriksaan perkara dalam jalannya persidangan hakim dapat mengangkat orang-orang sebagai juru bahasa, juru tulis, dan atau juru ahli bahasa. Dalam HAPTUN, penentuan ini diatur dalam pasal 92 dan 93 UU PTUN.

- Pembuktian

Baik hukum acara PTUN maupun hukum acra perdata sama-sama menganut asas bahwa beban pembuktian ada pada kedua belah pihak, hanya karna yang mengajukan gugatan adalah penggugat, maka penggugatlah yang mendapatkan kesempatan pertama untuk membuktiknnya. Sedangkan kewajiban tergugat untuk membuktikannya adalah dalam rangka membantah bukti yang diajukan oleh penggugat dengan mengajukan bukti yang lebih kuat (pasal 100 s/d pasal 107 UU PTUN, dan pasal 163 dan pasal 164 HIR).

- Pelaksanaan Putusan Pengadilan.

Pelaksanaan outusan pengadilan dilkukan setelah adanya putusan. Dan putusan pngadilan yang dapat dilaksanakan adalah terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 115 UU PTUN), yang

(22)

20

pelaksaaannya dilakukan atas perintah ketua pengadilan yang mengdilinya dalam tingkat pertama (pasal 116 UU PTUN, pasal 195 HIR).

Apabila pihak yang dikalahkan tidak mau secara sukarela memnuhi isi putusan yang dijatuhkan, maka pihak yang dimenangkan dapat mengajukan permohonan pelaksaan putusan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan itu dalam tingkat pertama (pasal 116 UUPTUN, pasal 196 dan pasal 197 HIR).

8. Prinsip-Prinsip / Asas-asas HAPTUN

Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa, barangkali tidak berlebihan apabila dikatakan, bahwa asas hukum ini merupakan jantungnya peraturan hukum. Kita menyebutnya demkian oleh karena, pertama, merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan pada asas-asas tersebut. Kecuali disebut landasan, asas hukum inilayaknya disebut sebagai alasan lahirnya peraturan hukum, atau merupakan ratio legis dariperaturan hukum. Selanjutnya beliau menambahkan bahwa dengan adnya asas hukum, hukum itu bukan sekedar kumpulan peraturan-peraturan, maka hal itu disebabkan oleh karena asas itu mengandung nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan etis11.

Paul scholten sebaimana dikutip oleh Bruggink memberikan difinisi asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang system hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya12.

Dengan didasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka secara garis besarnya kita dapat menggali beberapa asas hukum yang terdapat dalam hukum acara peradilan tata usaha negara.

1) Asas Praduga rechmatige (vermoeden van rehmatigheid – praesumtio

iustae causa). Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan

penguasa/pemerintah selalu dianggap Rechmatig benar sampai ada pembatalan. Dengan asas ini gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat (pasal 67 ayat (1) UU No 5 tahun 1986).

11 Satjipto Raharjo, 1986, Ilmu Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, h. 85

12 J.J.H. Bruggink, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 119

(23)

21

2) Asan Keaktifan Hakim. Sebelum dilakukannya pemeriksaan terhadap pokok sengketa hakim melakukan rapat pemusyawaratan untuk menetapkan apakah gugatan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan (pasal 62 UU PTUN) dan pemeriksaan persiapan untuk mengetahui apakah gugatan penggugat kurang jelas, sehingga penggugat perlu untuk melengkapinya (pasal 63 UU PTUN). Dengan demikian asas ini memberikan peran terhadap hakim dalam proses persidangan guna memperoleh suatu kebenaran materiil dan untuk itu UU PTUN mengarah pada pembuktian bebas. Bahkan, jika dianggap perlu untk mengatasi kesulitan penggugat memperoleh informasi atau data yang diperlukan, maka hakim dapat memerintahkan badan atau pejabat TUN sebagai pihak tergugat untuk memberikan informasi atau data yang diperlukan itu (pasal 85 UU PTUN).

3) Asas Pembuktian Bebas. Hakim yang menetapkan beban pembuktian .hal ini berbeda dengan ketentuan pasal 1865 BW. Asas ini dianut pasal 107 UU No 5/86 hanya saja masih dibatasi dengan ketentuan passal 100.

4) Asas Erga Omnes. Sengketa TUN adalah sengketa hukum public. Dengan demikian putusan pengadilan TUN berlaku bagi siapa saja tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa.

(24)

22

9. Penutup

Paparan materi perkuliahan di atas pokok-pokoknya akan dikemukakan kembali dalam rangkuman untuk memudahkan mahasiswa memahami materi secara komprehensip. Kemudian untuk mengetahui capaian pembelajaran, maka akan diberikan latihan yang harus dikerjakan oleh mahasiswa.

Rangkuman

Pada perkuliahan pertama ditunjukkan adanya istilah Negara Hukum dan Perdailan Administrasi. Indonesia merupakan Negara hokum yang menghendaki segala tindakan atau perbuatan penguasa berdasarkan hokum yang jelas atau legalitas yang baik berdasarkan hokum tertulis maupun tidak tertulis. Tujuan dari Negara hokum adalah melindungi rakyatnya, dalam perlindungan hokum bagi rakyat dilandaskan dengan dua prinsip yaitu prinsip hak asasi manusia dan prinsip Negara hokum. Sebagai Negara hokum idonesia perlu memiliki peradilan yang menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan rakyat. Yang dimaksud peradilan ini adalah peradilan administrasi.

Pembentukan Undang-undang Peradilan tata usaha Negara tertuang kedalam undang Nomor 5 Tahun 1986, selain disebut sebagai Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara juga disebut sebagai Undang-Undang-Undang-Undang Peradilan administrasi Negara.

Dalam perkuliahan ini juga dijelskan pengertian Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara yang memiliki banyak peristilahan diantaranya Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Pemerintah, Hukum Acara Administrasi Negara, Hukum Acara Peradilan Administrasi, selain itu juga dibahas mengenai tugas hakim yang dibagi menjadi dua yaitu tugas dalam jurisdicio contentiosa, dan jurisdiction voluntaria.

Peradilan Tata Usaha Negara memiliki karakteristik yang hamper sama dengan Peradilan Perdata dalam bahasan ini akandijelaskan persamaan dan dan perbedaan kedua peradilan tersebut. Peradilan Tata Usah Negara memiliki prinsip-prinsip dan azas-azas umum peradilan dan memiliki beberapa prinsip-prinsip dan azas khusus Peradilan Tata Usaha negara diantaranya azas praduga rechmatig, azas keaktifan hakim, azas pembuktian bebas, azas erga omnes

(25)

23

1. Coba saudara jelaskan dimana letak perbedaan antara tugas hakim PTUN

dengan tugas hakim di Peradilan Umum.

2. Dengan adanya asas keaktifan Hakim, apakah Hakim PTUN dalam melaksanakan tugasnya tidak melanggar asas audi et alteram partem. jelaskan

3. Adakah perbedaan dan persamaan antra peradila TUN dengan peradilan perdata

4. Coba saudara lengkapi asas-asas yang sekiranya terkait dengan asas-asas PTUN selain yang telah dijelaskan tersebut diatas!

5. Coba saudara jelaskan, makna yang terkandung dari masing-masing asas tersebut.

6. Coba saudara jelaskan ruang lingkup Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.

7. Jelaskan dasar pemikiran dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara bila dikaitkan dengan konteks Negara Hukum ( recht staat)

8. Jelaskan mengapa UU No. 5 Tahun 1986 disamping disebut dengan nama Peradilan Tata Usaha Negara, juga dinamakan Peradilan Administrasi Negara.

Bahan Pustaka

1. SF. Marbun, 1988, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta. 2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun

2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 3. Abdul Kadir Muhamad, 1986, Huum Acara Perdata Indonesia, Alumni,

Bandung.

4. Philipus M. Hadjon, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press.

5. SF. Marbun, 2003, Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif di Indonesia, UII Press, Yogyakarta.

6. Zairin Harahap, 2001, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Raja Grapindo Persada, Jakarta.Indroharjo, 1996, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Perdailan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta

7. AT. Hamid, 1986, Hukum Acara Perdata Serta Susunan Kekuasaan Pengadilan, PT. Bina Ilmu, Surabaya.

(26)

24

PERTEMUAN II: TUTORIAL KE-1

PERISTILAHAN, PENGERTIAN, HUKUM ACARA DAN PRAKTIK PERADILAN TATA USAHA NEGARA

1. Pendahuluan

Pada kegiatan tutorial 1, mahasiswa bediskusi di dalam kelompok atas tugas Discussion task yang mengilustrasikan materi perkuliahan kesatu terutama mengenai peristilahan, dan pengertian Hukum Acara dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan demikian diharapkan mahasiswa dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis mampu:

a. Menjelaskan latar belakang perobahan UU No. 5 tahun 1986 oleh perubahan pertama UU N0.9 tahun 2004 dan dirobah lagi oleh perubahan kedua UU No.51 tahun 2009.

b. Mengidentifikasi dan menunjukkan pernyataan-pernyataan yang bermakna istilah Hukum Acara, Peradilan Tata Usaha Negara, Negara Hukum, Sejarah Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia dan pentingnya Peradilan Tata Usaha Negara.

2.

Tugas: Discussion Task – Study Task

RUU tentang Peradilan Tata Usaha yang pernah diajukan dan dibahas oleh DPR yaitu RUU Th 1982, namun No 14 Th 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kahakiman. Sebagai pelaksana, sudah barang tentu RUU ini harus sesuai dengan UU pokoknya. Karena itu, pemerintah beranggapan judulnya tidak bisa lain dari yang telah ditetapkan dalam UU pokoknya. Namun usul DPR tersebut telah diakomodasi dalam batang tubuhnya yang menyebutkan bahwa UU Peradilan Admistrasi Negara. Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 yang terakhir telah direvisi dengan UU No. 4 Tahun 2004 tantang Kekuasaan Kehakiman menentukan adanya 4 lingkungan peradilan yaitu :

1. Peradilan Umum 2. Peradilan Agama 3. Peradilan Militer

4. Peradilan Tata Usaha Negara

Masing-masing lingkungan peradilan memiliki wewenang mengadili badan–badan peradilan tingkat pertama dan banding, yang semuanya berpuncak ke Mahkamah Agung RI. Untuk melaksanakan ketentuan pasal 10 UU No. 14 Th 1970 Jo. UU No. 4 Th 2004, maka telah melalui proses panjang pada tanggal 29 Desember 1986 dibentuk UU No. 5 Th 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (LN 1986 No. 77 dan TLN No. 3344).

(27)

25

Setelah sempat ditidurkan selama 5 tahun sejak diundangkan, UU No. 5 Th 1986 baru diterapkan secara efektif setelah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Th 1991 tentang penerapan UU No. 5 Th 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (LN 1991 No. 8) pada tanggal 14 Januari 1991. Yang kemudian dengan adanya tuntutan reformasi dibidang hukum, telah disahkan UU No. 9 Th 2004 tentang Perubahan UU No. 5 Th 1986. Demikian secara ringkas sejarah lahirnya UU PERATUN

Sumber:http://iusyusephukum.blogspot.co.id/2013/09/pengertian-tujuan-dan-sejarah-peradilan.html

3.

Penutup

Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi dan dikumpulkan di akhir tutorial.

(28)

26

PERTEMUAN III: TUTORIAL KE-2

KARAKTERISTIK DAN PRINSIP-PRINSIP HUKUM ACARA DAN PRAKTIK PERADILAN TATA USAHA NEGARA

1. Pendahuluan

Pertemuan ketiga adalah kegiatan tutorial kedua. Kegiatan tutorial ini merupakan pendalaman atas materi karakteristik dan prinsip-prinsip atau asas-asas hukum Acara dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara. Mahasiswa mendiskusikan dalam kelompok mengenai karakteristik dan prinsip-prinsip atau asas-asas hukum Acara dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara.

Setelah selesai tutorial ini, diharapkan mahasiswa dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis mampu menjelaskan karakteristik dan prinsip-prinsip atau asas-asas hukum Acara dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara yang dikaitkan dengan kasus-kasus yang actual terjadi di masyarakat.

2. Tugas: Discussion Task – Study Task

Diskusikan dan buatlah karakteristik pembeda Hukum Acara dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara dengan Peradilan yang lainnya dan sebut dan jelaskan prinsip-prinsip atau asas-asas hukum Acara dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara.

3. Penutup

Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi dan dikumpulkan di akhir tutorial.

(29)

27

PERTEMUAN IV: PERKULIAHAN KE-2

ALUR PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA DAN PEMERIKSAAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA

1. Pendahuluan

Materi perkuliahan alur penyelesaian sengketa tata usaha Negara terdiri dari upaya administrative, gugatan langsung ke Pengadilan Tata Usaha Negara, dan hukum acara formil, sedangkan perkuliahan pemeriksaan sengketa tata usaha Negara terdiri dari Pemeriksaan Persiapan, Proses Dismissal / Rapat Permusyawaratan serta Kompetensi.

Capaian pembelajaran yang ingin diwujudkan dengan perkuliahan alur penyelesaian sengketa tata usaha Negara dan pemeriksaan sengketa tata usaha Negara ini adalah mahasiswa dapat mengetahui alur penyelesaian sengketa Negara yang dimulai dari upaya administrative sebagai langkah awal untuk menyelesaikan sengketa dan dilanjutkan dengan melakukan gugatan langsung kepengadilan tata usaha Negara apabila upaya administrative menemui kendala atau tidak bisa menyelesaikan permasalahan, hukum acara formil terdiri dari acara biasa, acara cepat, dan acara singkat yang merupakan cara pemeriksaan di pengadilan tata usah Negara, serta kompetensi yang akan diperiksa apakah gugatan tersebut sudah sesuai dengan kompetensi relative maupun kompetensi absolute.

Materi perkuliahan alur penyelesaian sengketa tata usaha Negara dan pemeriksaan sengketa tata usaha Negara ini sangat penting dipahami untuk memudahkan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-tugas tutorial dalam pertemuan ketiga dan keempat. Selain itu, materi ini memberikan dasar-dasar pengajuan gugatan yang diberikan dalam perkuliahan ketiga.

2. Alur Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara

Dalam upaya penyelesaian sengketa TUN menurut Undang-undang No 5 tahun 1986 dapat ditempuh dengan dua cara yaitu: pertama, melalui jalur upaya administrative dan kedua melalui gugatan langsung ke PTUN.

a. Upaya Administratif

Istilah yang dipergunakan dalam tulisan ini adalah Upaya administrative, karena istilah upaya administrative, telah baku dipergunakan dalam Undang-Undang No 5 tahun 1986.hal ini peru ditegaskan lebih dahulu, sebab dalam literature hukum administrasi ditemukan beberpaistilah yang lazim digunakan untuk menyebut islilah ini. Antara lain administratieve beroep, quasi rechtspraak atau peradilan administrasi semu.

Munculnya berbagai istilah tersebut dikalangan para sarjana, disebabkan mereka membahas dan merumuskannya dari aspek dan penekannanya masing-masing. AM Donner dalam bukunya Nederlans Bestuursrecht sebagaimana dikutif

(30)

28

oleh Sjachran Basah menggunakan istilah adminstratieve beroep, sebab terjadinya

administrative beroep karena terdapatnya permintaan banding (beroep), kepada

instansi pemerintah yang lebih tinggi yang masih dalam jenjang vertical terhadap tindakan pemerintah. Pemeriksaan dilakukan dengan tindak memisahkan segi kebijaksanaan dan segi hukum13.

Lain halnya menurut pendapat Rochmat Soemitro, tidak sependapat dengan penggunaan kata beroep pada administratieve beroep, sebab kata

administratieve beroep dalam Bahasa Indonesia hanya dapat diterjemahkan dengan

kata keberatan. Keberatan dapat diajukan kepada instansi yang mengeluarkan keputusan atau instansi yang secara vertical lebih tinggi. Keberatan mungkin terdapat disegala bidang dan disetiap instansi yang berwenang mengambil keputusan.

Tidak setiap keputusan tata usaha negara (KTUN) dapat langsung digugat melalui peradilan tata usaha negara. Terhadap KTUN yang mengenal adanya upayaadministrative disyaratkan untuk menggunakan saluran peradilan tata usaha negara.

Tentang hal ini, pasal 48 UU no 5 tahun 1986 menyatakan:

1) Dalam hal suatu badan atau pejabat tata usaha negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administrative sengketa tata usaha negara tertentu, maka sengketa tata usaha negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administrative yang tersedia.

2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, jika seluruh upaya administrative yang bersangkutan telah digunakan.

Untuk penyelesaian melalui upaya administrative ini dikenal adanya 2 (dua) macam upaya administrative, yaitu:

1) Banding administrative yaitu apabila penyelesaiannya itu dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan.

Contoh banding administrative antara lain:

a) Keputusan Majelis Pertimbangan Pajak berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Staatsblad 1912 Nr.29 (regeling van het beroep in

13 Sjachran Basah, 1985, Eksistensi Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, h. 23

(31)

29

belastings zaken) jo. Undang-undang no. 5 tahun 1959 ttg

perubahan “regeling van het beroep in balasting zaken”. Namun dengan dikeluarkannya Uu no 14 tahun 2002 tentang pengadilan Pajak maka MPP ini dinyatakan tidak berlaku lagi.

b) Keputusan Badan Pertimbangan Kepegawaian berdasarkan peraturan Pemerintah No 8 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri sipil.

2) Prosedur Keberatan: yaitu penyelesaian Keputusan tata Usaha Negara tersebut harus dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan itu.

Contoh Prosedur Keberatan:

Pasal 25 UU No 6 tahun 1983 tentang ketentuan-ketentuan Umum Perpajakan.

Dari uraian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa beberapa ciri dari upaya administrative antara lain:

a) Yang memutuskan adalah BTUN yang secara hirarkis lebih tinggi dari pada tata Usaha Negara yang memberikan keputusan pertama. Atau Badan Tata Usaha Negara lain.

b) Badan Tata Usaha Negara yang memeriksa Banding Administratif atau pernyataan keberatan itu dapat merubah dan atau mengganti keputusan Badan Tata Usaha Negara yang pertama.

c) Penilaian terhadap keputusan Tata Usaha negara pertama itu dapat dilakukan secara lengkap, baik dari segi rechmatigeheid (penerapan hukum) maupun dari segi doelmatigeheid (kebijaksanaan). Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak saja dinilai berdasarkan norma-norma yang zakelijk, tetapi kepatutan yang berlaku dalam masyarakat harus merupakan bagian penilaian atas keputusan itu. d) Perubahan-perubahan keadaan sejak saat diambilnya keputusan

oleh Badan Tata Usaha Negara pertama dan perubahan-perubahan keadaan yang terjai selama proses pemeriksaan Banding berjalan harus diperhatikan (ex tunc dan ex munc)14.

Bagan Alur Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara:

Ps 51(1) Ps. 52 (3)

14 SF. Marbun, 1998, Peradilan Tata Usaha Negara, Penerbit. Liberty, Yogyakarta, h. 80

PT TUN

(BANDING)

PT TUN

(TK I)

(32)

30

Ps 50 Ps. 48

Dengan SE Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1991 tanggal 9 Juli 1991 dinyatakan bahwa dalam hal upaya administrative yang tersedia hanya berupa “keberatan”, gugatan diajukan ke pengadilan TUN, tidak ke PT TUN.

b. Gugatan Langsung ke PTUN

Penggugat pada waktu mengajukan gugatan ke PTUN diwajibkan membayar uang muka biaya perkara, yang jumlahnya ditaksir oleh Panitera Pengadilan (pasal 59 ayat 1) “Uang muka biaya perkara” adalah biaya yang dibayar lebh dahulu sebagai panjar oleh pihak penggugat terhadap perkiraan biaya perkara yang diperlukan dalam proses berperkara. Biaya perkara itu misalnya biaya kepaniteraan, biaya materai, biaya saksi/saksi ahli, biaya ahli bahasa, biaya pemeriksaan di tempat lain dari ruang sidang dan biaya lainnya yang diperlukan.

Bilamana perkaranya sudah selesai, maka uang muka biaya perkara tersebut akan diperhitungkan kembali. Maksudnya adalah:

1) Dalam hal penggugat kalah dalam perkara:

Apabila ternyata masih ada kelebihan uang muka biaya perkara, maka uang muka tersebut akan dikembalikan, tetapi apabila uang muka itu tidak mencukupi, maka penggugat wajib membayar kekurangan tersebut.

2) Dalam hal penggugat menang dalam perkara :

Uang muka biaya perkara itu dikembalikan seluruhnya kepada penggugat, dan biaya perkara dibebankan kepada tergugat sebagai pihak yang kalah.

Meskipun tampaknya penggugat yang membayar uang muka biaya perkara, namun sebenarnya HAPTUN menggunakan prinsip “siapa yang kalah itulah yang dibebani biaya perkara”. Hal ini tampak pada ketentuan passal 110 yang menyatakan, bahwa pihak yang dikalahkan untuuk seluruhnya atau sebagian membayar biaya perkara.

PT TUN

Upaya adm.

(33)

31

Setelah penggugat membayar uang muka biaya perkara itu, maka gugatan tersebut dicatat dalam daftar perkara (register) oleh Panitera Pengadilan, dan kepada penggugat diberikan tanda bukti penerimaan yang berisi nomor register perkara serta jumlah uang muka biaya perkara (pasal 59 ayat 2 dan penjelasannya). Pembayaran biaya perkara hanyalah diwajbkan bagi penggugat yang mampu, sedangkan bagi yang tidak mampu dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan untuk bersengketa dengan Cuma- Cuma “prodeo” (pasal 60 ayat 1). Bersengketa dengan Cuma-Cuma diatur dalam ketentuan pasal 60 dan pasal 61 yang dapat dikemukakan sebagai berikut:

1) Permohonan untuk bersengketa dengan Cuma-Cuma diajukan pada waktu penggugat mengajukan gugatannya.

2) Gugatan itu harus disertai dengan surat keterangan dari Kepala Desa atau Lurah yang menyatakan bahwa permohonann itu betul-betul tidak mampu untuk membayar biaya perkara.

3) Permohonan harus diberikan dan ditetapkan oleh Pengadilan, sebelum pokok sengketa diperiksa.

4) Penetapan ini diambil di tingkat pertama dan terakhir, dan apabila permohonan tersebut dikabulkan untuk bersengketa dengan Cuma-Cuma di timgkat pertama, maka hal ini berlaku juga ditingkat banding dan kasasi. Dalam hal permohonan bersengketa dengan Cuma-Cuma dikabulkan, pengdilan mengeluarkan penetapan yang salinannya diberikan kepada permohonan dan biaya perkara ditanggung oleh negara.

c. Hukum Acara Formil

Agar dapat beracara dengan baik di pengadilan TUN kita perlu memahami ketentuan-ketentuan dalam BAB IV tentang Hukum Acara dalam Undang-Undang ini yang dimulai dari Pasal 48, 53, sampai Pasal 132.

Dalam garis besarnya BAB IV tersebut mengatur tentang:

1) Acara (prosedur) biasa di tingkat pertama, (pasal 53 sampai dengan pasal 121), tentang ketentuan-ketentuan acara di tingkat banding (pasal 122 sampai dengan pasal 130) dan kasasi (pasal 131) serta acara luar biasa tentang peninjauan kembali (pasal 132).

2) Selama berjalannya prosedur biasa tersebut di tingkat pertama dapat terjadi penerapan secara singkat yang diterapkan oleh Ketua pengadilan (pasal 62 ayat 1dan 2) dan oleh majelis yang memutuskan gugatan

(34)

32

perlawanan yang diajukan terhadap penetapan ketua Pengadilan tersebut (pasal 62 ayat 4);

3) Acara cepat yang diatur dalam pasal 98; serta

4) Acara mengenai pemutusan tentang permohonan khusus seperti permohonan untuk beracara dengan cuma-cuma dan permohonan untuk penundaan pelaksaan keputusan yang sedang digugat sampai diperolehnya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Pemeriksaan dengan Acara Cepat

Pemeriksaan dengan acara cepat diatur di dalam pasal 98 dan 99 UU PTUN yang menyebutkan:

1) Apabila terdapat kepentinngan penggugat yang cukup mendesak yang harus disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya, penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat.

2) Ketua pengadilan dalam jangk waktu 14 hari setelah diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengeluarkan petetapan tentang dikabulkannya atau tidak permohonan tesebut. 3) Terdapat penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat

dilakukan upaya hukum.

Dalam penjelasannya disebutkan bahwa kepentingan penggugat cukup mendesak, apabila kepentingan itu menyangkut keputusan TUN yang berisikan misalnya pembongkaran bangunan atau rumah yang ditempat penggugat. Sebagai criteria dpat dipergunakan alasan-alasan pemohon, yang memang dapat diterima. Yang dipercepat bukan hanya pemeriksaannya tapi juga pemutusannya.

Alasan mengajukan permohonan pemeriksaan dengan acara cepat ini mempeunyai kemiripan dengan alassan mengajukan permohona penundaan peaksanaan KTUN, yaitu sama-sama terdapat kepentingan yang mendessak. Perbedaannya adalah pada permohonan penundaan pelaksanaan KTUN pemeriksaannya hanya menyangkut alasan mengapa penggugat mengajukan permohonan penundaan, sedangkan pada pemeriksaan acara cepat, termasuk pokok sengketanya.

Selanjutnya dalam pasal 99 UU PTUN disebutkan sebagai berikut: 1) Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan dengan hakim tunggal. 2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 ayat (1)

(35)

33

dikeluarkannya penetapan sebgaimana dimaksud dalam pasal 98 ayat (2) menentukan hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 63.

3) Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak, masing-masing ditentuukan tidak melebihi empat belas hari.

Dari ketentuan pasal 98 dan pasal99 UU PTUN tersebut diatas, dapat diketahui yang dapat mengajukan permohonan pemeriksaan dengan acara cepat adalah pihak penggugat dan permohonan itu harus diajukan bersama-sama dalam surat gugat yang diajukan.

Berdasarkan pasal 62 UU PTUN, setiap gugatan yang masuk terlebih dahulu dilakukan penelitian administrasi oleh staf kepaniteraan. Setelh itu barulah surat gugatan penggugat diajukan dalam rapat permusyawaratan ketua pengadilan. Permohonan pemeriksaan dengan acara cepat harus diajukan bersama-sama dengan surat gugatan.

Apabila ketua pengadilan dalam rapat pemusyawaratan berpendapat tidak terdapat alasan untukmenyatakan gugatan tidak diterima atau tidak berdasar dan alasan permohonan penggugat agar dilakukan pemeriksaan dengan cepat dipandang cukup beralasan, maka ketua pengadilan akan mengeluarkan penetapan yang menentukan bahwa untuk selanjutnya pemeriksaan perkara dilakukan dengan acara cepat. Berdasarkan pasal 99 tersebut di atas, pemeriksaan dengan cepat tanpa melalui pemeriksaan persiapan. Sebaliknya, apabila tidak terdapat alasan yang dipandang cukup beralasan oleh hakim untukmengabulkan permohonan penggugat agar gugatan diperiksa dengan acara cepat, sedangkan terdapat penetapan itu tidak tersedia upaya hukum, makamau tidak mau penggugat harus menerima bahwa gugatannya akan akan diperiksa dengan acra biasa.

Pemeriksaan dengan Acara Singkat

Pemeriksaan dengan acra singkat di PTUN dapat dilakukan apabila terjadi perlawanan (verzet) atas penetapan yang diputuskan oleh ketua pengadilan dalam rapat permusyawaratan. Dalam pasal 62 UU PTUN disebutkan:

1) Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan.

(36)

34

2) Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberitahu dan diperingatkan;

3) Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak; 4) Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh

KTUN yang digugat;

5) Gugatan diajukan sebelum waktunya.

Penetapan yang menyatakan gugatan tidak diterima atau tidak berdasr dicuapkan dalam rapar permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan dengan memanggil kedua belah pihak untuk mendengarkannya. Pemanggilan kedua belah pihak tersebut dilakukan dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan atas petintah Ketua pengadilan (pasal 62 ayat (1) dan (2)).

Terhadap penetapan itu, penggugat mengajukan “perlawanan” kepada pengadilan dlam tenggang waktu 14 hari setelah penetapan itu diucapkan. Perlawanan yang diajukan itu diperiksa dan diputus oleh pengadilan dengan acara singkat, dan apabila perlawanan tersebut dibenarkan oleh pengadilan, amka penetapan itu gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan dengan acara biasa. Terhadap putusan menganai perlawanan baik yang membenarkan maupun tidak membenarkan perlawanan itu, tidak dapat dipergunakan upaya hukum. Penggugat maupun tergugat harus menerima putusan mengenai perlawanan itu. (pasal 62 ayat 3,4,5 dan 6)

Ketentuan pasal 62 UU PTUN, mendapatkan komentar yang cukup tajam dari A Soejadi yangmengatakan sebagai berikut : pertama, rapat permusyawaratan supaya dianggap tidak ada atau tidak perlu dibaca, karena dalam kenyataannyahanya ketua pengadilan itu sajalah yang membuat penetapan yang bersangkutan; kedua, diputus oleh pengadilan yang disebut dalam pasal 62 ayat 4 adalah kurang tepat kalau pemeriksaan dilakukan oleh hakim tunggal, baik oleh ketua pengadilan itu sendiri maupun oleh hakim bawahannya, mengingat bahwa yang dilawan adalah surat penetapan ketua pengadilan, sehingga yang dimaksud pengadilan tersebut adalah pengadilan dengan majelis hakim; ketiga, acara singkat bukan merupakan korgeding, acara singkat juga idak sama dengan acara cepat, karena dalam acara cepat harus ada permohonan khusus dari penggugat dan acara cepat dilakukan dengan hakim tunggal15.

15 A. Soedjadi, 1993, Acara Biasa, Acara Cepat, dan Acara Singkat Menurut UUPTUN dibandingkan dengan Wet op de van State, dalam, Himpunan Karang di BIdang Hukum Tata Usaha Negara, Proyek Peningkatan Tertib Hukum dan Pembinaan Hukum MA RI, Jakarta, h. 135-148

Referensi

Dokumen terkait

Mengajukan Permohonan kepada Bapak/ Ibu untuk mendapatkan Sertifikat Laik Sehat Hygiene Sanitasi Depot Air Minum sebagai salah satu persyaratan dasar untuk mendapatkan Izin Usaha

PLN (Persero) Rayon Purbalingga, dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan listrik pasca bayar secara berkelanjutan dengan kualitas sebaik mungkin untuk pelayanan yang

ANALISIS FINANSIAL DAN MANAJEMEN PETERNAKAN USAHA SAPI PERAH RAKYAT BERDASAR SKALA LAKTASI DI DESA MEDOWO KECAMATAN KANDANGAN KABUPATEN KEDIRI.. tidak terdapat karya yang pernah

Terdapat dua hal yang menarik untuk dikaji lebih dalam pada kedua entitas budaya tersebut, yaitu (1) pola pewarisan budaya melalui proses pembelajaran bertukar pengalaman

[r]

Diharapkan isi buku ini, secara metaforis, dapat mendo- rong Anda menjadi Coach yang mampu berperan seba- gaimana jamu beras kencur : menghibur, menyembuhkan dan/atau

Sesuai dengan UU No.11 tahun 2006 tentang Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang berbunyi partai politik lokal adalah suatu organisasi politik yang dibentuk oleh

Bank Indonesia dalam mengemban tugas untuk mengatur dan mengawasi bank, sesuai dengan ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank