SISTEM PEMBKTIAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO 51 TAHUN 2009
2.3 Sistem Pembuktian Peradilan Tata Usaha Negara
Hukum acara Peradila Tata Usaha Negara menganut sistem atau ajaran pembuktian bebas terbatas. Dari sistem itu, jelas pembentukan undang-undang dipengaruhi oleh ajaran pembuktian bebas, dan sistem pembuktian negatif. Ajaran pembuktian bebas atau teori pembuktian bebas adalah ajaran atau teori yang tidak menghendaki adanya ketentuan-ketetuan yang mengikat hakim, sehingga sejauh mana pembuktian dilakukan diserahkan kepada hakim .21
Sistem pembuktian dalam hukum acara perdata dillakukan dalam rangka memperoleh kebenaran formal, sedangkan dalam hukum acara PTUN dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran materiil dan bagai mana jalannya persidangan untuk menemukan suatu putusan dari Hakim.
Dalam Pasal 107 Undang-undang PTUN disebutkan bahwa hakim menentukan apa yang harus dibuktiakan, beban pembuktian beserta penilain prmbuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alar bukti berdasarkan keyakinan hakim. Selanjutnya dalam penjelasannya disebutkan bahwa Pasal ini mengatur ketentuan dalam rangka usaha menentukan kebenaran material. Berbeda dengan sistem hukum pembuktian Acara Perdata, maka dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, hakim PTUN dapat mentukan sendiri:22
a. Apa yang harus dibuktikan.
21Yusalim, 2016, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, cetakan kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal 139
Sebagaimana telah disebutkan dalam penjelasan Pasal 107, dalam proses pemeriksaan disidang pengadilan, Hakim tidak tergantung atau tidak terikat pada fakta dan hal yang diajukan oleh penggugat atau tergugat, demikian pula hakim dapat saja mengesampingkan fakta dan hal yang diajukan oleh penggugat atau tergugat, demikian pula hakim dapat saja memeriksa lebih lanjut tentang fakta dan hal yang tidak disangkal atau tidak cukup dibantah, apabila fakta dan hal tersebut mempunyai arti yang relevan untuk dijadikan dasar pertimbangan dari hakim dalam menjatuhkan putusan yang pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan belum cukup pasti keadaanya.
Jika penggugat atau tergugat dalam pemeriksaan disidang pengadilan berharap fakta dan hal yang diajukan dapat memperoleh perhatian hukim, maka sudah tentu fakta tersebut harus dibuktikan kebenarannya.
Sebagai contoh bahwa hakim adalah pemeriksa di sidang pengadilan tidak tergantung atau tidak terikat pada fakta atau hal yang diajukan oleh penggugat dan tergugat adalah putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta tanggal 16 Januari 1992 Nomor 02/G/1991/PT.TUN.JKT yang menyatakan bahwa putusan Pnitia Penyelesain Perselisihan Perubahan Pusat adalah tidak sah dan harus dibatalkan, karena masa kerja atau masa tugas dari panitia Penyelesain Perubahan Pusat tersebut telah dialampui atau tidak ada perpanjangan, meskipun fakta yang berupa masa kerja atau masa tugas dari Panitia
yang dimaksud tidak diajukan oleh Penggugat dan terutama oleh Tergugat selama pemeriksaan disidang pengadilan.
b. Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara dalam hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri.23
Siapa yang harus dibebani pembuktian, penggugat atau tergugat adalah masalah pembagian beban pembuktian. Yang dimaksud dengan beban pembuktian adalah kewajiban yang dibebankan kepada suatu pihak untuk membuktikan fakta yang menjadi dasar pertimbangan dari hakim dalam menjatuhkan putusannya.
Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 107 adalah bahwa
Hakim Peradilan Tata Usaha Negara dapat menetukan hal apa atau fakta
apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri, artinya hakim dapat
meletakan beban pembuktian pada diri hakim sendiri terhadap suatu
fakta yang ditemukan selama pemeriksaan di sidang pengadilan. Dengan demikian dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata
Usaha Negara, hakim mempunyai kebebasan atau dapat mentukan
sendiri siapa yang harus dibenahi pembuktian.
c. Alata bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam
pembuktian.
Sebenarnya masing-masing alat bukti sebagaimana ditentukan dalam
pasal 100 ayat (1) mempunyai derajat bobot yang sama, artinya tidak adanya tingkat-tingkat mengenai ketentuan pembuktian dari
23Indroharto, 1994, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
masing alat bukti tersebut, atau dengan perkataan lain tidak ada
perbedaan mengenai perbedaan mengenai kekuatan pembuktian antara
alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain.24
Meskipun demikian dalm penjelasan pasal 107 disebutkan bahwa hakim
dapat mentukan sendiri alat bukti mana saja yang diutamakan untuk
dipergunakan dalam pembuktian.
Maksud dari penjelasan Pasal 107 tersebut adalah dalam
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara,
Hakim mempunyai wewenang untuk memilih alat bukti terntu diantara
alat-alat bukti sebagaimana ditentukan dalam Pasal 100 ayat (1) dan memberikan penilain tentang kekuatan pembuktian dari alat bukti
tersebut untuk dipergunakan dalam pembuktian.
d. Kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan
Dalam penjelasan Pasal 107 disebutkan bahwa hakim dapat
menetukan sendiri kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan. Maksud dari penjelasan Pasal 107 tersebut adalah hakim mempunyai
wewenang untuk memberikan penilai terhadap hasil pembuktian dalam
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara.25
Hanya saja untuk memberikan penilaian terhadap hasil pembuktian
tersebut, hakim harus memperhatikan pembatasan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 107, yaitu “untuk sahnya pembuktian diperlukan
sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim”.
24 Indroharto, 1994, Op,cit., hal 204. 25 Wiyono, 2007, Op.cit., hal153
Teori dalam Sistem Pembuktian dikemukakan oleh Yahya Harap sebagaimana
diikuti oleh W.Riawan Tjandra26 yaitu:
a. Conviction in time , menurut sistem ini, untuk menentukan sah atau tidaknya KTUN semata-mata didasarkan pada penilaian keyakinan hakim.
Hakim menarik kesimpulan berdasarkankeyakinan yang yang diperoleh
dari alat-alat bukti yang diperiksa dalam persidangan dan pendapat para
pihak keyakinan hakim sangat dominan dalam sistem ini.
b. Conviction Rationee, dalam sistem keyakinan hakim dibatasi dan
didukung oleh alasan-alasan yang jelas. Hakim harus menguraikan dan
menjelasakan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya. Keyakinan hakim dibatasi oleh reasoning yang bersifat logis dan dapat
diterima akal.
c. Pembuktian menurut Undang-undang secara Positif atau Afirmatif, sistem
ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat yang
ditentukan oleh undang-undang. Untuk menentukan putusannya hakim semesta-mata didasarkan pada alat bukti yang sah tanpa diperlukan
keyakinan hakim.
d. Pembuktian menurut Undang-undang secara Negatif, sistem ini
merupakan perpaduan antara teori pembuktian menurut undang-undang
secara positif dan pembuktian menurut keyakinan hakim (conviction
intime). Hakim harus memutuskan berdasarkan alat-alat bukti yang sah
dan mengikuti prosedur dalam undang-undang dengan didukung oleh keyakinan hakim.
BAB III
KEDUDUKAN SAKSI DALAM PEMBUKTIAN HUKUM ACARA PERADILAN