C. Pembuktian Tindak Pidana Korupsi
2. Alat Bukti dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
”Di samping itu, Undang-undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya”.
Dari uraian diatas, dapat ditarik dua kesimpulan, pertama, bahwa untuk beban pembuktian atas perbuatan tindak pidana korupsi adalah berlaku
“pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang”, karena terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi (dalam hal ini tidak menganut sistem pembuktian secara negatif menurut undang-undang, sehingga terdakwa tidak harus melengkapi dengan dua alat bukti yang sah supaya mendapatkan keyakinan hakim), sedangkan Jaksa Penuntut Umum masih tetap berkewajiban membuktikan dakwaan perbuatan korupsi si terdakwa (Pasal 37 A ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001), dengan menggunakan sistem pembuktian secara negatif menurut undang-undang/negatief wettelijk (Jaksa harus melengkapi dengan minimal dua alat bukti yang sah supaya mendapatkan keyakinan hakim).
Kesimpulan kedua, bahwa untuk beban pembuktian atas harta benda yang disita sebagai barang bukti di persidangan yang diduga sebagai hasil tindak pidana korupsi, maka berlaku beban pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian, sebagaimana dalam Pasal 38 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
2. Alat Bukti dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Tidak ditemukan suatu definisi khusus mengenai apa itu alat bukti, namun secara umum yang dimaksud dengan alat bukti adalah alat bukti yang tercantum dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP (Djoko Prakoso, 1988:37). Fungsi dari alat bukti itu sendiri adalah untuk membuktikan adalah benar terdakwa yang melakukan tindak pidana dan untuk itu terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Adapun alat bukti yang sah menurut Undang-undang sesuai dengan apa yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, adalah (M. Yahya Harahap, 2000:285) :
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa.
Apabila berdasarkan KUHAP, maka yang dinilai sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas kepada alat bukti yang tercantum dalam Pasal 184 (1) KUHAP. Dengan kata lain, sifat dari alat bukti menurut KUHAP adalah limitatif atau terbatas pada yang ditentukan saja. Akan tetapi, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, KUHAP bukanlah satu-satunya undang-undang pidana formil yang mengatur mengenai ketentuan pembuktian.
Beberapa undang-undang pidana yang memiliki aspek formil juga mengatur mengenai alat bukti tersendiri. Meskipun demikian, secara umum alat bukti yang diatur dalam undang-undang pidana formil tersebut tetap
merujuk pada alat bukti yang diatur dalam KUHAP. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selain mengatur tentang pidana material yaitu tentang macam pidana yang diklasifikasikan sebagai korupsi atau unsur tindak pidana korupsi namun juga mengatur aspek formil atau acara pidananya.
Dalam sub bab ini yang akan dibahas secara khusus adalah terkait dengan alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang mana alat bukti dapat diperoleh juga yang berupa informasi dan dokumen elektronik. Alat bukti tersebut diatur dalam Pasal 26 A sebagai berikut :
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:
“Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu”; dan
“Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna”.
Dalam penjelasan pasal diuraikan bahwa yang dimaksud dengan
“disimpan secara elektronik” misalnya data yang disimpan dalam mikro film, Compact Disk Read Only Memory (CD-ROM) atau Write Once Read Many (WORM). Sedangkan yang dimaksud dengan “alat optik atau yang serupa dengan itu” dalam ayat ini tidak terbatas pada data penghubung elektronik
(electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili.
Sebagai catatan, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, alat bukti digital digunakan sebagai perluasan alat bukti petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP, jadi dalam hal ini bukti digital pada tindak pidana korupsi tidak berdiri sebagai satu alat bukti tersendiri, sebagaimana yang diuraikan dalam alinea ke-4 penjelasan umum Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 :
Ketentuan perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah berupa petunjuk, dirumuskan bahwa mengenai “petunjuk” selain diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa, juga diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik ((electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili, dan dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang memuat dan mengatur mengenai alat bukti elektronik menandakan adanya perkembangan penggunaan alat bukti konvensional menjadi alat bukti berteknologi modern
sesuai perkembangan zaman. Hal tersebut berbeda dengan alat bukti yang diatur dalam KUHAP. Beberapa alat bukti yang diatur dalam KUHAP adalah surat dan petunjuk, akan tetapi KUHAP tidak mengakomodir kemungkinan bahwa surat ataupun petunjuk tersebut ditemukan dalam format semisal email atau website di Internet. Namun demikian, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut telah mengatur lebih lanjut alat bukti yang mengandung unsur elektronik. Sehingga, dengan adanya pengaturan mengenai alat bukti elektronik didalam undang-undang tersebut memungkinkan penggunaan informasi dan dokumen elektronik sebagai alat bukti.