• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi Kasus Nomor 960/Pid.B/2008/PN. Mks)

PROPOSAL

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Makassar

OLEH :

IRMA FITHRA ALWI B111 05 782

Bagian Hukum Acara

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar

2010

(2)

HALAMAN JUDUL

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi Kasus Nomor 960/Pid.B/2008/PN. Mks)

PROPOSAL

OLEH :

IRMA FITHRA ALWI B111 05 782

Bagian Hukum Acara

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar

2010

(3)

PENGESAHAN SKRIPSI (STUDI KASUS) TINJAUAN YURIDIS

PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Kasus Putusan No. 960/Pid.B/2008/PN.Mks)

Disusun dan diajukan oleh : IRMA FITHRA ALWI SAKTI

NIM B 111 05 782

Telah dipertahankan di hadapan panitia ujian skripsi yang dibentuk dalam rangka penyelesaian Studi Sarjana Program Studi Ilmu Hukum Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Pada Hari Kamis, 11 November 2010 Dan Dinyatakan Lulus

Panitia Ujian

Ketua, Sekertaris

Prof. Dr. Muh. Syukri Akub, S.H.,M.H Kasman Abdullah, S.H.,M.H NIP. 195311241979121001 NIP. 196710101992022002

A.n Dekan Pembantu Dekan I,

Prof. Dr. Ir. Abrar, S.H.,M.H NIP. 19630419 198903 1 001

(4)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Diterangkan Bahwa Proposal Mahasiswa,

Nama : Irma Fithra Alwi

Nomor Pokok : B111 05 782

Bagian : Hukum Acara

Judul Skripsi : TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN

TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Kasus No.

960/Pid.B/2008/PN. Mks)

Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam seminar proposal.

Makassar, Juli 2010

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Muh. Syukri Akub, S.H., M.H. Nur Azisa, S.H.,M.H Nip. 195311241979121001 Nip. 196710101992022002

(5)

PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI

Diterangkan bahwa proposal mahasiswa :

Nama : Irma Fithra Alwi

Nomor Pokok : B111 05 782

Bagian : Hukum Acara

Judul Skripsi : TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI.

(Studi Kasus Putusan No. 960/Pid.B/2008/PN.

Mks)

Memenuhi syarat untuk diajukan dalam ujian proposal.

Makassar, 13 Juni 2010

An. Dekan

Pembantu Dekan I,

Prof. Dr. Ir. Abrar, S.H.,M.H.

Nip. 196304191989031003

(6)

ABSTRAK

Irma Fithra Alwi, Nomor Induk Mahasiswa B11105782, “Tinjauan Yuridis Pembuktian Tindak Pidana Korupsi” (Studi Kasus No.

960/Pid.B/2008/PN. Mks), dibawah bimbingan Muh. Syukri Akub selaku pembimbing I dan Nur Azisa selaku pembimbing II.

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana upaya yang dilakukan oleh penuntut umum dalam pembuktian Tindak Pidana Korupsi, dan untuk mengetahui Bagaimanakah pertimbangan hukum Hakim dalam menjatuhkan putusan pada perkara pidana.

Adapun teknik pengumpulan data melauli metode penelitian kepustakaan (Library Research), kemudian data yang diperoleh diolah menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan maksud menjelaskan, menguraikan dan menggambarkan permasalahan serta penyelesaiannya yang berkaitan dengan objek yang akan dikaji dalam penulisan ini.

Berdasarkan analisis terhadap data – data tersebut, diperoleh hasil sebagai berikut : 1) Upaya yang dilakukan oleh Penuntut Umum dalam Pembuktian Tindak Pidana Korupsi pada perkara pidana No. 960/Pid.B/2008/PN. Mks) adalah Penuntut Umum mengadirkan alat bukti yaitu Surat Keputusan Bupati, Surat Perintah Membayar, Kwitansi Pembayaran dan keterangan saksi maupun keterangan terdakwa dan berdasarkan KUHAP Pasal 183 Penuntut Umum membuktikan dakwaan perbuatan korupsi terdakwa (Pasal 37 A ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001), 2) Bagaimanakah pertimbangan hukum Hakim dalam menjatuhkan putusan pada perkara pidana adalah Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP yang unsur- unsurnya adalah : 1. Setiap orang, 2. Dengan tujuan menguntungkan din sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, 3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya, karena jabatan atau kedudukan, 4. Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, 5. Yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan, 6. Perbuatan berlanjut.

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH Bismillahi Rahmani Rahim.

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkah dan hidayah- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Tinjauan Yuridis Pembuktian Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus No. 960/Pid.B/2008/PN.

Mks).”

Salam dan shalawat kepada jujungan Nabi besar Muhammad SAW yang telah mengajarkan ketakwaan dan kesabaran dalam menempuh hidup bagi penulis. Tak lupa pula salam kepada Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib Karamallahu Wajjha dan keluarga, terkhusus kepada ibunda Fathimah Az – Zahra, para Sahabat Rasulullah SAW yang telah memberikan spirit dan mengantar penulis tahu tentang arti hidup dan perjuangan menempuh cinta yang hakiki kepada SANG pemilik cinta. Semoga Allah SWT memberikan tempat yang layak di sisi-Nya dan mempertemukan penulis di alam surga.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada orang tua tercinta Ayahanda Drs. Muhammad Alwi dan Ibunda Dra. Rahmah Mansyur, atas segala perhatian, semangat dan dukungan yang diberikan kepada penulis. Saudara – saudaraku Wira Ariyani Alwi, Ita Puranama Alwi dan Muhammad Muhkfilihin yang selalu memberikan bantuan dan motivasi serta ponakanku Walda yang selalu bias membuatku tersenyum.

Penulis meyadari masih banyak kekurangan dalam tulisan ini, karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun senantiasa kami harapkan guna memacu kreatifitas dalam membuat karya – karya yang lebih baik lagi. Akhir kata, penulis

(8)

ingin menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan tulisan ini, terutama kepada :

1. Prof. Dr. dr. Idrus Paturusi selaku Rektor dan segenap jajaran Pembantu Rektor Universitas Hasanuddin.

2. Prof. Dr. Aswanto, S.H.,M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Muh. Guntur S.H.,M.H. selaku Pembantu Dekan I (PD I) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Dr. Anshori Ilyas S.H.,M.H. selaku Pembantu Dekan II (PD II) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Farida Patitingi S.H.,M.H. selaku Pembantu Dekan III (PD III) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

3. Prof. Dr. Muh. Syukri Akub, S.H.,M.H. selaku pembimbing I, Nur Azisa, S.H.,M.H. selaku Pembimbing II yang selalu memberikan saran dan kritik bagi penulis. Dan Prof. Dr. Aswanto, S.H.,M.H., Prof. Dr. A. Sofyan, S.H.,M.H., Haeranah, S.H.,M.H. selaku tim penguji penulis.

4. Naswar Bohari, S.H.,M.H. Selaku penasehat akademik yang selalu memberikan saran dan kritik kepada penulis selama perjalanan studi di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

5. Seluruh Staf Akademik Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

6. Buat Paman, Tante dan sepupu – sepupu ku.

7. Teman – teman Penulis di Kantor Badan Pertanahan Nasional.

8. Indra Sakti, Emmi Anggraeni, Nurkhatima Syukur.

9. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Wassalam Penulis

(9)

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

PERSETUJUAN PEMBIMBING DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana Korupsi

1. Pengertian Tindak Korupsi

2. Tindak Pidana Korupsi Dalam Peraturan Perundang – Undangan Di Indonesia.

B. Pembuktian Menurut KUHAP 1. Pengertian Pembuktian

2. Asas Dan Teori Sistem Pembuktian 3. Alat Bukti Dan Kekuatan Pembuktian C. Pembuktian Tindak Pidana Korupsi

1.

embuktian Terbalik dan Beban Pembuktian Terbalik.

2.

lat Bukti dalam Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

i ii iii iv 1 5 6 8 8 8

16 18 18 20 22 33

33

41 47

(10)

Tindak Pidana Korupsi BAB III METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian B. Populasi Dan Sampel C. Jenis Dan Sumber Data D. Teknik Pengumpulan Data E. Analisis Data

DAFTAR PUSTAKA

(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia harus senantiasa melaksanakan pembangunan di segala bidang. Proses pembangunan bangsa dan negara Indonesia yang berlangsung selama ini, selain telah menghasilkan kemajuan juga masih menyisakan banyak permasalahan baik permasalahan yang mendasar maupun permasalahan yang berkembang dewasa ini.

Berdasarkan permasalahan, tantangan, serta keterbatasan yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia, maka dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional ditetapkan visi, misi, dan strategi pembangunan nasional (2005:8) sebagai berikut :

Visi Pembangunan Nasional 2004 – 2009, yaitu :

1. Terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai;

2. Terwujudnya masyarakat, bangsa, dan negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan, dan hak asasi manusia;

3. Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan pondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan.

(12)

Selanjutnya berdasarkan visi pembangunan nasional tersebut ditetapkan 3 Misi Pembangunan Nasional Tahun 2004 – 2009, yaitu:

1. Mewujudkan Indonesia yang aman dan damai.

2. Mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis.

3. Mewujudkan Indonesia yang sejahtera.

Di dalam mewujudkan visi dan menjalankan misi pembangunan nasional tersebut di atas ditempuh 2 Strategi Pokok Pembangunan, yaitu:

Strategi Penataan Kembali Indonesia, yang diarahkan untuk menyelamatkan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan semangat, jiwa, nilai, dan konsensus dasar yang melandasi berdirinya Negara Kebangsaan Republik Indonesia yang meliputi Pancasila; UUD 1945 (terutama Pembukaan UUD 1945); tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan tetap berkembangnya pluralisme dan keberagaman dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.

Strategi Pembangunan Indonesia, yang diarahkan untuk membangun Indonesia di segala bidang yang merupakan perwujudan dari amanat yang tertera jelas dalam Pembukaan UUD 1945 terutama dalam pemenuhan hak dasar rakyat dan penciptaan landasan pembangunan yang kokoh.

Sejalan dengan dinamika masyarakat, pelaksanaan pembangunan tersebut menunjukkan perkembangannya, namun didalam proses pembangunan itu sendiri ternyata ada pula faktor penghambat pembangunan yang berkembang sejalan dengan berkembangnya pembangunan. Salah satu faktor penghambat pembangunan itu adalah berupa Tindak Pidana Korupsi.

(13)

Korupsi di Indonesia sudah menjadi fenomena yang sangat mencemaskan, karena telah semakin meluas dan merambah pada lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, serta sudah merambah ke seluruh lapisan masyarakat. Kondisi tersebut telah menjadi salah satu faktor penghambat utama pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Ketidakberhasilan pemerintah memberantas korupsi juga semakin melemahkan citra pemerintah di mata masyarakat dalam pelaksanaan pemerintahan yang tercermin dalam bentuk ketidak percayaan masyarakat, ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum, dan bertambahnya jumlah angka kemiskinan.

Dalam pergaulan global, pemerintah Indonesia menyambut baik kerjasama internasional dalam upaya pemberantasan korupsi. Kerjasama internasional yang telah dan akan dilakukan antara lain berupa pertukaran informasi, ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, dan pengembalian aset negara hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri. Masyarakat internasional termasuk Indonesia bersama-sama berkomitmen untuk tidak memberikan perlindungan (deny safe havens) bagi para koruptor dan aset mereka yang berasal dari tindak pidana korupsi. Pemerintah Indonesia telah berketetapan untuk memajukan kerjasama internasional dalam kerangka Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003 (UN Convention Against Corruption) dan Konvensi PBB Tentang Kejahatan Lintas Batas Negara yang Terorganisir (UN Convention on Transnational Organized Crime).

Konvensi PBB Menentang Korupsi yang dirundingkan selama kurun waktu 2002 – 2003 telah diterima oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 31 Oktober 2003 dan Indonesia sebagai salah satu anggota masyarakat internasional telah menandatangani konvensi ini pada tanggal 18 Desember

(14)

2003. Sebagai kelanjutan konvensi ini, PBB telah menetapkan tanggal 9 Desember 2004 sebagai hari internasional pertama anti korupsi. Sebagai konsekuensi bagi negara yang ikut menandatangani konvensi tersebut, Indonesia akan ikut mendukung sesuai dengan wilayah kedaulatan yang dimiliki dengan melakukan langkah-langkah konkrit pemberantasan korupsi.

Berbicara mengenai korupsi tidak sekedar pemidanaan saja, tapi bagaimana kebijakan Hukum Pidana menghadapi invisible crime tersebut, serta untuk dapat dilakukan pencegahan dan penanggulangan/ penyelesaian tindak pidana korupsi sebagai White Collar Crime. Kebijakan pidana sementara ini mempergunakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1991 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai perubahan dari undang-undang sebelumnya, tentunya sebagai sarana maupun alat dalam melakukan setiap tindakan antisipasi perbuatan- perbuatan tersebut.

Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana yang sangat sulit pemberantasannya, baik karena tindak pidana ini memiliki kualitas pembuktian yang sangat sulit, juga tindak pidana korupsi ini biasanya dilakukan oleh para profesional yang memiliki minimal edukasi yang akseptabel bagi kemungkinan dilakukannya kejahatan tersebut. Selain itu integritas, kapabilitas dan aktivitas pelaku pada umumnya ini sangat rentan dengan lingkungan terjadinya tindak pidana korupsi ini, artinya pelaku sangat memahami lingkungan kerja dan format untuk menghindari terjadinya pelacakan terhadap kejahatan (tindak pidana) korupsi ini.

(15)

Telah diakui pula, bahwa korupsi ini sudah dianggap sebagai kejahatan yang sangat luar biasa atau ”extra ordinary crime”, sehingga kejahatan ini sering dianggap sebagai ”beyond the law” karena melibatkan para pelaku kejahatan ekonomi kelas atas (high level economic) dan birokrasi kalangan atas (high level beurocratic), baik birokrat ekonomi maupun pemerintahan.

Bayangkan saja, kejahatan korupsi yang melibatkan kekuasaan ini sangat sulit pembuktiannya, selain itu kehendak adanya pemberantasan perbuatan ini nyata-nyata terbentur dengan kepentingan kekuasaan yang sangat mungkin melibatkan para birokrasi tersebut, akibatnya sudah dapat diperkirakan bahwa korupsi ini seolah-olah menjadi ”beyond the law” dan sebagai bentuk perbuatan yang ”untouchable by the law” (Indriyanto Seno Adji, 2007:330).

Mengingat tindak pidana korupsi ini sebagai suatu ”extra ordinary crime” yang sulit pembuktiannya, maka penanganannya harus dilakukan sedemikian rupa dan bersifat luar biasa pula. Karena itu tindak pidana korupsi selain dianggap sebagai ”extra ordinary crime” juga memerlukan penanganan yang sangat luar biasa (extra ordinary enforcement), yaitu dalam kajian penulisan ini ialah melalui terobosan metode penyidikan, pencarian dan pengumpulan bukti yang bernilai hukum sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian dan penggunaannya dalam proses pembuktian.

(16)

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari uraian diatas, maka dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah upaya yang dilakukan oleh penuntut umum dalam pembuktian Tindak Pidana Korupsi pada perkara pidana No.

960/Pid.B/2008/PN. Mks)

2. Bagaimanakah pertimbangan hukum Hakim dalam menjatuhkan putusan pada perkara pidana No. 960/Pid.B/2008/PN. Mks)?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian a. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimanakah upaya yang dilakukan oleh penuntut umum dalam pembuktian Tindak Pidana Korupsi pada perkara pidana No. 960/Pid.B/2008/PN. Mks)

2. Untuk mengetahui Bagaimanakah pertimbangan Hukum Hakim dalam menjatuhkan putusan pada perkara pidana No. 960/Pid.B/2008/PN.

Mks)

b. Kegunaan Penelitian

Diharapkan dapat memberikan pemikiran akademis bagi pengkajian dan pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan khususnya hukum

(17)

pidana yang berkaitan dengan pembuktian dalam perkara tindak pidana korupsi.

Sebagai bahan masukan atau pertimbangan bagi Penyidik dan Penuntut Umum dalam rangka pelaksanaan tugas dan kewenangan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini perlu dilakukan agar dapat digunakan dalam pencarian dan pengumpulan bukti yang bernilai hukum sebagai alat bukti serta mempunyai kekuatan pembuktian. Dengan demikian akan dapat mempermudah pengungkapan kasus tindak pidana korupsi dan memperkuat pembuktiannya.

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Korupsi

1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio - corruptus, dalam bahasa Belanda disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption, sedangkan dalam bahasa Sansekerta didalam Naskah Kuno Negara Kertagama tersebut dalam arti harfiahnya menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejat, tidak jujur yang disangkut pautkan dengan keuangan (Sudarto, 1996:115). Korupsi menurut Henry Campbell Black dalam Black's Law Dictionary, adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain (Henry Campbell Black, 1990:187).

Sebagai suatu delik formil, definisi tindak pidana korupsi tidak diatur secara definitif dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 juncto Undang- Undang Nomor 20 tahun 2001. Dengan memperhatikan kategori tindak pidana korupsi sebagai delik formil, maka Pasal 2 dan Pasal 3 Undang- Undang Nomor 31 tahun 1999 mengatur secara tegas mengenai unsur-unsur pidana dari tindak pidana korupsi tersebut :

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 menyatakan :

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.

(19)

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 menyatakan :

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”

Dalam pengertian yuridis, pengertian korupsi tidak hanya terbatas kepada perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, tetapi meliputi juga perbuatan-perbuatan yang memenuhi rumusan delik, yang merugikan masyarakat atau orang perseorangan. Oleh karena itu, rumusannya dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

2. Kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif (yang disuap).

3. Kelompok delik penggelapan.

4. Kelompok delik pemerasan dalam jabatan ( knevelarij, extortion).

5. Kelompok delik yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan rekanan.

Secara umum dan sederhana korupsi dapat diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan/kepercayaan untuk keuntungan pribadi.

Pengertian korupsi juga mencakup perilaku pejabat-pejabat di sektor publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang memperkaya diri mereka secara

(20)

tidak pantas dan melanggar hukum, atau orang-orang yang dekat dengan pejabat birokrasi dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan pada mereka. Kehidupan korupsi dalam konteks pelayanan publik ini merupakan perbuatan "korupsi administrasi" dengan fokus pada kegiatan perorangan yang memegang kontrol dalam kedudukannya sebagai pejabat publik, sebagai pembuat kebijakan atau sebagai pegawai birokrasi pemerintah, atas berbagai kegiatan atau keputusan. Dengan makin meluasnya proyek swastanisasi perusahaan negara dan pengalihan kegiatan yang selama ini dipandang masuk dalam lingkup tugas pemerintah ke sektor swasta, dan monopoli penuh atau setengah penuh penyediaan barang publik oleh sektor swasta (misalnya: air, listrik, telkom), maka perbuatan korupsi telah merambah juga pada sektor swasta di luar dan di dalam hubungan kerja sektor swasta dengan sektor publik, sehingga perbuatan korupsi kedua sektor ini membawa dampak negatif terhadap kepentingan publik (Hendarman Supandji, 2007:6).

Pengertian korupsi sangat bervariasi. Namun demikian secara umum korupsi itu berkaitan dengan perbuatan yang merugikan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Agar bisa mendapatkan pemahaman mengenai pengertian korupsi secara gamblang, berikut ini adalah pandangan mengenai pengertian korupsi menurut beberapa sumber :

Menurut Syed Hussein Alatas (1983:11-14)

Dengan merujuk pada tulisan ”Sociological Aspects of Corruption in Southeast Asia” oleh WF. Wertheim tahun 1965, dinyatakan bahwa menurut pemakaian umum istilah ’korupsi’ pejabat, kita menyebut korup apabila

(21)

seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seorang swasta dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan-kepentingan si pemberi. Terkadang perbuatan menawarkan pemberian seperti itu atau hadiah lain yang menggoda juga tercakup dalam konsep itu. Pemerasan, yakni permintaan pemberian- pemberian atau hadiah seperti itu dalam pelaksanaan tugas-tugas publik juga bisa dipandang sebagai korupsi. Sesungguhnyalah istilah itu terkadang juga dikenakan pada pejabat-pejabat yang menggunakan dana publik yang mereka urus bagi kepentingan mereka sendiri, dengan kata lain, mereka yang bersalah melakukan penggelapan diatas harga yang harus dibayar oleh publik.

Fenomena lain yang bisa dipandang sebagai korupsi adalah pengangkatan sanak-saudara, teman-teman atau rekan-rekan politik pada jabatan-jabatan publik tanpa memandang jasa mereka maupun konsekuensinya pada kesejahteraan publik. Kita menyebut hal ini nepotisme.

Dengan demikian, kita mempunyai tiga fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi : penyuapan (bribery), pemerasan (extortion) dan nepotisme.

Semua itu tidak sama sekali sama, namun mereka tidak diklasifikasikan dibawah satu judul. Pada pokoknya, ada suatu benang merah yang menghubungkan tiga tipe fenomena itu, yakni penempatan kepentingan- kepentingan publik dibawah tujuan-tujuan privat dengan pelanggaran norma- norma tugas dan kesejahteraan, yang dibarengi keserbarahasiaan, pengkhianatan, penipuan dan pengabaian yang kejam atas setiap konsekuensi yang diderita oleh publik. Selanjutnya diidentifikasi ciri-ciri korupsi sebagai berikut :

(22)

Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan, kecuali dimana ia telah begitu merajalela dan begitu berurat-akar sehingga individu-individu yang berkuasa atau mereka yang berada dalam lindungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatan mereka.

Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik yang tidak selalu berupa uang. Mereka yang mempraktekkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.

Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan-keputusan yang tegas dan mereka yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.

Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya badan publik atau masyarakat umum.

1. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.

2. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif.

3. Suatu perbuatan korupsi biasanya melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.

Menurut Mochtar Lubis (Mochtar Lubis, 1985:xiii-xvi)

Dalam buku yang berjudul Bunga Rampai Korupsi yang disunting oleh Mochtar Lubis dan James C. Scott di bagian ”Pengantar”, Mochtar Lubis memberikan gambaran korupsi yang dapat muncul dalam berbagai bentuk, yang diuraikan sebagai berikut :

(23)

Korupsi tidak hanya berlaku di kalangan pegawai negeri atau anggota birokrasi negara namun juga terjadi di organisasi swasta dan perusahaan swasta.

Korupsi harus digolongkan pada tidak pidana yang harus dihukum berat. Korupsi di kalangan pegawai negeri atau birokrasi negara dilakukan dengan melanggar sumpah jabatan. Korupsi dapat berbentuk pada menerima sogok/suap, uang kopi, salam tempel, uang semir, uang pelancar atau pelumas, baik dalam bentuk uang tunai maupun benda atau malahan juga wanita. Sang pejabat melakukan sesuatu pada si pemberi sogok/suap berupa ijin atau fasilitas, dan dalam kasus yang paling ekstrim pejabat dapat memberi pengecualian dari peraturan yang berlaku, atau malahan membuat peraturan yang menguntungkan si pemberi sogokan.

Di bidang swasta, korupsi dapat berbentuk menerima pembayaran uang dan sebagainya, untuk membuka rahasia perusahaan tempat seseorang bekerja, atau juga mengambil komisi yang seharusnya menjadi hak perusahaan.

Baik pegawai birokrasi negara maupun swasta dapat pula melakukan korupsi, dengan langsung mencuri uang negara atau perusahaan lewat manipulasi tender dan kontrak.

Andaikata pun pejabat resmi maupun swasta tidak langsung menerima imbalan, tetapi imbalan dapat diatur agar diterima oleh istri maupun sanak keluarganya atau kawannya. Namun tetap saja perbuatan ini korupsi, selama imbalan itu diberikan pada pihak ke-tiga, karena si pejabat berbuat sesuatu

(24)

yang bertentangan dengan norma-norma tugas pokok untuk kepentingan si pemberi sogok/suap.

Menurut Andi Hamzah (1991:7-10)

Uraian mengenai pengertian korupsi berikut ini diambil dari disertasi Prof. DR. Jur. Andi Hamzah yang ditulis untuk mendapatkan gelar Doktor dalam bidang hukum pidana di Universitas Hasanuddin, Makassar pada tahun 1982. Disertasi tersebut telah diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul

”Korupsi di Indonesia : Masalah dan Pemecahannya”.

Kata korupsi berasal dari bahasa Latin ”Corruptio” (Andi Hamzah mengambil dari ”Rechtsgeleerd Handwoordenbook”, Fockema Andreae, 1951) atau corruptus (Andi Hamzah mengambil dari ”Webster Student Dictionary”, 1960). Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata corrumpere, suatu kata dalam bahasa Latin yang lebih tua.

Kemudian arti kata korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwadarminta (1976) :

“Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang. Penerimaan uang sogok dan sebagainya”.

Dengan pengertian korupsi secara harfiah ditarik suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu istilah sangat luas artinya.

Seperti disimpulkan dalam Encyclopedia Americana, korupsi itu adalah suatu hal yang buruk dengan bermacam-macam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat dan bangsa.

Begitu pula yang dikatakan oleh Huntington (Andi Hamzah mengambil dari tulisan Huntington di dalam Bunga Rampai Karangan-Karangan

(25)

Mengenai Etika Pegawai Negeri, Mochtar Lubis dan Janes C. Scott, 1977) sebagai berikut:

Akan tetapi tidak berarti bahwa adanya pola korupsi di tingkat atas ini mengganggu stabilitas politik asal saja jalan-jalan untuk mobilitas ke atas melalui partai politik atau birokrasi tetap terbuka. Namun jika pemain-pemain politik dari generasi muda melihat bahwa mereka akan dikesampingkan, tidak diberi kesempatan untuk hasil-hasil yang telah dicapai oleh generasi tua atau jika kolonel-kolonel dalam angkatan melihat tidak ada harapan untuk naik pangkat dan kesempatan yang ada hanya bagi para jenderal, maka sistem tersebut akan mudah digoncangkan oleh kekerasan. Dalam masyarakat seperti ini korupsi politik dari stabilitas politik kedua-duanya tergantung pada mobilitas ke atas.

2. Tindak Pidana Korupsi Dalam Peraturan Perundang – Undangan Di Indonesia.

Sesungguhnya upaya-upaya pemberantasan tindak pidana korupsi telah dilakukan sejak era Orde Lama. Hal ini terbukti dengan adanya dua ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang tindak pidana korupsi yang dihasilkan dalam kurun waktu tahun 1960 sampai dengan tahun 1998, yaitu :

Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(26)

Korupsi telah memberikan andil yang luar biasa besar dalam kebobrokan ekonomi negara dan berbagai aspek/sendi kehidupan bangsa.

Oleh karena itu setelah runtuhnya Orde Baru dengan ditandai mundurnya Presiden Soeharto, maka pemerintahan baru di era Reformasi menghasilkan Tap MPR Nomor IX/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Dengan adanya Tap MPR ini, maka amanat telah diberikan negara kepada penyelenggara untuk memberantas tindak pidana korupsi. Amanat ini merupakan suatu hal yang bersifat imperatif dan oleh karenanya wajib untuk dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan di akhir masa jabatannya. Sejak adanya Tap MPR Nomor IX/MPR/1998, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat telah menetapkan serangkaian undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu :

Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 merupakan hukum positif dan dipergunakan sebagai dasar dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

B. Pembuktian Menurut KUHAP 1. Pengertian Pembuktian

(27)

Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan dan pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa apabila hasil pembuktian dengan alat – alat bukti yang ditentukan dalam undang – undang yang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman.

Sebaliknya kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat – alat bukti yang disebut pada Pasal 184 KUHAP, terdakwa harus dinyatakan bersalah. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu para hakim harus hati – hati, cermat dan matang menilai dan mempertimbangkan masalah pembuktian. (M. Yahya Harahap, 2000:793)

Pembuktian merupakan titik sentrala pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan – ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara – cara yang dibenarkan undang – undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa (M.

Yahya Harahap, 2000:793). Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena – mena membuktikan kesalahan terdakwa.

Pembuktian merupakan proses acara pidana yang memegang peranan penting dalam pemeriksaan sidang di pengadilan. Melalui pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa, apakah ia bersalah atau tidak. Dalam hal pembuktian, hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti, apabila seseorang telah melanggar ketentuan perundang-undangan, ia harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sementara yang dimaksud dengan kepentingan terdakwa adalah, terdakwa harus tetap diperlakukan adil sehingga tidak ada seorang pun yang tidak bersalah akan mendapat

(28)

hukuman, (asas presumption of innocent) atau sekalipun ia bersalah ia tidak mendapat hukuman yang terlalu berat (dalam hal ini terkandung asas equality before the law) (Luhut MP. Pangaribuan, 2005:3-4).

Pembuktian ditinjau dari segi hukum acara pidana berarti : ketentuan yang membatasi siding pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasehat hokum, masing – masing terkait pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang – undang (M. Yahya Harahap, 2000:794).

Hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum tidak boleh leluasa bertindak dengan caranya sendiri dalam penilaian pembuktian. Dalam mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan dengan undang – undang. Terdakwa bisa leluasa mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar dan diluar ketentuan – ketentuan yang telah digariskan undang – undang, terutama bagi majelis hakim yang bersangkutan harus benar – benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang ditemukannya selama persidangan. Jika majelis hakim hendak meletakkan kebenaran yang ditemukannya dalam putusan yang akan merekan jatuhkan, maka kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti, dengan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang mereka temukan.

2. Asas Dan Teori Sistem Pembuktian

Dalam proses pembuktian terdapat tiga hal paling utama, yaitu sistem pembuktian, beban pembuktian, dan alat bukti. Untuk membuktikan seseorang terlibat atau tidak dalam tindak pidana korupsi, proses pembuktian

(29)

memegang peranan sangat penting, apalagi mengingat karakteristiknya sebagai extra ordinary crime yang termasuk sulit pembuktiannya, terutama jika dilihat dari perkembangan jaman dan kemajuan teknologi yang semakin membuat kompleks dan canggihnya modus operandi dalam melakukan tindak pidana korupsi.

Menurut Subekti (1995:1), yang dimaksudkan dengan “membuktikan”

adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil ataupun dalil-dalil yang dikemukakan oleh para pihak dalam suatu persengketaan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim dalam membuktikan kasalahan terdakwa (M. Yahya Harahap, 2006:273). Membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa hukum tertentu.

Adapun enam butir pokok yang menjadi alat ukur dalam teori pembuktian, dapat diuraikan sebagai berikut : (Bambang Poernomo, 2001:39)

Dasar pembuktian yang menjadi pertimbangan keputusan pengadilan untuk memperoleh fakta-fakta yang benar (bewijsgronden).

Alat-alat bukti yang dapat digunakan oleh hakim untuk mendapatkan gambaran mengenai terjadinya perbuatan pidana yang sudah lampau (bewijsmiddelen).

Penguraian mengenai bagaimana cara menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di sidang pengadilan (bewijsvoering).

(30)

Kekuatan pembuktian dalam masing-masing alat bukti dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan (bewijskracht).

Beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan tentang dakwaan di muka sidang pengadilan (bewijslast).

Bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim (bewijsminimum).

Dalam hukum pembuktian dikenal istilah notoire feiten notorious (generally known) yang berarti setiap hal yang ”sudah umum diketahui” tidak lagi perlu dibuktikan dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Hal ini tercermin dalam ketentuan Pasal 184 ayat (2) yang berbunyi, ”hal yang secara umum diketahui tidak perlu dibuktikan”. Mengenai pengertian ”hal yang secara umum sudah diketahui” ditinjau dari segi hukum, tidak lain daripada ”perihal”

atau ”keadaan tertentu” atau omstandigheiden atau circumstances, yang sudah sedemikian mestinya atau kesimpulan atau resultan yang menimbulkan akibat yang pasti demikian (M. Yahya Harahap, 2006 : 276).

3. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian.

Setiap macam alat-alat bukti disebutkan secara limitative di dalam KUHAP dan diuraikan menurut urutan dalam Pasal 184 KUHAP, antara lain:

a. Keterangan Saksi

Pada umumnya sebab orang dapat menjadi saksi di muka persidangan. Kekecualian menjadi saksi tercantum dalam Pasal 186 KUHAP, adalah sebagai berikut

(31)

Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dan terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa:

Saudara dan terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak. juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan. dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga:

Suami atau istri terdakwa meskipun telah bercerai atau yang bersama- sama sebagai terdakwa

Di samping karena hubungan keluarga atau semenda juga ditentukan oleh Pasal 170 KUHAP bahwa mereka yang karena pekerjaan harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia dapat minta dibebaskan dan kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi. Contoh orang yang hams menyimpan rahasia jabatannya misalnya seorang dokter yang harus merahasiakan penyakit yang diderita pasiennya. Sedangkan yang dimaksud karena martabatnya dapat mengundurkan diri adalah mengenal hal yang dipercayakan kepada mereka misalnya pastor agama Katolik Rona yang berhubungan dengan kerahasiaan orang-orang yang melakukan pengakuan dosa kepada pastor tersebut (Ratna Nuru Afiad, 1089 22)

Menurut Pasal 170 KUHAP di atas mengatakan dapat minta dibebaskan dan kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi maka berarti apabila mereka bersedia menjadi saksi. dapat diperiksa oleh hakim.

Oleh karena itu, kekecualian menjadi saksi karena harus menyimpan rahasia jabatan atau karena martabatnya merupakan kekecualian relatif. Kekecualian menjadi saksi di bawah, sumpah juga ditambahkan dalam Pasal 171 KUHAP, yaitu:

(32)

1. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin:

2. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.

Dalam hal kewajiban saksi mengucapkan sumpah atau janji, dalam Pasal 160 ayat (3) dikatakan bahwa sebelum saksi memberikan keterangan.

saksi wajib mengucapkan sumpah atau juga menurut cara agamanya masing- masing bahwa Ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak tarn daripada yang sebenarnya. Pengucapan sumpah atau janji didalam Pasal 161 KUHAP merupakan syarat mutlak. Dalam hal saksi atau ahli yang menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4). make pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang Ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama empat belas hari.

Apabila dalam tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau dan saksi atau ahli tetap tidak mat; mengucapkan sumpah atau janji, maka keterangan yang telah diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim. Dalam Pasal 161 ayat (2) menunjukkan bahwa keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji, tidak akan dianggap menjadi alat bukti yang sati, melainkan hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim, bukan merupakan dasar atau sumber keyakinan hakim.

Mengenal isi dan keterangan seorang saksi, dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dan orang lain atau dalam ilmu hukum acara pidana disebut testimonium do auditu atau hearsay evidence.

(33)

Testirnonium de auditu tidak diperkenankan sebagai alat bukti dalam Hukum Acara Pidana Indonesia menurut Andi Hamzah (2005) selaras dengan tujuan Hukum Acara Pidana yaitu mencari kebenaran materil. Namun demikian, testimonium do auditu perlu juga didengar oleh hakim. Walaupun tidak mempunyai nilai sebagai bukti kesaksian, tetap; dapat memperkuat keyakinan hakim yang bersumber kepada dua alat bukti yang lain Selanjutnya dapat dikemukakan adanya betas nilai suatu kesaksian yang berdiri sendiri dan seorang saksi yang disebut unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi).

Hal ini dapat dilihat pada Pasal 185 ayat (2) yang menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Namun, ketentuan sebagaimana tercantum dalam ayat (2) di alas tidak berlaku menurut Pasal 185 ayat (3) apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sati lainnya Menurut KUHAP, keterangan unus testis nullus testis, hanya berlaku bagi pemeriksaan biasa dan pemeriksaan singkat tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat.

Hal ini disimpulkan dan penjelasan Pasal 184 yang mengemukakan dalam acara pemeriksaan cepat. keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukit yang sah Namun, tidak semua keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti. Berdasarkan Pasal 1 angka 27 KUHAP, keterangan saksi yang mempunyai nilai pembuktian ialah keterangan dan saksi mengenal suatu peristiwa pidana:

1. Yang saksi Minat sendiri, 2. Saksi dengar sendiri.

(34)

3. Dan saksi alami sendiri

4. Dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu,

Pasal 185 ayat (1) menegaskan kembali bahwa keterangan saksi yang tersebut dapat dinilai sebagai alat bukti, maka keterangan saksi itu Harus dinyatakan di sidang pengadilan.

Menurut Yahya Harahap (200823) :

Alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah adalah bersifat bebas dan tidak sempurna dan tidak menentukan atau tidak mengikat”.

b. Keterangan Ahli

Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti pada urutan yang kedua setelah keterangan saksi oleh Pasal 183 KUHAP. Di dalam Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa keterangan seorang ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan Tidak diberikan penjelasan yang khusus mengenai apa yang dimaksud dengan keterangan ini menurut KUHAP, dan menurut Andi Hamzah (2005:23) dapat merupakan kesenjangan pula.

Sebagai suatu perbandingan. California Evidence Code mendefinisikan seorang ahli sebagai berikut : person is qualified to testily as an expert if he has special knowledge, skill, experience, training, or education sufficient to qualify him as an expert on the subject to which his testimony relates, Dalam terjemahan yang dikemukakan oleh Andi Hamzah (2005:268), seseorang dapat memberikan keterangan sebagai ahli jika ia mempunyai pengetahuan keahlian, pengalaman, latihan, atau pendidikan khusus yang memadai untuk memenuhi syarat sebagai seorang ahli tentang hal yang berkaitan dengan keterangannya. KUHAP membedakan keterangan ahli di persidangan

(35)

sebagai alat bukti keterangan ahli (Pasal 186 KUHN’) dan keterangan seorang ahli secara tertulis di luar sidang pengadilan sebagai alat butch surat (Pasal 187 butir c KUHAP).

Contohnya ialah visum et repertum yang dibuat oleh seorang dokter.

Seorang ahli dapat memberikan keterangan mengenai tanda tangan dan tulisan sebagai alat bukti dalam hal terjadi pemalsuan tanda tangan dan tulisan tangan. Hal ini termuat dalam Swat Edaran Jaksa Agung RI kepada jajaran Kejaksaan di seluruh Indonesia No, SE-003/J.A/121/1984 yang merupakan aturan pelaksanaan dan Pasal 184 ayat (1) huruf c Jo. Pass] 187 KUHAP Tetapi menurut M Yahya Harahap (2008:301):

Hanya sebatas mengenai keterangan ahli tentang tanda tangan dan tulisan Jika tanda tangan atau tulisan hendak dijadikan alat bukti untuk menentukan autentikasi tanda tangan dan tulisan tersebut ahli yang dimintai keterangannya untuk itu menurut SE Jaksa Agung untuk tindak pidana umum dan tindak pidana khusus keterangan ebb autentikasi diberikan oleh LABKRIM MABAK, Path pemeriksaan penyidikan demi untuk kepentingan peradilan. penyidik berwenang mengajukan permintaan keterangan dan seorang ahli apabila keterangan ahli bersifat diminta, ebb tersebut membuat laporan sesuai dengan yang dikehendaki penyidik. Laporan tersebut menurut penjelasan Pasal 186 KUHAP dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Oleh penjelasan Pasal 186, laporan seperti itu bernilai sebagai alat bukti keterangan ahli yang diberi nama alat bukti keterangan ahli berbentuk laporan. Apabila hal ini tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum. make pada pemeriksaan di sidang seorang ahli diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam

(36)

berita acara pemeriksaan. keterangan tersebut diberikan setelah Ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim.

Menurut M. Yahya Harahap (2006127) :

Pads sisi lain, ala bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan jugs menyentuh slat bukti swat. Hal ini diatur dalam Pasal 187 huruf (c) KUHAP yang menentukan salah satu yang termasuk alat bukti surat ialah surat keterangan dan seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenal sesuatu hat atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.

Hal ini tergantung pada kebijakan hakim dapat menilainya sebagai alat bukti keterangan ahli berbentuk laporan atau menyebutnya sebagai alat bukti surat kedua slat bukti tersebut sama-sama bersifat kekuatan pembuktian yang bebas dan tidak mengikat Keterangan yang seksipun diberikan oleh beberapa ahli namun dalam Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana hanya mengungkap suatu keadaan atau suatu alat yang sama maka hanya dianggap sebagai satu alat bukti saja.

c. Surat

Selain Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan alat-alat bukti secara limitative didalam Pasal 187 diuraikan tentang alat bukti swat yang terdiri dan empat butir, Asser-Anema memberikan pengertian mengenai surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran. Sedangkan surat menurut Pitlo (Moeljatno, 2006:156) adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang menerjemahkan suatu isi pikiran. Tidak termasuk kata surat adalah foto

(37)

dan peta, sebab benda ini tidak manual tanda bacaan Surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

Santa acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya yang manual keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat. atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang – undangan atau surat yang dibuat pejabat dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan:

Surat keterangan dan seorang ada yang manual pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;

Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dan alat pembuktian yang lain. Jenis-jenis surat ini tercantum dalam Pasal 187 KUHAP sebagai alat bukti yang sah di persidangan Pasal 187 butir (a) dan (b) di alas disebut juga akta otentik, be ups berita acara atau surat resmi yang dibuat oleh pejabat umum seperti notaris paspor, Surat Izin Mengemudi (SIM), Kartu Tanda Penduduk (KTP), akta latin, dan sebagainya. Pasal 187 butir (c). misalnya keterangan ahli yang berupa laporan atau visum et repertum, kematian seseorang karena diracun, dan sebagainya Pasal 187 butir (d) disebut juga surat atau akte di bawah tangan

Menurut Wiijono Prodjodikoro (2003:148):

(38)

Pasal 187 butir (d), adalah surat yang tidak sengaja dibuat untuk menjadi alat bukti, tetapi karena isinya surat ada hubungannya dengan alat bukti yang lain, maka dapat dijadikan sebagai alat bukti tambahan yang memperkuat alat bukti yang lain.

Menurut Andi Hamzah (2005:18):

Selaras dengan bunyi Pasal 187 butir (d), maka surat di bawah tangan ini masih mempunyai nilai jika ada hubungannya dengan isi dan alat pembuktian yang lain. Contoh surat ini adalah keterangan saksi yang menerangkan bahwa Ia (saksi) telah menyerahkan uang kepada terdakwa.

Keterangan ini merupakan satu-satunya alat bukti di samping sebelah surat tanda terima (kuitansi) yang ada hubungannya dengan keterangan saksi tentang pemberian uang kepada terdakwa cukup sebagai bukti minimum sesuai dengan Pasal 183 KUHAP dan Pasal 187 butir (d) KUHAP. Secara formal alat bukti swat sebagaimana disebut dalam pasal 187 huruf (a), (b).

dan (c) adalah alat bukti sempurna, sebab dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan oleh peraturan perundang- undangan sedangkan surat yang disebut dalam butir (d) bukan merupakan alat bukti yang sempurna dari segi materill, semua bentuk alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187 bukanlah alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Sama seperti keterangan saksi atau keterangan ahli, surat juga mempunyai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas (vrij bewijskracht). Adapun alasan ketidakterikatan hakim atas alat bukti surat didasarkan pada beberapa as-as antara lain asas proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran materil atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran sejati (materiel waarheid), bukan mencari keterangan formil Selain itu, asas batas minimum

(39)

pembuktian (bewijs minimum) yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim sebagaimana tercantum dalam Pasal 183, bahwa hakim baru boleh menjatuhkan pidana kepada sedang terdakwa telah terbukti dengan sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang melakukannya. Dengan demikian, bagaimanapun sempurnanya alat bukti surat. Namun alat bukti surat ini tidaklah dapat berdiri sendiri, melainkan sekurang-kurangnya harus dibantu dengan satu Mat bukti yang set lainnya guna memenuhi batas minimum pembuktian yang telah ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP.

d. Petunjuk

Petunjuk merupakan alat bukti keempat yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP. Dalam Pasal 188 ayat (1) disebutkan pengertian petunjuk, yaitu perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana den sapa pelakunya. M.

Yahya Harahap (2008:278)

Mendefinisikan petunjuk dengan menambah beberapa kata yakni petunjuk adalah suatu syarat yang dapat ditarik dan suatu perbuatan.

kejadian atau keadaan dimana isyarat tadi mempunyai persesuaian antara yang satu dengan yang lalu maupun isyarat tadi mempunyai persesuaian dengan tindak pidana Itu sendiri. dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut melahirkan atau mewujudkan suatu petunjuk yang membentuk kenyataan terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya.

(40)

Menurut Pasal 188 ayat (2) KUHAP dalam hal cara memperoleh alat bukti petunjuk. hanya dapat diperoleh dari:

1. Keterangan saksi:

2. Surat, dan

3. Keterangan terdakwa

Apabila alat bukti yang menjadi sumber dan petunjuk tidak ada dalam persidangan pengadilan, maka dengan sendirinya tidak akan ada alat bukti petunjuk. Nilai kekuatan pembuktian (bewijskracht) dan alat bukti petunjuk sama dengan alat bukti yang lain yaitu lain yaitu bebas. Hakim tidak terikat alas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Namun demikian, sebagaimana diatakan Pasal 188 ayat (3), penilaian atas kekuatan pembuktian dan suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.

e. Keterangan Terdakwa

Pengertian keterangan terdakwa tercantum dalam Pasal 189 ayat (1) KUHAP yang berbunyi, keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenal ha] yang didakwakan kepadanya. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang

(41)

didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bumi yang lain.

Terhadap bunyi Pasal 189 ayat (2), M Yahya Harahap 2008 : 279) mengatakan. Bentuk keterangan yang dapat diklasifikasikan sebagai keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang adalah

1. Keterangan yang diberikannya dalam pemeriksaan penyidikan.

2. Keterangan itu dicatat dalam berita acara penyidikan

3. Berita acara penyidikan itu ditanda tangan oleh pejabat penyidik dan terdakwa

Pengakuan tersangka dalam tingkat penyidikan dapat dicabut kembali dalam pemeriksaan pengadilan. Alasan klise dicabutnya pengakuan tersebut adalah karena tersangka disiksa oleh petugas penyidik

C. Pembuktian Tindak Pidana Korupsi.

1. Pembuktian Terbalik Berimbang dan Beban Pembuktian Terbalik.

Menurut doktrin, terdapat empat sistem pembuktian, yaitu sebagai berikut (Andi Hamzah, 1985:230) :

Sistem pembuktian semata-mata berdasarkan keyakinan hakim (conviction in time). Dalam sistem ini, penentuan seorang terdakwa bersalah atau tidak hanya didasari oleh penilaian hakim. Hakim dalam melakukan penilaian memiliki subjektifitas yang absolut karena hanya keyakinan dan penilaian subjektif hakim lah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Mengenai dari mana hakim mendapat keyakinannya, bukanlah suatu permasalahan dalam sistem ini. hakim dapat memperoleh keyakinannya dari mana saja.

(42)

Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan logis (La Conviction Raisonee/Conviction Raisonee). Dalam hal sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim telah dibatasi. Keyakian hakim dalam sistem pembuktian ini tidak seluas pada sistem pembuktian conviction in time karena keyakinan hakim harus disertai alasan logis yang dapat diterima akal sehat. Sistem yang disebut sebagai sistem pembuktian jalan tengah ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim diberi kebebasan untuk menyebut alasan keyakinannya (vrije bewijstheorie).

Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie). Sistem pembuktian ini merupakan kebalikan dari sistem pembuktian conviction in time. Dalam sistem ini, keyakinan hakim tidak diperlukan, karena apabila terbukti suatu tindak pidana telah memenuhi ketentuan alat bukti yang disebutkan dalam undang-undang, seorang terdakwa akan langsung mendapatkan vonis. Pada teori pembuktian formal/positif (positief bewijstheorie) ini, penekanannya terletak pada penghukuman harus berdasarkan hukum. Artinya, seorang terdakwa yang dijatuhi hukuman tidak semata-mata hanya berpegang pada keyakinan hakim saja, namun berpegang pada ketentuan alat bukti yang sah menurut undang- undang. Sistem ini berusaha menyingkirkn semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan pembuktian yang keras.

Sistem pembuktian undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheori). Sistem pembuktian ini menggabungkan antara faktor hukum positif sesuai ketentuan perundang-undangan dan faktor keyakinan hakim.

(43)

Artinya, dalam memperoleh keyakinannya, hakim juga terikat terhadap penggunaan alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.

Mengenai sistem pembuktian mana yang digunakan dalam hukum acara pidana di Indonesia dapat terlihat dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan, suatu tindak pidana benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Dengan demikian dapat disimpulkan sistem pembuktian di Indonesia menggunakan teori pembuktian undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheori). Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak secara khusus diatur mengenai syarat minimum alat bukti, atau pun ketentuan mengenai keyakinan hakim, sehingga tidak terlihat sistem pembuktian apa yang digunakan dalam kedua undang- undang tersebut. Namun, dengan menggunakan penafsiran secara a contrario terhadap prinsip lex specialis derogat legi generalis, ketentuan mengenai sistem pembuktian dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menggunakan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu sistem pembuktian undang-undang secara negatif. Dengan demikian, hakim dapat memutus seseorang bersalah melakukan tindak pidana korupsi apabila dari dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan kalau terdakwalah yang melakukan tindak pindana korupsi tersebut.

Meskipun begitu, terdapat sebuah pengecualian sistem pembuktian yang hanya terdapat didalam pasal 37 ayat 2 Undang-undang Nomor 20

(44)

Tahun 2001, yang mana terhadap pasal tersebut tidak menganut sistem pembuktian secara negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk).

Pasal 37 ayat (2) :

“Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti”.

Penjelasan Pasal 37 ayat (2) : “Ketentuan ini tidak menganut sistem pembuktian secara negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk)”.

Hal tersebut berarti terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi tanpa ia harus melengkapi dengan dua alat bukti yang sah supaya mendapatkan keyakinan hakim, dan hal itu hanya berlaku untuk pasal 37 ayat (2) saja, sedangkan untuk pembuktian tindak pidana korupsinya maka Jaksa Penuntut Umum tetap berkewajiban membuktikannya dan Hakim dapat memutus dengan menggunakan sistem pembuktian secara negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk).

Beban pembuktian adalah kewajiban yang dibebankan kepada suatu pihak untuk memberikan suatu fakta di depan umum demi membuktikan fakta tersebut di depan hakim yang sedang memeriksa kasus tersebut di persidangan. Dalam hukum acara pidana dikenal tiga macam beban pembuktian, yaitu sebagai berikut :

Beban pembuktian biasa. Pada beban pembuktian ini, berlaku prinsip siapa yang mendalilkan maka ia harus membuktikan. Beban pembuktian semacam ini biasa digunakan pada tindak pidana umum, dimana Penuntut Umumlah yang dibebani kewajiban untuk membuktikan. Seorang Jaksa Penuntut Umum harus membuktikan kebenaran dakwaan terhadap terdakwa

(45)

yang ia tuliskan dalam surat dakwaan. Sedangkan, bagi terdakwa ia tidak dibebani dengan beban pembuktian. Beban pembuktian seperti ini merupakan konsekuensi dari asas praduga tidak bersalah dan prinsip non-self incrimination, yaitu hak tersangka/terdakwa untuk tidak mempersalahkan diri sendiri (Luhut MP. Pangaribuan, 2005:3-4)

Beban pembuktian terbalik terbatas atau berimbang. Pada beban pembuktian seperti ini, kewajiban pembuktian terletak pada dua pihak, yaitu pada Penuntut Umum dan terdakwa sendiri. Pada dasarnya, Penuntut Umum membuktikan telah terjadi suatu peristiwa pidana yang dilakukan oleh terdakwa dan terdakwa harus mempertanggung jawabkannya. Sementara itu, terdakwa berupaya membuktikan perbuatannya bukan merupakan tindak pidana serta membuktikan dakwaan Penuntut Umum dalam surat dakwaan tidak benar. Dalam beban pembuktian terbalik berimbang, apabila terdakwa memiliki alibi yang kuat ia mampu membuktikan kebenarannya, maka beban pembuktian secara otomatis berpindah ke tangan Penuntut Umum untuk membuktikan dakwaan yang didakwakan adalah benar. Contoh dalam praktek, beban pembuktian semacam ini terlihat dalam tindak pidana korupsi.

Dalam tindak pidana korupsi terdakwa wajib memberikan keterangan seluruh harta bendanya terkait perkara yang didakwakan, jika terdakwa tidak dapat membuktikan kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambah kekayaannya, maka hal tersebut digunakan untuk memperkuat alat bukti yang telah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 37A ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Menurut ketentuan ini

(46)

terdakwa dapat membuktikan hal tersebut tidak berarti ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang terbatas, karena jaksa masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya (Penjelasan Pasal 37 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

Beban pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian. Dalam beban pembuktian terbalik, hanya terdakwalah yang dibebani kewajiban untuk membuktikan dakwaan Penuntut Umum tidak benar dan dirinya tidak bersalah. Penuntut Umum hanya bersikap pasif yaitu mengajukan dakwaan tanpa membuktikanya (Angga Bastian dkk., 2006:9). Contoh beban pembuktian semacam ini terlihat dalam Pasal 38 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang mana terdakwalah yang dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa harta benda miliknya bukan merupakan hasil korupsi. Jaksa tidak perlu membuktikan perihal harta benda yang telah disitanya dari terdakwa. Apabila terdakwa tidak dapat membuktikan, maka hal tersebut digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 37 A ayat (2) Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001), dan harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi sehingga hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara (Pasal 38 B ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).

Di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara jelas dinyatakan :

(47)

”Di samping itu, Undang-undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya”.

Dari uraian diatas, dapat ditarik dua kesimpulan, pertama, bahwa untuk beban pembuktian atas perbuatan tindak pidana korupsi adalah berlaku

“pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang”, karena terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi (dalam hal ini tidak menganut sistem pembuktian secara negatif menurut undang-undang, sehingga terdakwa tidak harus melengkapi dengan dua alat bukti yang sah supaya mendapatkan keyakinan hakim), sedangkan Jaksa Penuntut Umum masih tetap berkewajiban membuktikan dakwaan perbuatan korupsi si terdakwa (Pasal 37 A ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001), dengan menggunakan sistem pembuktian secara negatif menurut undang-undang/negatief wettelijk (Jaksa harus melengkapi dengan minimal dua alat bukti yang sah supaya mendapatkan keyakinan hakim).

Kesimpulan kedua, bahwa untuk beban pembuktian atas harta benda yang disita sebagai barang bukti di persidangan yang diduga sebagai hasil tindak pidana korupsi, maka berlaku beban pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian, sebagaimana dalam Pasal 38 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

2. Alat Bukti dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(48)

Tidak ditemukan suatu definisi khusus mengenai apa itu alat bukti, namun secara umum yang dimaksud dengan alat bukti adalah alat bukti yang tercantum dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP (Djoko Prakoso, 1988:37). Fungsi dari alat bukti itu sendiri adalah untuk membuktikan adalah benar terdakwa yang melakukan tindak pidana dan untuk itu terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Adapun alat bukti yang sah menurut Undang-undang sesuai dengan apa yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, adalah (M. Yahya Harahap, 2000:285) :

1. Keterangan saksi;

2. Keterangan ahli;

3. Surat;

4. Petunjuk;

5. Keterangan terdakwa.

Apabila berdasarkan KUHAP, maka yang dinilai sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas kepada alat bukti yang tercantum dalam Pasal 184 (1) KUHAP. Dengan kata lain, sifat dari alat bukti menurut KUHAP adalah limitatif atau terbatas pada yang ditentukan saja. Akan tetapi, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, KUHAP bukanlah satu-satunya undang-undang pidana formil yang mengatur mengenai ketentuan pembuktian.

Beberapa undang-undang pidana yang memiliki aspek formil juga mengatur mengenai alat bukti tersendiri. Meskipun demikian, secara umum alat bukti yang diatur dalam undang-undang pidana formil tersebut tetap

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa, terdapat beberapa problematika yuridis yang timbul dari diterapkannya sistem pembuktian terbalik pada tindak pidana

BAB II: TINJAUAN TERHADAP PEMBUKTIAN DAN PENERAPAN PEMBUKTIAN TERBALIK TERBATAS DALAM PROSES PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana

Disertasi yang berjudul : Penguatan Sistem Pembuktian Terbalik Tindak Pidana Pencucian Uang Dengan Perkara Pokok Tindak Pidana Korupsi Dalam Upaya Pengembalian

20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak

Permasalahan dalam skripsi ini adalah dakwaan Jaksa Penuntut Umum pada kasus tindak pidana korupsi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jember Nomor : 971/Pid.Sus/2010/PN.Jr)

UPAYA PEMBUKTIAN PENUNTUT UMUM BERDASARKAN HASIL CETAK SCREEN CAPTURE SEBAGAI ALAT BUKTI ELEKTRONIK DAN PERTIMBANGAN HAKIM MEMUTUS TINDAK PIDANA PENGHINAAN MELALUI

Bahwa dengan terpenuhinya semua unsur dari tindak pidana yang didakwakan kepada para terdakwa sebagaimana dirumuskan dalam dakwaan alternative Jaksa Penuntut Umum

Dalam naskah rancangan KUHP baru tahun 2000 telah dirumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang obyektif pada tindak pidana