SKRIPSI
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Mahasiswa Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Disusun Oleh : Guvara Sahri Zulmy
140200011
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2018
ABSTRAK
Dalam perbuatan tindak pidana pencurian dengan kekerasan setiap hari semakin meningkat kuantitasnya yang dapat dilihat dari media massa, adapun faktornya ialah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Ketika pelaku tindak pidana pencurian dan kekerasan ini diperiksa oleh aparat penegak hukum, mulai dari tahap penyidikan oleh Kepolisian, penahanan, pelimpahan berkas perkara kepada pihak Kejaksaan, Penuntutan di depan sidang pengadilan oleh Jaksa Penuntut umum dan pada akhirnya penjatuhan Putusan oleh Hakim di depan sidang pengadilan, ternyata terdapat ketidakseragaman dalam hal putusan pemindanaannya. Bahkan dalam beberapa putusan hakim, terdapat perbedaan (disparitas) putusan dalam tindak pidana tertentu yang sama atau yang sifat bahayanya dapat diperbadingkan, tanpa alasan yang jelas, benar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaiamana pengaturan hukum tindak pidana pencurian dengan Kekerasan dalam KUHP ? apa yang menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas pidana ? bagaiamana penerapan pidana terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan dalam putusan No.157/Pid.B/2015/PN.Kbu. dan Putusan No.15/Pid.B/2016/PN.Kbu ? Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan pencurian dengan kekerasan di dalam KUHP, untuk mengetahui faktor-faktor apa yang dapat menyebabkan timbulnya disaparitas pidana dalam putusan tindak pidana pencurian dengan kekerasan, untuk mengetahui penerapan pidana terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan dalam putusan No.157/Pid.B/2015/PN.Kbu.
dan Putusan No.15/Pid.B/2016/PN.Kbu. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah normative. Sifat penelitian deskriptif. Data yang diguanakan data sekunder. Tenik pengumpulan data melalui studi kepustakaan (library search). Analisis data secara kualitatif.
Pengaturan tindak pidana pencurian dengan kekerasan terdapat dalam KUHP pasal 365 ayat (1) sampai dengan ayat (4). Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya disparitas pidana dalam putusan tindak pidana pencurian dengan kekerasan ialah faktor ketentuan undang-undang, faktor yang bersumber pada diri hakim dan faktor keadaan pelaku tindak pidana. Penerapan pidana terhadap tidak pidana pencurian dengan kekerasan dalam putusan No.157/Pid.B/2015/PN.Kbu dan putusan No.15/Pid.B/2016/PN.Kbu. Berdasarkan putusan No.157/Pid.B/2015/PN.Kbu pelaku dipidana dengan pidana penjara 4 tahun sedangkan putusan No.15/Pid.B/2016/PN.Kbu pelaku dipidana penjara 6 tahun. Melihat dan mengamati kedua putusan, Penulis merasa tidak tepat, Adapun alasan didalam pertimbangan Hakim ialah di dalam Putusan No.157/Pid.B/2015/PN.KBu Terdakwa Sudah pernah dihukum sedangkan didalam putusan No.15/Pid.B/2016/PN.KBu. Para Terdakwa belum pernah di hukum.
 Mahasiswa Fakultas Hukum USU
 Dosen Pembimbing I, Staff Pengajar Fakultas Hukum USU
***
hingga saat ini, sehingga Penulis dapat menyesalikan Skripsi ini yang berjudul
“Tinjauan Yuridis Terhadap Dispartias Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan” (STUDI PUTUSAN Nomor 253/Pid. B/2014/PN.Kbu dan Putusan Nomor 157 K/Pid/2015/PN.Kbu. dan Putusan No.15/Pid.B/2016/PN.Kbu.)” ini dengan baik dan tempat waktu
Penulis Mengakui skripsi ini masih memiliki kekurangan dalam hal, terutama penyajian, tata bahasa maupun materi muatannya. Oleh karena itu penulis menerima segala bentuk saran dan kritik yang membangun demi terciptanya perbaikan di hari-hari yang akan datang.
Penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun secara tidak langsung sehingga skripsi ini dapat diselesaikan, yaitu :
1. Bapak Prof. Dr.Budiman Ginting, SH.,M.,Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum USU
2. Bapak Dr. Saidin, S.H., M.Hum., Selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU
3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum, Selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU
4. Bapak Dr, Jelly Leviza, S.H., M.Hum., Selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU
5. Bapak Dr. Hamdan,SH.,M.Hum, selaku Kepala Jurusan Hukum Pidana Fakulas Hukum USU Medan
telah banyak memberi masukan kepada saya terkait dengan skripsi saya.
8. Bapak Dr. Mhd. Ekaputra, SH, M.Hum, Selaku Dosen Pembibing II yang telah banyak memberikan masukan kepada saya terkait dengan sekripsi saya.
9. Bapak Affan Mukti SH, MS. Selaku Dosen Akademis saya. Bapak yang sangat tegas dan penuh dengan disiplin dalam membibing saya.
10. Terkhusus buat Alm. Ayah saya. Alm. Khairi Azzadi Zulmy, SH. Yang telang membibing dan mengajari saya dari SD hingga SMA menjadi Pribadi yang baik jujur, dan sabar dalam menjalankan kehidupan.
11. Terkhusus untuk Mama Saya. Ir, Siti Aisyah, yang sangat saya sayangi dan cintai yang memberikan dukungannya dan memberikan motivasi dan selalu memberikan waktu disaat waktu yang saya perlukan. Terima kasih buat kasih sayang, kepercayaan dan kesabaran Mama berikan kepada saya.
Sehingga skripsi ini dapat saya selesaikan dengan baik.
12. Kepada adik perempuan Saya Fazria Dita Zulmy dan sepupu saya, Cody Hanggara, SE., Dimas Prayogi, SE., Qhalby Mulya, S.Kom, Agastya Rachman Arief, ST., Muhamad Azhar, M.Yusuf Adam., Indun Lara Kurnia, SH, Mia Zulmy, SP, dan Anggi Zulmy, SH.
13. Kepada Teman-teman yang pernah mengemban amanah dakwah di BTM (Mifthahul Jannah): Fachri Husani, Memo Bahari Sitorus, Mhd. Faisal Mahyan, Rizky, Rivaldi Ar Chaniago, Farhan Ramadhan Al-Haris, Ika Riani Pasaribu, Nelli Ayunda Putri, Milda Sari Harahap, Ajeng Hanifa
dalam pekerjaan apapun yang kita terima nanti.
15. Terima kasih juga buat seluruh Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing Penulis Selama masa perkuliah.
Mengingat skripsi ini masih membutuhkan kajian yang cukup mendalam dan sifat ilmu pengetahuan yang mengalami perkembangan maka penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan yang bersifat membangun demi kemajuan ilmu pengetahuan dan kesempurnaan skripsi ini.
Akhir kata, Penilis berharap skripsi ini dapat berguna bagai kita semua dan pihak-pihak yang membutuhkannya. Terimakasih.
Medan, Juli 2018
Penulis
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……….……1
B. Permasalahan...………....………6
C. Tujuan Penulisan………...………....…..6
D. Manfaat penulisan………...………7
E. Keaslian Penulisan………...………..…….8
F. Tinjauan Pusataka……….;.……...………...9
1. Pengertian Tindak Pidana...………...…..…………....10
2. Pengertian Disparitas ………...………..………….…13
G. Metode Penelitian………..16
H. Sistematika Penulisan………...19
BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN DALAM KUHP A. Pengaturan Tindak Pidana pencurian di Dalam KUHP………21
B. Pengaturan Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan di Dalam KUHP………....34
BAB III PENYEBAB TERJADINYA DISPARITAS PIDANA A. Faktor Penyebab Disparitas Pidana…….……….……....………41
1. Faktor Undang-undang………..……….41
2. Faktor Yang Bersumber dari Hakim………..…44
3. Faktor Keadaan pelaku………..………….46
B. Dampak-Dampak terjadinya disparitas pidana……….……...55
DENGAN KEKERASAN
A. Gambaran Kasus………..59
1. Putusan No.157/Pid.B/2015/PN.Kbu...…...………...59
a. Kronologis………...…..59
b. Dakwaan………...……….60
c. Tuntutan………..………...62
d. Fakta Hukum………..………...63
e. Analisis Kasus………..……….65
1) Analisis Dakwaan………….………....65
2) Analisis Tuntutan ………...70
3) Analisis Putusan………..………..73
2. Putusan No.15/Pid.B/2016/PN.Kbu...…...………...76
a. Kronologis………...…..76
b. Dakwaan………...……….78
c. Tuntutan………..………...83
d. Fakta Hukum………..………...83
e. Analisis Kasus………..……….86
1) Analisis Dakwaan………….………....86
2) Analisis Tuntutan ……….92
3) Analisis Putusan………..………..94
3. Disaparitas Pemidanaan dalam Putusan No.157/Pid.B/2015/PN.Kbu dan Putusan No.15/Pid.B/2016/PN.Kbu….….………...….98
4. Upaya Mengatasi Terjadinya Disparitas Pemidanaan………....101
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan...108
B. Saran………..………..109
DAFTAR PUSTAKA ……….110
A. Latar Belakang
Tindak-tindak pelanggaran dan kejahatan yang semakin hari semakin meningkat kuantitasnya dan terlihat semakin beraneka ragam jenisnya tidak dapat lagi diselesaikan sendiri oleh masyarakat. Oleh karena itu untuk menciptakan dan memenuhi keinginan masyarakat akan rasa keadilan, dibentuklah lembaga peradilan. Masyarakat berharap dengan adanya lembaga peradilan tersebut, permasalahan-permasalahan dalam masyarakat yang dihadapkan ke peradilan dapat diadili dan diselesaikan sehingga melahirkan suatu putusan yang adil.
Adil dalam hal ini berarti sikap memihak kepada yang benar, tidak memihak salah satu pihak dan tidak berat sebelah.1 Walaupun disadari bahwa suatu putusan hakim melalui pengadilan tidak mungkin akan memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak tetapi paling tidak rasa keadilan itu harus berpihak kepada kebenaran yang dapat diterima umum.
Dalam upaya menegakkan keadilan, hakim di Indonesia tidak lain harus menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pada Pancasila. Hakim dituntut dapat menafsirkan hukum dan wajib mencari dasar-dasar asas yang menjadi landasan keputusannya. Setelah tuntutan dan kewajiban itu ia upayakan, ia wajib pula bertanya pada hati nuraninya, sudahkah putusan itu mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat yang diucapkan atas nama Tuhan. 2
1 Peter Salim dan Yeyen Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English Press, 2002) h.12.
2Bismar Siregar, Rasa keadilan, (Surabaya: Bina Ilmu,1996) h.4.
Hal ini sangat sesuai dengan bunyi Pasal 2 ayat (1) UU. 14 Tahun 1985 jo.
UU. No 4 Tahun 2004 jo. UU. No 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan Peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” Tetapi walaupun demikian halnya, dalam praktek peradilan sehari-hari terlihat bahwa ternyata tidak jarang putusan hakim yang diucapkan dengan lafal “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” tersebut dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat.
Putusan hakim seringkali di katakan berat sebelah, tidak masuk di akal, tidak mempunyai dasar putusan yang jelas, dan lain sebagainya yang pada intinya menyatakan bahwa putusan tersebut tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Bahkan dalam beberapa putusan hakim, terdapat perbedaan (disparitas) putusan dalam tindak pidana tertentu yang sama atau yang sifat bahayanya dapat diperbadingkan, tanpa alasan yang jelas, benar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Hal-hal seperti ini baik disadari atau tidak disadari lambat laun telah menimbulkan sikap apatis masyarakat terhadap dunia peradilan.
Menurut Tavarne: Geef me goede rechter, goede rechter commissarissen, goede officieren van justitie en goede politie ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboek van strafprosesrecht het got goede beruken. Beliau menyatakan bukan rumusan undang-undang yang menjamin kebaikan pelaksanaan hukum acara pidana, tetapi hukum acara pidana jelek pun dapat menjadi baik jika pelaksanaan ditangani oleh aparat penegak hukum yang baik.3
3M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (penyidik dan penuntutan), (Jakarta: Sinar Grafika,2010) h.6.
Khusus dalam hal terdapat disparitas pidana, dapat dikatakan bahwa sebenarnya ada beberapa faktor yang dapat diterima secara umum sebagai latar belakang penyebab timbulnya disparitas pidana itu sendiri. Tetapi walaupun demikian, sering kali dalam tindak pidana yang sama atau yang sifat bahayanya dapat dipertanggungjawabkan ternyata alasan-alasan untuk timbulnya disparitas pidana itu tidak jelas, tidak berdasar dan belum dapat diterima secara umum sebagaimana dalam skripsi yang berjudul “(TINJAUAN YURIDIS TERHADAP DISPARITAS TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN (STUDI Putusan No.157/Pid.B/2015/PN.Kbu. dan Putusan No.15/Pid.B/2016/PN.Kbu.)” ini, penulis mencoba mengulas dan menyoroti permasalahan mengenai munculnya dua putusan pemidanaan yang berbeda dalam delik yang sama yaitu pencurian dengan kekerasan.
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka.4 di satu sisi membawa dampak yang sangat positif terhadap upaya penegakan hukum di Indonesia. Dalam hal ini, hakim menjadi suatu badan yang independen dan putusannya tidak dapat dipengaruhi oleh badan-badan atau kekuasaan lain. Tetapi disisi lain, kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusannya ternyata juga membawa suatu dampak negatif yaitu munculnya disparitas pidana itu sendiri.
4Pasal 1 ayat 1 UU No. 14 tahun 1985 jo UU. no 4 tahun 2004 jo UU. No. 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Menyatakan, Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaann kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. (Penjelasan pasal 1 Uundang-undang No 4 tahun 2014)
Dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana (cryminal justice system) maka pidana menempati suatu posisi sentral. Hal ini disebabkan karena putusan di dalam pemidanaan akan mempunyai konsekuensi yang luas, baik yang menyangkut langsung pelaku tindak pidana maupun masyarakat secara luas.5
Masalah pidana dan pemidanaan dalam sejarah selalu mengalami perubahan. Dari abad ke abad keberadaannya selalu diperdebatkan oleh para ahli, bila disimak dari sudut perkembangan masyarakat, perubahan itu adalah hal yang wajar karena manusia selalu berubah, selalu berupaya untuk memperbaharui suatu hal demi meningkatkan kesejahteraan di masa yang akan datang.6
Sebenarnya masalah pemidanaan ini tidak dapat di pandang sederhana sebab persoalannya justru sangat kompleks dan mengandung makna mendalam baik secara yuridis, sosiologis dan filosofis.7
Bila disparitas pidana dibahas secara mendalam, tentunya perlu dikaji secara serius, komponen atau faktor-faktor yang terkait sebagai penyebabnya karena tidak mungkin sesuatu terjadi begitu saja tanpa adanya rangkaian sebab- sebab yang salam terjalin satu sama lain.
Namun dapat dapat ditegaskan bahwa terdapat beberapa faktor penyebab timbulnya disparitas pidana,faktor tersebut akan dijelaskan secara mendalam oleh penulis dengan demikian maka akan dicari dan ditemukan pendekatan yang tepat untuk mengatasi disparitas pidana itu sendiri.
5Muladi dan Barda nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: P.T Alumni, 2010,) h.52.
6M. sholehudin, sistem sanksi dalam hukum pidana : Ide Dasar Double Track Sytem dan Implementasinya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004,) h. 1.
7Muladi dan Barda Nawawi Arief., Loc.cit., h. 52.
Dalam Perbuatan Tindak pidana pencurian dengan kekerasan semakin- lama semakin cenderung meningkat kuantitanya. Hampir setiap hari media massa dan eloktronik memberitakan terjadinya tindak pidana pencurian dengan kekerasan dari berbagai pelosok tanah air. Pencurian dengan kekerasan sudah merupakan hal yang biasa terlalu sering didengarkan, ditonton atau dibaca oleh masyarakat luas melalui pemberitaan media.
Banyak faktor yang mendasari terjadinya tindak pidana pencurian dengan kekerasan ini dan kadang-kadang penyebabnya sangat sepele. Tindak pidana ini terasa semakin dekat dengan masyarakat, dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan oleh siapa saja. Dengan banyaknya kejadian pecurian dengan kekerasan dimana-mana, sehingga nyawa seseorang pun terkadang tidak ada artinya lagi demi memenuhi kebutuhan ekonomi .
Ketika pelaku tindak pidana pencurian ini diperiksa oleh aparat penegak hukum, mulai dari tahap penyidikan oleh Kepolisian, penahanan, pelimpahan berkas perkara kepada pihak Kejaksaan, Penuntutan di depan sidang pengadilan oleh Jaksa Penuntut Umum dan pada akhirnya penjatuhan Putusan oleh Hakim di depan sidang pengadilan, ternyata terdapat ketidakseragaman dalam hal putusan pemindanaannya. Bahkan dalam beberapa putusan hakim, terdapat perbedaan (disparitas) putusan dalam tindak pidana tertentu yang sama atau yang sifat bahayanya dapat diperbadingkan, tanpa alasan yang jelas, benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal inilah yang disebut dengan disparitas pidana dalam putusan delik pencurian dengan kekerasan yang akan dibahas oleh penulis dalam skripsi yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP DISPARITAS
TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN “(STUDI PUTUSAN Putusan Nomor 157 /Pid.B/2015/PN.Kbu. dan Putusan No.15/Pid.B/2016/PN.Kbu.)”
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka dapatlah dirumuskan apa yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini yaitu sebagai berikut:
1. Bagaiaman pengaturan tindak pidana pencurian dengan kekerasan dalam KUHP ?
2. Apa yang menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas pidana ?
3. Bagaimana penerapan pidana terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan dalam putusan No.253/Pid.B/2015/PN.Kbu. dan Putusan No.15/Pid.B/2016/PN.Kbu. ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan pencurian dengan kekerasan di
dalam KUHP
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang dapat menyebabkan timbulnya disparitas pidana dalam putusan tindak pencurian dengan kekerasan
3. Untuk mengetahui penerapan pidana terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan dalam putusan No.253/Pid.B/2015/PN.Kbu. dan Putusan No.15/Pid.B/2015/PN.Kbu.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan skirpsi ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penulisan ini diharapkan mampuh menambah ilmu pengetahuan, dan melengkapi perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran yang menyoroti dan membahas mengenai timbulnya disparitas pidana dalam putusan delik pencurian dengan kekerasan dalam upaya mewujudkan nilai keadilan.
b. Hasil Penulisan ini diharapkan mampu memberikan masukan kepada Hakim dalam memutuskan perkara tindak pindana pencurian dengan kekerasan sehingga dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya
2. Manfaat praktis
a. Untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya disparitas pidana dalam putusan delik pencurian dengan kekerasan dengan memfokuskan diri ke arah kepastian hukum bagi setiap pihak terutama bagi pihak pelaku tindak pidana.
b. Begitu juga bagi ketiga pilar demokrasi di negri ini, baik Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif serta masyarakat luas.
1. Bagi pihak Esekutif yaitu pihak Pemerintah supaya lebih peka dan tanggap ikut bersama-sama dalam mewujudkan kepastian hukum melalui penegakan hukum itu sendiri dalam setiap bidang kehidupan masyarakat.
2. Bagi pihak Legislatif yaitu DPR agar dapat memikirkan dan merelisasikan akan lahirnya perundang-undangan yang benar-benar menjamin kepastian hukum sehingga dapat mencegah timbulnya disparitas pidana dalam bidang apapun dan juga agar membentuk peraturan perundang-undang yang berpihak kepada kepentingan masyarakat luas pada umumnya, bukan hanya berpihak kepada golongan atau pribadi tertentu saja.
3. Bagi Pihak yudikatif sebagai pihak paling depan dalam upaya penegakan hukum harus mencegah terjadinya disparitas pidana dengan berbagai cara. Begitu juga dalam memeriksa berkas, mengadili dan memutuskan setiap kasus pencurian dengan kekerasan agar selalu menggunakan akal sehat dan hati nurani yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan manusia serta dengan sungguh-sungguh menggunakan intelektualnya dan rasio yang jernih bukan dengan emosi yang di pengaruhi oleh berbagai pihak dan kepentingan lain yang selalu berusaha mempengaruhi dunia peradilan itu .
4. Masyarakat harus ikut dalam memiliki kepedulian terhadap timbulnya disparitas pidana delik pencurian dengan kekerasan yang pada saat ini hanya menimpa beberapa pelaku tindak pidana saja E. Keaslian Penulisan
Skripsi ini berjudul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP DISPARITAS TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN
(STUDI PUTUSAN dan Putusan Nomor 157 /Pid.B/2015/PN.Kbu. dan Putusan No.15/Pid.B/2016/PN.Kbu.”. Dalam skripsi ini, saya melakukan studi kepustakaan dan menganalisis putusan, Sepengetahuan Penulis, skripsi ini belum pernah ada yang membuat kalaupun sudah ada, penulis yakin bahwasannya subtansi pembahasannya adalah berbeda. Dalam skripsi ini, penulis mencoba mengarahkan pembahasan kearah faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya disparitas pidana dalam putusan delik pencurian dengan kekerasan dan kearah dampak terjadinya disparitas pidana dalam putusan delik pencurian dengan kekerasan bagi pelaku tindak pidana dan masyarakat luas pada umumnya dan upaya mengatasi disparitas pidana dalam putusan delik pencurian dengan kekerasan.
Dengan demikian maka keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
F. Tinjauan Kepustakaan
Tinjauan berasal dari kata “tinjau” yang berarti melihat sesuatu yang jauh dari tempat yang tinggi; datang atau pergi melihat-lihat, memeriksa, mengamati dan sebagainya; menyelidiki, mengintai; mempertimbangkan kembali, menilik;
memeriksa untuk memahami dan sebagainya, mempelajari dengan cermat menduga hati, pikiran dan sebagainya. Kata tinjauan sendiri berarti hasil meninjau atau yang dapat setelah menyelelidiki, mempelajari, dan sebagainya. Sedangan kata “yuridis”dalam hal ini adalah bentuk kata sifat yang berarti berdasarkan hukum, secara hukum. 8
8Peter Salim dan Yeyen Salim, Op. cit.,h. 1621.
1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah Tindak pidana adalah sebagai terjemahan dari istilah Bahasa belanda yaitu “strafbaar feit”. Stafbaar feit terdiri tiga kata yaitu straf, baar dan feit , ternyata straf diterjemahkan dengan pidana dan hukuman. Pekataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sedangkan kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, dan perbuatan. Secara literlijk, kata straf artinya pidana, baar artinya dapat atau boleh dan feit artinya perbuatan. jadi pengertian secara mendasar adalah perbuatan yang dapat dipidana. 9
Di dalam bahasa Indonesia sebagai terjemahan dari srafbaar feit terdapat beberapa istilah seperti: 10
1. Tindak Pidana 2. Perbuatan Pidana 3. Peristiwa pidana 4. Pelanggaran Pidana
5. Perbuatan yang boleh dihukum 6. Perbuatan yang dapat dihukum
Di antara keenam istilah tersebut di atas, H. Ishaq menyatakan, yang paling tepat dan baik untuk dipergunakan adalah istilah “tindak pidana”, dengan alasan bahwa istilah tersebut selain mengandung pengertian yang tepat tepat dan jelas sebagai istilah hukum, juga sangat mudah diucapkan. Di samping itu, di dalam beberapa peraturan perundang-undangan memakai istilah “tindak pidana”
9Adami chazawi, pelajaran hukum pidana bagian 1, (Jakarta: Raja grafindo persada, 2009) h. 72.
10 H.Ishaq, Pengatar Hukum Indonesia (PHI), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada) hal.136.
seperti di dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Adapun pengertian tindak pidana menurut para sarjana di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Wirjono prodjodikoro menyatakan, bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.
2. R. Tresna Menyatakan bahwa peristiwa pidana ialah sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.11
3. Van Hamel telah Menyatakan srafbaar feit itu sebagai suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain. 12
4. Simons telah menyatakan strafbaar feit itu sebagai suatu “tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya dan yang
11 H.Ishaq.,Ibid, hal. 137.
12P.A.F. Lamintang dan franciscus theojunior lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, juni 2014) hal. 180.
oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.13
5. Moeljatno menyatakan, perbuatan pidana yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.14
Berbagai rumusan tindak pidana yang dikemukakan oleh ahli hukum, jika diperhatikan terdiri dari beberapa unsur/elemen. Para ahli ada yang mengemukakan unsur-unsur tindak pidana secara sederhana yang terdiri dari unsur objektif dan unsur subjektif, dan ada pula merinci unsur-unsur tindak pidana yang diambil berdasarkan rumusan undang-undang.15 Adapun beberapa ahli yang membagi unsur-unsur tindak pidana secara mendasar, sebagai berikut:
1. Menurut Apeldoorn, menyatakan elemen delik itu terdiri dari elemen objektif yang berupa adanya suatu kelakuan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatig/wedrrechtelick) dan elemen subjektif yang berupa adanya seseorang pembuat (dader) mampu bertanggung jawab atau dapat dipersalahkan (toerekeningsvatbaarheid) terhadap kelakuan yang bertentangan dengan hukum itu.
2. Van Bemmelen, menyatakan bahwa elemen-elemen dari strafbaar feit dapat dibedakan menjadi :
a. Elemen voor de strafbaarheid van het feit yang terletak dalam bidang objektif karena pada dasarnya menyangkut tata kelakuan yang melanggar hukum.
13P.A.F. Lamintang dan franciscus theojunior lamintang.,Ibid., h.183
14 Mohammad Ekaputra, Dasar-dasar hukum pidana, (Medan: USU Press, 2010,) h.80.
15Mohammad Ekaputra.,Ibid.,h.103
b. Mengenai elemen voor strafbaarheid van de dader, yang terletak dalam bidang subjektif karena pada dasarnya menyangkut keadaan/sikap bathin orang yang melanggar hukum, yang kesemuanya itu merupakan elemen yang diperlukan untuk menentukan dijatuhkannya pidana sebagaimana diancamkan.16
3. H.ishag menyatakan, unsur-unsur tindak pidana yaitu:
a. Harus ada perbuatan manusia,
b. Perbuatan Manusia itu harus melawan hukum (wederrechtelijk),
c. Perbuatan itu diancam dengan pidana (strafbaar gesteld) dalam undang- undang,
d. Harus dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar)
e. Perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan (schuld) si pembuat. 17 2. Pengertian Disparitas
Tidak hanya Indonesia saja, tetapi hampir seluruh negara di dunia mengalami apa yang disebut sebagai “The disturbing disparity of sentencing”
yang mengundang perhatian lembaga legislatif serta lembaga lain yang terlibat di dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana untuk memecahkannya. Yang dimaksud dengan Disparitas pidana (Disparity of sentencing) dalam hal ini adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (Same office) atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat di
16 Mohammad Ekaputra.,Ibid.h.104
17H. Ishaq., Loc. Cit., h.137.
perbandingkan (offences of comparable seriousness) tanpa dasar pembenaran yang jelas.18
Sentece (pidana) dalam hal ini adalah : “The judgement formally pronounced by the court or judge upont the defendant after his conviction in a criminal prosecution, imposing the punishment to be inflicted”, yang jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia adalah “Putusan yang ducapkan secara resmi oleh pengadilan atau hakim atas diri terdakwa setelah terbukti kesalahannya dalam sebuah tuntutan pidana, dimana hukuman tersebut dapat dikenakan padanya”. Selanjutnya pengertian dari “Punishment” (Hukuman) sendiri yang merupakan inti dari “Sentencing” (Pidana) adalah : “Any fine, penalty or confinement inflicted upon a person by the authority of the law and the judgment and sentence of a court, for some crime or offence commited by him or for his omission of a duty enjoined by law” yaitu “Denda, hukuman langsung atau pembatasan yang dikenakan atas seseorang oleh otoritas hukum, putusan dan pemidanaan oleh pengadilan, untuk beberapa kejahatan atau tindak pidana yang dilakukannya atau karena penghilangan yang dilarang oleh hukum”.19
Sehubung dengan batasan-batasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa intisari dari pengertian “Sentencing” maupun “Punisment” adalah :
a. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
18 Muladi dan barda nawawi arief, Op.cit., h.52.
19 Muladi dan barda nawawi arief.,Ibid, h.53.
b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan atau wewenang.
c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.20
Bambang Poernomo dalam Yusti Probowati, Rahayu, menyatakan, bahwa disparitas pemidanaan diartikan sebagai penerapan pidana yang tidak sama terhadap tidak pidana yang sama. Menurut Bambang poernomo, disparitas pidana yang bermasalah adalah pemidanaan yang berbeda dalam perkara yang sama pada situasi dan kondisi yang berbeda dalam perkara yang sama pada situasi dan kondisi yang sama sedangkan disparitas yang tidak bermasalah jika keputusan Hakim berbeda pada perkara yang sama namun situasi dan kondisi berbeda, sebagai contoh: disparitas pemidanaan yang diperbolehkan adalah keputusan Hakim tahun 1970 dan tahun 1990 tentang perkosaan akan berbeda karena Hakim akan mempertimbangkan situasi dan kondisi yang berbeda. Korban tahun 1970 yang berpakaian tertutup akan berbeda dengan korban tahun 1990 yang berbusana menantang/terbuka, sehingga hakim akan memberikan hukuman yang lebih ringan kepada terdakwa kasus perkosaan tahun 1990. Pertimbangan hakim akan semakin berkembang seiring dengan perkembangan zaman.21
Didalam ruang lingkup ini maka disparitas pemidanaan mempunyai dampak yang dalam karena di dalamnya terkandung perimbangan konstitusional antara kebebasan individu dan hak negara untuk memidana.22
20 Muladi dan barda nawawi arief.,Ibid.,h.53
21Abul Khair dan Mohammad Ekaputra, Pemidanaan, (Medan: USU Press, 2011), h. 69.
22Muladi dan barda nawawi arief., Loc.cit, h.53.
Peter J.P., menyatakan disparitas pidana memang tidak bisa ditiadakan sama sekali karena menyangkut persoalan sampai sejauh mana hal itu sebagai akibat yang tidak terelakkan dari kewajiban hakim untuk mempertimbangkan seluruh elemen yang relavan dalam perkara individu tentang pemidanaannya.
Sebab disparitas tidak secara otomatis mendatangkan kesenjangan yang tidak adil.
Demikian pula persamaan dalam pemidanaan tidak secara otomatis mendatangkan pidana yang tepat. Itulah yang menjadi dasar pembenaran pemberian pidana in conreto atau tahap kebijakan yudikasi. Muladi menegaskan masalahnya bukan menghilangkan disparitas secara mutlak, tetapi disparitas tersebut harus dapat dipertanggung jawabkan (reasonable) 23Dengan demikian terjadinya disparitas pidana harus dapat dicegah dengan berbagai usaha yang dapat diterima oleh masyarakat umum.
G. Metode Penelitian
Metode Penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode sistematika dan pemikiran tertentu, dengan jalan menganalisisnya. Maka diadakan juga pemeriksaan mendalam terhadap suatu pemecahan atas segala permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.24
23Abul Khair dan Mohammad Ekaputra,Op.,cit., h. 77
24 Sorjono soekanto, “Pengantar Penelitian Hukum”, (Jakarta: Universitas Indonesia press,1986), h.43
Dalam Pembahasan Skripsi ini, Metodologi penelitian yang digunakan penulis meliputi :
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian, ini merupakan penelitian hukum normative, bersifat deskriptif dan menggunakan pendekatan yuridis. Penelitian hukum normative adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian hukum normative sendiri mengacu berbagai bahan hukum sekunder,25 yaitu KUHP, UU No. 14 tahun 1985 jo UU. No 4 tahun 2004 jo UU. No. 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan artikel-artikel terkait.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitan dalam skripisi ini dengan menggunakan metode deskriptif, Metode Deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian tetapi tidak digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih luas.26
3. Sumber data
Sumber data adalah subjek dari mana data diperoleh. sumber data dapat diperoleh dari data primer dan data sekunder. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak
25 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normative : suatu tinjauan singkat, (Jakarta: PT Raja Grafindo, persada.2003) h.13-14.
26 https://idtesis.com/metode-deskriptif, diakses pada tanggal 5 april 2018
langsung.27 Data sekunder dalam penelitian hukum terdiri atas tiga bahan hukum yaitu:28
a. Bahan Hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti Undang-undang, Peraturan pemerintah dan berbagai peraturan nasional yang mengingat antar lain: KUHP dan , UU No. 14 tahun 1985 jo UU. no 4 tahun 2004 jo UU. No. 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti, rancangan undang- undang, hasil-hasil penelitian , hasil karya dari kalangan hukum, dan berbagai karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan ini.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.
4. Teknik Pengumpulan Data
Tekni Pengumpulan data diperlukan untuk memperoleh suatu kebenaran dalam penulisan skripsi, dalam hal ini digunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan, yaitu mempelajari dan menganalisis data secara sistematis melalui buku-buku, jurnal, surat kabar, Makala, internet dan bahan- bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.
27 Bambang sunggono, Metodologi Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), h.36.
28 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,op.,cit.,h.13.
5. Analisis Data
Secara umum ada 2 (dua) metode analisis data yaitu kualitatif dan metode kuantitatif. Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode analisis kualitatif, dimana data berupa asas, konsepsi, doktrin hukum serta isi kaedah hukum dianalisis secara kualitatif.
H. Sistematika Penulisan
Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik maka pembahasan harus di uraikan secara sistematis. Dan untuk memudahkan penulisan dan pembahasan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang berbagai bab perbab yang saling berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ialah:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang Latar Belakang, Penulisan Skripsi, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Kemudian Diakhiri Dengan Sistematika Penulisan.
BAB II : PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA PENCURIAN
DENGAN KEKERASAN DALAM KUHP
Bab ini akan membahas mengenai Pengaturan Tindak Pidana Pencurian di dalam pasal 362- 363 KUHP dan Pengaturan Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan di dalam Pasal 365 KUHP
BAB III : PENYEBAB TERJADINYA DISPARITAS PIDANA, Bab ini membahas mengenai faktor penyebab Disapritas pidana dan dampak terjadinya disparitas pidana
BAB IV : PENERAPAN PIDANA TERHADAP TINDA PIDANA
PENCURIAN DENGAN KEKERASAN.
Bab ini membahas mengenai Gambaran Kasus dan Analisis kasus terhadap Putusan No.157/Pid.B/2015/PN.Kbu dan Putusan No.
15/Pid.B/2016/PN.K.bu.
BAB V : PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab kesimpulan dan saran. Merupakan ringkasan dari bab-bab yang berisi kesimpulan mengenai permasalahan yang dibahas dan saran-saran dari penulis dengan membahasas skripsi ini
BAB II
PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN DALAM KUHP
A. Pengaturan Tindak Pidana Pencurian dalam Pasal 362-363 KUHP
` Peraturan hukum positif utama yang berlaku di Indonesia adalah KUHP, dimana KUHP sendiri merupakan kodifikasi dari hukum pidana dan berlaku untuk semua golongan penduduk, yaitu golongan timur asing, bumi putera, dan Eropa.
Dengan demikian dapat dikatakan ada suatu bentuk kesamaan atau keseragaman dalam peraturan hukum pidana yang berlaku di indoneisa. Sejak adanya UU. No 73 tahun 1958 yang menentukan berlakunya UU No. 1 Tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana untuk seluruh Indonesia, hukum pidana materil indonesia menjadi seragam untuk seluruh tanah air. Manurut pasal IV Undang-undang No.1 tahun 1946, menyatakan nama resmi dari KUHP awalnya adalah “Wetboek Van Strafrecht” atau “Voor Nederlandsch-indie” yang diubah menjadi “wetboek Van Strafrecht” atau dapat pula disebut sebagai “Kitab Undang-Undang Hukum pidana”.29
Di indonesia, Menurut data statitik kriminal 2017 tindak pidana pencurian dengan kekekaran, Selama periode tahun 2012–2016, jumlah kejadian kejahatan terhadap hak/milik dengan penggunaan kekerasan (pencurian dengan kekerasan, termasuk dengan senjata tajam/senjata api - property crime with violence) di Indonesia cenderung meningkat. kejadian kejahatan terhadap Hak/Milik dengan Penggunaan Kekerasan pada tahun 2012 sebanyak 12.355 kasus, pada tahun 2013
29 Hanna Mandela, Skripsi; “Penanggulangan Tindak Pidana dengan Kekerasan Di polsek Bagan Sinamabah-Riau (Studi di Polsek Bagan Sinembah)”, FH USU 2012,h.41-42
mengalami penurunan sebanyak 12.045 kasus, pada tahun 2014 mengalami penurunan sebanyak 11.758 kasus, pada tahun 2015 sudah mulai ada kenaikan dari tahun sebelumnya sebanyak 11.856 dan pada tahun 2016 ada kenaikan sebanyak 12.095.30
Pencurian dengan kekerasan ini disebut juga pencurian dengan kulaifikasi (gedualifieceerde deifstal) atau pencurian khusus dengan cara-cara tertentu atau dalam keadaan tertentu sehingga bersifat lebih berat dan maka dari itu diancam dengan hukuman yang maksimumnya lebih tinggi yaitu lebih dari hukuman penjara lima tahun dari pasal 362 KUHP dan hal itu diatur didalam buku II KUHP pada bab XXII dan perumusannya sebagaimana disebut dalam pasal 362 dan hal ini diatur didalam buku II KUHP pada bab XXII dan perumusannya disebut dalam pasal 363 KUHP.31
Pasal-pasal yang mengatur tentang pencurian, diatur pada BAB XXII dari 362 s/d pasal 365 KUHP.
Pasal 362 KUHP, yang bunyinya :
“Barangsiapa mengambil sesuatu barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum, karena pencurian dengan hukuman maksimal lima tahun.32
Tindak pidana pencurian dalam bentuk Pokok seperti yang diatur pasal 362 KUHP terdiri atas unsur subjektif dan unsur-unsur objektif sebagai berikut:
30 Badan Pusat statistik, statistik kriminal 2017,jakarta,h.26.
31 Hanna Mandela,.Op.,Cit.,h.42
32 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (Jakarta: PT.Bumi Aksara, 2003)
a. Unsur subjektif : Met het oogmerk om het zich waderechtelijk toe te egen atau dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum.33
Unsur “Memiliki barangnya dengan melanggar hukum” ini juga terdapat pasal 372 KUHP, bahkan disitu tidak hanya harus ada tujuan (oomerk) untuk itu, melainkan perbuatan si pelaku harus masuk perumusan “memiliki barang dengan melanggar hukum” Wujud dari memiliki barang dalam pasal 362 KUHP dengan 372 KUHP belum terwujud, tetapi ada seseorang ahli yang bernama Noyon- langemeyer yang berpendapat mengenai wujud tersebut. Noyon-Langermeyer menyatakan bahwa ada suatu kontrakdisi antara „memiliki barang‟ dan
„melanggar hukum‟. „Memiliki barang‟ berarti menjadikan dirinya sebagai pemilik, dan untuk mejadi pemilik suau barang, harus menurut hukum. Setiap pemilik barang adalah pemilik menurut hukum, maka sebenarnya adalah tidak mungkin orang memiliki barang milik orang lain dengan melanggar hukum. Oleh karena itu jika melanggar hukum, maka tidak mungkin orang lain menjadi pemiliknya.34
b. Unsur-unsur Objekif : 1. Barang siapa (hij)
2. Mengambil (Wegnemen) 3. Sesuatu benda (eenig goed)
33P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-delik khusus kejahatan terhadap harta kekayaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 20013), h.1-2
34 Wirjono, op.,cit., h.17.
4. Yang sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain (dat geheel of gedeeltelijk aan een ander toebehoort)35
1. Unsur “Barang siapa” (hij)
Kata hij menunjukkan orang yang apabila ia memenuhi semua unsur tindak pidana yang diatur dalam pasal 362, maka karena bersalah telah melakukan tindak pidana pencurian, ia dapat dipidana dengan penjara selama-lama lima tahun atau pidana denda setinggi-tingginya Sembilan ratus rupiah.36
2. Unsur “mengambil barang” (wegnemen)
tindak pidana pencurian ialah perbuatan “Mengambil” barang. Kata Mengambil (Wegnemen) dalam arti sempit terbatas pada menggerakkan tangan dan jari-jari, memegang barangnya dan mengalihkannya ketempat lain. Yang dimaksud dengan kata “Mengambil” ialah sebelum perbuatan itu dilakukan.37
Noyon dan Langemeijer menyatakan, mengambil (menurut pengertian pasal 362 KUHP) merupakan suatu tindakan sepihak untuk membuat suatu benda berada dalam penguasaanya.38
Cleiren et al. Menyatakan, mengambil (wegnemen), berarti sengaja dengan maksud. Ada maksud untuk memiliki. Jika seseorang mengambil suatu barang ternyata miliknya sendiri, misalnya mencuri baju di tukang jahit yang ternyata
35 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang.,Loc.,cit.,h.2
36 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang., Ibid.,h.8.
37 Gerson W. Bawengan, Hukum pidana didalam Teori-teori dan praktek, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1983), h.147.
38 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang.,Op.,cit.,h.13
bajunya sendiri, bukanlah pencurian. Dia mengambil bajunya tanpa membayar ongkos jahit.39
Van Bemmelen dan Van Hanttum menyatakan, mengambil ialah setiap tindakan yang membuat sebagaian harta kekayaan orang lain menjadi berada dalam penguasaannya tanpa bantuan atau tanpa seizin orang lain tersebut, ataupun untuk memutuskan hubungan yang masih ada antara orang lain itu dengan bagian harta kekayaan yang dimaksud.40
Pencurian (diefstal) itu sudah dapat dikatakan selesai, apabila barang tersebut sudah pindah tempat. Apabila orang baru memegang saja barang itu dan belum berpindah tempat, maka orang itu belum dapat dikatakan mencuri akan tetapi baru mencoba mencuri.41
Perbuatan “Mengambil” terang tidak ada, apabila barangnya oleh yang berpihak diserahkan kepada pelaku. Apabila penyerahan ini disebabkan oleh pembujukan dengan tipu muslihat, maka ada tindakan pidana “Penipuan”. Jika penyerahan ini disebabkan karena adanya pemaksaan dengan kekerasan oleh si pelaku, maka ada perbuatan tindank pidana “pemerasan” (afpersing), dan jika paksaan ini berupa kekerasan langsung maka ada perbuatan tindak pidana
“pengancaman”(afdreiging).42
Hoge raad dalam arrest-nya memutuskan: bahwa perbuatan mengambil itu telah selesai, jika benda tersebut sudah berada di tangan pelaku, walaupun
39 Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (speciale delicten) di dalam KUHP, (jakarta: Sinar Grafika, Juni 2016) , h.93.
40 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang.,Op.,cit.,h.14.
41 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (Bogor, Politea, 1984), h.250.
42 Wirjono Projodikoro, Tindak-tindak Pidana tertentu di Indonesia, (Jakarta – Bandung:
P.T. Eresco,1974), h.15.
benar bahwa ia kemudian telah melepaskan kembali benda yang bersangkutan karena ketahuan orang lain.43
3. Unsur “Sesuatu benda” (eenig goed)
Suatu barang adalah segala sesuatu yang berwujud termasuk pula binatang (bukan manusia). Dalam pengertian barang termasuk daya listrik dan gas, meskipun tidak berwujud. Barang ini tidak perlu mempunyai nilai ekonomis.
Apabila mengambil sesuatu barang tidak dengan ijin dari pemiliknya, masuk pencurian.44
4. Barang itu harus “seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain”
Sifat tindak pidana pencurian adalah merugikan kekayaan si korban, maka barang yang diambil harus berharga. Harga ini tidak selalu bersifat ekonomis.
Barang yang diambil seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, yaitu apabila merupakan merupakan suatu barang warisan yang turut berhak atas barang yang tersebut. Contoh lain sebagian kepunyaan orang lain misalnya : A bersama B membeli sebuah sepeda, maka sepeda itu milik A dan B, disimpan di rumah A kemudian dicuri oleh B. Suatu barang yang bukan kepunyaan seseorang tidak menimbulkan pencurian, misalnya binatang yang hidup di alam bebas dan barang- barang yang sudah di buang oleh pemiliknya.45
Pengambilan itu harus dengan sengaja dan dengan maksud untuk dimilikinya. Orang karena keliru mengambil barang orang lain itu bukan pencurian. Seseorang menemukan barang di jalan lalu mengambilnya. Bila waktu pencurian mengambilnya sudah ada maksud untuk memiliki barang itu, maka
43P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang.,Op.,cit.h.14-15.
44 Wirjono Projodikoro., loc.,cit, h.15
45Wirjono Projodikoro., Ibid., h.16
masuk pencurian. Jika waktu mengambil itu pikiran terdakwa akan menyerahkan barang itu ke pihak berwenang, akan tetapi setelah sampai dirumah barang itu dimiliki untuk diri sendiri ( tidak diserahkan ke polisi ) maka ia salah karena
“Penggelapan” (pasal 372) karena waktu barang itu dimilikinya sudah berada di tangannya.46
Mengenai benda-benda kepunyaan orang lain itu Simons menyatakan, tidaklah perlu bahwa orang lain tersebut harus diketahui secara pasti, melainkan cukup jika pelaku mengetahui bahwa benda-benda yang diambil itu bukan kepunyaan pelaku. 47
Pasal 363 KUHP yang berbunyi:
Ayat (1): Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun : 1. Pencuri Hewan;
2. Pencuri pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru hara, pemberontakan atau bahaya perang
3. Pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada disitu tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak
4. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih
5. Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong
46 R., Soesilo, Loc.cit., h..250.
47 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang.,Op.,cit., h.23.
atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
Ayat (2): “Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu hal dalam butir 4 dan 5, maka diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”48
Penjelasan pasal 363 ayat (1) angka 1-5 dan ayat (2) KUHP.
a. Unsur Subjektif: dengan maksud untuk menguasai secara melawan hukum.
Unsur Subjektif ini dapat dipandang sebagai terbukti telah dipenuhi oleh pelaku, jika atas pertanyaan hakim, jaksa atau penasehat hukum, pelaku telah memberikan keterangan bahwa ternak itu telah diambilnya misalnya dengan maksud : untuk dijual, untuk dipotong, untuk diberikan kepada orang lain, untuk dipakai sendir mengerjakan sawahnya, dan sebagainya.
Perbuatan-perbutan seperti yang dimaksudkan oleh pelaku diatas sifatnya melawan hukum, karena ia buka merupakan pemilik dari ternak yang ingin diambilnya dari kekuasaan orang lain. Untuk selesainya tindak pidana pencurian ternak itu, maksud pelaku tidak perlu telah terlaksana pada waktu pelaku selesai melakukan perbuatan yang terlarang, yakni perbutan mengambil.
b. Unsur-unsur Objektif 1. Barangsiapa
Unsur objektif ini dapat dipandang sebagai terbukti telah dipenuhi oleh pelaku, jika terbukti:
48 R. Sosesilo, op.,cit.,h.250-251.
a. pelaku merupakan orang yang melakukan sendiri perbuatan mengambil ternak kepunyaan orang lain;
b. pelaku merupakan orang yang dapat diminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana;
c. pelaku tidak mempunyai kesalahapahaman mengenai salah satu unsur tindak pidana pencurian ternak;
d. tidak ada satu pun dasar membuat pelaku tidak dapat dituntut dan;
e. tidak ada satu pun dasar yang membuat pelaku tidak dapat dipidana.
2. Mengambil
Unsur mengambil ini harus terbukti telah selesai dilakukan oleh pelaku, sebab jika perbuatan tersebut ternyata belum selesai, maka yang terjadi itu sebenarnya bukan merupakan tindak pidana pencurian melainkan hanya merupakan percobaan untuk melakukan tindak pidana pencurian.
3. Ternak
Undang-udang ternyata tidak memberikan penjelasannya tentang yang disebut ternak, melainkan dalam pasal 101 KUHP hanya menyamakan tiga jenis binatang dengan ternak masing-masing yakni :
a. hewan-hewan berkuku tunggal b. hewan-hewan memamah biak dan c. babi
4. Yang sebagian atau seluruhnya merupakan kepunyaan orang lain.
Unsur objektif ini dapat dipandang sebagai terbukti dipenuhi oleh pelaku, jika atas pertanyaan hakim, Jaksa atau Penasihat hukum, pelaku
telah menerangkan, misalnya bahwa orang lain juga mempunyai hak atas ternak yang diambilnya atau bahwa ternak yang diambil itu bukan kepunyaan pelaku.49
Pencurian dalam pasal ini dinamakan pencurian dengan pemberatan atau pencurian dengan kualifikasi dan diancam dengan hukuman lebih berat, sedangkan yang diartikan dengan pencurian dengan pemberatan adalah pencurian yang disertai dengan salah satu keadaan seperti berikut ;50
a. Bila ada barang yang dicuri itu adalah hewan dan yang dimaksudkan dengan hewan, diterangkan dalam pasal 101, yaitu semua binatang yang memamah biak (kerbau, sapi, kambing dan lain-lain) binatang yang berkuku satu (kuda keledai) dan babi. Pencurian dianggap berat karena hewan merupakan milik seseorang petani yang terpenting.
b. Bila pencurian itu dilakukan pada waktu kejadian bencana alam;
1. Pencurian ini diancam hukuman lebih berat, karena pada waktu semacam itu orang-orang semua ribut dan barang-barang dalam keadaan tidak terjaga, sedang orang yang mempergunakan saat orang lain mendapat musibah ini untuk berbuat kejahatan adalah orang yang rendah budinya;
2. Antara terjadinya bencana dengan pencurian itu harus ada hubungannya, artinya pencuri harus betul-betul mempergunakan kesempatan itu untuk mencuri. Tidak masuk disini misalnya seorang yang mencuri dalam satu rumah dalam kota itu dan kebetulan saja pada saat itu dibagian kota ada
49 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang.,Op.,cit.,h. 38-41.
50 R.soseilo.,ibid., h. 250-251.
kebakaran , karena disini pencuri tidak sengaja memakai kesempatan yang ada karena kebakaran itu;
c. Apabila Pencurian itu dilakukan pada waku malam, dalam rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya.
1. Malam adalah waktu antara matahari terbenam dan terbit.51
2. Rumah (woning) adalah tempat yang dipergunakan untuk berdiam siang malam. Sebuah gedung atau tokoh yang tidak didiami siang dan malam tidak masuk dalam pengertian rumah, sebaliknya gubuk atau kereta, perahu yang siang malam dipergunakan sebagai kediaman masuk dalam pengertian rumah. Pekarangan tertutup adalah suatu perkarangan yang sekelilingnya ada tanda-tanda batas-batas yang kelihatan nyata seperti selokan, pagar bambu, pagar hidup, pagar kawat dan sebagainya. Tidak perlu tertutup rapat-rapat, sehingga orang tidak dapat masuk sama sekali.
Disini pencuri harus betul masuk kedalam rumah tersebut dan melakukan pencurian disitu. Apabila ia berdiri diluar dan menggait pakaian melalui jendela dengan tongkat atau itu ia mengulurkan tangannya saja kedalam rumah untuk mengambil barang, tidak termasuk disini.
d. Apabila pencurian itu dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama- sama.
Supaya masuk disini maka dua orang atau lebih itu semua harus bertindak sebagai pembuat atau turut melakukan (pasal 55 KUHP),bukan misalnya
51 Yang dikatakan malam : masa diantara matahari terbenam dan matahari terbit (pasal 98 KUHP)
yang satu sebagai pembuat sedangkan yang lain hanya membantu melakukan52 saja (pasal 56).
e. Apabila dalam pencurian itu, pencuri masuk ketempat kejahatan atau mencapai barang yang dicuri dengan jalan membongkar, memecah dan sebagainya.
1. Membongkar ialah merusak barang yang agak besar misalnya pintu atau tembok. Disini harus ada barang yang rusak, putus atau pecah. Pencuri yang mengangkat pintu dari engselnya, sedang engsel itu tidak ada kerusakan sama sekali tidak termasuk pengertian membongkar.
2. Memecah yaitu merusak barang yang agak kecil, misalnya memecah peti kecil, memecahkan jendela dan lain-lain.
3. Memanjat dialam pasal 99 KUHP yaitu masuk dengan melalui lubang yang sudah ada, tetapi tidak untuk tempat orang lewat, atau masuk dengan melalui lubang dalam tanah yang sengaja di gali, demikian juga melalui selokan atau parit yang gunanya sebagai penutup halaman. Arti memanjat di perluas hingga meliputi membuat lubang di dalam tanah di bawah tembok dan masuk rumah melalui lubang tersebut, dan meliputi pula melalui selokan atau parit yang ditujukan untuk membatasi suatu pekarangan yang dengan demikian dianggap tertutup.
52 “Membantu Melakukan”, apabila ia sengaja memberikan bantuan tersebut , pada waktu atau sebelum kejahatan itu dilakukan. Bila bantuan itu diberikan sesudah kejahatan terjadi, maka orang itu melakukan perbuatan “sekongkol” atau “tadah”. Elemen “sengaja” harus ada didalamnya, sehingga apabila ada orang memberi bantuan secara kebetulan dengan tidak mengetahui kejahatan, maka tidak dihukum. Elemen “Nia” juga harus ada di dalamnya (lihat komentar pasal 56 KUHP R. Soesilo)
4. R.soesilo menyatakan, Anak kunci Palsu adalah segala macam anak kunci yang tidak digunakan oleh yang berhak untuk membuka kunci dari sesuatu barang seperti lemari, rumah dan peti. Selain dari pada itu maka menurut bunyi pasal 100 KUHP, semua perkakas meskipun tidak berupa anak kunci yang berupa apa saja, misalnya loopers, kawat atau paku yang biasa digunakan bukan untuk membuka kunci, apabila dipergunakan oleh pencuri untuk membuka kunci, masuk dalam sebutan anak kunci palsu.
5. Perintah palsu yaitu suatu perintah yang kelihatannya seperti surat perintah asli yang dikeluarkan oleh orang yang berwajib, tetapi sebenarnya bukan;
pakaian jabatan palsu (valsch costuum) adalah kostum yang dipakai oleh seseorang, sedang ia tidak berhak untuk itu. Pakaian itu tidak perlu pakaian jabatan pemerintah, dapat pula pakaian seragam dari sebuah perusahaan pertikelir.
Dalam pasal 362 sub 5 ini dikatakan :
1. Sitersalah masuk tempat kejahatan dengan jalan membongkar dan lain sebagainya. Ini berarti pembongkaran tersebut untuk masuk ketempat tersebut, dan bukan untuk keluar atau keperluan lain;
2. Sitersalah mencapai barang yang dicurinya dengan jalan membongkar dan lain sebagainya. Mencapai artinya memasukan ke dalam kekuasaannya.53 Pemberatan hukuman yang telah disebutkan diatas, maka apabila pelaku melakukan kejahatan dan ia telah mulai melakukan kejahatan itu, akan tetapi karena timbul rasa menyesal dalam hati ia mewurungkan perbuatannya, sehingga
53 R.soesilo.,op.,cit., h.252
kejahatan tidak jadi sampai selesai, maka ia tidak dapat dihukum atas percobaan kejahatan itu, oleh karena tidak jadinya selesai kejahatan itu atas kemauan sendiri.
Apabila si pelaku Melakukan pembongkaran atau perusakan atau pemanjatan, dan pada waktu itu diketahui sehingga si pelaku lari, orang itu sudah dapat dipersalahkan melakukan percobaan melakukan pencurian karena perbuatan pembongkaran dan lain-lain, tersebut dapat dianggap termasuk tahap menjalankan dari pasal 53 KUHP tindak pidana pencurian khusus ini, jadi tidak lagi dalam tahap persiapan untuk melakukan tindak pidana. Ini perlu dikemukakan karena sebetulnya perbuatan pengambilan barang sebagai perbuatan pokok dari pencurian sama sekali belum mulai dijalankan.54
B. Pengaturan Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan di Pasal 365 KUHP
Dalam kasus ini, penelitian akan lebih membahas pasal 365 KUHP yaitu Pencurian dengan Kekerasan.
Pasal 365 KUHP, Berbunyi;55
Ayat (1) ; Dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun, dihukum pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang, dengan maksud akan menyiapkan atau memudahkan pencurian itu atau jika tertangkap tangan (terpergok) supaya ada kesempatan bagi dirinya sendiri atau bagi kawannya yang turut melakukan kejahatan itu akan melarikan diri atau supaya barang yang dicuri itu tetap, ada ditangannya.
Ayat (2) ; Hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun, dijatuhkan :
54 R.,soesilo.,ibid.,h.69.
55 R.soesilo.,ibid.,h.253.
1e. Jika perbuatan itu dilakukan pada waktu malam didalam sebuah rumah atau pekarangan yang tertutup, yang ada rumahnya atau dijalan umum atau didalam kereta api atau trem yang sedang berjalan.
2e. Jika perbuatan itu dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih.
3e. Jika sitersalah masuk tempat melakukan kejahatan itu dengan jalan membongkar atau memanjat, atau dengan jalan memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
4e. Jika perbuatan itu menjadikan ada orang mendapat luka berat
Ayat (3) ; Hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun dijatuhkan jika karena perbuatan itu ada orang mati.
Ayat (4) : Hukaman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamaya dua puluh tahun dijatuhkan, jika perbuatan itu menjadikan ada orang mendapat luka berat atau mati, dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih dan disertai pula salah satu hal yang diterangkan dalam No.1 dan 3.56
Penjelasan:
Ayat 1 : Pasal ini merupakan “pencurian dengan kekerasan”. Kekerasan atau ancaman ini harus dilakukan pada “orang” dan bukan benda atau barang, dan dapat dilakuan sebelumnya, bersama-sama, atau setelah pencurin itu dilakukan.
Dengan maksud untuk menyiapkan atau memudahkan pencurian itu, jika
56 R.Soesilo., ibid., h.254.
tertangkap tangan supaya ada kesempatan bagi dirinya atau kawannya yang turut melakukan untuk dapat melarikan diri.57
Hal ini adalah pencurian khusus dari pasal 365 ayat (1) KUHP. Unsur istimewa yang ditambah pada pencurian biasa ialah “Menggunakan Kekerasan”
atau “ancaman kekerasan” dengan dua macam maksud, yaitu ;
Maksud 1 : Untuk mempersiapkan pencurian. Perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan mendahului pengambilan barang, misalnya memukul atau menembak atau mengikat penjaga rumah.
Maksud 2 : Untuk mempermudah pencurian. Pengambilan barang dipermudah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, misalnya memukul penghuni rumah atau menodong mereka agar mereka diam saja dan tidak bergerak, sehingga pencuri lain mengambil barang-barang dalam rumah.58
Simons menyatakan, Onder geweld zal ook hier mogen worden verstaan, elke uitoefening van lichamelijke kracht van niet al te geringe betekenis.
Artinya: Dapat dimasukkan dalam pengertian kekerasan yakni setiap pemakaian tenaga badan yang tidak terlalu ringan.
Dalam pasal 89 KUHP, pembentuk undang-undang telah menyamakan dengan melakukan kekerasan yakni perbuatan membuat orang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.59
Didalam pasal 1 angka 19 KUHAP yang mengatakan bahwa (Op heterdaad ontdekt) tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak
57 R.Soesilo., Ibid., h.254.
58 Wirjono, Prodjodikoro, Op.,cit., hal. 25.
59 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang.,Op.,cit.,h.58