• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang

Enhalus acoroides adalah spesies lamun dengan karakter habitat

sepenuhnya di laut. Termasuk kedalam salah satu genera yang berkembang di kawasan tropis. Pada semua habitat hidupnya hanya ditemukan satu spesies, sehingga tergolong kedalam genera monotifik (den Hartog, 2006; Waycott et al.

2006). Daunnya termasuk kedalam golongan lamun yang tidak memiliki struktur penegak, sehingga cenderung terkulai dan rebah. Ultrastrukturnya memperlihatkan lapisan kutikulanya hampir tidak ada atau sangat tipis (Kuo & den Hartog, 2006). Hal tersebut yang memungkinkan proses penyerapan nutrisi secara langsung dari perairan, dan interaksi yang sangat intens dengan berbagai mikroorganisme.

Habitat E. acoroides tersebar merata di kawasan-kawasan pesisir Indonesia. Terutama di daerah yang berpasir atau berlumpur dan bioturbasi tinggi. Persyaratan lain hidup spesies ini adalah memerlukan salinitas cenderung tinggi, sublitoral atas, antara air surut rata-rata perbani dan air surut rata-rata purnama. Daya tahan spesies tersebut cukup tinggi dengan tingkat kematian yang sangat rendah, tetapi tingkat pertumbuhannya juga sangat rendah. Hal tersebut bisa dilihat dari pertumbuhan rizomanya yang sangat lambat, hanya 3 cm/tahun. Dibandingkan dengan H. ovalis yang pertambahan panjang rizomanya mencapai 356 cm/tahun (Duarte et al. 2006). van Tussenbroek et al. (2006) menyatakan bahwa fase hidup Enhalus bisa mencapai 100 hari. Perilaku hidup spesies ini bukan sebagai pioner, tetapi tumbuh paling belakang dan kemudian mendominasi kawasan.

Thalassia hemprichii adalah spesies lamun dengan karakter habitat sepenuhnya di laut. Penyebarannya selalu berasosiasi dengan E. acoroides dan H.

ovalis. Termasuk kedalam salah satu genera yang berkembang di kawasan tropis. (den Hartog, 2006; Waycott et al. 2006; Orth et al. 2006). Daunnya termasuk kedalam golongan lamun memiliki struktur penegak. Morfologi seperti itu memungkinkan karena karakter asosiasinya dengan lamun yang lebih besar. Mikromorfologinya memperlihatkan lapisan kutikulanya hampir tidak ada atau sangat tipis (Kuo & den Hartog, 2006). Karakteristik seperti itu menyebabkan bisa menyerap nutrisi langsung dari perairan dan berinteraksi dengan mikroorganisme. Glumac & Curran (2016) menyatakan bahwa akar spesies tersebut sangat kuat, karena mampu menembus hingga 80 cm ke dalam sedimen. Hal tersebut menyebabkan mampu bertahan dari berbagai gangguan.

T. hemprichii diketahui memiliki kandungan antioksidan kuat, karena mampu menekan radikal bebas (Tristanto et al. 2014). Pada bagian daunnya memiliki struktur bintik berwarna merah, ungu atau coklat. Struktur tersebut diketahui mengandung senyawa tanin. Senyawa tersebut adalah metabolit yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk mencegah infeksi dan herbivora. Kandungan

29 tanin biasanya banyak diproduksi pada bagian daun, batang dan kayu dari tumbuhan (Hassanpour et al. 2011).

Pada umumnya habitat lamun adalah ekosistem yang kaya bahan organik. Tingginya konsentrasi bahan organik di habitat lamun tidak selalu linier dengan kelimpahan plankton. Ritniasih et al. (2013) juga menemukan bahwa kelimpahan dinoflagelata di daerah karang dan perairan dalam lebih tinggi dibandingkan dengan di hamparan lamun. Mabrouk et al. (2014) menemukan bahwa kelimpahan alga planktonik pada padang lamun lebih rendah bila dibandingkan dengan di padang lamun asosiatif terumbu karang.

Diketahui bahwa bakteri simbion berperan dalam dinamika perkembangan lamun dan pengambilan berbagai jenis nutrisi seperti karbon, nitrogen dan fosfor dari lingkungan. Dinamika komunitas bakteri pada lamun lebih banyak diketahui dari bakteri yang diisolasi dari episimbion, terutama bakteri di bagian lapisan atas dan bawah sedimen (Garcia-Martinez et al. 2009; Garcias-Bonet et al. 2012).

Lamun sebagai inang bisa memanfaatkan metabolit sekunder bakteri untuk keperluan metabolismenya. Metabolit sekunder tersebut memiliki beragam potensi seperti antikanker, antibakteri, antifouling sampai antialga (Garcias-Bonet

et al. 2012). Imai (2015) menyatakan bahwa banyak bakteri di perairan laut yang mampu membunuh alga planktonik. Hasil-hasil temuan selama ini bakteri yang mampu mengatasi pertumbuhan alga, selalu diisolasi dari kejadian blooming. Bakteri endosimbion yang diisiolasi dari E. acoroides dan T. hemprichii diketahui memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri pembentuk biofilm dan bakteri patogen V. harveyi, sebagai algasida dan antibiofouling (Marhaeni et al.

2010; Marhaeni et al. 2011; Cho et al. 2012; Natrah et al. 2015; Satheesh et al.

2016).

Model interaksi antara bakteri dan alga planktonik sangat beragam, diantaranya ada yang sinergis dan ada juga yang antagonis. Hal tersebut terjadi karena perebutan ruang hidup dan nutrisi. Berdasarkan fakta bahwa beragamnya karakter dan interaksi antara bakteri dan alga di ekosistem lamun, endosimbion E. acoroides dan T. hemprichii bisa dijadikan sebagai sumber algasida baru. Maka penelitian ini mencoba mengisolasi konsorsium bakteri endosimbion spesies lamun tersebut dan menguji aktivitas algasidanya.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah menguji aktivitas algasida konsorsium bakteri endosimbion lamun E. acoroides dan T. hemprichii. Target pengujian adalah kelompok plankton dinoflagelata dan diatom. Kelompok dinoflagelata terdiri dari Porphyridium sp. dan BG (alga yang diisolasi di Teluk Jakarta pada saat terjadi blooming alga tahun 2015). Kelompok diatom terdiri dari Nitzschia

sp., Chaetoceros sp., Navicula sp. dan Thalassiosira sp. Pengaruh aktivitas algasida endosimbion terhadap kelimpahan plankton. Pengaruh lingkungan terhadap aktivitas algasida endosimbion terhadap plankton target.

30

METODE

Penelitian ini dilakukan di laboratorium perikanan Jurusan Budidaya Kelautan Universitas Pendidikan Ganesha. Sampel lamun sebagai sumber bakteri endosimbion diambil dari kawasan budidaya laut perikanan Teluk Pegametan Buleleng Bali. Proses isolasi dan uji aktivitas bakteri endosimbion terhadap alga target dilakukan di Laboratorium Perikanan Jurusan Budidaya Kelautan dan Laboratorium Analis Kimia Universitas Pendidikan Ganesha. Waktu pelaksanaan penelitian dari tahun 2014-2015.

Isolasi Konsorsium Bakteri Endosimbion Lamun

Sampel E. acoroides and T. hemprichii diambil dari Teluk Pegametan, Buleleng, Bali. Proses isolasi bakteri endosimbion merupakan metode yang digunakan oleh Ravikumar et al. (2010b), Marhaeni et al. (2010) dan Marhaeni et al. (2011). Bagian daun lamun dipotong sepanjang 5 cm, dan disemprot dengan air laut steril untuk membersihkan kotoran. Selanjutnya, disemprot dengan etanol 70% dan dikeringkan selama 5 menit di dalam laminar air flow. Setelah kering, disemprot kembali dengan air laut steril untuk menghilangkan residu etanol. Bilah daun yang sudah steril bagian luarnya selanjutnya dibelah secara membujur menggunakan pisau pemotong steril. Terakhir dimasukkan ke dalam media Zobell

marine broth 2216E untuk diinkubasi selama 24 jam. Hasil inkubasi tersebut kemudian dilihat pertumbuhannya, apabila kekeruhannya tinggi maka diencerkan dengan air laut steril (salinitas 29-32) sampai tingkat pengenceran 10-3. Kepadatan bakteri yang dipakai uji diukur menggunakan spektrofotometer, dengan panjang gelombang 600 nm. Bakteri dengan kepadatan 106 sel.mL-1 digunakan dalam uji aktivitas bakteri endosimbion terhadap alga target. Isolat konsorsium bakteri endosimbion selanjutnya diberikan kode EhEd (untuk E. acoroides) dan ThEd (untuk T. hemprichii).

Inkubasi Alga Target

Alga yang dijadikan target dalam bentuk sediaan monokultur, diperoleh dari Laboratorium Kultur Plankton P2O LIPI. Spesies yang diuji adalah dua kelompok alga kelompok dinoflagelata dan diatom. Kelompok dinoflagelata terdiri dari Porphyridium sp. dan BG. Kelompok diatom terdiri dari Nitzschia sp.,

Chaetoceros sp., Navicula sp. dan Thalassiosira sp. Penumbuhannya

menggunakan media IMK Daigo’s (Nihon Pharmaceutical Co., Ltd) pada suhu ruangan (28º-30ºC). Khusus untuk kelompok diatom ditambahkan silikat, dengan konsentrasi 1 ml.L-1 media. Kultur diinkubasi selama 2-3 hari sampai mencapai kepadatan ±102-104 sel.mL-1. kegiatan pengujian memakai botol plakon dengan volume maksimal 35 mL. Volume kultur pengujian dengan konsorsium bakteri sebanyak 30 mL. Selama pengujian juga disertai dengan kontrol, sebagai pembanding visual keadaan kultur, sel dan pertumbuhan plankton.

31

dimana:

%AA = persentase aktivitas algasida T = kultur perlakuan

C = kultur kontrol t = lamanya perlakuan

Uji Aktivitas Algasida Bakteri Endosimbion Lamun

Metode yang digunakan dalam pengujian algasida tersebut adalah Mixed algal-bacterial cultures (Nakashima et al. 2006). Kedua konsorsium tersebut kemudian dimasukkan masing-masing sebanyak 0.6 mL (2%) ke dalam 30 mL kultur alga target. Pengulangan perlakuan dilakukan sebanyak tiga kali, ditambah dengan satu kontrol. Kemudian diinkubasi selama 24 jam pada shaker dengan periode penyinaran 12:12, pada suhu ruangan 28º-30ºC. Setelah inkubasi pada rentang waktu tersebut, dilakukan pengamatan jumlah alga menggunakan gelas MPC-200 Plankton Counter. Proses pengamatan terus dilakukan sampai hari kelima inkubasi. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop dengan pembesaran x100.

Untuk efek aktivitas algasida konsorsium bakteri endosimbion lamun terhadap alga target, dilakukan dengan mengambil sebanyak 0.5 mL kultur perlakuan kemudian disentrifugasi pada kecepatan 5000 rpm selama 5 menit. Selanjutnya, endapan diamati menggunakan preparat MPC-200 Plankton Counter. Pengamatan dilakukan pada penanda kerusakan sel alga dan kondisi media. Pembesaran yang digunakan x400 dan x1000.

Analisis Data

Tingkat aktivitas algasida konsorsium bakteri dalam bentuk persentase. Untuk mengetahui perbedaan aktivitas algasida dari setiap perlakuan maka dilakukan uji statistik menggunakan uji t-student. Berikut formula untuk menghitung tingkat aktivitas algasida (Lee et al. 2008).

��= 1− !!!

!

 100 (2)

Analisis komponen utama digunakan untuk mengetahui pengaruh karakteristik lingkungan pada aktivitas algasida endosimbion lamun. Analisis tersebut juga digunakan untuk melihat pengaruh aktivitas algasida pada struktur komunitas plankton. Analisis kelompok jarak Euclidean digunakan untuk mengetahui perbedaan aktivitas algasida.

32

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Tingkat Aktivitas Algasida EhEd dan ThEd terhadap Plankton Target

Tingkat aktivitas alga bisa diketahui dengan menghitung persentase kepadatan alga perlakuan dibandingkan dengan kontrol. Evaluasi dilakukan pada hari terakhir pengamatan, yaitu pada hari kelima. Konsorsium bakteri EhEd menunjukkan aktivitas algasida yang tinggi pada Porphyridium sp., cukup berpengaruh pada pertumbuhan BG dan Nitzschia sp. dan rendah pada

Chaetoceros sp., Navicula sp. dan Thalassiosira sp. Konsorsium bakteri ThEd menunjukkan aktivitas algasida yang tinggi pada Porphyridium sp., cukup berpengaruh pada pertumbuhan BG dan Nitzschia sp. dan rendah pada

Chaetoceros sp., Navicula sp. dan Thalassiosira sp. (Tabel 6). Berdasarkan analisis kelompok jarak Euclidean diperoleh nilai korelasi yang tinggi (0.939) antara aktivitas algasida konsorsium bakteri simbion E. acoroides dengan T. hemprichii (Tabel 7). Hal tersebut menandakan kemungkinan bakteri yang menjadi endosimbion pada kedua jenis lamun identik.

Perubahan Kondisi Media dan Morfologi Plankton Target yang Terpengaruh oleh Penambahan EhEd dan ThEd

Selama lima hari pengamatan terhadap kondisi media kultur dan mikrostruktur plankton di dapatkan berbagai gejala kerusakan sel yang bisa dikenali dari perubahan morfologi dan kerusakan komponen sel. Pengamatan terhadap media kultur perlakuan terbentuk biofilm berupa lendir transparan dan tidak terbentuk pada kontrol (Gambar 18A). Sel plankton terperangkap di dalam biofilm terjadi setelah hari kedua (Gambar 18B). Morfologi normal Porphyridium

sp. adalah berbentuk bulat, memiliki pigmen berwarna merah, dengan ukuran sel 10 - 15 µm (Gambar 18C). Pada tahap awal kerusakan (hari kedua) sitoplasma sel mengalami penciutan sampai >50% (Gambar 18D). Soliditas dan ketegaran sel mengalami penurunan ditandai mulai pecahnya sitoplasma dan membran sel pada beberapa bagian (Gambar 18E). Pada hari ketiga sel sudah mengalami kerusakan permanen, ditandai dengan membran sel yang pecah dan sitoplasma berwarna hitam (Gambar 18F).

Tabel 6 Aktivitas algasida konsorsium bakteri endosimbion E. acoroides dan T. hemprichii pada plankton target. Aktivitas algasida dievaluasi pada hari kelima Konsorsium Plankton Porphyridium sp. BG Nitzschia sp. Chaetoceros sp. Navicula sp. Thalassiosira sp EhEd (%) 94.1 57.1 44.9 17.0 25.5 9.8 ThEd (%) 92.8 48.6 52.6 15.0 26.4 8.0

33

Tabel 8 Rekapitulasi hasil uji t-student pada taraf nyata (!: 0.05) terhadap kepadatan

plankton kontrol dan perlakuan (kelompok dinoflagelata litoral)

Porphyridium sp. BG

EhEd ThEd EhEd ThEd

t 0.008* 0.011* 0.042* 0.024*

* berbeda nyata antara kontrol dan perlakuan pada taraf nyata ( : 0.05).

Tabel 9 Rekapitulasi hasil uji t-student pada taraf nyata (!: 0.05) terhadap

kepadatan plankton kontrol dan perlakuan (kelompok diatom litoral)

Nitzschia sp. Chaetoceros sp. Navicula sp. Thalassiosira sp.

EhEd ThEd EhEd ThEd EhEd ThEd EhEd ThEd t 0.450 ns 0.24ns 0.599 ns 0.526ns 0.346 ns 0.294ns 0.775ns 0.832 ns

ns

tidak berbeda nyata antara kontrol dan perlakuan pada taraf nyata ( : 0.05).

Perubahan Kepadatan Plankton

Kepadatan plankton kelompok dinoflagelata dievaluasi setiap hari selama lima hari. Kepadatan sel plankton Porphyridium sp. dan BG yang dengan perlakuan EhEd dan ThEd menunjukkan penurunan dibandingkan dengan kontrol (Gambar 19). Hal tersebut menandakan konsorsium mampu menghambat pertumbuhan keompok dinoflagelata. Sebaliknya kepadatan plankton semakin meningkat pada Nitzschia sp., Chaetoceros sp., Navicula sp. dan Thalassiosira sp. Pola tersebut menandakan pertumbuhan plankton hampir tidak dipengaruhi oleh penambahan konsorsium bakteri endosimbion (Gambar 20).

Efek Aktivitas Algasida pada Pertumbuhan Plankton Target

Hasil uji t-student pada pertumbuhan plankton target menunjukkan bahwa perlakuan dengan EhEd maupun ThEd menunjukkan pengaruh terhadap kepadatan pertumbuhan plankton Porphyridium sp. dan BG (Tabel 8). Hal tersebut ditunjukkan dengan ada perbedaan pertumbuhan yang signifikan antara kontrol dengan perlakuan. Pada perlakuan terhadap kelompok diatom (Nitzschia

sp., Chaetoceros sp., Navicula sp. dan Thalassiosira sp.) tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan antara kontrol dan perlakuan (Tabel 9). Hal tersebut berarti konsorsium bakteri endosimbion tidak cukup berpengaruh terhadap pertumbuhan diatom.

Tabel 7 Matriks similaritas aktivitas algasida

konsorsium bakteri endosimbion Korelasi antar vektor ciri

EhEd ThEd

EhEd 1 0.939

34

Gambar 18 Mikrograf kondisi media dan sel plankton. Biofilm yang terbentuk pada media kultur (A); plankton Phorphyridium sp. terperangkap dalam biofilm (B); bentuk normal Phorphyridium sp. (C); pada tahap awal penambahan EhEd dan ThEd sitoplasma plankton mengalami penciutan >50% (D); sel plankton mengalami kerusakan tahap kedua (E); membran sel plankton pecah (F)

35

Hubungan Karakteristik Lingkungan dengan Aktivitas Algasida

Hasil analisis komponen utama menunjukkan informasi yang menggambarkan hubungan antara aktivitas algasida dengan karakteristik lingkungan menunjukkan. Hubungan tersebut dibentuk oleh dua sumbu utama dengan akar ciri akumulatif 65.89%. Persentase ciri akumulatif menggambarkan tingkat keterkaitan hubungan dari keseluruhan total informasi (Gambar 21).

Gambar 19 Perkembangan pertumbuhan plankton (dinoflagelata) kontrol dan plankton dengan perlakuan EhEd dan ThEd selama lima hari pengamatan. Kontrol (K); perlakuan (rP);

Porphyridium sp. dengan perlakuan EhEd (A); Porphyridium sp. dengan perlakuan ThEd (B); kultur BG dengan perlakuan EhEd (C); kultur BG dengan perlakuan ThEd (D) Ju m la h se l (s el .mL -1 ) Ju m la h se l (x 1 0 3 se l. mL -1 )

36

Gambar 20 Perkembangan pertumbuhan plankton (diatom) kontrol dan plankton dengan perlakuan EhEd dan ThEd selama lima hari pengamatan. Kontrol (K); perlakuan (rP); Nitzschia

sp. dengan perlakuan EhEd (A); Nitzschia sp. dengan perlakuan ThEd (B);

Chaetoceros sp. dengan perlakuan EhEd (C); Chaetoceros sp. dengan perlakuan ThEd (D); Navicula sp. dengan perlakuan EhEd (E); Navicula sp. dengan perlakuan ThEd (F); Thalassiosira sp. dengan perlakuan EhEd (G); Thalassiosira sp. dengan perlakuan ThEd (H); Ju m la h se l (x 1 0 3 se l. mL -1 )

37

Gambar 21 Hasil PCA antara aktivitas algasida konsorsium bakteri endosimbion dengan karakteristik lingkungan pada sumbu 1 (F1) dan sumbu 2 (F2).

Pembahasan

Penelitian-penelitian aktivitas algasida terdahulu cenderung menggunakan bakteri yang diisolasi pada saat terjadi marak alga. Cytophaga sp. adalah spesies bakteri pertama yang diidentifikasi memiliki aktivitas algalsida (Imai et al. 2001).

Bacillus sp. SY-1 menghasilkan senyawa Bacillamide memiliki aktivitas algalsida (Jeong et al. 2003). Jeong et al. (2005) menemukan bakteri Hahella chejuensis

yang memiliki kemampuan sebagai algalsida pada alga Cochlodinium polykrikoides. Jeong-Dong et al. (2007) menemukan Pseudomonas fluorescens

memiliki aktivitas algalsida kuat terhadap mikroalga Heterosigma akashiwo. Lee

et al. (2008) menemukan bakteri Alteromonas sp. memiliki aktivitas algalsida pada berbagai spesies HABs. Kim et al. (2009) berhasil mengisolasi

Pseudoalteromonas haloplanktis AFMB-08041 mampu menghambat

pertumbuhan dinoflagelata Prorocentrum minimum sampai 90% dalam waktu 5 hari. Inaba et al. (2013) mengisolasi bakteri algasida dari perairan pesisir barat daya Jepang yang mampu menghambat pertumbuhan Chattonella antiqua.

Penelitian ini mencari bakteri yang bukan berasal isolat asosiatif marak alga, tetapi dari endosimbion lamun. Garcias-Bonet et al. (2012) menemukan bahwa metabolit sekunder bakteri endosimbion lamun memiliki potensi sebagai

38

antikanker, antibakteri, antifouling dan antialga. Marhaeni et al. (2011) berhasil mengisolasi bakteri simbion (endo dan epi-simbion) lamun yang memiliki kemampuan sebagai antibiofouling. Onishi et al. (2014) menemukan bakteri strain E8 dan E9 yang diisolasi dari lamun Zostera marina memiliki aktivitas algasida yang kuat terhadap Alexandrium tamarense. Bisa juga menghambat perkembangan Chattonella antiqua dan Heterosigma akashiwo (red tide),

Heterocapsa circularisquama (dinoflagelata) dan Chaetoceros mitra (diatom). Penelitian ini menggunakan konsorsium bakteri endosimbion lamun yang diisolasi dari E. acoroides dan T. hemprichii. Pada ujicoba algasida terhadap

Porphyridium sp. menemukan bahwa konsorsium endosimbion sangat efektif menekan pertumbuhan plankton. Konsorsium bakteri EhEd menunjukkan persentase yang tinggi mencapai 94.1%, dengan rentang waktu inokulasi lima hari. Konsorsium ThEd juga menunjukkan aktivitas algasida yang tinggi mencapai 92.8%. Efek aktivitas algasida yang tinggi tersebut terkonfirmasi juga oleh hasil uji t-student yang menyatakan bahwa ada perbedaan signifikan kepadatan pertumbuhan plankton antara kontrol dengan perlakuan EhEd dan ThEd.

Pertumbuhan alga Porphyridium sp. juga mengalami penurunan selama masa perlakuan, dibandingkan dengan kontrol. Kepadatan plankton, dengan perlakuan EhEd, pada hari ke-nol 14.300 sel.mL-1. Jumlah tersebut terus menurun sampai 5.167 sel.mL-1 pada hari kelima. Pada perlakuan dengan ThEd, dengan jumlah awal sama, terjadi juga penurunan kepadatan alga. Pada hari kelima pengamatan jumlah alga hanya 13.867 sel.mL-1.

Hal berbeda ditunjukkan pada ujicoba algasida terhadap BG (dinoflagelata). Konsorsium bakteri endosimbion menunjukkan hasil yang sedang. Persentase aktivitas algasida dengan perlakuan EhEd sebesar 57.1%, sedangkan dengan perlakuan ThEd sebesar 48.6%. Pada diatom pengaruh konsorsium bakteri endosimbion hampir tidak memberikan dampak pada pertumbuhan plankton, kecuali Nitzschia sp. Tingkat aktivitas algasida dengan perlakuan EhEd sebesar 44.9% dan dengan perlakuan ThEd sebesar 52.6%. Dengan nilai persentase aktivitas tersebut, bakteri endosimbion belum mampu menekan pertumbuhan plankton target. Hal tersebut terbukti dari kurva pertumbuhan plankton yang cenderung naik (Gambar 20A dan Gambar 20B). Fakta kedua adalah tidak ada perbedaan kepadatan alga pada kontrol dan perlakuan. Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh perhitungan t-student. Semua perhitungan tersebut menunjukkan bahwa kelompok diatom tidak terpengaruh oleh aktivitas algasida konsorsium bakteri endosimbion lamun E. acoroides dan T. hemprichii.

Kecilnya aktivitas algasida pada diatom mungkin disebabkan oleh rentang ekologis dan daya tahan diatom sangat baik. Hal tersebut dilihat dari struktur tubuhnya yang dilengkapi dinding sel yang disusun atas silikat. Keberadaan dinding sel tersebut menjadi pertahanan yang kuat dari gangguan lingkungan dan pemangsa mikroskopis termasuk bakteri. Hal tersebut juga mengkonfirmasi bahwa, mekanisme aktivitas algasida konsorsium bakteri endosimbion E. acoroides adalah menyerang langsung sel alga yang terperangkap dalam biofilm. Kemampuan bakteri untuk membuat biofilm selain untuk kebutuhan perlindungan juga sebagai perangkap bagi mangsa. Hal tersebut menyebabkan mangsa yang lebih besar dan pergerakan lebih aktif tetap bisa ditangkap. Bakteri Hahella

39

polysaccharides (EPSs) dalam jumlah sangat banyak. EPSs biasanya disekresikan sebagai biofilm, karakter seperti ini biasanya penanda sifat bakteri patogen (Jeong

et al. 2005; Kim et al. 2009).

Berdasarkan hasil pengamatan mikroskopis terhadap media kultur perlakuan, aktivitas algasida terjadi dalam beberapa tahapan. Tahap pertama konsorsium bakteri membentuk semacam senyawa biofilm. Tahap kedua, terlihat bahwa plankton banyak yang terperangkap oleh senyawa tersebut. Tahap ketiga, sel plankton mulai mengalami pengerutan atau pengurangan pada sitoplasma. Tahap keempat, sel plankton mulai pecah dan mati.

Pada beberapa hasil pengamatan menunjukkan bahwa plankton yang terperangkap oleh biofilm sitoplasmanya menghitam. Hal tersebut mungkin karena bakteri mampu mengeluarkan senyawa metabolit sekunder yang mampu menyerap ke dalam sel plankton. Masuknya senyawa tersebut menyebabkan sel mengalami kematian akibat kerusakan pada sitoplasma, yang ditandai dengan menghitamnya bagian dalam sel. Hal tersebut juga terjadi pada diatom, dimana sitoplasma sel mengalami pengkerutan. An et al. (2015) menemukan isolat aktinomisetes jenis Brevibacterium sp. BS01 mampu menghasilkan senyawa metabolit 2-isobutoxyphenyl amine (C10H15NO) yang mampu mendegradasi

sitoplasma dan menghilangkan ketegaran organela. Cai et al. (2016) juga menemukan eksudat dari aktinomisetes jenis Streptomyces alboflavus RPS mampu merusak sistem fotosintetik Phaeocystis globosa. Ditandai dengan deformasi organela, vakuolaisasi dan peningkatan tekanan oksidatif. Hal tersebut meningkat tekanan lingkungan terhadap struktur mikroskopis plankton.

Berdasarkan hasil pengamatan dalam penelitian ini, diperkirakan ada 2 metode dalam menghambat pertumbuhan alga. Pertama, pemangsaan langsung oleh bakteri dengan perantara perangkap biofilm. Hal tersebut membutuhkan pengamatan ultrastruktur menggunakan mikroskop dengan pembesaran sangat kuat. Li et al. (2015) menemukan kerusakan membran sel terjadi pada

Alexandrium tamarense akibat aktivitas algasida dari bakteri Deinococcus sp. Y35. Kedua, dengan menghasilkan senyawa metabolit sekunder. Senyawa tersebut berfungsi mencerna membran sel dan merusak sitoplasma alga. Ravikumar et al.

(2010b) dan Li et al. (2014) menemukan bahwa bakteri Vibrio sp. yang diisolasi dari kawasan mangrove mampu menghasilkan metabolit sekunder bernama asam palmitoleat (palmitoleic acid). Metabolit tersebut tergolong fatty acid yang memiliki aktivitas algasida yang kuat, hanya dalam 24 jam bisa merusak membran sel A. tamarense. Fungsi ganda seperti itu biasanya jarang ditemukan pada isolat tunggal. Kemungkinan yang paling tinggi adalah adanya mekanisme kerja sinergis antar anggota konsorsium.

Sifat konsorsium yang biasanya terdiri dari banyak spesies memungkinkan adanya proses simbiosis yang saling menguntungkan. Ghazali et al. (2004) menyatakan bahwa mekanisme pada konsorsium menyebabkan proses kerja mikroorganisme menjadi lengkap dan kompleks. Hal tersebut bisa meningkatkan kinerja konsorsium untuk menghambat pertumbuhan plankton dibandingkan dengan isolat tunggal.

Berkaitan dengan pengaruh lingkungan terhadap aktivitas algasida, hasil analisis komponen utama menunjukkan bahwa aktivitas algasida berkaitan erat dengan DOC, COD, salinitas, temperatur dan ORP. Korelasi yang erat dengan

40

DOC menandakan bahwa tipe bakteri yang memiliki aktivitas adalah dari golongan heterotrofik. Attermeyer et al. (2014) menyatakan bahwa bakteri heterotrofik adalah konsumer utama bagi DOC. Hal tersebut diperkuat dengan korelasi yang kuat dengan temperatur yang menegaskan bahwa bakteri yang berperan adalah endosimbion. Bakteri endosimbion sesuai dengan karakteristiknya yang berada dalam jaringan lamun memerlukan suhu yang stabil dan tidak tinggi.

Kaitan yang erat dengan salinitas menunjukkan bakteri yang bekerja sebagai algasida adalah bakteri halofilik. Shovitri et al. (2011) menyatakan bahwa perbedaan salinitas akan mengakibatkan perbedaan komposisi bakteri. ORP lingkungan teluk cenderung reduktif hal tersebut menjadi penanda bahwa berlangsung aktivitas bakteri dalam bentuk dekomposisi senyawa organik. Proses dekomposisi yang terjadi bisa dalam bentuk nitrifikasi senyawa amoniak terionisasi (NH4+) menjadi nitrat (NO3-). Proses tersebut terjadi karena peran bakteri nitrifikasi (Gerardi 2007).

Hubungan erat dengan parameter temperatur menandakan bahwa bakteri yang menunjukkan aktivitas algasida adalah endosimbion. Bakteri tersebut

Dokumen terkait