BAB II LANDASAN TEORI
E. Anak Korban Bullying
Colorosa (2003) menyebutkan bahwa terdapat tiga elemen dari suatu peristiwa bullying, yaitu kekuatan yang tidak seimbang, memiliki tujuan untuk menyakiti serta adanya ancaman untuk melakukan agresi. Gillied & Danniels (2009) mengatakan bahwa bullying memiliki tiga karakteristik, yaitu perilaku yang disengaja bertujuan untuk menyakiti, terjadi secara beulang dan adanya perbedaan kekuataan. Dengan demikian, seseorang dianggap menjadi korban bullying jika ia berada pada situasi yang berhadapan dengan tindakan negatif dari seseorang atau lebih yang dilakukan berulang-ulang dari waktu ke waktu dan ia tidak mampu untuk mempertahankan diri dari tindakan negatif tersebut. Selain itu dapat pula disimpulkan bahwa seseorang dikatakan sebagai korban bullying dilihat dari frekuensi ia mengalami bullying, yaitu minimal dua atau tiga kali dalam sebulan (Olweus, 2007).
F. Kecemasan pada Anak Korban Bullying
Olweus (dalam Murphy, 2009) mengatakan bahwa seorang anak yang menjadi korban bullying adalah ketika ia mendapatkan perlakuan negatif secara berulang-ulang yang dilakukan dengan sengaja oleh seorang anak atau sekolompok anak dengan tujuan untuk menyakiti, dapat terjadi dalam bentuk fisik, verbal maupun relasi (Beane, 2008). Ketika anak menjadi korban bullying, maka perlakuan bullying yang diterimanya akan menimbulkan kecemasan bagi anak. Sebuah studi cross-sectional mengidentifikasi bahwa anak-anak yang menjadi target bully memperlihatkan tanda-tanda disetres seperti depresi dan kecemasan (Howker & Balton 2000; Arseneault & Shakoor, 2009).
Kecemasan yang dialami anak korban bullying akan membuat mereka tetap merasa khawatir tentang banyak hal dalam kehidupan mereka. Mereka biasanya juga memperlihatkan perilaku menghindari sesuatu yang mereka takutkan (Santhanam, 2001). Simtom kecemasan yang dialami anak biasanya hanya terjadi sesekali dan berlangsung singkat, dan tidak menyebabkan masalah.
Namun jika simtom kognitif, fisik dan perilaku dari kecemasan bertahan dan menjadi berat, maka kecemasan yang demikian akan menjadi distres bagi anak dan efek negatif yang ditimbulkan akan mempengaruhi anak untuk belajar (Rector, Bourdeau, Danielle, Massiah. 2008).
G. Terapi Menulis Ekspresif untuk Menurunkan Kecemasan pada Anak Korban Bullying
Bullying merupakan penyalahgunaan kekuatan dan merupakan bentuk dari perilaku agresif, dimana selama hal tersebut terjadi di sekolah maka termasuk bentuk kekerasan di sekolah (Olweus, 1999; Leung & To, 2009). Namun, bullying yang terjadi masih dianggap sebagai sebuah pengalaman masa kanak-kanak atau merupakan tata cara penerimaan dimana mereka harus mampu bertahan (Carter &
Spencer, 2006). Bullying terjadi karena adanya perbedaan kekuatan antara pelaku dan korban (Sampson, 2002). Anak-anak yang menjadi korban bullying memiliki karakteristik baik internal maupun eksternal yang membuatnya menjadi rentan untuk menjadi target bully dari teman-temannya. Karakteristk internal yang dimiliki oleh anak yang menjadikannya target bully diantaranya yaitu bersikap pasif terhadap bullying yang dialaminya, tidak mampu berinteraksi dengan lingkungan sehingga sering terisolasi dari lingkungan sosial atau merupakan anak yang provokatif Sedangkan karakterikstik eksternal yang dimiliki anak korban bullying diantaranya terkait fisik atau bentuk tubuh yang membuatnya berbeda dari anak-anak yang lain, perbedaan latar belakang budaya, religi atau memiliki kemampuan yang membuatnya berbeda dari anak yang lain (Murphy & Banas, 2009).
Bullying yang dialami jika tidak diatasi akan memberikan dampak negatif baik bagi performa saat di sekolah maupun bagi kesehatan mental anak. Salah satu dampak yang disebabkan oleh bullying adalah kecemasan. McCabe, Antony, Summerfeldt, Liss and Swinson (2003, Porsteindoffir, 2014) menemukan bahwa
keterlibatan bullying yang tinggi selama masa anak-anak atau remaja lebih memungkinkan mengalami kecemasan ketika berada disituasi sosial. Kecemasan dianggap sebagai perpaduan mendasar dari emosi-emosi bawaan, yang dimodifikasi oleh pembelajaran dan pengalaman, sehingga individu dapat mengasosiasikan emosi (misal; perasaan takut) dengan faktor kognitif dan situasional atau emosi lain yang berhubungan (Barlow, 2002). Kecemasan pada dasarnya merupakan hal yang biasa terjadi dan dibutuhkan. Pada beberapa situasi, kecemasan menjadi hal penting untuk bertahan karena adanya respon “fight or flight” yang mendorong individu untuk menghadapi atau menghindar dari situasi yang mengancam (Rector, Bourdeau, Kitchen, Masriah & Linda, 2008).
Jika respon fight or flight telah diaktifkan maka akan merubah sistem fungsional yaitu bagaimana cara berpikir (kognitif), bagaimana cara tubuh merasa dan bekerja (fisik) dan bagaimana cara bertindak (perilaku) (Rector, Bourdeau, Danielle, Linda. 2008). Ketika anak mengalami kecemasan, mereka akan memperlihatkan gambaran sebagai berikut:
1. Mengkhawatirkan banyak hal tentang bahaya dan ancaman.
2. Muculnya reaksi fisik seperti nafas menjadi cepat, berkeringat, merasa mual, sakit pada beberapa bagian tubuh sepeti kepala dan secara umum merasa tidak nyaman.
3. Merasa gugup, dan mungkin mereka akan menangis dan gelisah, takut.
4. Akan berusaha menghindari keadaan atau sesuatu yang mereka takutkan (Santhanam, 2001).
Ketika simptom kecemasan tetap bertahan dan menjadi semakin berat, maka kecemasan akan menjadi lebih rentan untuk berkembang menjadi suatu ganggun kecemasan. Oleh karena itu, anak perlu untuk mengatasi kecemasan yang dialami, salah satunya melalui terapi menulis ekspresif. Terapi menulis ekspresif bertujuan untuk meningkatan pemahaman bagi diri sendiri atau orang lain, ekspresi diri, mengekspresikan emosi yang berlebihan, menurunkan ketegangan dan meningkatkan kemampuan dalam mengatasi masalah serta fungsi adaptif (Malchiodi, 2007). Pennabaker (1986, Horowtz, 2008) juga menyebutkan bahwa kegiatan menulis dilakukan untuk mengeksplor pikiran dan perasaan terdalam individu. Anak dapat menyampaikan atau mengungkapkan perasaan, pikiran atau peristiwa yang sebelumnya tidak dapat mereka ungkapkan (Balton, 2003) dalam berbagai bentuk tulisan yaitu puisi, karangan, cerita ataupun lirik lagu. Selain itu juga memberikan kesempatan bagi individu untuk menemukan makna dan memahami peningkatan emosi yang berhubungan dengan peristiwa yang dialami (Pennebaker & Francis, 1996; Graf, 2004).
Proses pelaksanaan terapi menulis ekspresif dilakukan melalui empat tahap (Malchiodi, 2007), tahap pertama yaitu recognition bertujuan untuk membuka imajinasi, memfokuskan pikiran, relaksai dan menghilangkan ketakutan yang muncul pada diri individu. Tahap kedua yaitu examination, dimana proses menulis dilakukan yang bertujuan untuk megeksplor reaksi terhadap situasi tertentu yang dialami. Tahap ketiga yaitu juxtapotition merupakan sarana refleksi bagi individu yang mendorong individu untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang dirinya dan tahap terakhir yaitu application to the self, individu
dimotivasi untuk mengaplikasikan pengetahuan baru yang diperoleh ke dalam kehidupannya.
Pada terapi menulis ekspresif, menulis digunakan sebagai wadah self-expression untuk mengungkapkan perasaan dan persepsi menjadi pemahaman diri yang lebih baik dan membantu individu mengungkapkan aspek memori dan pengalaman yang belum mampu diungkapkan melalui percakapan. keterlibatan mereka dalam terapi menulis ekspresif dapat memberikan energi bagi individu untuk mengalihkan perhatian dan fokus terhadap permasalahan, tujuan dan perilaku. Tulisan yang dibuat membantu individu untuk merubah keyakinan mereka melalui hal baru yang diperoleh dan dengan adanya keterikatan antara pikiran dan tubuh, dapat memfasilitasi kemampuan pikiran untuk mempengaruhi fungsi tubuh dan simptom yang ada, sehingga mendorong self-relaxtation (Malchiodi, 2007). Dengan demikian melalui terapi menulis ekspresif dapat membantu anak mengekspresikan perasaan dan pikiran mereka saat mengalami bullying, memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang dirinya yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan, sehingga simptom-simptom kecemasan yang ada tidak berlangsung lama dan tidak menyebabkan gangguan kecemasan lainnya.
Secara singkat dinamika landasan teori tersebut, dapat digambarkan dalam rangkaian berikut:
Paradigma Penelitian
Anak yang memiliki karakteristik:
internal; pasif, terisolasi dan provokatif
eksternal; perbedaan secara fisik, budaya, kemampuanyangdimiliki
Korban bullying
Tidak mampu mengatasi bullying
Kecemasan, munculnya simptom, diantaranya:
1. Mengkhawatirkan banyak hal tentang ancaman dan bahaya 2. Munculnya reaksi fisik 3. Merasa gugup, takut 4. menghindar
Memunculkan gangguan kecemasan
Terapi menulis ekspresif:
Mengekspresikan perasaan dan pikiran tentang bullying yang dialami
Memperoleh pemahaman baru tentang diri
Mengaplikasikan ke dalam kehidupan
Simtom kecemasan berkurang
Tidak berkembang menjadi gangguan kecemasan
H. Hipotesa Penelitian
Hipotesa dalam penelitian ini adalah terapi menulis ekspresif efektif untuk menurunkan kecemasan pada anak korban bullying.
BAB III
METODE PENELITIAN
Bab ini membahas tentang metode penelitian, yang terdiri dari variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, desain penelitian, subjek penelitian, metode pengumpulan data, prosedur penelitian dan analisa data yang digunakan.
A. Variabel Penelitian
Variabel yang terdapat pada penelitian ini meliputi variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas adalah variabel yang dimanipulasi dalam penelitian karena diduga memiliki pengaruh terhadap variabel lain, sedangkan variabel terikat adalah respon subjek penelitian yang diukur pengaruhnya dari variabel bebas (Seniati, Yulianto
& Setiadi, 2011). Adapun yang menjadi variabel dalam penelitian ini adalah:
1. Variabel tergantung : Kecemasan
2. Variabel bebas : Terapi menulis ekspresif
B. Definisi Operasional
1. Kecemasan adalah perasaan takut dan khawatir disertai dengan gejala fisik, kognitif dan perilaku terhadap situasi yang dialaminya. Tingkat kecemasan diukur menggunakan skala kecemasan yang disusun dengan mengadaptasi dan memodifikasi Spence Children’s Anxiety Scale (SCAS) oleh Susan H. Spence pada tahun 1997. Tingkat kecemasan dinilai dari simtom kecemasan yang diperlihatkan anak pada enam area kecemasan yaitu general anxiety,
panic/agoraphobia, separation anxiety, social phobia, obsessive compulsive, fear of physical injury. Semakin tinggi skor kecemasan yang diperoleh, maka semakin tinggi simptom kecemasan yang dimiliki. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah skor kecemasan, maka semakin rendah pula simptom kecemasan.
2. Terapi menulis ekspresif adalah suatu proses terapeutik melalui kegiatan menulis yang dilakukan oleh anak sebagai bentuk refleksi dan ekspresi pikiran dan perasaannya tentang peristiwa bullying yang dialami dengan tujuan untuk membantu anak mengekspresikan emosi yang berlebihan, menurunkan ketegangan sebagai akibat dari peristiwa bullying yang dialami, dilakukan dengan empat tahap yaitu: recognition, examination, feedback, application to the self.
C. Desain Penelitian
Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah Pretest Posttest Control Group Design yang merupakan desain eksperimen dengan melakukan pengukuran atau observasi awal sebelum dan setelah perlakuan diberikan pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol (Latipun, 2004: 123). Adapun skema desain penelitian dapat dilihat pada tabel 3.1. berikut:
Tabel 3.1. Skema desain penelitian Kelompok Pengukuran
(Pretest)
Perlakuan Pengukuran (Posttest)
KE O1 X O2
KK O1 -X O2
Keterangan:
KE = Kelompok eksperimen KK = Kelompok kontrol
O1 = kecemasan sebelum perlakuan X = Pemberian terapi menulis ekspresif -X = Tanpa pemberian terapi menulis ekspresif O2 = kecemasan setelah perlakuan
D. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah anak-anak yang menjadi korban bullying.
Karakteristik dari subjek penelitian ini adalah:
1. Berusia 9-12 tahun. Allen & Marotz (2010) mengatakan bahwa pada masa kanak-kanak akhir, anak mulai menyenangi keterampilan menulis untuk kegiatan yang tidak berhubungan dengan akademik.
2. Memiliki IQ normal. Papalia (2010) mengatakan bahwa perkembangan keterampilan menulis bergerak beriringan dengan perkembangan bahasa dan menuru Yusuf (2008) salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa adalah IQ
3. Memiliki skor kecemasan pada kategori sedang (38 ≤ X < 76) dan kategori tinggi (X ≥ 76)
E. Metode Penggumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan beberapa cara, yaitu:
a. Kuisoner bullying, digunakan untuk mengidentifikasi anak-anak yang menjadi korban bullying. Kuisoner bullying disusun dengan mengadaptasi dan memodifikasi The Revised Olweus Bully/Victim Questionnaire yang
penelitian ini terdiri dari 4 pertanyaan yang menanyakan keterlibatan siswa sebagai korban bullying.
b. Skala kecemasan, digunakan untuk mengukur tingkat kecemasan pada anak korban bullying. Skala ini disusun dengan mengadaptasi dan memodifikasi Spence Children’s Anxiety Scale (SCAS). Skala kecemasan ini terdiri dari 38 aitem yang mencerminkan simptom kecemasan dari enam area kecemasan yaitu general anxiety, social anxiety, panic/agoraphobia, obsessive compulsive dan fear of physical injury dengan pilihan jawaban terdiri dari tidak pernah, kadang-kadang, sering dan selalu.
c. Tes Colour Progressive Matriks (CPM), digunakan untuk mengetahui golongan intelektual anak.
d. Lembar tugas
Pengumpulan data lain diperoleh dari lembar tugas yang diberikan kepada subjek selama proses intervensi berlangsung dan akan dianalisis secara kualitatif untuk memperkaya data kualitatif.
F. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian dibagi menjadi dua bagian, yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan penelitian. Berikut ini uraian mengenai kedua tahapan penelitian:
F.1. Tahap Persiapan Penelitian
Langkah-langkah yang dilakuan dalam tahap persiapan ini adalah:
a. Penyusunan skala kecemasan
Skala kecemasan bertujuan untuk mengungkap tingkat kecemasan subjek yang diperlihatkan dari simptom-simptom kecemasan dari enam area kecemasan yaitu:
1. separation anxiety, Kecemasan yang berlebihan terhadap perpisahan dari orang-orang yang memiliki kedekatan emosional.
2. social anxiety, Ketakutan yang menetap dan bertahan dari situasi sosial yang dapat menimbulkan perasaan malu.
3. panic/agoraphobia, Panic yaitu periode dari ketakutan yang intens atau ketidaknyamanan yang disertai dengan simptom somatik dan kognitif, Agoraphobia yaitu kecemasan berada di tempat atau situasi yang sulit untuk melarikan diri.
4. obsessive compulsive, Kecemasan dimana pikiran dipenuhi oleh gagasan yang menetap dan tidak terkontrol, menyebabkan seseorang melakukan tindakan tertentu berulang-ulang sehingga menimbulkan stres dan menggangu fungsi kehidupan sehari-hari.
5. fear of physical injury, ketakutan yang menetap dan bertahan terhadap sesuatu yang dapat dilihat dengan jelas, objek yang terbatas atau situasi tertentu.
6. general anxiety, kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan tentang sejumlah situasi atau aktivitas, dimana individu sulit untuk mengontrol kekhawatiran tersebut.
Skala dibuat dengan mengadaptasi dan memodifikasi Spence Children’s Anxiety Scale (SCAS). Distribusi aitem untuk skala kecemasan diuraikan dalam tabel 3.2.
berikut ini:
Tabel 3.2. Blue print skala kecemasan
No Tipe kecemasan Nomer aitem Jumlah
1. Separation anxiety 5, 8, 11, 14, 15, 38 6
2. Social phobia 6, 7, 9, 10, 26, 31 6
3. Obsessive compulsive 13, 17, 24, 35, 36, 37 6 4. Panic/agoraphobia 12, 19, 25, 27, 28, 30, 32,
33, 34 9
5. Fear of physical injury 2, 16, 21, 23, 29 5
6. General anxiety 1, 3, 4, 18, 20, 22 6
Jumlah 38
Berdasarkan tabel 3.2 di atas, jumlah aitem dalam skala kecemasan adalah 38 aitem. Pilihan jawaban terdiri dari tidak pernah, kadang-kadang, sering dan selalu.
Penilaian untuk setiap aitem adalah skor 0 untuk tidak pernah, skor 1 untuk kadang-kadang, skor 2 untuk sering dan skor 3 untuk selalu. Skor skala ini menunjukkan bahwa semakin tinggi skor jawaban maka semakin tinggi pula tingkat kecemasan. Sebaliknya, semakin rendah skor jawaban berarti semakin rendah tingkat kecemasan.
b. Uji coba skala kecemasan
Tujuan dilakukannya uji coba alat ukur adalah untuk mengetahui sejauh mana alat ukur dapat mengungkapkan dengan tepat apa yang ingin diukur dan seberapa jauh alat ukur menunjukkan kecermatan atau ketelitian pengukuran atau menunjukkan keadaan sebenarnya (Azwar, 2007). Uji coba skala kecemasan dilakukan dengan menyebarkan skala kecemasan kepada 52 orang anak dengan rentang usia 9-12 tahun yang mengalami bullying. Dari data yang terkumpul, maka diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Daya beda aitem
Uji daya beda aitem dalam penelitian ini diperlukan karena melalui daya beda aitem dapat diketahui seberapa cermat suatu alat ukur melakukan fungsinya. Daya
kelompok individu yang memiliki dan tidak memiliki atribut yang diukur. Pengujian daya beda aitem menghendaki dilakukannya komputasi korelasi antara distribusi skor aitem dengan suatu kriteria yang relevan yaitu distribusi skor itu sendiri.
Komputasi ini akan menghasilkan koefisien korelasi aitem total (rix) (Azwar. 2007).
Kriteria pemilihan aitem berdasarkan korelasi aitem total menggunakan batasan rix ≥ 0.30. Apabila aitem yang memiliki indeks daya beda sama dengan atau lebih besar daripada 0.30 jumlahnya melebihi jumlah aitem yang direncanakan untuk dijadikan skala, maka dapat memilih aitem-aitem yang memiliki indeks daya diskriminasi aitem tertinggi. Sebaliknya apabila aitem-aitem yang lolos ternyata masih tidak mencukupi jumlah yang diinginkan, maka dapat mempertimbangkan untuk menurunkan sedikit batas kriteria 0.30 menjadi 0.25 atau 0.2 (Azwar. 2007).
Pada penelitian ini, koefisien korelasi aitem total (rix) yang digunakan sebagai batas kriteria adalan rix ≥ 0.30, maka diperoleh hasil sebanyak 29 aitem memiliki rix
≥ 0.3 dan 9 aitem memiliki rix < 0.3. Berikut ini adalah distribusi aitem setelah dilakukan uji daya beda aitem:
Tabel 3.3. Distribusi aitem setelah uji daya beda aitem
No Tipe Kecemasan Nomer aitem
rix ≥ 0.3 rix < 0.3 1. Separation anxiety 5, 8, 11, 14, 15, 38
2. Social anxiety 6, 7, 10, 26, 31 9
3. Obsessive compulsive 13. 24. 36. 37 17, 35 4. Panic/agoraphobia 19, 25, 28, 30, 32,
34
12, 27, 33 5. Fear of physical injury 2, 16, 21, 23 29
6. General anxiety 1, 4, 20, 22 3, 18
Jumlah 29 9
2. Validitas dan reliabilitas
Validitas merupakan ketepatan dan kecermatan alat ukur dalam menjalankan fungsi pengukuran. Suatu alat ukur dikatakan valid jika alat ukur tersebut dapat memberikan hasil pengukuran yang sesuai dengan maksud dan tujuan diadakannya pengukuran (Azwar, 2010). Validitas yang digunakan dalam penelitian ini yaitu validitas content. Validitas content dilakukan melalui professional judgement dari dosen pembimbing dalam proses penyusunan dan telaah aitem sehingga aitem yang dikembangkan memang mengukur apa yang dimaksudkan untuk diukur (Suryabrata, 2000).
Reliabilitas mengacu kepada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur yang mengandung makna kecermatan pengukuran. Koefisien reliabilitas berada dalam rentang dari 0 sampai 1. Semakin tinggi koefisien reliabilitas yaitu mendekati angka 1 berarti semakin tinggi reliabilitasnya, sebaliknya semakin rendah koefisien yaitu mendekati angka 0 berarti semakin rendah reliabilitasnya (Azwar, 2010). Pada penelitian ini reliabilitas yang digunakan adalah reliabilitas skor komposit. Nilai reliabilitas skor skala kecemasan diperoleh dengan menggunakan rumus:
Keterangan:
Wj = bobot relatif komponen j Wk = bobot relatif komponen k Sj = deviasi standar komponen j Sk = deviasi standar komponen k
rjk = koefisien reliabilitas antar dua komponen yan berbeda
Maka, nilai koefisien reliabilitas skala kecemasan pada penelitian ini adalah rix= 0.89.
c. Penyusunan modul terapi menulis ekspresif
Pedoman pelaksanaan intervensi disusun oleh peneliti berdasarkan tahapan proses terapi menulis ekspresif. Adapun topik yang akan dibahas dan tahapan proses pelaksanaan selama intervensi yang dilakukan dapat dilihat pada tabel 3.4 dan tabel 3.5 di bawah ini:
Tabel 3.4. Topik terapi menulis ekspresif
Topik Tujuan kegiatan Tujuan
Terapeutik Pengalaman
dibully
a. Mengungkap bentuk bullying yang dialami.
b. Mengeksplor dan megekspresikan pikiran dan perasaan saat mengalami bullying.
c. Mengetahui perasaan dan pikiran yang menyebabkan munculnya kecemasan karena mengalami bullying.
Sarana Katarsis dan ekspresi emosi
bullying fisik a. Mengungkap bentuk bullying fisik yang dialami.
b. Mengeksplor dan megekspresikan pikiran dan perasaan saat mengalami bullying fisik.
c. Mengetahui perasaan dan pikiran yang menyebabkan munculnya kecemasan karena mengalami bully fisik.
Sarana Katarsis dan ekspresi emosi
bullying verbal a. Mengungkap bentuk bullying verbal yang dialami.
b. Mengeksplor dan megekspresikan pikiran dan perasaan saat mengalami bullying verbal.
c. Mengetahui perasaan dan pikiran yang menyebabkan munculnya kecemasan karena mengalami bully verbal
Sarana Katarsis dan ekspresi emosi
bullying relasi a. Mengungkap bentuk bullying relasi yang dialami.
Sarana Katarsis dan ekspresi
dan perasaan saat mengalami bullying relasi.
c. Mengetahui perasaan dan pikiran yang menyebabkan munculnya kecemasan karena mengalami bully relasi.
Tabel 3.5. Blue print modul terapi menulis ekspresif
Pertemuan Sesi Kegiatan Tujuan Waktu
1 Bermain puzzle Memunculkan informasi tentang
dialami
bullying relasi yang
VI 1 Evaluasi Mengetahui kondisi
subjek setelah intervensi berakhir
30 menit
d. Uji coba modul terapi menulis ekspresif
Uji coba modul dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai waktu yang dibutuhkan untuk setiap sesinya serta mengetahui apakah subjek penelitian memahami materi dan instruksi yang disampaikan. Uji coba hanya bersifat kualitatif artinya tidak dengan kondisi sebenarnya. Berdasarkan evaluasi ada beberap hal yang diperbaiki untuk menyempurnakan modul, yaitu:
1. Penambahan sesi menulis untuk menstimulus subjek sebelum memulai menuliskan perasaan dan pikiran. Dari hasil try out, subjek kesulitan untuk memulai menulis, sehingga peneliti menambahkan sesi menulis dengan topik yang berbeda dari pertemuan selanjutnya, yaitu dengan topik kenaikan kelas pada pertemuan pertama.
F.2. Tahap Pelaksanaan
Prosedur pelaksaan pada penelitian ini, dibagi menjadi 2 tahapan. Diamana tahap awal adalah tahapan screening dan pemilihan subjek. Setelah ditetapkan siswa yang akan menjadi subjek penelitian, maka tahapan dilanjutkan ke proses pelaksanaan intervensi. Berikut uraian dari kedua tahapan tersebut.
a. Screening dan pemilihan subjek penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan screening terhadap siswa kelas 4,5 dan 6 dengan rentang usia 9-12 tahun di salah satu Sekolah Dasar (SD) di kota Pekanbaru. Proses screening dilakukan pada tanggal 21 November 2016 sampai 30 November 2016. Dari 75 orang siswa yang mengisi kuisoner bullying, diperoleh sebanyak 23 orang siswa terindiksi sebagai korban bullying. Selanjutnya kepada 23 orang siswa terebut akan mengisi skala kecemasan untuk mengetahui tingkat kecemasan siswa.
Skor kecemasan yang diperoleh setiap siswa akan dikelompokkan ke dalam 3 kategori yaitu tinggi, sedang dan rendah. Berikut ini adalah langkah-langkah yang dilakukan:
1. Penyusunan norma kategorisasi skala kecemasan
Penyusunan norma dimasksudkan untuk mempermudah peneliti dalam menginterpretasi skor kecemasan yang diperoleh subjek sehingga peneliti dapat mengkategorisasikan tingkat kecemasan pada subjek penelitian. Dari skor kecemasan siswa di peroleh gambaran skor kecemasan siswa korban bullying sebagai beriku:
Tabel 3.6. Gambaran skor kecemasan anak korban bullying tertinggi 94. Selanjutnya juga diperoleh gambaran skor kecemasan anak korban bullying berdasarkan skor hipotetik, sebagai berikut:
Tabel 3.7. Gambaran skor kecemasan anak korban bullying berdasarkan skor hipotetik
Varaibel N Minimum Maximum Mean Std. Deviasi
Kecemasan 23 0 114 57 19
Selanjutnya akan dilakukan pengelompokan skor kecemasan menjadi 3 kategari, yaitu:
Tabel 3.8. Norma kategori kecemasan
Rentang Nilai Kategori
X < -1SD + M rendah
-1SD + M ≤ X < 1SD + M sedang
X ≥ 1SD + M tinggi
Tabel 3.9. Kategori skor kecemasan
Variabel Kategori Frekuensi Persentase Kecemasan
Rendah 13 56.52%
Sedang 9 39.13%
Tinggi 1 4,35%
Total 23 100 %
Dari tabel 3.9 di atas, diketahui bahwa sebanya 1 orang siswa kecemasan tinggi, 9 orang siswa memiliki kecemasan yang sedang dan 13 siswa lainnya memiliki kecemasan yang rendah.
2. Menentukan subjek penelitian
Dari 23 orang siswa yang terindikasi sebagai subjek penelitian, selanjutnya berdasarkan skor kecemasan yang diperoleh setiap siswa akan dikelompokkan ke dalam
tiga kategori yaitu tinggi, sedang dan rendah. Maka diperoleh gambaran jumlah siswa pada setiap kategori yaitu 13 orang memiliki skor kecemasan berada pada kategori rendah, 9 orang memiliki skor kecemasan berada pada kategori sedang dan 1 orang
tiga kategori yaitu tinggi, sedang dan rendah. Maka diperoleh gambaran jumlah siswa pada setiap kategori yaitu 13 orang memiliki skor kecemasan berada pada kategori rendah, 9 orang memiliki skor kecemasan berada pada kategori sedang dan 1 orang