• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bumi MERAMEX dan BMKG

Dalam dokumen BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang (Halaman 53-69)

Hasil penelitian tomografi oleh Widiyantoro dan van der Hilst (1996, 1997) menunjukkan slab litosfer di bawah Jawa kemungkinan kontinyu dari permukaan hingga ke dalam mantel bagian bawah. Hasil penelitian tomografi skala regional terdahulu di bawah Jawa menunjukkan struktur kerak bumi bagian dalam dengan jelas hingga kedalaman sekitar 1200 km. Tomografi regional yang telah dilakukan menggunakan ukuran grid yang besar (0,5º) dan tujuannya untuk memetakan struktur dengan skala luas.

Tomografi skala lokal menggunakan ukuran grid (20 km) menghasilkan struktur kerak bumi dangkal dengan terperinci tetapi terbatas pada kedalaman kurang dari 100 km. Penelitian tomografi lokal di Jawa bagian tengah oleh Wagner dkk. (2007) dan Koulakov dkk. (2007) belum mencakup struktur di Jawa bagian tengah bagian barat dan belum menunjukkan penunjaman slab dengan jelas.

Beberapa penelitian tomografi lokal terdahulu dilakukan dengan tidak memanfaatkan gempa bumi jauh di luar wilayah penelitian karena gempa bumi ini dapat meningkatkan kesalahan waktu residualnya (Thurber et al, 1995;. Husen et al, 2000 dan 2003;. Paul dkk., 2001; Husen dan Smith, 2004; Reyners et al, 2006;. Dias et al, 2007). Sebaliknya, penelitian Koulakov (2009) menyimpulkan gempa bumi di luar wilayah penelitian mungkin tidak menimbulkan masalah dalam tomografi lokal, tetapi bisa meningkatkan resolusi spasial dari model kecepatan yang dihasilkan. Dengan melakukan pemodelan sintetik, Koulakov (2009) menyatakan kombinasi dari jejak sinar gempa bumi lokal dan regional yang datang dari arah yang berbeda akan meningkatkan resolusi spasial dan meningkatkan penetrasi kedalaman model tomografi, namun penelitian Koulakov (2009) tidak melakukan inversi data riil. Penelitian tomografi gabungan katalog data gempa bumi lokal (MERAMEX) dan regional (BMKG) diharapkan mampu

mencitrakan struktur kecepatan gelombang P dan S di bawah Jawa bagian tengah secara terperinci. Implikasi struktur tersebut berupa fitur tektonik baru yang belum pernah terungkap pada hasil penelitian sebelumnya.

6.1 Data dan Metode

Dalam penelitian ini dilakukan inversi gabungan dari katalog data gempa bumi MERAMEX dan BMKG (Gambar 6.1). Data gempa bumi regional yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari buletin bulanan gempa bumi hasil rekaman jaringan seismograf permanen regional dari Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia (InaTEWS), BMKG. Hiposenter dari katalog data gempa bumi BMKG pada awal penentuannya diperoleh secara otomatis kemudian dilakukan reanalisis (picking) ulang secara manual (quality control). Jumlah stasiun seismograf BMKG yang digunakan adalah 36 stasiun (Tabel I), yang terletak di Lampung, Jawa dan Bali. Katalog data gempa bumi BMKG berjumlah 1.606 gempa bumi yaitu gempa bumi yang terjadi di wilayah Jawa (5º - 11º LS dan 105º - 115º BT) dari April 2009 hingga Februari 2011. Magnitudo gempa bumi tersebut berkisar 2 - 7,5 pada skala Richter dan kedalaman berkisar 2 - 684 km. Dari katalog data gempa bumi BMKG dilakukan seleksi dengan kriteria setiap gempabumi memiliki rekaman minimal 10 fase gelombang P atau S sehingga diperoleh 882 gempa bumi. Tahapan berikutnya adalah melakukan relokasi hiposenter gempa bumi menggunakan hypoDD untuk memperoleh hiposenter yang lebih akurat. Hiposenter relokasi ini kemudian diseleksi dimana stasiun dengan RMS lebih besar 6 detik selanjutnya tidak digunakan pada inversi tomoDD. Jumlah data waktu tempuh dari gabungan katalog data gempa bumi MERAMEX dan BMKG adalah 15.364 untuk gelombang P dan 8.298 untuk gelombang S.

Model kecepatan referensi gelombang P dari permukaan hingga kedalaman 20 km merupakan interpolasi dari model oleh Wagner dkk. (2007), sedangkan untuk kedalaman lebih dari 20 km berasal dari interpolasi dari ak135 Model (Kennett et al., 1995). Model referensi gelombang S diperoleh menggunakan nilai yang ditentukan dari Vp/Vs yaitu 1,74 (Gambar 6.2).

Tabel I. Daftar nama dan koordinat stasiun jaringan seismograf InaTEWS

Gambar 6.1. Distribusi gabungan katalog data gempa bumi MERAMEX (292 gempa bumi) dan BMKG (882 gempa bumi) yang digunakan dalam penelitian ini (lingkaran hitam). Segitiga magenta dan kuning menunjukkan masing-masing 169 seismograf MERAMEX dan 36 seismograf BMKG.

Gambar 6.2. Model referensi 1-D kecepatan gelombang P dan S, modifikasi dari model Wagner dkk. (2007) dan model ak135 oleh Kennett dkk. (1995).

Parameterisasi model horizontal untuk inversi tomoDD menggunakan titik-titik grid (grid nodes) berjumlah 18 titik grid (timur-barat) dan 16 titik grid (utara-selatan), dengan rotasi 10º dari arah utara seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6.3. Jarak antargrid horizontal dan antargrid vertikal tidak seragam. Distribusi grid horizontal adalah 20 km x 20 km di bagian timur dari wilayah penelitian di mana distribusi stasiun seismograf cukup padat, dan distribusi grid berukuran 25 km x 25 km di bagian barat Jawa bagian tengah, dimana hanya ada stasiun seismograf BMKG, sedangkan jumlah lapisan vertikal adalah 14.

Pada penelitian ini data yang digunakan adalah data absolut dan diferensial yang berasal dari katalog dan tidak menggunakan data korelasi silang waveform. Perhitungan waktu tempuh teoretis dari sumber ke penerima melalui model kecepatan referensi dilakukan dengan menggunakan ray tracing metode pseudo bending (Um dan Thurber, 1987). Inversi dilakukan dengan menggunakan teknik LSQR mengikuti Paige dan Saunders (1982). Uji resolusi dari citra yang dihasilkan dikontrol menggunakan uji sintetik checkerboard dan analisis distribusi nilai Derivative Weigth Sum (DWS) dari inversi data riil gelombang P dan S.

Gambar 6.3. Peta wilayah penelitian. Tanda plus hitam menggambarkan grid node jaringan yang digunakan dalam inversi tomografi. Jarak antara titik grid di bagian timur Jawa bagian tengah adalah 20 km x 20 km, dan 25 km x 25 km di bagian barat. Lingkaran hitam menunjukkan distribusi episenter gempa bumi. Segitiga kuning dan magenta masing-masing adalah stasiun MERAMEX dan BMKG.

Uji checkerboard dilakukan dengan memberikan perturbasi kecepatan positif dan negatif sebesar ±10% secara bergantian untuk tiap grid node. Selanjutnya waktu tempuh gelombang dihitung melewati model uji tersebut untuk menghasilkan data waktu tempuh sintetik. Data sintetik kemudian diinversi dengan menggunakan model kecepatan referensi. Gambar 6.4 menunjukkan hasil uji checkerboard untuk gelombang P dan S, pada gambar tersebut ditunjukkan bahwa rekontruksi model awal meningkat secara signifikan dari kerak dangkal hingga kedalaman 165 km dari inversi gabungan data MERAMEX dan BMKG.

Gambar 6.4. (a-f) Hasil uji checkerboard gelombang P dan S pada beberapa kedalaman, gambar pada kolom bagian sebelah kiri, tengah dan kanan masing-masing adalah dari data MERAMEX, data BMKG, dan gabungan data MERAMEX dan BMKG. Gambar (g-l) sama seperti (a-f), tetapi untuk gelombang S.

Selain uji checkerboard, kami juga menganalisis nilai Derivative Weigth Sum (DWS) yang menunjukkan ukuran sampling sinar gelombang dari setiap node (Gambar 6.5). Nilai DWS ini dapat berfungsi sebagai ukuran estimasi resolusi (Zhang dan Thurber, 2003, 2006). Wilayah dengan resolusi tinggi biasanya memiliki nilai DWS besar dan bersesuaian dengan zona yang memiliki rekonstruksi checkerboard.

Gambar 6.5. Plot sebaran nilai DWS inversi data riil gelombang P dan S dari gabungan katalog data gempa bumi MERAMEX dan BMKG pada kedalaman 5, 10, 15 dan 25 km.

6.2 Hasil dan Diskusi

Inversi data riil menggunakan cakupan data dan parameterisasi model yang sama seperti yang digunakan untuk uji resolusi. Peningkatan resolusi hasil inversi gabungan data riil untuk gelombang P menggunakan tomoDD ditunjukkan pada Gambar 6.6.b. Beberapa fitur yang tidak teridentifikasi pada inversi hanya menggunakan data MERAMEX (6.6.a) terutama wilayah Jawa Tengah bagian barat dapat dengan jelas dicitrakan dari inversi menggunakan gabungan katalog data gempa bumi MERAMEX dan BMKG. Gambar 6.6.c adalah tomogram selisih antara hasil inversi menggunakan gabungan katalog data gempa bumi dan hasil inversi hanya menggunakan data MERAMEX.

Gambar 6.7 (a-c) menunjukkan peta tomogram distribusi horizontal, masing-masing adalah distribusi Vp, Vs dan Vp/Vs. Hasil inversi tomografi mengungkapkan zona anomali kecepatan rendah di permukaan (5 km) pada zona Lawu-Merapi. Keberadaan anomali ini konsisten dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Koulakov dkk. (2007). Tomogram struktur kecepatan gelombang seismik yang diperoleh juga menunjukkan beberapa fitur penting yang belum diidentifikasi pada penelitian sebelumnya, seperti zona anomali kecepatan rendah di wilayah Cilacap-Banyumas dan zona anomali kecepatan rendah di Kebumen (Karangsambung). Gambar 6.7 (b) menunjukkan tomogram hasil inversi gelombang S yang memiliki pola yang mirip dengan tomogram gelombang P. Perbedaan pola tomogram kemungkinan disebabkan jumlah sinar gelombang dan lintasan gelombang yang dilalui. Namun demikian, amplitudo perturbasi gelombang S lebih kecil bila dibandingkan dengan amplitudo perturbasi gelombang P, amplitudo perturbasi gelombang S yang rendah dapat diartikan bahwa zona tidak mengandung material panas atau suhu tinggi. Hal ini mendukung hasil inversi hanya menggunakan data MERAMEX (Rohadi dkk, 2012) yang berpendapat bahwa zona anomali Merapi-Lawu di bagian permukaan (5 km) merupakan basin yang terisi sedimen.

Patahan Opak pada penelitian ini dengan jelas teridentifikasi pada kisaran kedalaman 5-15 km sebagai suatu kontras anomali. Widiyantoro (2006) juga

mengamati batas yang tajam antara kecepatan gelombang S rendah dan tinggi di kisaran kedalaman 35-70 km di dekat sesar tersebut. Berdasarkan hasil penelitiannya diperkirakan batas tersebut adalah tepi landas kontinen selama Oligo-Miosen seperti yang diidentifikasi oleh Hamilton (1979). Namun, Clements dkk. (2009) menyatakan adanya perubahan mendadak dalam orientasi shelf edge dan berpendapat bahwa diskontinuitas seismik ini terlebih mungkin mencerminkan perbedaan antara kerak benua tua dan kerak benua muda ophiolitic yang tipis.

Beberapa penelitian telah dilakukan terkait dengan variasi Vp, Vs dan Vp/Vs (misalnya, O'Connell dan Budiansky, 1974; Mavko, 1980; Schmeling, 1985; Nakajima dkk, 2001;. Takei, 2002; Kurashimo dan Hirata, 2004; Nakajima dkk, 2006, Nugraha dan Mori, 2006). Mereka mencatat nilai Vp/Vs, yang proporsional dengan Poisson’s ratio, merupakan parameter elastis penting yang sensitif terhadap kondisi termal Bumi. Pada Gambar 6.7 (c) ditunjukkan distribusi horizontal nilai Vp/Vs, meskipun secara teoritis penentuan Vp/Vs kurang fair karena berbeda jumlah sinar gelombang P dan S yang melalui setiap node jaringan. Namun, untuk mensiasati hal tersebut model Vp/Vs diplot hanya untuk titik grid dengan DWS tinggi (DWS> 500) baik gelombang P ataupun S.

Zona anomali kecepatan rendah yang kuat dengan Vp rendah, Vs rendah dan Vp/Vs rendah (<1,6) teridentifikasi antara zona Cilacap-Banyumas. Kami menafsirkan fitur ini kemungkinan sebagai material fluida dengan rasio aspek tinggi (high aspect ratio) atau sedimen. Zona ini memiliki kesesuaian dengan keberadaan basin yang berisi sedimen di wilayah tersebut. Zona anomali negatif di Kebumen bersesuaian dengan zona yang diperkirakan sebagai ekstensi basin laut di permukaan (van Bemmelen, 1949). Vp rendah, Vs rendah dan Vp/Vs rendah dalam kerak bumi tepat di bawah gunung api aktif di wilayah penelitian dapat mengindikasikan adanya H2O dengan rasio aspek tinggi (bukan hanya material leleh). Londono (2002) mengidentifikasi zona anomali Vp dan Vp/Vs rendah ditemukan disekitar kawah aktif pada kedalaman 0-2 km dari puncak Gunung Nevada del Ruis (Columbia), zona anomali ini berasosiasi dengan sistem

geotermal yang didominasi oleh uap. Zona dengan Vp dan Vp/Vs yang tinggi dibawah kawah aktif pada kedalaman 5 km berasosiasi dengan intrusi magma. Laigle dkk. (2000) melakukan penelitian tomografi di Mount Etna menyatakan bahwa material masif dengan Vp tinggi memiliki Vp/Vs heterogen, pada zona tersebut bila nilai Vs relatif rendah dicurigai merupakan material leleh atau fractured dan berperan sebagai penghubung tekanan atau zona transpor. Penelitian tomografi lokal Husen dkk. (2000) di subduksi dangkal di Chile utara menyimpulkan bahwa nilai Vp/Vs tinggi pada oceanic crust mungkin mengindikasikan naiknya konten fluida.

Takei (2002) menyatakan bahwa sangat penting mempertimbangkan geometri porositas skala kecil pada saat interpretasi Vp, Vs, dan nilai d (ln Vs)/d (ln Vp) untuk menganalisis perilaku keberadaan fluida. Nilai Vp/Vs tinggi dimana terjadi gempa bumi low frequency, di wilayah tersebut ditemukan perubahan Vs yang lebih besar daripada Vp. Takei memperkirakan bahwa pergerakan fluida kemungkinan sebagai penyebab gempa bumi low frequency. Zona dengan nilai Vp rendah, Vs rendah, dan Vp/Vs tinggi terdistribusi disepanjang front vulkanik pada mantel atas dan menurun menuju ke sisi back-arc di tepian atau di ujung batas mantel. Nilai Vp rendah, Vs rendah, dan Vp/Vs tinggi ditafsirkan sebagai material leleh (partial melted). Penelitian Nakajima dkk. (2005) tentang struktur 3-D Vp/Vs dan implikasinya terhadap busur magmatik dan fluida di timur laut Jepang menyatakan bahwa nilai rata-rata Vp/Vs ~1,69 di kerak atas, ~1,75 di kerak yang lebih dalam, dan ~1,77 di mantel atas. Sebagai bahan perbandingan nilai Vp/Vs dari beberapa batuan dapat dilihat pada Lampiran (Tabel 3.1). Perbedaan nilai Vp/Vs tersebut terutama mencerminkan variasi litologi terhadap kedalaman. Penelitian struktur 3-D Bungo Channel dan Shikoku oleh Nugraha dkk. (2006) menyatakan bahwa gempa low frequency terjadi di wilayah dengan nilai Vp/Vs tinggi, yaitu dibagian atas subduksi slab. Material kuat pada region tersebut terlalu lambat dalam mengakumulasi stress, sehingga disimpulkan material tersebut adalah batuan sedimen muda tersaturasi air. Daly dkk. (2008) mendapatkan bahwa keberadaan Vp/Vs yang tinggi pada suatau interval kedalaman tertentu menyiratkan bahwa terdapat intrusi cooled mafic.

Gambar 6.6. Hasil inversi tomoDD gelombang P menggunakan data: (a) MRX (MERAMEX), (b) MRX (MERAMEX) dan BMKG, dan (c) selisih antara dua model, yaitu (b) - (a).

Gambar 6.7. Hasil inversi tomoDD: (a) gelombang P, (b) gelombang S dan (c) Vp/Vs, plot tomogram hanya untuk grid node dengan nilai DWS lebih besar dari 500. Segitiga berwarna coklat adalah lokasi gunung berapi.

Gambar 6.8. Penampang vertikal: (a) tomogram gelombang P dan (b) hasil uji checkerboard. Lingkaran coklat adalah hiposenter setelah relokasi, garis abu-abu adalah slab model global USGS.

Pada Gambar 6.8 disajikan penampang vertikal tomografi Vp, tomogram ini mengindikasikan adanya beberapa fitur struktural yang menonjol. Misalnya, penampang vertikal A-A' menggambarkan anomali kecepatan tinggi di bawah bagian barat Jawa Tengah, yang mungkin berhubungan dengan subduksi lempeng

Indo-Australia. Penampang vertikal C-C' menegaskan perbedaan dari interpretasi penelitian sebelumnya oleh Koulakov dkk. (2007) yaitu bahwa magma berasal vertikal dari bawah Merapi, tetapi dari tomogram tampak bahwa magma cenderung berasal dari arah selatan bawah Merapi (Gambar 6.8 dan 6.9). Anomali kecepatan rendah di bawah Cilacap, Banyumas dan Kebumen yang dengan jelas teridentifikasi mengindikasikan zona tersebut berbatasan dengan zona anomali kecepatan tinggi. Zona anomali seperti ini merupakan zona lemah sehingga bila terjadi akumulasi stress maka sangat berpotensi terjadi gempa bumi. Stress pada zona ini dapat berasal dari aktivitas subduksi dan dinamika kerak bumi oleh pengaruh temperatur dan tekanan tinggi dari material dalam kerak bumi.

Hasil relokasi hiposenter ditunjukkan pada Gambar 6.10, distribusi sumber gempa bumi hasil relokasi tomoDD lebih fokus dibandingkan dengan katalog awal, terutama di ruang tempat gempa bumi ini terklaster dengan baik.

Gambar 6.9. Kartun sketsa interpretasi penampang vertikal tomogram kecepatan gelombang P, sketsa menggambarkan subduksi slab (anomali positif), magma (anomali negatif), fokal mekanisme gempa bumi Yogyakarta 2006.

Gambar 6.10. Perbandingan antara (a) distribusi dari sumber gempa bumi sebelum relokasi dan (b) Posisi sumber gempa bumi setelah relokasi menggunakan tomoDD.

Gambar 6.11. Perbandingan histogram dari residual waktu tempuh berdasarkan hasil inversi tomoDD menggunakan (a) struktur kecepatan 3-D konstan dan (b) struktur kecepatan 3-D diperbarui.

Pencaran sumber gempa bumi hasil relokasi gempa bumi jauh merupakan konsekuensi dari pendekatan umum oleh Zhang dan Thurber (2003), dengan asumsi bahwa untuk gempa bumi berjarak dekat (klaster) heterogenitas kecepatan adalah independen terhadap lokasi, tetapi tidak berlaku untuk gempa bumi yang berjarak jauh. Konsekuensi asumsi ini menyebabkan lokasi gempa bumi dapat bias untuk gempa bumi yang berjarak jauh.

Pada saat inversi relokasi hiposenter menggunakan tomoDD dicoba dilakukan dengan dua skema inversi yang berbeda. Skema inversi pertama, inversi hanya untuk relokasi hiposenter sehingga perturbasi hanya untuk parameter hiposenter sedangkan struktur model kecepatan 3-D dibuat tetap. Pada skema inversi kedua, inversi dilakukan secara simultan antara relokasi hiposenter dan struktur kecepatan 3-D. Hasil perbandingan residual waktu tempuh disajikan pada Gambar 6.11. Dari histogram tersebut ditunjukkan residual waktu tempuh tampak lebih dominan mendekati nol ketika skenario kedua dijalankan.

6.3 Simpulan

Dari hasil inversi tomografi menggunakan tomoDD dan gabungan data MERAMEX dan BMKG mengindikasikan adanya anomali kecepatan rendah di zona Merapi-Lawu yang konsisten dengan hasil penelitian terdahulu. Zona anomali tersebut kemungkinan sebagai basin besar berisi sedimen di permukaan. Zona anomali kecepatan rendah yang kuat dengan Vp rendah, Vs rendah dan Vp/Vs rendah juga teridentifikasi dari Cilacap hingga Banyumas. Zona anomali kecepatan rendah di Banyumas ini kemungkinan merupakan material yang memiliki aspek rasio besar atau lapisan sedimen. Zona anomali ini mengindikasikan kesesuaian dengan keberadaan basin yang berisi sedimen seperti yang diungkapkan ahli geologi sebelumnya. Sebuah zona anomali kecepatan rendah juga terdeteksi di Karangsambung, Kebumen, yang bersesuaian dengan tempat ekstensi basin samudera di permukaan. Penampang vertikal tomogram Vp dan Vp/Vs mengindikasikan bahwa sumber magma Gunung Merapi tidak vertikal dari bawah tetapi cenderung muncul dari selatan bawah Gunung Merapi. Penampang vertikal di bawah bagian barat Jawa Tengah teridentifikasi pola anomali kecepatan tinggi, yang mungkin mengindikasikan subduksi lempeng Indo-Australia. Meskipun demikian dari hasil penelitian ini, beberapa fitur terperinci tetap belum dapat terungkap. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut sangat diperlukan, misalnya dengan meningkatkan cakupan data seismik dari jaringan seismograf baru. Selain itu, penelitian pemodelan gravitasi dan magnetik untuk menghasilkan model yang realistis terkait dengan zona anomali yang baru teramati.

Dalam dokumen BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang (Halaman 53-69)

Dokumen terkait