• Tidak ada hasil yang ditemukan

Data dan Metode

Dalam dokumen BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang (Halaman 41-53)

BAB V Relokasi Hiposenter Gempa Bumi Di Jawa Bagian Tengah Menggunakan Inversi Tomografi Double-Difference

5.1 Data dan Metode

Pada penelitian ini digunakan data gempa bumi yang terekam oleh jaringan seismograf temporal MERAMEX (Gambar 5.1) di Jawa bagian tengah dan sekitarnya (seperti pada bab IV). Karena tidak adanya informasi model gelombang S, untuk mendapatkan model referensi gelombang S digunakan nilai rasio yang ditetapkan yaitu 1,74. Inversi relokasi hiposenter menggunakan metode tomoDD, metode ini menggunakan koordinat kartesian tetapi telah dilengkapi dengan koreksi kelengkungan bumi. Model referensi kecepatan gelombang P menggunakan model kecepatan kombinasi hasil penelitian Wagner dkk. (2007) dan model ak135 (Kennet dkk., 1995) (Gambar 4.3).

Gambar 5.1. Grid pengolahan data, ukuran grid di bagian dalam adalah 15 km x 15 km dan ukuran dua grid terluar berjarak 20 km dari grid bagian dalam, lingkaran warna merah menunjukkan gempa bumi, segitiga warna kuning adalah stasiun seismograf (atas). Contoh sinyal rekaman gempa bumi dari 5 stasiun yang dipilih secara acak (bawah).

5.2 Hasil dan Diskusi

Pada realisasi inversi tomoDD dari data gempa bumi MERAMEX dilakukan regularisasi dengan menentukan damping dan pembobotan yang sesuai berdasarkan nilai residualnya. Dari regularisasi diperoleh kurva trade-off (Gambar

4.4), berdasarkan kurva tersebut dipilih damping 110, sedangkan pembobotan untuk smoothing kecepatan adalah 5. Data diferensial diperoleh menggunakan program ph2dt dengan kriteria MAXDIST adalah 500 km. Selanjutnya inversi dilakukan hingga diperoleh residual minimum. Hasil inversi simultan tomoDD adalah struktur kecepatan 3-D dan hiposenter relokasi. Proses relokasi hiposenter sudah optimum secara kuantitatif yaitu bila nilai residual dari waktu tempuh observasi dan waktu tempuh teoretis sudah mencapai minimum pada iterasi yang ditentukan.

Pada Gambar 5.2.a-c ditunjukkan posisi hiposenter awal dan posisi hiposenter setelah relokasi menggunakan tomoDD. Perubahan posisi gempa bumi secara horizontal (Gambar 5.2.c) menunjukkan bahwa posisi hasil relokasi (warna biru) lebih mengumpul (fokus) daripada posisi awal (warna merah), kumpulan gempa bumi yang membentuk klaster terutama terdapat di bagian tengah dari wilayah penelitian. Pada Gambar 5.3.a ditunjukkan diagram kompas yang menggambarkan arah dan besarnya pergeseran episenter setelah relokasi; pergeseran maksimum dari relokasi adalah sekitar 50 km; dimana 4 gempa bumi mengalami pergeseran lebih dari 20 km. Arah pergeseran posisi gempa bumi yang dominan yaitu ke arah tenggara, terdapat 3 gempa bumi pada arah ini dan mengalami pergeseran lebih dari 20 km. Pada Gambar 5.3.b ditunjukkan diagram rose yang menggambarkan distribusi jumlah gempa bumi dan arah pergeserannya. Dari diagram tersebut terlihat bahwa sebagian besar posisi gempa bumi bergeser ke arah barat dari posisi sebelumnya, sedangkan pergeseran pada arah tenggara jumlahnya sedikit tetapi mengalami pergeseran yang relatif besar dibandingkan pergeseran kearah yang lain. Pada Gambar 5.4.a-c ditunjukkan besarnya pergeseran dari posisi hiposenter gempa bumi setelah relokasi menggunakan tomoDD. Pergeseran maksimum posisi episenter gempa bumi pada arah utara-selatan adalah sekitar 35 km (Gambar 5.4.a). Jumlah gempa bumi yang mengalami pergeseran lebih dari 10 km pada arah ini sebanyak 8 gempa bumi. Pergeseran sekitar 35 km terjadi pula pada arah timur-barat, pada arah ini hanya 4 gempa bumi yang mengalami pergeseran lebih dari 10 km. Perubahan kedalaman sumber gempa bumi maksimum adalah 60 km dan pergeseran rata-rata tidak lebih dari 10 km.

Gambar 5.2. Plot posisi sumber gempa bumi: a) plot posisi awal gempa bumi, b) posisi gempa bumi setelah relokasi dengan tomoDD, dan c) gabungan posisi gempa bumi awal dan posisi hasil relokasi. Warna biru adalah posisi gempa bumi awal dan warna merah adalah posisi gempa bumi setelah relokasi.

Gambar 5.3. Diagram pergeseran hiposenter: a) diagram kompas menunjukkan arah pergeseran dari posisi awal, terdapat 4 gempa bumi dengan pergeseran lebih dari 20 km, dan b) diagam rose dengan bin azimuth 18º yang menunjukkan besarnya pergeseran relatif antara posisi episenter hasil relokasi dan posisi sebelum relokasi, dimana pergeseran maksimum adalah 50 km pada arah tenggara.

Gambar 5.4. Pergeseran posisi sumber gempa bumi sebelum dan setelah relokasi: a) pada arah utara-selatan, b) pada arah timur-barat, c) kedalaman sumber gempa bumi setelah relokasi menggunakan tomoDD.

Pada Gambar 5.5. a-b ditunjukkan distribusi penyebaran hiposenter gempa bumi awal dan hiposenter setelah relokasi. Distribusi ini menunjukkan distribusi sumber gempa bumi menurut irisan vertikal utara-selatan dan irisan vertikal timur-barat. Distribusi hiposenter setelah relokasi untuk gempa bumi dengan kedalaman kurang dari 50 km terlihat pada irisan timur-barat distribusi hiposenter membentuk klaster ditengah-tengah wilayah.

Gambar 5.5. Plot posisi hiposenter gempa bumi: a) sebelum relokasi dan b) setelah relokasi menggunakan tomoDD.

Gambar 5.6. Plot besarnya pergeseran kedalaman sumber gempa bumi terhadap kedalaman awal. Pada kedalaman sekitar 10 km terdapat kedalaman beberapa gempa bumi setelah relokasi yang bergeser lebih dangkal daripada kedalaman sebelum relokasi.

Pada Gambar 5.6 ditunjukkan hubungan kedalaman awal sumber dan besarnya perubahan kedalaman. Perubahan kedalaman terjadi terutama pada kedalaman 20 km hingga 30 km dengan perubahan kedalaman mencapai hampir 20 km. Gempa bumi yang mengalami perubahan kedalaman ini terutama gempa bumi yang relatif

dangkal dan posisinya di sekitar trench. Hal tersebut karena jumlah gempa bumi banyak dan membentuk klaster sehingga ada koreksi yang ditimbulkan dari pasangan gempa bumi yang terbentuk sehingga mereduksi scattering sebaran hiposenter (Waldhauser dan Ellsworth, 2000; Pesicek dkk, 2010). Pada kedalaman sekitar 60 km juga mengalami perubahan kedalaman karena terbentuk klaster pada kedalaman ini. Sedangkan untuk gempa bumi dengan kedalaman lebih dari 100 km tidak mengalami perubahan kedalaman karena jumlah data sedikit dan jaraknya. Pada penelitian terdahulu di wilayah yang berbeda menggunakan metode tomoDD didapatkan bahwa terjadi reduksi scattering distribusi hiposenter dan sekaligus membentuk lineasi geologi dan tektonik Waldhauser dkk, (2000).

Pada Gambar 5.6.a-c ditunjukkan irisan vertikal dari posisi sumber gempa bumi pada garis AA’, dimana posisi gempa bumi diproyeksikan pada garis tersebut. Pada gambar tersebut tampak indikasi yang jelas adanya lineasi sumber gempa bumi setelah relokasi. Lineasi ini menggambarkan dengan lebih jelas arah subduksi. Posisi sumber gempa bumi pada kedalaman sekitar 20 km hingga 30 km yang semula terdistribusi cenderung horizontal menjadi terdistribusi mengikuti arah subduksi. Relokasi menggunakan metode DD mengindikasikan mampu meningkatkan akurasi dan presisi dari hiposenter. Hasil relokasi gempa bumi terdahulu di wilayah lain menggunakan metode tomoDD spherical secara sistematis menggeser posisi gempa bumi tegak lurus trench dan lebih dangkal (Pesicek dkk., 2010).

Pada Gambar 5.7.a ditunjukkan posisi awal distribusi hiposenter gempa bumi yang cenderung horizontal pada kedalaman 20 km hingga 25 km. Pada Gambar 5.8 dan pada kartun Gambar 5.9 ditunjukkan indikasi adanya lineasi distribusi sumber gempa bumi terhadap subduksi slab serta indikasi zona seismik ganda (double seismic zone atau double Benioff zone) dengan lebih jelas.

Gambar 5.7. Plot irisan vertikal posisi sumber gempa bumi: a) sebelum relokasi, b) setelah relokasi, dan c) gabungan sebelum dan setelah relokasi menggunakan tomoDD.

Lineasi atau bentuk geometri tertentu secara kualitatif mengindikasikan hasil sudah optimum karena distribusi gempa bumi secara spasial sesuai dengan pola geologi atau tektonik di wilayah tersebut. Jadi lineasi dapat menjadi justifikasi atau validasi hasil relokasi hiposenter terhadap kondisi geotektonik setempat. Zona seismik ganda telah diidentifikasi pada penelitian terdahulu oleh Koulakov dkk (2007). Perubahan distribusi kedalaman pada 20 km hingga 40 km setelah relokasi menunjukkan metode ini mampu memberikan akurasi yang lebih baik daripada metode yang digunakan sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan pola distribusi sumber gempa bumi terhadap kedalaman yang konsisten dengan arah subduksi slab.

Gambar 5.8. Plot irisan vertikal posisi sumber gempa bumi dengan lebar proyeksi 100 km: a) sebelum relokasi, b) setelah relokasi, posisi sumber gempa bumi memiliki distribusi yang lebih terfokus dan menunjukkan dengan lebih jelas double seismic zone.

Hasil relokasi yang menunjukkan lineasi dengan baik terhadap kondisi geologi dan tektonik membantu interpretasi yang logis, misalnya terkait dengan pola subduksi dan aktivitas vulkanisme. Oleh karena itu, arti penting relokasi hiposenter utamanya adalah dapat membantu menyimpulkan kondisi geologi dan tektonik di suatu wilayah. Selain itu, hasil relokasi sangat penting untuk keperluan penelitian selanjutnya seperti tomografi seismik, pembuatan peta hazard dan pembuatan peta seismisitas.

Penelitian zona seismik ganda diawali oleh Hasegawa dkk. (1978) mengenai adanya bidang ganda zona gempa bumi di Northeastern Japan Arc. Mereka menganalisi konversi fase gelombang seismik yang melewati zona tersebut dan menyimpulkan reverse faulting atau down-dip compressional stresses terjadi pada bidang bagian atas dari slab yang menunjam. Penelitian zona seimik ganda oleh Kanamori dan Fujita dan Kanamori (1981) menggunakan data solusi fokal mekanisme menyatakan gempa bumi pada bagian yang berbeda dari segmen slab adalah akibat dari orientasi stress yang berbeda. Mekanisme fokus untuk gempa bumi kedalaman menengah menunjukkan bahwa stres pada lempeng dikontrol oleh usia slab dan laju konvergensi Kanamori dan Fujita (1981). Slab tua dan

memiliki laju konvergensi lambat dipengaruhi oleh stress tension dan kompresi. Kompresi pada lempeng bertambah dengan meningkatnya laju konvergensi atau berkurangnya umur slab. Slab muda dengan laju konvergensi cepat, pada umumnya orientasi stress seluruhnya adalah down-dip tension. Oleh karena itu bila slab mengalami subduksi di bawah lempeng benua, maka slab akan membengkok akibat beban kontinen.

Zona seismik ganda tidak selalu terbentuk di zona subduksi. Zona seismik ganda hanya teramati pada slab yang tidak didominasi oleh stress tension atau kompresi. Lithosfer yang tidak mengalami pembengkokan dan tidak mengalami perubahan fase pada mantel bukan menjadi penyebab utama dari adanya zona seismik ganda, namun berkontribusi dalam menghasilkan karakteristiknya. Pengaruh thermal yang berasal dari pergerakan relatif astenosfer kemungkinan mengakibatkan stress deviatoric yang menyebabkan terbentuknya zona seismik ganda (Kanamori dan Fujita, 1981).

Gambar 5.9. Kartun sketsa interpretasi penampang vertikal plot hiposenter relokasi, sketsa menggambarkan subduksi slab, magma G. Merapi, dan double seismic zone. Lingkaran biru adalah hiposenter setelah relokasi, bintang merah adalah fokus gempa bumi Yogyakarta 2006.

Pada beberapa zona subduksi, gempa bumi pada kedalaman 50 hingga 200 km menunjukkan adanya dua bidang distribusi dari sumber gempa bumi yang dipisahkan jarak 20 hingga 40 km. Pada bidang bagian atas menyiratkan gempa bumi terjadi pada subducting oceanic crust, sedangkan gempa bumi bidang bagian bawah terjadi pada subducting oceanic mantle. Pada bidang bagian bawah tersebut bersesuaian dengan lokasi proses reaksi antigorite (serpentine) yang menghasilkan forsterite, enstatite dan H2O. Hal ini menyiratkan gempa bumi pada bidang bagian bawah dari zona seismik ganda kemungkinan dipicu oleh dehydration embrittlement, yang berarti bahwa subducting oceanic mantle mengalami dehidrasi parsial (Simon, 2001). Brudzinski dkk (2007) menganalisis 30 segmen zona seismik ganda di 16 zona subduksi dengan usia lempeng dan orientasi stress yang bervariasi. Mereka menyimpulkan bahwa jarak antara dua bidang dari sumber gempa bumi dari zona seismik ganda bertambah dengan bertambahnya usia lempeng. Selain itu dinyatakan bahwa terbentuknya zona seidmik ganda lebih konsisten terhadap dehidrasi antigorite daripada chlorite.

Pada Gambar 4.14.a dan 4.14.b ditunjukkan masing-masing adalah histogram residual waktu tempuh tanpa menggunakan data diferensial dan histogram residual menggunakan data diferensial (tomoDD). Residual waktu tempuh (tomoDD) dihitung relatif terhadap model yang digunakan. Hasilnya sebagian besar dari residual waktu tempuh mendekati nol. Rata-rata residual dari tiap-tiap gempa bumi adalah 0,000879 detik, residual negatif terbesar adalah -6,3 detik dan residual positif terbesar adalah 6,8 detik. Nilai residual maksimum mengindikasikan pergeseran pusat gempa bumi setelah relokasi sejauh 47,6 km dengan asumsi rata-rata kecepatan gelombang P adalah 7 km/detik. Residual yang besar kemungkinan disebabkan akurasi yang rendah saat picking waktu tiba gelombang P. Oleh karena itu, histogram residual ini secara langsung merefleksikan pengaruh struktur atau anomali kecepatan terhadap penjalaran gelombang P.

Relokasi hiposenter gempa bumi pada penelitian ini dilakukan secara inversi simultan dengan struktur kecepatan gelombang seismik. Oleh karena itu hasil

relokasi hiposenter dipengaruhi struktur kecepatan awal, jumlah dan distribusi gempa bumi, jumlah dan distribusi stasiun serta geometri antara posisi gempa bumi dan posisi stasiun pencatat. Oleh karena itu, posisi sumber gempa bumi yang berada di tengah atau dalam jaringan seismograf akan memberikan hasil penentuan lokasi hiposenter ataupun relokasi hiposenter yang relatif lebih akurat.

Relokasi hiposenter secara umum dilakukan untuk memperbaiki hiposenter hasil perhitungan cepat. Seiring dengan perjalanan waktu akan terdapat penambahan data sehingga dapat digunakan untuk relokasi hiposenter untuk mendapatkan hasil relokasi yang diharapkan lebih akurat. Pada penelitian ini relokasi dilakukan dengan menggunakan metode double-difference yang memerlukan jumlah gempa bumi tertentu sehingga pada akhirnya akan membentuk klaster hiposenter yang berasal dari sumber dan mekanisme yang mirip. Dari hasil proses relokasi gempa bumi akan diperoleh katalog gempa bumi yang berkualitas yang berguna untuk penelitian kegempaan lebih lanjut.

5.3 Simpulan

Dari hasil relokasi gempa bumi katalog MERAMEX menggunakan tomoDD dapat disimpulkan bahwa episenter hasil relokasi memiliki pergeseran maksimum 50 km dan hanya 4 gempa bumi yang memiliki pergeseran lebih dari 20 km. Pergeseran yang relatif besar dari posisi gempa bumi ini kemungkinan disebabkan kekurang-tepatan picking waktu tiba gelombang gempa bumi. Perubahan lokasi hiposenter gempa bumi, terutama pada kedalaman 10 hingga 30 km, mengindikasikan adanya lineasi yang jelas arah/kemiringan subduksi lempeng. Distribusi hiposenter terlihat lebih terfokus setelah proses relokasi. Pemisahan dua bidang posisi gempa bumi pada zona seismik ganda teridentifikasi dengan lebih jelas dari hasil relokasi mengunakan inversi simultan tomoDD.

BAB VI Struktur Kecepatan Gelombang Seismik Di Bawah Jawa

Dalam dokumen BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang (Halaman 41-53)

Dokumen terkait