• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Pencitraan tomografi seismik didefinisikan sebagai suatu rekonstruksi struktur kecepatan dari observasi besaran fisis (waktu tiba gelombang atau bentuk gelombang (waveform)) yang merepresentasikan efek dari penjalaran suatu bentuk radiasi melalui benda yang diamati. Teknik pencitraan tomografi seismik mulai dikembangkan sejak pertengahan tahun 1970-an. Publikasi pertama tentang tomografi seismik ditulis oleh Aki dan Lee (1976). Sejak itu berbagai tulisan tentang tomografi seismik banyak bermunculan oleh karena keandalan metode ini dalam mendeliniasi struktur 3-D interior bumi (Widiyantoro, 2008). Penelitian tentang struktur 3-D mantel bumi di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu, seperti oleh Fukao dkk. (1992), Puspito dkk. (1993), Puspito dan Shimazaki (1995), Widiyantoro dan Van der Hilst (1996), dan Widiyantoro (1997). Studi tomografi menggunakan waktu tempuh gelombang S dan struktur 3-D di bawah busur Sunda oleh Widiyantoro dan Puspito (1998) menunjukkan bahwa slab litosfer menembus mantel bumi bagian bawah di bawah busur Sunda, tetapi ada indikasi bahwa slab mantel bagian bawah dan mantel bagian atas kemungkinan terputus di bawah Sumatera dan slab mantel atas menyempit di bawah Jawa.

Selain penelitian tomografi skala regional, penelitian tomografi skala lokal telah dilakukan di wilayah Jawa. Penelitian tomografi struktur kecepatan gelombang seismik di wilayah Jawa Barat dilakukan oleh Nugraha dkk. (2013) dengan menggunakan tomografi nonlinier di Gunung Guntur. Mereka menafsirkan bahwa Vp rendah, Vs rendah dan Vp/Vs tinggi di bawah kawah Guntur dan kaldera Gandapura pada interval kedalaman 1-6 km berhubungan dengan struktur berpori berisi batuan leleh (a melt-filled pore rock). Vp rendah, Vs rendah dan Vp/Vs rendah dibawah kaldera Kamojang pada interval kedalaman 3-6 km mungkin berhubungan dengan batu berpori yang mengandung H2O dengan aspek rasio tinggi (lihat Priyono et al., 2011a dan 2011b).

(2)

Kulakov dkk. (2007) melakukan tomografi struktur kecepatan gelombang P dan S kerak bumi dan mantel bagian atas di Jawa bagian tengah. Hasil penelitian Koulakov dkk. (2007) diantaranya menyimpulkan hasil relokasi sumber gempa dengan jelas menunjukkan bentuk zona subduksi di bawah Jawa bagian tengah. Sudut penunjaman slab terhadap kedalaman meningkat secara bertahap dari hampir horisontal hingga sekitar 70 derajat. Selain itu hasil menarik dan penting lainnya adalah teramatinya zona seismik ganda pada kedalaman antara 80 km dan 150 km. Fitur yang paling mencolok dari model struktur kecepatan gelombang P dan S yang dihasilkan adalah adanya anomali kecepatan rendah yang sangat kuat yang dikenal sebagai Merapi-Lawu Anomali (MLA) pada interval kedalaman 5 km hingga 45 km. Nilai Vp/Vs pada zona MLA lebih dari 1,9 (Koulakov dkk., 2007). Ini menunjukkan kemungkinan adanya kandungan fluida yang tinggi dan kemungkinan adanya partial melting dalam lapisan tersebut. Pada mantel bagian atas teramati anomali kecepatan rendah yang menghubungkan kluster kegempaan pada kedalaman 100 km dengan MLA. Anomali ini mungkin mencerminkan migrasi fluida yang dilepaskan dari slab. Penelitian tomografi serupa oleh Wagner dkk. (2007) menggunakan gabungan data gempa aktif dan pasif di wilayah Jawa bagian tengah, dari citra tomografi yang dihasilkan mengindikasikan adanya anomali kecepatan rendah yang kuat (-30%) di lapisan kerak belakang busur utara (backarc) dari gunungapi aktif di Jawa bagian tengah.

Akurasi dalam penentuan hiposenter gempa bumi ditentukan oleh beberapa faktor, seperti geometri jaringan, fase gelombang yang ada, akurasi pembacaan waktu tiba dan model struktur kecepatan (Pavlis, 1986). Selain itu, hasil penentuan lokasi hiposenter gempa bumi biasanya mengandung kesalahan terkait struktur kecepatan yang tidak termodelkan. Struktur kecepatan hasil tomografi waktu tunda (delay time) belum memanfaatkan perkembangan teknik relokasi gempa bumi menggunakan WCC yang bertujuan tidak hanya meningkatkan akurasi lokasi absolut tetapi juga akurasi lokasi relatifnya. Oleh karena itu untuk mengatasi masalah akurasi penentuan hiposenter dan struktur kecepatan yang tidak termodelkan dikembangkan teknik relokasi hiposenter yang akurat menggunakan metode double-difference (hypoDD).

(3)

Metode relokasi gempa bumi hypoDD pertama kali kemukakan Waldhauser dan Ellsworth (2000) yang melakukan inversi lokasi hiposenter dari suatu klaster gempa bumi, sehingga metode ini merupakan metode penentuan lokasi hiposenter relatif. Metode double-difference (DD) melakukan identifikasi stasiun dan setiap pasangan gempa bumi untuk membuat koreksi waktu tiba dari suatu stasiun. Teknik relokasi ini menggunakan baik data katalog gempa bumi maupun data WCC. Pengembangan metode DD pada saat ini tidak hanya digunakan untuk relokasi hiposenter tetapi juga untuk mendapatkan struktur kecepatan atau yang dikenal dengan tomografi double-difference (tomoDD).

Gempa bumi Yogyakarta 26 Mei 2006 merupakan gempa bumi tektonik yang mengguncang kuat terutama di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menentukan hiposenter berada di 8,03° LS dan 110,32° BT pada kedalaman 11.3 km dan magnitudo 5,9 Mb. Bencana gempa bumi Yogyakarta ini menimbulkan banyak korban jiwa dan harta benda. Oleh karena itu diperlukan tindakan mitigasi bencana sebagai sebuah usaha mereduksi jumlah korban akibat bencana gempa bumi. Salah satu pendekatan yang diperlukan dalam mitigasi bencana gempa bumi dan tsunami adalah dengan mengetahui struktur interior bumi secara terperinci (Widiyantoro, 2008). Informasi struktur yang terperinci dan posisi hiposenter yang akurat sangat diperlukan dalam analisis prediktabilitas gempa bumi karena lokasi rawan gempa bumi dapat diperkirakan dengan baik (Widiyantoro, 2008). Struktur bumi hasil model tomografi memberikan kebaruan dalam memahami proses yang terjadi di dalam bumi. Hasil penelitian pada akhir-akhir ini menunjukkan pencitraan geotomografi menjadi teknik penting dalam mempelajari struktur interior bumi yang dapat menerangkan antara lain fenomena gempa bumi, tsunami dan lumpur panas (Widiyantoro, 2008).

1.2 Rumusan Masalah

Penelitian tomografi seismik regional bertujuan untuk mencitrakan struktur kecepatan pada skala regional, sedangkan penelitian tomografi lokal bertujuan mencitrakan strukrur kecepatan pada skala yang lebih kecil. Penelitian tomografi

(4)

lokal terdahulu belum menunjukkan struktur kecepatan di wilayah Jawa bagian tengah bagian barat dan struktur pada kedalaman lebih dari 80 km sehingga belum teridentifikasi subduksi slab di bawah Jawa bagian tengah. Oleh karena itu, masih terbuka ruang penelitian untuk meningkatkan pencitraan struktur kecepatan gelombang seismik di wilayah ini.

1.3 Batasan Masalah

Batasan masalah dalam penelitian ini adalah relokasi hiposenter dan pencitraan struktur 3-D kecepatan gelombang seismik di Jawa bagian tengah dari gabungan data gempa bumi yang terekam oleh jaringan seismograf MERAMEX dan BMKG dengan menggunakan metode tomoDD. Metode tomoDD lokal menggunakan koordinat kartesian dan telah dilengkapi koreksi kelengkungan bumi.

1.4 Asumsi

Metode double-difference didasarkan pada asumsi bahwa jika terdapat perbedaan jarak antara dua hiposenter yang sangat kecil dibandingkan dengan jarak antara kedua hiposenter tersebut terhadap stasiun dan kedua hiposenter berada pada skala heterogenitas kecepatan yang sama maka pola sinar gelombang dari kedua hiposenter tersebut dianggap identik.

1.5 Hipotesis

Pencitraan struktur kecepatan gelombang seismik dengan menguji metode tomoDD dan gabungan data gempa bumi MERAMEX dan BMKG dapat mencitrakan struktur kecepatan gelombang seismik dengan lebih terperinci di wilayah Jawa bagian tengah. Selain itu, struktur kecepatan baru yang diperoleh dapat memberikan kenampakan tektonik yang belum tercitrakan pada penelitian tomografi sebelumnya.

1.6 Tujuan

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini fokus utamanya adalah mencitrakan struktur 3-D kecepatan gelombang sismik dengan terperinci dan mengetahui implikasi struktur tektonik di wilayah Jawa bagian tengah. Selain itu penelitian ini juga bertujuan meningkatkan kualitas relokasi (RMS yang lebih

(5)

kecil daripada sebelum relokasi) gempa bumi untuk keperluan penelitian kegempaan lebih lanjut.

1.7 Kebaruan

Inversi tomografi menggunakan gabungan katalog data gempa bumi MERAMEX dan BMKG dengan mengunakan metode tomoDD menghasilkan katalog baru relokasi gempa bumi yang akurat dan strukrur 3-D kecepatan gelombang seismik yang terperinci. Adapun kebaruan (novelty) atau kemanfaatan yang diperoleh pada penelitian ini terutama adalah katalog relokasi gempa bumi, identifikasi kenampakan tektonik yang belum ada pada penelitian terdahulu seperti anomali kecepatan rendah di bawah Cilacap-Banyumas, Kebumen (Karangsambung), identifikasi subduksi slab di bagian barat Jawa Tengah dan identifikasi bahwa dominasi aliran magma berasal dari arah selatan di bawah Merapi.

Kemanfaatan bagi kerekayasaan dari penelitian ini adalah dengan mendapatkan relokasi sumber gempa bumi yang akurat dan memperoleh struktur 3-D kecepatan yang terperinci dapat menjadi masukan informasi untuk analisis proses tektonik, analisis kegempaan dan pemetaan zonasi bencana gempa bumi dalam rangka usaha mitigasi bencana gempa bumi di wilayah Jawa bagian tengah.

1.8 Sistematika Disertasi

Hasil penelitian disajikan dalam naskah disertasi yang terbagi menjadi tujuh bab, dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Bab pertama menjelaskan latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah, hipotesis, asumsi, tujuan, kebaruan, dan sistematika disertasi.

Bab II Tinjauan Pustaka

Pada bab kedua akan diuraikan kajian pustaka terhadap konsep geologi dan tektonik wilayah Jawa bagian tengah dan studi tomografi terdahulu.

(6)

Bab III Tomografi Seismik

Pada bab ketiga akan dipaparkan pengertian dan konsep mengenai tomografi waktu tempuh, tomografi double-difference (tomoDD), representasi matriks tomoDD, dan metode penentuan Vp/Vs.

Bab IV Pencitraan Struktur 3-D Kecepatan Gelombang Seismik Menggunakan Metode Tomografi Double-Difference Dan Katalog Data Gempa Bumi MERAMEX Di Jawa Bagian Tengah

Pada bab keempat akan disajikan hasil inversi tomoDD menggunakan katalog data gempa bumi MERAMEX di Jawa bagian tengah. Penyajian meliputi data dan metode, uji resolusi dan diskusi hasil yang diperoleh.

Bab V Relokasi Hiposenter Gempa Bumi Di Jawa Bagian Tengah Menggunakan Inversi Tomografi Double-Difference Simultan Dan Katalog Data Gempa Bumi MERAMEX

Pada bab kelima akan disajikan hasil relokasi hiposenter gempa bumi dari katalog data gempa bumi MERAMEX di Jawa bagian tengah. Relokasi hiposenter ini merupakan hasil inversi simultan antara struktur kecepatan dan relokasi hiposenter menggunakan tomoDD. Pada bab ini dibahas sebaran hiposenter relokasi dan implikasi tektoniknya, seperti dengan lebih jelas teridentifikasinya zona seismik ganda.

Bab VI Struktur Kecepatan Gelombang Seismik Di Jawa Bagian Tengah Menggunakan Tomografi Double-Difference Dan Inversi Gabungan Katalog Data Gempa Bumi MERAMEX dan BMKG

Pada bab keenam akan dipaparkan mengenai inversi tomografi menggunakan gabungan katalog data gempa bumi MERAMEX dan BMKG. Paparan meliputi data gempa bumi, metode yang digunakan, uji resolusi, dan pada bab ini juga dipaparkan interpretasi tomogram dan implikasi tektoniknya.

(7)

Bab VII Kesimpulan dan Saran

Pada bab terakhir ini disampaikan kesimpulan dan saran penelitian berdasarkan hasil kajian dan analisis yang telah dilakukan.

(8)

BAB II Tinjauan Pustaka

2.1 Geologi Dan Tektonik Jawa Bagian Tengah

Gempa bumi di zona subduksi Indonesia merupakan konsekuensi dari aktivitas penunjaman lempeng India-Australia di bawah lempeng Eurasia yang relatif diam. Lempeng India-Australia diperkirakan bergerak dengan kecepatan 67±7 mm/tahun dengan arah mendekati normal terhadap palung Sunda (Tregoning dkk., 1994). Lempeng India-Australia menunjam dengan kedalaman 100-200 km di bawah Pulau Jawa dan 600 km di utara Jawa. Zona Benioff pada kedalaman 100 km memiliki dip 65o berarah ke utara di bawah Jawa dan Laut Jawa dan terus menurun hingga kedalaman 650 km (Fitch 1972; Hamilton, 1979). Konsekuensi tunjaman lempeng tersebut adalah tingkat kegempaan yang tinggi (Gambar 2.1) dan terdapat lebih dari 20 gunung api aktif (van Bemmelen, 1949).

Selain itu, konsekuensi kondisi tektonik memberikan empat pola busur atau jalur magmatisme yang terbentuk berupa formasi batuan empat jalur magmatisme, yaitu: Jalur vulkanisme Eosen hingga Miosen Tengah yang terwujud sebagai zona pegunungan selatan. Jalur vulkanisme Miosen atas hingga Pliosen terletak di sebelah utara jalur pegunungan selatan yang berupa intrusi lava dan batuan beku;

Gambar 2.1. Distribusi episenter gempa bumi dari katalog National Earthquake Information Center (NEIC) dari Januari 1973 hingga Mei 2011 di wilayah Jawa.

(9)

Jalur vulkanisme Kuarter busur samudera terdiri atas sederetan gunung api aktif. Jalur vulkanisme Kuarter busur belakang, berupa sejumlah gunung api yang berumur kuarter yang terletak di belakang busur vulkanik aktif sekarang.

Secara geologi Pulau Jawa merupakan hasil suatu proses kompleks meliputi penurunan basin, pensesaran, perlipatan dan vulkanisme di bawah pengaruh stress regime yang berbeda-beda dari waktu ke waktu. Jalur penunjaman Kapur-Paleosen yang ditunjukkan oleh singkapan batuan kompleks Melange Luk Ulo-Karangsambung (Hamilton, 1979), penunjaman mempunyai arah struktur timur-laut - barat-daya yang mengarah ke arah Pegunungan Meratus di ujung tenggara Kalimantan.

Dominasi pola Meratus di kawasan lepas pantai utara Jawa ditunjukkan oleh tinggian Karimunjawa, Bawean, Masalembo dan Pulau Laut. Di pulau Jawa pola Meratus ini terutama ditunjukkan oleh pola struktur batuan pra-tersier di daerah Luk Ulo, Kebumen. Pola Sunda yang berarah utara-selatan terdapat di lepas pantai utara Jawa Barat dan di daratan di bagian barat wilayah Jawa Barat. Pola Jawa yang berarah timur-barat merupakan pola yang mendominasi daratan Pulau Jawa, baik struktur sesar maupun struktur lipatan. Di Jawa Barat pola Jawa ini diwakili sesar Baribis dan sesar sungkup serta lipatan di zona Bogor. Di Jawa bagian tengah sesar sungkup dan lipatan di zona Serayu Utara dan Serayu Selatan mempunyai arah hampir barat-timur (Gambar 2.2). Di Jawa Timur pola Jawa ditunjukkan oleh sesar-sesar sungkup dan lipatan di zona Kendeng.

Sebagian besar batuan tertua di Jawa berumur Pra-Tersier sampai Paleogen dan dianggap sebagai batuan dasar Pulau Jawa yang tersingkap di wilayah Jawa bagian timur. Singkapan batuan ditemukan diantaranya di kompleks Melange Luk-Ulo - Karangsambung, Kebumen-Pegunungan Jiwo, Bayat-Klaten. Untuk batuan yang lebih muda yaitu berumur neogen menurut penelitian geologi tersier berupa fenomena struktur atau tektonik yang umumnya berarah timur-barat searah dengan arah memanjang Pulau Jawa sebagai hasil interaksi lempeng dengan zona tunjaman di selatan Jawa.

(10)

Gambar 2.2. Peta wilayah penelitian dan beberapa kenampakan geologi di Jawa bagian tengah (modifikasi dari van Bemmelen, 1949).

Gunung Merapi merupakan sebuah gunung api strato yang menunjukkan bukti bahwa erupsi eksplosif terjadi 7000 tahun terakhir (Newhall dkk. 2000). Namun demikian, pendapat lain meyatakan bahwa erupsi vulkanik di Gunung Merapi mulai jauh lebih awal (Camus dkk., 2000). Penelitian seismologi yang dilakukan oleh Ratdomopurbo dan Poupinet (2000) menunjukkan zona aseismik terletak di antara dua zona seismik pada kedalaman antara 1,5 dan 2,5 km di bawah puncak Merapi. Mereka berpendapat bahwa zona aseismik ini disebabkan adanya reservoar magma kecil dangkal yang mendapat suplai magma dari reservoar yang lebih dalam yang terletak di bawah kedalaman 5 km. Berdasarkan penelitian pemodelan data GPS dan tilt-meter, Beauducel dan Cornet (1999) menyimpulkan magma dalam reservoar terletak sekitar 6 km di bawah permukaan laut. Reservoar magma bagian atas seperti yang dikemukakan oleh Ratdomopurbo dan Poupinet (2000) tidak dapat dideteksi pada penelitian oleh Beauducel dan Cornet (1999). Akan tetapi hasilnya tidak menghalangi ide adanya dua reservoar karena penelitian dilakukan pada waktu yang berbeda. Pemodelan gravitasi resolusi tinggi yang dilakukan Tiede dkk. (2005) menunjukkan adanya material berdensitas tinggi yang dapat ditafsirkan sebagai reservoar magma di bawah

(11)

gunung berapi seperti : Gunung Merapi, Gunung Merbabu, dan Gunung Telomoyo.

Inversi gabungan data gempa aktif dan pasif oleh Wagner dkk. (2007) mampu meningkatkan resolusi di kerak bagian atas, terutama di wilayah lepas pantai di dibandingkan dengan hanya data gempa pasif saja. Citra yang dihasilkan menunjukkan anomali kuat kecepatan rendah (-30 persen) di kerak belakang busur utara (back-arc) dari gunung api aktif. Di dalam mantel atas di bawah gunung berapi, didapatkan anomali kecepatan rendah yang cenderung bergerak ke atas menuju slab, anomali ini mungkin mencerminkan lintasan material cair (leleh) dan material partially melted di baji (wedge) mantel. Selain itu, hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kerak di busur muka sangat heterogen. Anomali di wilayah bagian daratan terdiri atas dua blok kecepatan tinggi yang dipisahkan oleh anomali kecepatan rendah yang sempit, yang dapat diartikan sebagai zona kontak yang lemah di antara dua kerak yang rigid. Gempa bumi Yogyakarta pada 26 Mei 2006 UTC terjadi di tepi bawah zona lemah ini. Mekanisme fokus gempa bumi tersebut adalah strike slip konsisten dengan orientasi dari kontak ini.

Hasil relokasi gempa bumi pada penelitian Koulakov dkk. (2007) dengan jelas menunjukkan bentuk zona subduksi di bawah Jawa bagian tengah. Sudut penunjaman slab meningkat secara bertahap dari hampir horizontal hingga sekitar 70 derajat. Selain itu, zona seismik ganda teramati pada kedalaman slab antara 80 dan 150 km. Fitur yang paling mencolok dari model P dan S yang dihasilkan adalah adanya anomali kecepatan rendah di kerak, disebelah utara dari busur vulkanik Merapi-Lawu Anomali (MLA). Estimasi nilai amplitudo anomali kecepatan menunjukkan perbedaan antara busur muka dan MLA pada kedalaman 10 km mencapai 30% pada model P dan 36% pada model S. Nilai Vp/Vs dalam MLA lebih dari 1,9. Hal ini menunjukkan adanya kandungan cairan yang tinggi dan kemungkinan adanya partial melting dalam kerak. Di mantel bagian atas teramati anomali kecepatan rendah yang menghubungkan klaster kegempaan pada kedalaman 100 km dengan MLA. Anomali ini kemungkinan mencerminkan jalan naik material leleh yang berasal dari slab.

(12)

2.2 Studi Tomografi Seismik Terdahulu

Teknik pencitraan tomografi seismik dapat dibagi dua kelompok yaitu: inversi dengan menggunakan waktu tempuh gelombang seismik dan inversi bentuk gelombang (waveform). Struktur permukaan bumi (kerak dan mantel bagian atas) dapat dengan baik diperoleh melalui inversi bentuk gelombang. Inversi waktu tempuh sangat efektif untuk mendeliniasi struktur dalam (deep structure) seperti zona penunjaman lempeng (Widiyantoro dkk., 1998, Nugraha dan Mori, 2006). Pendekatan yang dilakukan pada tahap inversi dapat dilakukan dengan pendekatan linier maupun nonlinier. Kelemahan pendekatan linier adalah tidak dapat mencitrakan struktur skala kecil dengan baik. Inversi dengan pendekatan nonlinier dapat mencitrakan struktur skala dengan terperinci. Pendekatan nonlinier untuk pertama kali dikembangkan dalam pencitraan tomografi global (seluruh mantel bumi) oleh Bijwaard dan Spakman (2000), dan Widiyantoro dkk. (2000) secara independent dalam waktu yang hampir bersamaan.

Tomografi waktu tunda memiliki kelemahan yang disebabkan sebaran sumber gempa bumi dan sebaran seismograf yang terpasang biasanya kurang ideal karena gempa bumi biasanya terkonsentrasi di wilayah seismik aktif saja. Oleh karena itu, penentuan posisi hiposenter gempa bumi yang berada di luar jaringan seismograf menjadi kurang akurat. Selain itu, struktur kecepatan yang dipeoroleh dari hasil tomografi waktu tunda (single-difference) belum memanfaatkan perkembangan pada bidang teknik relokasi gempa menggunakan WCC yang bertujuan meningkatkan akurasi lokasi absolut dan juga akurasi lokasi relatif sumber gempa.

Gambar 2.3. (a) Struktur kecepatan di permukaan yang tidak termodelkan pada tomografi waktu tunda, (b) struktur kecepatan dipermukaan yang tidak termodelkan tereleminasi pada tomografi double-difference.

(13)

Tomografi gempa bumi lokal atau Local Earthquake Tomography (LET) menjadi bidang penelitian yang intensif pada wilayah aktif gempa bumi dimana memiliki jaringan pemantau seismik yang rapat. Algoritma tomografi lokal yang biasa belum memanfaatkan perkembangan terkini dalam bidang teknik penentuan lokasi gempa bumi yang bertujuan meningkatkan akurasi penentuan hiposenter gempa bumi. Selain itu, penentuan lokasi hiposenter gempa bumi biasanya mengandung kesalahan terkait struktur kecepatan yang tidak termodelkan (Gambar 2.3.a). Salah satu teknik relokasi yang saat ini digunakan untuk relokasi hiposenter secara akurat adalah metode double-difference (hypoDD) karena mampu mereduksi kesalahan akibat struktur kecepatan yang tidak termodelkan. Teknik hypoDD ini secara lengkap dilakukan menggunakan data katalog gempa bumi dan data WCC.

Waldhauser dan Ellsworth (2000) mengembangkan hypoDD untuk menentukan lokasi hiposenter gempa bumi yang membentuk klaster (Gambar 2.4) menggunakan algoritma DD. Relokasi hiposenter menggunakan metode DD ini telah dilakukan pada sekumpulan data gempa bumi di Hayward fault (Waldhauser dan Ellsworth, 2002). Hiposenter gempa bumi awalnya ditentukan dengan menggunakan metode penentuan hiposenter tunggal, misalnya Geiger Adaptive Dumping (GAD) atau hypoellipse. Metode penentuan hiposenter awal ini membutuhkan model kecepatan a priori. Resultan dari lokasi gempa bumi tersebut umumnya mengandung kesalahan yang berhubungan dengan struktur kecepatan yang tidak termodelkan. Keunggulan penentuan hiposenter menggunakan algoritma DD adalah dapat meningkatkan akurasi lokasi relatif dengan cara menghilangkan efek akibat struktur kecepatan yang tidak termodelkan (Gambar 2.3.b).

Pengembangan metode DD selanjutnya tidak hanya digunakan untuk relokasi hiposenter tetapi sekaligus untuk mendapatkan struktur kecepatan atau yang dikenal dengan metode tomoDD. Pada realisasinya inversi tomoDD dapat menggunakan data waktu tempuh gelombang P dan gelombang S secara bersamaan atau hanya menggunakan gelombang P. Metode DD menggunakan perbedaan antara waktu tiba gelombang diferensial observasi dan teoretis untuk

(14)

dua buah gempa bumi. Waktu tiba diferensial observasi dapat diperoleh dengan menggunakan teknik korelasi silang waveform, sedangkan waktu tiba absolut diperoleh dari katalog gempa bumi. Inversi tomoDD menggunakan waktu tiba absolut bertujuan untuk menentukan lokasi absolut selain lokasi relatif gempa bumi dan struktur kecepatan gelombang seismik secara simultan.

Beberapa peneliti telah melakukan penelitian menggunakan teknik tomografi double-difference (tomoDD). Aplikasi pertama kali dari metode ini dilakukan di wilayah San Andreas fault (Zhang dkk., 2003) yang menghasilkan struktur kecepatan resolusi tinggi dibandingkan dengan struktur kecepatan yang dihasilkan menggunakan teknik tomografi lain. Penelitian tomografi menggunakan metode ini mampu mencitrakan struktur Vp dan Vs secara terperinci terutama di zona subduksi dimana kegempaan terklaster disepanjang zona Wadati-Benioff (Zhang dkk., 2005; Shelly dkk., 2006; Dorbath dkk., 2008).

Keberadaan noise pada data (waveform) menyebabkan pembacaan awal (picking) waktu tiba secara manual ataupun otomatis umumnya memiliki galat (Douglas dkk., 1997). Namun demikian, hasil penelitian akhir-akhir ini telah menunjukkan peningkatan subtansial pada penentuan secara presisi lokasi gempa bumi atau ledakan dengan menggunakan WCC dan teknik klastering gempa bumi.

Gambar 2.4. Ilustrasi algoritma relokasi gempa bumi double-difference, lingkaran hitam dan putih menunjukkan hiposenter trial yang dihubungkan dengan gempa bumi disekitarnya dengan data korelasi silang (garis utuh) atau katalog (garis putus-putus) (Waldhauser dan Ellsworth, 2000).

(15)

Pada Gambar 2.4 ditunjukkan, misalkan ada dua gempa bumi i dan j, lokasi awal (lingkaran putih) dan vektor slowness-nya, s, dengan mengacu pada dua stasiun k dan l. Tanda panah kecil menunjukkan lintasan dari sumber ke stasiun. Tanda panah tebal (dx) mengindikasikan vektor relokasi untuk gempa bumi i dan j, dt adalah perbedaan waktu tempuh antara gempa bumi i dan j yang teramati pada stasiun k dan l.

Zhang dan Thurber (2003) menyatakan tomoDD menghasilkan lokasi absolut yang telah disempurnakan dengan menggunakan data relatif tanpa harus membuat asumsi tentang heterogenitas lintasan, karena metode ini menganggap lintasan yang dilalui gelombang adalah sama. Efek heterogenitas kecepatan disepanjang permukaan menuju stasiun dapat diabaikan karena tereleminasi, sehingga metode ini tidak memerlukan koreksi stasiun. TomoDD menggunakan data absolut untuk menentukan struktur kecepatan diluar lokasi sumber gempa bumi, sedangkan data diferensial digunakan untuk menentukan struktur kecepatan di sekitar sumber gempa bumi. Penggunaan data diferensial menyebabkan sebaran hiposenter relokasi lebih fokus dan struktur kecepatan lebih terperinci dan lebih tajam (Zhang dan Thurber, 2003). Kekurangan metode tomoDD adalah adanya bias lokasi untuk pasangan gempa bumi yang terpisah jauh, akibat pendekatan heterogenitas kecepatan yang bersifat location independent untuk gempa-gempa berjarak dekat dan tidak berlaku untuk gempa-gempa berjarak jauh. Kekurangan lain adalah konsekuensi penggunaan data diferensial pada tomoDD menyebabkan dimensi matrik yang lebih besar sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama dalam proses komputasi dibandingkan tomografi yang biasa (single difference). Selain itu tomoDD yang digunakan dalam penelitian ini masih mengunakan koordinat kartesian, meskipun sudah dilengkapi dengan koreksi kelengkungan bumi.

(16)

BAB III Tomografi Seismik

Tomografi seismik bertujuan mencitrakan suatu objek heterogen yang dibentuk dengan menganalisis perjalanan dari sinar gelombang yang melewati target yang dicari. Beberapa model referensi bumi (struktur kecepatan) diasumsikan, kemudian variasi dari model ini ditentukan dan biasanya dinyatakan sebagai persentase perubahan kecepatan.

3.1 Tomografi Waktu Tempuh

Dalam tomografi waktu tempuh (travel time), masukan yang biasa digunakan dalam inversi adalah waktu tunda dari gelombang tersebut. Waktu tunda yang dimaksud adalah selisih antara waktu tempuh gelombang observasi dan yang dihitung pada model kecepatan bumi tertentu. Waktu tempuh observasi ditentukan dari pembacaan picking waktu tiba suatu gelombang pada seismogram. Waktu tempuh yang dihitung adalah waktu tempuh sintetik berdasarkan model kecepatan bumi yang digunakan. Waktu tempuh (Tik) antara sumber i dan stasiun pengamat k menurut Thurber (1993) dapat diformulasikan sebagai:

(3.1) di mana u adalah perlambatan (slowness=1/v) dan ds adalah panjang segmen sinar seismik yang bergantung pada lokasi sumber dan hiposenter serta struktur 3-D bumi yang tidak diketahui. Dengan demikian persamaan (3.1) merupakan persamaan yang tak linier. Waktu tiba observasi (tij) dapat dituliskan sebagai:

(3.2) dimana τiadalah origin time atau waktu terjadinya gempa bumi di sumber. Dalam

tomografi koordinat pusat gempa bumi (x1,x2,x3), origin times, lintasan-gelombang

dan slowness tidak diketahui (unknown). Parameter yang diketahui dalam inversi tomografi hanyalah lokasi stasiun dan waktu tiba observasi (Thurber, 1993). Misfit atau residual antara data observasi tikobsdengan data perhitungan waktu tiba

tikcaladalah

(17)

Nilai residual dapat dihubungkan dengan perturbasi terhadap hiposenter dan struktur kecepatan dengan sebuah persamaan linier sebagai berikut:

(3.4) Jika dimasukkan komponen struktur kecepatan, maka persamaan (3.4) dapat dituliskan menjadi persamaan berikut:

(3.5) dimana mn mencerminkan parameter model kecepatan sejumlah N. Turunan

parsial model kecepatan ∂Tik/∂mn pada dasarnya merupakan integral garis

sepanjang lintasan sinar yang mewakili hubungan setiap parameter model mn

terhadap waktu tiba Tik. Penggunaan tradisional metode tomografi biasanya untuk

mendapatkan struktur kecepatan 3-D dengan menggunakan parameter hiposenter awal tanpa relokasi. Pada inversi tomografi simultan, parameter hiposenter diperbarui atau direlokasi seiring dengan perubahan struktur kecepatan, persamaan inversi simultan bisa ditulis sebagai berikut:

(3.6) dimana r adalah residual, A dan ∆X adalah matriks dan vektor turunan parameter hiposenter dan perturbasinya. C dan ∆M adalah matriks dan vektor turunan parameter kecepatan dan perturbasinya.

3.2 Tomografi double-difference (tomoDD)

Kelinieran yang menghubungkan ketidakcocokan antara waktu tiba observasi dan waktu tiba teoritis terhadap perturbasi hiposenter dan parameter struktur kecepatan dinyatakan pada persamaan (3.4). Ekspresi yang sama juga berlaku untuk gempa bumi ke-j, yang juga terobservasi pada stasiun

(3.7) Pengurangan persamaan (3.4) dari persamaan (3.7), didapatkan:

(18)

Dengan asumsi kedua gempa bumi tersebut berdekatan satu sama lain sehingga lintasan dari kedua gempa bumi tersebut ke stasiun tertentu dianggap identik dan asumsi bahwa struktur kecepatan diketahui, maka persamaan (3.8) dapat disederhanakan menjadi:

(3.9) dimana selanjutnya disebut double-difference (Waldhauser dan Ellsworth, 2000). adalah perbedaan antara waktu tiba gelombang diferensial observasi dan kalkulasi (teoritis) untuk dua gempa bumi, sehingga dapat dituliskan sebagai:

(3.10) Persamaan (3.9) dikenal sebagai algoritma lokasi gempa bumi DD (Waldhauser dan Ellsworth, 2000). Penggunaan pendekatan ini berakibat lokasi gempa bumi mungkin bias saat jarak antar gempa bumi melewati skala dari variasi kecepatan. Waldhauser dan Ellsworth (2000) menggunakan sebuah faktor pembobot jarak (distance-weighting faktor) untuk mereduksi atau mengeluarkan data dari pasangan gempa bumi yang terpisah jauh. Meskipun suatu gempa bumi dengan perbedaan waktu tiba yang besar telah disisihkan, data tersebut dapat dipakai dalam inversi sebagai pasangan menengah (intermediate pairs) (Got dkk., 1994).

3.3 Representasi Matriks Tomografi double-difference

Wolfe (2002) melakukan analisis yang sangat lengkap dan lugas mengenai penggunaan operator untuk relokasi gempa bumi. Pada penelitian ini dilakukan analisis yang sama yaitu dengan menggunakan data absolut (pada lokasi dan tomografi waktu tunda), data diferensial (pada lokasi dan tomoDD) dan kedua jenis data tersebut untuk menentukan lokasi gempa bumi dan struktur kecepatan. Sebagian besar notasi yang digunakan pada penulisan formulasi ini mengikuti Wolfe (2002). Misalkan sekumpulan gempa bumi p = 1, . . . , P, dengan Np waktu tiba untuk tiap gempa bumi. Untuk setiap individu gempa bumi, persamaan (3.4) dapat dinyatakan dalam bentuk matriks sebagai berikut:

(19)

dimana adalah matriks parsial derivatif yang berhubungan dengan hiposenter dan waktu terjadinya gempa bumi (origin time), adalah vektor perturbasi dari lokasi gempa bumi dan waktu terjadinya gempa bumi, adalah matriks model derivatif (panjang lintasan) dari model slowness, adalah vektor perturbasi slowness dan adalah vektor residual waktu tiba. Faktor koreksi stasiun dapat ikut dituliskan yang menggambarkan keheterogenan kecepatan didekat stasiun tetapi faktor koreksi ini tidak digunakan saat inversi, sehingga persamaan dapat dituiskan sebagai:

(3.12) dimana adalah vektor koreksi stasiun (nilai ini didefinisikan sebagai anomali lintasan oleh Wolfe (2002). Bentuk matriks dari tomoDD selanjutnya dapat dituliskan sebagai berikut:

(3.13) Operator difference mempunyai rank , karena operasi menghilangkan satu derajat kebebasan dari waktu tiba yang terobservasi di stasiun (Wolfe, 2002). Rank ini biasanya jauh lebih besar daripada jumlah parameter yang tidak diketahui, seperti: parameter hiposenter gempa bumi, waktu terjadinya gempa bumi (origin time) dan parameter model (slowness). Jika kedua matriks dan mempunyai kolom rank yang penuh (full column ranks), sistem tomoDD akan memiliki kemampuan untuk menentukan lokasi absolut gempa bumi dan struktur kecepatan. Jika derivatif parsial dievaluasi dari gempa bumi yang berbeda pada stasiun yang berbeda pula, maka derivatif parsial untuk gempa bumi yang berdekatan adalah serupa, tetapi sebaliknya akan sangat berbeda untuk gempa bumi yang berjauhan. Secara teori, jika menyertakan semua kombinasi yang mungkin untuk seluruh waktu tiba yang tercatat pada stasiun tertentu, maka matriks semestinya mempunyai kolom rank yang penuh. TomoDD diharapkan dapat memberikan struktur di lokasi sumber gempa bumi apabila kita dapat membentuk sebuah kolom rang penuh dengan memasukkan parameter sumber gempa bumi tersebut.

(20)

Pada algoritma lokasi DD bias anomali lintasan antara gempa bumi tidak diperhitungkan secara eksplisit, sehingga hanya gempa bumi berdekatan yang sebaiknya dipilih untuk mereduksi bias anomali lintasan. Beberapa gempa bumi yang berdekatan, derivatif parsialnya akan serupa sehingga algoritma relokasi DD hanya mampu untuk menghasilkan lokasi relatif di antara gempa bumi (Wolfe, 2002). Pada sistem tomoDD, apabila bias anomali lintasan antara gempa bumi ikut diperhitungkan secara eksplisit maka inversi tidak dibatasi hanya untuk gempa bumi yang berdekatan saja. Persamaan (3.13) selanjutnya dapat ditransformasi menjadi bentuk matriks yang lebih singkat, sebagai berikut:

(3.14)

dimana mempunyai dimensi , dan memiliki

dimensi . Parameter yang tidak diketahui meliputi hiposenter, waktu terjadi gempa bumi dan model slowness yang selanjutnya dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut:

(3.15) Bila beberapa gempa bumi memiliki origin time yang sama sehingga derivatif parsial yang terkait adalah sama (sama dengan 1), maka hanya origin time relatif yang dapat diperoleh dari sistem ini (Wolfe, 2002). Apabila hanya waktu tiba diferensial yang digunakan untuk menentukan lokasi gempa bumi (Waldhauser dan Ellsworth, 2000) dan derivatif parsial hiposenter dievaluasi pada lokasi yang berbeda-beda, maka lokasi absolut gempa bumi kemungkinan dapat ditentukan dengan persamaan berikut (Wolfe, 2002).

(3.16) Operator derivatif parsial yang digunakan dalam lokasi DD adalah . Perlu diketahui bahwa sebuah baris dari matriks dapat digunakan untuk mengindikasikan keterikatan dari parameter model terkait (dalam kasus ini lokasi dan origin time) untuk seluruh waktu tempuh. Perturbasi lokasi gempa bumi dapat juga ditentukan dari waktu tiba absolut dengan mengasumsikan struktur kecepatan diketahui dan dianggap benar.

(21)

Persamaan untuk menentukan lokasi gempa bumi dan struktur kecepatan dari waktu tiba absolut dapat dituliskan sebagai berikut:

(3.18) Untuk sistem kombinasi yang menggunakan kedua jenis data yaitu data absolut dan diferensial, persamaan untuk menentukan lokasi gempa bumi adalah:

(3.19) dimana w adalah bobot relatif (relatif weighting) antara waktu tempuh absolut dan relatif, dan I adalah matriks identitas. Persamaan lengkap untuk memecahkan secara simultan struktur kecepatan dan lokasi gempa bumi dengan menggunakan data absolut dan data diferensial adalah

(3.20)

Metode tomoDD akan menjadi efektif bila kesalahan acak dapat diminimalkan. Pada prinsipnya hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan WCC dari data digital untuk mengurangi ketidakpastian antara pasangan gempa bumi. Prosedur dasar dari relokasi tomoDD adalah bagaimana mengidentifikasi stasiun dan setiap pasangan gempa bumi sehingga dapat dihubungkan satu sama lain untuk membuat koreksi waktu tiba pada stasiun tersebut. Pada akhirnya kumpulan pasangan gempa bumi dihubungkan sehingga membentuk klaster, dan solusi kuadrat terkecil setiap klaster dipilih untuk menentukan lokasi relatif dari hiposenter.

Pada inversi simultan antara struktur kecepatan dan lokasi gempa bumi, anomali kecepatan dikonstrain dengan mencari model smooth orde pertama. Regularisasi smoothing biasanya memberikan sebuah tampilan minimum model yang memuat hanya sebanyak struktur yang dapat dipecahkan (Constable dkk., 1987; McCaughey dan Singh, 1997). Bobot smoothing dapat diberikan sama pada arah vertikal dan horizontal. Selanjutnya, sistem persamaan linier (3.20) diselesaikan dengan algoritma least sequare atau LSQR (Paige dan Saunders, 1982).

(22)

3.4 Penentuan Vp/Vs

Gelombang P adalah gelombang longitudinal yaitu arah penjalaran gelombang searah dengan arah getaran partikel medium. Gelombang S adalah gelombang transversal yaitu arah penjalaran gelombang tegak luruh dengan arah getaran partikel medium. Hubungan antara kecepatan gelombang P dan kecepatan gelombang S dengan beberapa parameter elastisitas dan densitas dapat dinyatakan sebagai berikut (Howell, 1959):

(3.21)

(3.22) dimana Vp, Vs masing-masing adalah kecepatan gelombang P dan S, ρ adalah densitas, μ adalah shear modulus, K adalah bulk modulus dan λ adalah konstanta Lame.

Kecepatan gelombang P bergantung oleh bulk modulus, shear modulus, dan densitas, sedangkan kecepatan gelombang S tidak bergantung bulk modulus, tetapi bergantung pada densitas dan shear modulus sehingga sering disebut shear wave velocity. Shear modulus didefinisikan sebagai perbandingan antara tekanan geser (shear stress) dan perubahan panjang (strain). Young modulus didefinisikan sebagai perbandingan antara tekanan normal (normal stress) dan perubahan panjang, sedangkan bulk modulus didefinisikan sebagai perbandingan antara tekanan normal dan perubahan volume. Konstanta Lame terdiri dari dua konstanta yaitu konstanta elastisitas geser (μ) yang disebut juga sebagai rigiditas dan konstanta elastisitas volume (K).

Material tidak sejenis dapat dibedakan berdasarkan densitas dan modulus elastisitasnya, tetapi pada material sejenis densitas dan modulus elasisitas dapat bervariasi bergantung pada kondisi fisiknya. Pada kedalaman dangkal, kecepatan gelombang seismik sangat dipengaruhi oleh porositas, konten porositas dan derajat saturasi. Pengaruh ketiga faktor tersebut masih bertahan hingga kedalaman

(23)

beberapa kilometer (Lushen dkk., 1993). Pada kedalaman yang lebih besar, temperatur merupakan faktor pengontrol kecepatan gelombang seismik yang penting, sebagai contoh adalah perubahan kecepatan gelombang pada saat terjadinya partial melting. Penelitian efek temperatur terhadap kecepatan gelombang seismik telah dilakukan oleh Evan dan Zucca (1993), dan Nur (1987).

Konstanta Poisson’s ratio (σ) didefinisikan sebagai perbandingan antara perubahan panjang (strain) arah transversal dan perubahan panjang arah longitudinal. Sifat fisis medium dapat diketahui dari nilai konstanta elastisitasnya, nilai konstanta elastisitas dapat diketahui denagn cara pengukuran di laboratorium atau dari analisis hasil pengukuran Vp dan Vs. Nilai Poisson’s ratio dapat ditentukan menggunakan kecepatan gelombang P dan S dengan persamaan sebagai berikut:

(3.23)

Selain merupakan fungsi dari Vp dan Vs, Poisson’s ratio adalah fungsi dari konstanta elastisitas geser (μ) dan konstanta elastisitas volume (λ) sehingga dapat dituliskan sebagai:

(3.24) Untuk fluida nilai =0, sehingga Poisson’s ratio mencapai nilai maksimum,

=0,5.

Pemahaman mengenai struktur 3-D Vp, Vs, dan Vp/Vs sangat membantu dalam menentukan karakterisasi sifat-sifat mekanis dan identitas geologi dari material kerak bumi dan mantel atas (Thurber, 1993). Variasi Vp/Vs dapat ditentukan secara langsung dari model Vp dan Vs, bila secara esensial keduanya memiliki kuantitas yang sama. Namun, pada umumnya data waktu tiba gelombang S kurang dari segi kuantitas dan kualitas dibandingkan data gelombang P. Oleh sebab itu Vs tidak memiliki resolusi sebaik Vp, hal ini menyebabkan kesulitan pada saat interpretasi variasi Vp/Vs (Eberhart-Philips, 1990).

(24)

BAB IV Pencitraan Struktur 3-D Kecepatan Gelombang Seismik

Menggunakan Metode Tomografi Double-Difference

Dan Katalog Data Gempa Bumi MERAMEX Di Jawa

Bagian Tengah

Pada bab ini dibahas hasil penelitian model 3-D struktur kecepatan gelombang seismik (Vp dan Vs) di bawah Jawa bagian tengah yang dicitrakan dengan metode tomoDD. Inversi tomografi menggunakan tomoDD untuk menentukan model kecepatan dan relokasi hiposenter secara simultan. Model 3-D struktur kecepatan gelombang seismik dan hiposenter relokasi yang akurat hasil dari penelitian ini dapat menjadi masukan bagi penelitian kegempaan lain dan dapat memberikan informasi interpretasi geologi di wilayah penelitian.

4.1 Data dan Metode 4.1.1 Data

Data katalog gempa bumi yang digunakan berasal dari jaringan seismograf temporal yang dipasang di sekitar Jawa bagian tengah dan Yogyakarta oleh proyek MERAMEX (MERapi Amphibious Experiment), mulai bulan Mei hingga Oktober 2004. Penelitian tersebut atas kerjasama dengan GeoForschungsZentrum (GFZ), Potsdam-Jerman. Stasiun perekam berjumlah 134 stasiun yang terdiri atas 106 seismometer short-period (Markus L4-3D), 14 seismometer broad-band (Guralp CMG3T dan CMG3ESP), 9 hydrophone bawah laut dan 5 seismometer dasar laut untuk memperluas jaringan di lepas pantai. Pada pelaksaanaan observasi dilakukan pemindahan beberapa stasiun pada koordinat yang berbeda untuk mendapatkan rekaman yang lebih baik sehingga jumlah data stasiun seismograf jaringan MERAMEX menjadi 169. Jaringan seismograf temporal dipasang dengan distribusi yang rapat dengan jarak antarstasiun sekitar 10-20 km untuk memantau aktivitas kegempaan di zona tersebut. Jaringan seismograf di darat diroperasikan selama 21 minggu sementara jaringan seismograf gempa bumi lepas pantai dioperasikan selama 18 minggu. Jumlah gempa bumi yang terekam selama periode pengamatan adalah 292 gempa bumi (Gambar 4.1).

(25)

Gambar 4.1. Distribusi episenter gempa bumi (lingkaran) hasil rekaman dari pemasangan seismograf temporal (segitiga kuning) MERAMEX 1994 yang digunakan pada penelitian ini.

4.1.2 Metode

Metode inversi tomoDD yang lengkap menggunakan tiga tipe data masukan yaitu waktu tiba absolut, waktu tiba diferensial, dan data WCC. Pada penelitian ini inversi tomoDD dilakukan hanya menggunakan data absolut dan data diferensial waktu tiba yang berasal dari data katalog gempa bumi. Data diferensial diperoleh dengan melakukan klastering data gempa bumi menggunakan program ph2dt. Inversi tomografi menggunakan kode program tomoDD yang dikembangkan oleh Zhang dan Thurber sejak 2003, program ini telah dilengkapi dengan koreksi kolengkungan bumi.

Dari 292 gempa bumi yang ada tereduksi menjadi 231 gempa bumi setelah dilakukan klastering. Reduksi jumlah gempa bumi ini akibat pemilihan parameter MAXDIST yaitu 500 pada saat inversi tomoDD. Data absolut yang digunakan untuk proses inversi tomografi terdiri atas data waktu tiba gelombang P sebanyak 1318 dan data waktu tiba gelombang S sebanyak 1043. Data diferensial (dt.ct) yang diperoleh dari proses klastering menggunakan program ph2dt, yaitu data diferensial waktu tiba gelombang P sebanyak 5972 dan data diferensial waktu tiba gelombang S sebanyak 4466.

(26)

Gambar 4.2. Peta wilayah penelitian yaitu Jawa bagian tengah dan parameterisasi model untuk inversi tomoDD. Ukuran grid di bagian dalam wilayah penelitian adalah 15 km x 15 km dan ukuran dua grid terluar berjarak 20 km dari grid bagian dalam. Lingkaran warna merah menunjukkan episenter gempa bumi, segitiga warna kuning adalah stasiun.

(27)

Selanjutnya inversi tomoDD dilakukan dengan mengombinasikan dua tipe data, yaitu data absolut dan data diferensial dengan menggunakan skema pembobotan. Besarnya nilai bobot ditentukan dengan memperhatikan perubahan perturbasi model akibat nilai bobot yang diberikan. Dari beberapa kombinasi pembobotan dipilih nilai bobot 1 untuk data absolut dan 0,1 untuk data diferensial katalog. Selanjutnya data diferensial dapat diberi bobot lebih besar untuk memperbaiki lokasi gempa bumi dan struktur kecepatan di dekat sumber gempa bumi.

Pada realisasi inversi tomografi dilakukan dengan parameterisasi model menggunakan jarak antargrid yang tidak sama (Gambar 4.2), yaitu dengan jarak antargrid (15 km x 15 km) dan bagian luar (15 km x 20 km). Jumlah lapisan vertikal adalah 10, dengan masing-masing kedalaman lapisan yaitu 5 km, 10 km, 15 km, 25 km, 35 km, 45 km, 60 km, 100 km, 160 km dan 210 km.

Model kecepatan awal gelombang P untuk proses inversi tomoDD yang digunakan pada penelitian ini yaitu model kecepatan 1-D dari penelitian Wagner dkk. (2007) untuk permukaan hingga kedalaman 20 km. Untuk kedalaman lebih dari 20 km menggunakan model AK135 (Kennett dkk., 1995). Model awal 1-D kecepatan gelombang S diperoleh dengan asumsi Vp/Vs =1,74. Model referensi yang digunakan pada peneliti ini ditunjukkan pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3. Model referensi 1-D struktur kecepaan gelombang P dan S yang digunakan pada inversi tomoDD.

(28)

Gambar 4.4. a) Pengaruh nilai damping dan jumlah iterasi pada proses inversi tomoDD, untuk nilai damping mulai dari 90 hingga 140 memberikan nilai RMS yang kecil, nilai RMS terkecil diperoleh pada nilai damping 100. b) RMS dari variasi nilai damping 70 hingga 140 dengan nilai pembobotan data 10 untuk data absolut dan nilai 1 untuk data diferensial.

Perhitungan waktu tempuh teoretis melewati model struktur kecepatan referensi dari sumber ke penerima dengan menggunakan metode ray tracing pseudo bending (Um dan Thurber, 1987). Inversi tomoDD menggunakan teknik inversi LSQR (Paige dan Saunders, 1982). Pemilihan damping yang sesuai dilakukan dengan melakukan inversi menggunakan variasi nilai damping untuk memperoleh nilai RMS yang terkecil (Gambar 4.4).

4.1.3 Uji Resolusi Model

Uji resolusi diperlukan sebelum dilakukan interpretasi terhadap tomogram hasil inversi data observasi. Hasil inversi data biasanya tidak seluruh bagian dari model yang dihasilkan mempunyai resolusi yang baik. Hal ini disebabkan terutama oleh distribusi gempa bumi dan seismograf yang acak atau terkonsentrasi pada area tertentu saja. Selanjutnya interpretasi hanya dapat dilakukan pada bagian model yang mempunyai resolusi tinggi atau nilai Derivative Weight Sum (DWS) yang tinggi.

(29)

4.1.3.a Uji Checkerboard

Uji checkerboard (Humphreys dan Clayton, 1988) dilakukan dengan memilih konfigurasi geometri dari distribusi sumber gempa bumi, posisi stasiun, ukuran grid dan struktur kecepatan referensi yang paling baik. Hal ini ditunjukkan oleh kemampuan rekontruksi hasil inversi data sintetik terhadap model awalnya. Model checkerboard merupakan model papan catur yang terdiri atas anomali ±10 % relatif terhadap model kecepatan 1-D. Waktu tempuh sintetik melalui model checkerboard dihitung pada saat proses pemodelan kedepan dengan menggunakan posisi sumber dan penerima dari data observasi. Selanjutnya, inversi dilakukan dengan model kecepatan 1-D untuk melihat seberapa besar model checkerboard bisa direkonstruksi.

Hasil yang diperoleh untuk model checkerboard Vp tampak pada Gambar 4.5, terlihat bahwa pada interval kedalaman 5 km hingga 60 km sebagian besar model memiliki resolusi yang tinggi. Resolusi yang tinggi ditandai oleh pola anomali inversi checkerboard yang memiliki pola rekontruksi mendekati model awal. Hasil uji checkerboard menunjukkan bahwa rekontruksi pola anomali checkerboard di daratan bagian selatan lebih baik daripada rekontruksi pola anomali di daratan bagian utara, karena distribusi sumber gempa bumi dan distribusi stasiun lebih padat di daratan bagian selatan. Pada Gambar 4.6 ditunjukkan hasil uji checkerboard untuk Vs, bahwa secara umum pola rekontruksi untuk Vs ini lebih rendah dari pada pola rekontruksi checkerboard untuk Vp karena jumlah data Vs lebih sedikit. Namun demikian, pola distribusi hasil uji checkerboard Vs memiliki pola yang mirip dengan pola distribusi checkerboard Vp.

4.1.3.b DWS (Derivative Weight Sum)

Toomey dan Foulger (1989) mendefinisikan sebuah ukuran sampling di titik grid (grid node) sebagai derivative weight sum (DWS). DWS menunjukkan ukuran jumlah rata-rata relatif dari densitas sinar gelombang (ray) di dekat sebuah titik grid. DWS dari parameter titik grid (node) ke-n yaitu αndidefinisikan sebagai

(30)

dengan i dan j masing-masing adalah posisi gempa bumi ke-i dan stasiun ke-j, ω adalah bobot yang digunakan dalam interpolasi linier dan bergantung pada posisi koordinat. Pijadalah ray-path antara i dan j dan N adalah faktor normalisasi yang

ikut diperhitungkan dalam volume yang dipengaruhi oleh αn.

Gambar 4.5. Hasil uji checkerboard untuk Vp dengan amplitudo perturbasi model awal ±10% untuk setiap kedalaman. Warna biru menunjukkan anomali positif, sedangkan warna merah menunjukkan anomali negatif (% perturbasi relatif terhadap model 1-D).

(31)

Gambar 4.6. Hasil uji checkerboard untuk Vs dengan amplitudo perturbasi model awal ±10% untuk setiap kedalaman. Warna biru menunjukkan positif, sedangkan warna merah menunjukkan anomali negatif (% perturbasi relatif terhadap model 1-D).

Gambar 4.7. Distribusi nilai DWS gelombang S pada pada kedalaman 10, 15, 25, 35, 45, dan 60 km, warna hitam menunjukkan nilai DWS yang relatif tinggi, segitiga kuning adalah stasiun pencatat.

(32)

Pada peta pola distribusi DWS (Gambar 4.7) ditunjukkan bahwa nilai DWS yang relatif tinggi ditunjukkan dengan warna yang lebih hitam. Biasanya nilai DWS yang tinggi bersesuaian dengan rekontruksi checkerboard yang baik. Oleh karena itu, citra tomogram yang dapat diinterpretasi yaitu pada wilayah dengan rekonstruksi checkerboard yang baik dan memiliki DWS tinggi. Nilai perturbasi anomali yang diinterpretasi pada penelitian ini adalah yang memiliki nilai DWS lebih dari 200.

4.2 Hasil dan Diskusi

4.2.1 Penampang Horizontal Vp dan Vs

Zona Kendeng merupakan cekungan yang berisi sedimen dengan tebal lebih dari 8 km (Untung dan Sato 1978; Smyth dkk., 2005). Peta gravitasi Bouguer wilayah Jawa bagian tengah (Untung dan Sato, 1978; Smith dan Sandwell, 1997; Smyth dkk., 2005) menunjukkan anomali negatif Bouguer yang kuat melebihi -580 μms-2 teridentifikasi di zona Kendeng. Rendahnya gravitasi tersebut memiliki korelasi yang kuat dengan anomali kecepatan rendah di zona Merapi-Lawu Anomali (MLA) baik dari segi ukuran ataupun lokasi dimana anomali berada (Wagner dkk., 2007). Amplitudo anomali kecepatan rendah MLA yang sangat tinggi di permukaan hingga kedalaman 10 km disebabkan lava tebal dan deposit sedimen di zona Kendeng (Wagner dkk., 2007). Namun demikian, keberadaan deposit sedimen ini tidak dapat menjelaskan mengapa MLA terdeteksi hingga mantel, karena keberadaan deposit saja tidak dapat mencegah penetrasi magma ke permukaan dan tidak bisa menjelaskan anomali gravitasi dengan baik. Selain itu, keberadaan deposit sedimen tidak dapat menjelaskan mengapa pada wilayah di atas MLA ini tidak ada kenampakan vulkanisme.

Dari komunikasi pribadi Wagner dengan Troll (2006), dinyatakan bahwa material dalam MLA sebenarnya pada tahap pendinginan, yang menghasilkan matriks rigid berisi kantong-kantong material leleh (melted material) sehingga zona ini menjadi cukup rigid dan memiliki kecepatan rendah. Dengan kondisi demikian, fluida dan lelehan dari mantle wedge tidak bisa menembus batas bawah MLA. Migrasi fluida ke atas hanya terjadi mengikuti jalan terpendek menuju zona kontak antara MLA

(33)

dan forearc, tempat gunung berapi aktif berada. Selain itu, hanya menunjukkan sejumlah kecil fluida membentuk mud vulkano di zona Kendeng setelah melewati matriks dari deposit sedimen dan kantong-kantong magma (Wagner dkk., 2007).

Namun dari hasil penelitian ini (Gambar 4.8 dan 4.9), zona anomali kecepatan rendah teridentifikasi semakin bergeser ke selatan terhadap kedalaman, terutama setelah kedalaman 10 km. Hal ini menguatkan penelitian Untung dan Sato 1978; Smyth dkk., 2005 bahwa zona anomali MLA kemungkinan adalah fluida atau melted material yang tertutup sedimen tebal. Fluida tidak mampu menembus ke atas disebabkan tidak adanya gaya dorong yang masif untuk mampu membentuk vulkanisme, fluida yang baru terbentuk dan memiliki energi tinggi berada di bawah Merapi. Suplai magma Gunung Merapi tidak berasal dari MLA tetapi akibat migrasi fluida langsung dari slab. Keberadaan MLA memang didukung kenampakan mud vulcano pada batas bagian utara zona anomali tepatnya di Bledug-Kuwu (Wagner dkk. 2007). Selain itu hasil inversi menggunakan tomoDD tidak menunjukkan keberadaan anomali kecepatan rendah bertahan hingga kedalaman lebih dari 25 km di wilayah MLA atau zona Kendeng.

Pada Gambar 4.10 ditunjukkan citra tomogram pada kedalaman 35 km untuk Vp dan Vs. Pada tomogram tersebut ditunjukkan adanya dua blok zona anomali kecepatan rendah yang dibatasi kerak rigid. Zona batas anomali seperti ini merupakan zona lemah dan berpotensi sebagai sumber gempa bumi. Posisi hiposenter gempa bumi Yogyakarta 2006 kemungkinan pada kedalaman 35 km yaitu pada kerak rigid batas antara dua blok anomali kecepatan rendah. Kedalaman hiposenter 35 km ini sesuai dengan hasil inversi waveform pada saat penentuan solusi mekanisme fokal (CMT Harvard Moment Tensor).

Solusi momen tensor gempa bumi Yogyakarta 2006 menunjukkan pola strike-slip, akibat efek dorongan slab (Gambar 4.10). Pada Gambar 4.11 ditunjukkan kartun sketsa yang mengindikasikan kompresi masif akibat gaya dorong slab komponen horisontal (Fx) pada zona batas anomali yang merupakan zona lemah, kompresi ini kemungkinan sebagai pemicu gempa bumi Yogyakarta, 27 Mei 2006.

(34)

Gambar 4.8. Irisan horizontal anomali kecepatan gelombang P relatif terhadap model awal. Segitiga berwarna coklat adalah gunung api.

Gambar 4.9. Irisan horizontal anomali kecepatan gelombang S relatif terhadap model awal. Segitiga berwarna coklat adalah gunung api.

(35)

Gambar 4.10. Irisan horizontal anomali Vp (kiri) dan Vs (kanan) pada kedalaman 35 km serta mekanisme sumber gempa bumi Yogyakarta 27 Mei 2006. Segitiga berwarna coklat adalah gunung api.

Gambar 4.11. Sketsa interpretasi yang mengindikasikan adanya gaya dorong slab komponen horisontal (Fx) pada zona batas anomali yang merupakan zona lemah, kompresi ini kemungkinan sebagai pemicu gempa bumi Yogyakarta, 27 Mei 2006. R adalah gaya dorong slab, Fx dan Fy masing-masing adalah komponen horisontal dan vertikalnya.

4.2.2 Distribusi Vertikal Anomali Vp

Gambar 4.12 adalah irisan vertikal tomogram Vp dan hasil uji checkerboard di sekitar bawah Merapi dan Lawu. Pada Gambar 4.13 ditunjukkan distribusi

(36)

anomali kecepatan rendah Vp dan Vs pada kedalaman 35 km serta mekanisme fokal gempa bumi Yogyakarta 27 Mei 2006. Pada tomogram tersebut terlihat anomali kecepatan rendah yang memanjang cukup jelas yang mengindikasikan adanya migrasi fluida atau partial melting material dari slab menuju Gunung Merapi.

Posisi hiposenter gempa bumi Yogyakarta 27 Mei 2006 terletak tepat di batas zona kontak antara forearc kecepatan tinggi dan zona anomali kecepatan rendah yang mengarah ke Gunung Merapi di bagian utara. Dengan kondisi posisi sumber gempa bumi seperti ini dapat dipahami bila sebelum terjadi gempa bumi didahului tingginya aktivitas dari Gunung Merapi. (Setijadji dan Watanabe, 2007)

Menurut Wagner dkk. (2007), anomali kecepatan rendah pada kedalaman 15 km mungkin disebabkan fracturing rocksin dari bagian kerak paling atas (uppermost crust). Hiposenter gempa bumi berada di kerak rigid yang terletak sedikit di bawah zona ini (~ 17 km), tepat di bawah zona lemah yang dianggap lokasi paling mungkin untuk akumulasi stress dan terjadinya fracturing. Hiposenter gempa bumi terletak tepat di atas zona kontak antara forearc kecepatan tinggi dan anomali kecepatan rendah Merapi Lawu Anomaly (MLA) yang mengarah ke Gunung Merapi di bagian utara.

Dari hasil penelitian ini, penunjaman slab di bawah Jawa hanya sedikit teridentifikasi, kemungkinan karena kurangnya data gempa bumi yang memiliki kedalaman gempa bumi lebih dari 100 km. Namun demikian terlihat adanya double seismic zone dari plot overlay data gempa bumi pada citra tomogram pada lintasan AA’ meskipun hanya terbatas pada kedalaman hingga 100 km (Gambar 4.13). Pada penelitian terdahulu oleh Widiyantoro dan Van der Hilst (1996 dan 1997), slab litosfer yang menunjam di bawah busur Sunda bagian timur (dari Jawa sampai Flores) masih kontinu tetapi ada indikasi bahwa slab litosfer mantel atas menyempit (necking) terutama di bawah Jawa.

(37)

Gambar 4.12. Irisan tomogram vertikal anomali kecepatan gelombang P, a) AA’ di sekitar bawah Merapi, b) BB’ di sekitar bawah Lawu, c) checkerboard irisan AA’, dan d) checkerboard irisan BB’.

(38)

Gambar 4.13. Irisan tomogram vertikal AA’ di sekitar bawah Merapi dan kartun subduksi slab serta overlay slab (USGS) warna abu-abu. Posisi sumber gempa bumi Yogyakarta 27 Mei 2006 berada pada kedalaman 35 km di tepian zona anomali kecepatan rendah.

Nilai residual dari iterasi terakhir inversi tomografi untuk keseluruhan data gempa bumi ditunjukkan oleh histogram pada Gambar 4.14 Residual waktu tempuh dihitung relatif terhadap model yang digunakan, hasilnya sebagian besar dari residual waktu tempuh mendekati nol. Rata-rata residual dari tiap-tiap gempa bumi adalah 0,000879 dengan residual minimum -6,3 dan residual maksimum adalah 6,8 detik. Nilai residual maksimum mengindikasikan pergeseran pusat gempa bumi setelah relokasi sejauh 47,6 km dengan asumsi rata-rata kecepatan gelombang P adalah 7 km/detik.

Nilai residual yang besar ini kemungkinan disebabkan karena akurasi yang rendah dari picking waktu tiba gelombang P. Tampak pula pada histogram bahwa residual positif sedikit lebih besar daripada residual negatifnya. Hal ini berarti bahwa ada kecenderungan waktu tempuh observasi lebih besar daripada waktu tempuh kalkulasi. Selain itu, histogram residual ini secara langsung merefleksikan pengaruh struktur atau anomali kecepatan terhadap penjalaran gelombang P. Namun demikian, potensi peningkatan akurasi menjadi menarik sebagai wacana pengembang dari penelitian ini. Akurasi picking ini dapat ditingkatkan dengan menggunakan WCC.

(39)

Gambar 4.14. Histogram residual dari waktu tempuh gelombang P yaitu perbedaan antara waktu tempuh observasi dan kalkulasi berdasarkan model kecepatan seismik dan lokasi gempa bumi dari a) ray tracing 1-D, dan b) inversi tomoDD.

4.3 Simpulan

Berdasarkan hasil inversi tomografi data gempa bumi di Jawa bagian tengah (MERAMEX) dengan menggunakan tomoDD diperoleh bahwa zona anomali kecepatan rendah menunjukkan indikasi semakin bergeser ke selatan terhadap kedalaman setelah kedalaman 10 km. Zona anomali MLA kemungkinan adalah fluida atau melted material yang tertutup sedimen tebal. Fluida pada zona MLA tidak mampu menembus ke atas yang kemungkinan disebabkan tidak adanya gaya dorong yang cukup kuat untuk mampu membentuk aktivitas vulkanisme. Fluida yang baru terbentuk dan memiliki energi tinggi berada di bawah Gunung Merapi, sedangkan suplai magma Gunung Merapi tidak berasal dari MLA tetapi kemungkinan akibat migrasi fluida langsung dari slab. Pada kedalaman 35 km mengindikasikan adanya dua blok zona anomali kecepatan rendah yang dibatasi oleh kerak rigid. Posisi hiposenter gempa bumi Yogyakarta 2006 kemungkinan pada kedalaman 35 km yaitu pada kerak rigid di batas antara dua blok anomali kecepatan rendah. Solusi momen tensor gempa bumi Yogyakarta 2006 menunjukkan pola strike-slip, mekanisme strike-slip kemungkinan terjadi akibat kompresi masif di kerak forearc (dari arah selatan) pada media yang heterogen.

(40)

BAB V Relokasi Hiposenter Gempa Bumi Di Jawa Bagian Tengah

Menggunakan Inversi Tomografi Double-Difference

Simultan Dan Katalog Data Gempa Bumi MERAMEX

Pada bab ini disajikan relokasi hiposenter hasil inversi simultan menggunakan tomoDD dari katalog data gempa bumi MERAMEX. Akurasi penentuan posisi hiposenter gempa bumi sangat dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya: geometri jaringan, fase gelombang yang digunakan, ketelitian pembacaan waktu tiba dan model struktur kecepatan. Penentuan hiposenter yang akurat dan konsisten merupakan kebutuhan mutlak untuk analisis kegempaan lebih lanjut. Oleh karena itu dibutuhkan teknik relokasi gempa bumi yang mampu menghasilkan lokasi hiposenter gempa bumi yang akurat.

Pada saat ini telah dikembangkan teknik relokasi hiposenter untuk mendapatkan hiposenter yang akurat, salah satunya yaitu menggunakan metode hypoDD dari data katalog gempa bumi dan data WCC. Namun demikian pada penelitian ini hanya menggunakan data katalog gempa bumi untuk inversi relokasi gempa bumi.

Lokasi hiposenter gempa bumi yang diperoleh dengan metode geiger adaptive dumping (GAD) atau hypoellipse umumnya masih mengandung kesalahan akibat struktur kecepatan yang tidak termodelkan. Namun demikian, dengan menggunakan algoritma DD, efek terkait struktur kecepatan yang tidak termodelkan dapat dihilangkan sehingga meningkatkan akurasi posisi hiposenter relokasi. Algoritma ini telah diuji oleh Waldhauser dan Ellsworth (2000) menggunakan data gempa bumi di bagian utara Hayward fault California, hasilnya menunjukkan terbentuk dua klaster gempa bumi di wilayah tersebut yang sebelum dilakukan relokasi tidak terlihat. Hasil relokasi juga menunjukkan adanya perubahan dari distribusi hiposenter gempa bumi yang acak menjadi sebaran yang fokus. Sebaran hiposenter relokasi mengungkap lineasi distribusi hiposenter yang secara horizontal mengarah pada suatu area sempit pada fault yang merupakan zona lemah tempat akumulasi stress biasanya dilepaskan.

(41)

Pembacaan (picking) waktu tiba gelombang umumnya memiliki galat (error) yang diakibatkan oleh noise. Peningkatan presisi penentuan waktu tiba gelombang gempa bumi ataupun ledakan dapat dilakukan dengan menggunakan teknik WCC dan teknik klastering. Teknik WCC mengasumsikan bahwa gelombang yang pancarkan oleh dua sumber yang identik dan menjalar melewati lintasan yang sama dianggap memiliki bentuk gelombang (waveform) yang serupa sehingga teknik ini dapat digunakan untuk menentukan waktu tiba relatif secara presisi.

Pengembangan lebih lanjut dari metode tomoDD adalah tomoDD spherical oleh Pesicek (2010) dengan menggunakan fase gempa bumi dalam, waktu diferensial, dan model realistis kecepatan 3-D. Hasil relokasi menggunakan metode ini menunjukkan peningkatan akurasi dan presisi dari episenter dan kedalaman fokus, dimana secara sistematis relokasi menggeser posisi gempa bumi menjadi tegak lurus trench dan lebih dangkal. Selain itu, relokasi mampu mengungkap beberapa fitur diskrit yang tidak tampak pada katalog teleseismik dan juga mengungkap adanya lineasi dari jalur kedalaman subduksi dari Investigator Fracture Zone. Hasil inversi menggunakan metode ini juga menunjukkan geometri dan fitur struktur dari zona subduksi yang belum pernah terungkap secara terperinci sebelumnya.

5.1 Data dan Metode

Pada penelitian ini digunakan data gempa bumi yang terekam oleh jaringan seismograf temporal MERAMEX (Gambar 5.1) di Jawa bagian tengah dan sekitarnya (seperti pada bab IV). Karena tidak adanya informasi model gelombang S, untuk mendapatkan model referensi gelombang S digunakan nilai rasio yang ditetapkan yaitu 1,74. Inversi relokasi hiposenter menggunakan metode tomoDD, metode ini menggunakan koordinat kartesian tetapi telah dilengkapi dengan koreksi kelengkungan bumi. Model referensi kecepatan gelombang P menggunakan model kecepatan kombinasi hasil penelitian Wagner dkk. (2007) dan model ak135 (Kennet dkk., 1995) (Gambar 4.3).

(42)

Gambar 5.1. Grid pengolahan data, ukuran grid di bagian dalam adalah 15 km x 15 km dan ukuran dua grid terluar berjarak 20 km dari grid bagian dalam, lingkaran warna merah menunjukkan gempa bumi, segitiga warna kuning adalah stasiun seismograf (atas). Contoh sinyal rekaman gempa bumi dari 5 stasiun yang dipilih secara acak (bawah).

5.2 Hasil dan Diskusi

Pada realisasi inversi tomoDD dari data gempa bumi MERAMEX dilakukan regularisasi dengan menentukan damping dan pembobotan yang sesuai berdasarkan nilai residualnya. Dari regularisasi diperoleh kurva trade-off (Gambar

(43)

4.4), berdasarkan kurva tersebut dipilih damping 110, sedangkan pembobotan untuk smoothing kecepatan adalah 5. Data diferensial diperoleh menggunakan program ph2dt dengan kriteria MAXDIST adalah 500 km. Selanjutnya inversi dilakukan hingga diperoleh residual minimum. Hasil inversi simultan tomoDD adalah struktur kecepatan 3-D dan hiposenter relokasi. Proses relokasi hiposenter sudah optimum secara kuantitatif yaitu bila nilai residual dari waktu tempuh observasi dan waktu tempuh teoretis sudah mencapai minimum pada iterasi yang ditentukan.

Pada Gambar 5.2.a-c ditunjukkan posisi hiposenter awal dan posisi hiposenter setelah relokasi menggunakan tomoDD. Perubahan posisi gempa bumi secara horizontal (Gambar 5.2.c) menunjukkan bahwa posisi hasil relokasi (warna biru) lebih mengumpul (fokus) daripada posisi awal (warna merah), kumpulan gempa bumi yang membentuk klaster terutama terdapat di bagian tengah dari wilayah penelitian. Pada Gambar 5.3.a ditunjukkan diagram kompas yang menggambarkan arah dan besarnya pergeseran episenter setelah relokasi; pergeseran maksimum dari relokasi adalah sekitar 50 km; dimana 4 gempa bumi mengalami pergeseran lebih dari 20 km. Arah pergeseran posisi gempa bumi yang dominan yaitu ke arah tenggara, terdapat 3 gempa bumi pada arah ini dan mengalami pergeseran lebih dari 20 km. Pada Gambar 5.3.b ditunjukkan diagram rose yang menggambarkan distribusi jumlah gempa bumi dan arah pergeserannya. Dari diagram tersebut terlihat bahwa sebagian besar posisi gempa bumi bergeser ke arah barat dari posisi sebelumnya, sedangkan pergeseran pada arah tenggara jumlahnya sedikit tetapi mengalami pergeseran yang relatif besar dibandingkan pergeseran kearah yang lain. Pada Gambar 5.4.a-c ditunjukkan besarnya pergeseran dari posisi hiposenter gempa bumi setelah relokasi menggunakan tomoDD. Pergeseran maksimum posisi episenter gempa bumi pada arah utara-selatan adalah sekitar 35 km (Gambar 5.4.a). Jumlah gempa bumi yang mengalami pergeseran lebih dari 10 km pada arah ini sebanyak 8 gempa bumi. Pergeseran sekitar 35 km terjadi pula pada arah timur-barat, pada arah ini hanya 4 gempa bumi yang mengalami pergeseran lebih dari 10 km. Perubahan kedalaman sumber gempa bumi maksimum adalah 60 km dan pergeseran rata-rata tidak lebih dari 10 km.

(44)

Gambar 5.2. Plot posisi sumber gempa bumi: a) plot posisi awal gempa bumi, b) posisi gempa bumi setelah relokasi dengan tomoDD, dan c) gabungan posisi gempa bumi awal dan posisi hasil relokasi. Warna biru adalah posisi gempa bumi awal dan warna merah adalah posisi gempa bumi setelah relokasi.

Gambar 5.3. Diagram pergeseran hiposenter: a) diagram kompas menunjukkan arah pergeseran dari posisi awal, terdapat 4 gempa bumi dengan pergeseran lebih dari 20 km, dan b) diagam rose dengan bin azimuth 18º yang menunjukkan besarnya pergeseran relatif antara posisi episenter hasil relokasi dan posisi sebelum relokasi, dimana pergeseran maksimum adalah 50 km pada arah tenggara.

(45)

Gambar 5.4. Pergeseran posisi sumber gempa bumi sebelum dan setelah relokasi: a) pada arah utara-selatan, b) pada arah timur-barat, c) kedalaman sumber gempa bumi setelah relokasi menggunakan tomoDD.

Pada Gambar 5.5. a-b ditunjukkan distribusi penyebaran hiposenter gempa bumi awal dan hiposenter setelah relokasi. Distribusi ini menunjukkan distribusi sumber gempa bumi menurut irisan vertikal utara-selatan dan irisan vertikal timur-barat. Distribusi hiposenter setelah relokasi untuk gempa bumi dengan kedalaman kurang dari 50 km terlihat pada irisan timur-barat distribusi hiposenter membentuk klaster ditengah-tengah wilayah.

(46)

Gambar 5.5. Plot posisi hiposenter gempa bumi: a) sebelum relokasi dan b) setelah relokasi menggunakan tomoDD.

Gambar 5.6. Plot besarnya pergeseran kedalaman sumber gempa bumi terhadap kedalaman awal. Pada kedalaman sekitar 10 km terdapat kedalaman beberapa gempa bumi setelah relokasi yang bergeser lebih dangkal daripada kedalaman sebelum relokasi.

Pada Gambar 5.6 ditunjukkan hubungan kedalaman awal sumber dan besarnya perubahan kedalaman. Perubahan kedalaman terjadi terutama pada kedalaman 20 km hingga 30 km dengan perubahan kedalaman mencapai hampir 20 km. Gempa bumi yang mengalami perubahan kedalaman ini terutama gempa bumi yang relatif

Gambar

Gambar 2.2. Peta  wilayah  penelitian  dan  beberapa  kenampakan  geologi  di Jawa bagian tengah (modifikasi dari van Bemmelen, 1949).
Gambar 4.1. Distribusi  episenter gempa  bumi (lingkaran)  hasil  rekaman dari pemasangan  seismograf  temporal  (segitiga  kuning)  MERAMEX 1994 yang digunakan pada penelitian ini.
Gambar 4.6. Hasil uji checkerboard untuk Vs dengan amplitudo perturbasi model awal  ±10%  untuk  setiap  kedalaman
Gambar 4.8. Irisan horizontal anomali  kecepatan  gelombang  P relatif  terhadap model awal
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi trend dan tingkat ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota yang terjadi di Provinsi Jawa Timur, mengidentifikasi daerah

Berdasarkan hasil observasi yang peneliti lakukan pada Seksi Pengujian Kendaraan Sub Dinas Teknis Sarana Dinas Perhubungan Kota Bandung bahwa pelaksanaan indikator yang kelima

anita usia subur - cakupan yang tinggi untuk semua kelompok sasaran sulit dicapai ;aksinasi rnasai bnntuk - cukup potensial menghambat h-ansmisi - rnenyisakan kelompok

Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam, sumber segala kebenaran, sang kekasih tercinta yang tidak terbatas pencahayaan cinta-Nya bagi hamba-Nya, Allah Subhana Wata‟ala

Pemodelan penyelesaian permasalahan penjadwalan ujian Program Studi S1 Sistem Mayor-Minor IPB menggunakan ASP efektif dan efisien untuk data per fakultas dengan mata

Hasil dari penelitian ini adalah terumuskan 5 strategi dan kebijakan IS/IT yang sebaiknya diterapkan di FIT Tel-U berdasarkan pertimbangan 3 hal, pertama kebutuhan

Pendekatan dapat diartikan sebagai metode ilmiah yang memberikan tekanan utama pada penjelasan konsep dasar yang kemudian dipergunakan sebagai sarana

Audit, Bonus Audit, Pengalaman Audit, Kualitas Audit. Persaingan dalam bisnis jasa akuntan publik yang semakin ketat, keinginan menghimpun klien sebanyak mungkin dan harapan agar