• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Baca dan pahami teks berikut!

Jakarta Butuh Revolusi Budaya yang Muda yang Berbudaya

Banyak orang buang sampah sembarangan. Tak mau antre. Parkir mobil di trotoar. Menyerobot lampu merah. Sekelompok anak muda ingin membenahinya.

Seorang perempuan mengaduh. Kakinya terinjak. Punggungnya didorong dari belakang. Dia dipaksa masuk ke dalam bus Transjakarta. Sesampainya di dalam kendaraan besar itu penderitaannya belum berakhir. Tidak ada tempat duduk. Terpaksalah ia berdiri. Dalam himpitan penumpang bus lain tubuhnya terdorong ke depan ke belakang. Pegangan tangannya hampir terlepas. Penumpang yang berdesak-desakan menopang tubuhnya hingga ia tidak sempat jatuh. ”Aduh ini mah brutalway, bukan busway ya”, keluhnya.

Padahal keberadaan bus Transjakarta yang memiliki jalur khusus (busway) adalah simbol kemodernan Jakarta. Tapi, perilaku penumpangnya ternyata belum memadai untuk ukuran masyarakat modern. Siapa saja yang pernah berjuang naik bus Transjakarta pada jam sibuk paham betapa kejamnya dunia menumpang bus dengan jalur khusus tersebut. Calon penumpang banyak berlomba masuk lebih dulu. Tak memakai aturan mendulukan penumpang keluar baru calon penumpang masuk bus.

Di sudut Jakarta lain, mata Dhany Ryandi membelalak. Pria berambut ikal itu tidak habis pikir bagaimana anak-anak sekolah dasar bisa sampai membuka situs khusus pria dewasa di internet. Dhany pun bangkit dari tempat duduknya. Tanpa pikir panjang ditegurnya anak-anak itu. ”Saya suruh mereka pulang”, kata dia. ”Bayangkan, anak SD udah bisa buka gambar porno di warnet”, ujarnya lagi.

Apa mau dikata. Zaman telah berubah. Bukan cuma anak yang makin rentan terpapar perilaku kurang baik. Anggota masyarakat yang lebih dewasa juga tidak kalah dalam hal terpengaruh budaya buruk. Maka, banyak orang emosi di jalan. Sama dengan bertambahnya tetangga yang tidak mengenal satu sama lain. Tindakan Dhany mungkin saja tidak berani dilakukan

orang lain. Mereka bisa saja memilih menutup mata. Alasannya, ”Bukan urusan gue”. Teman Dhany, Arief Maulana Sultan (23 tahun), juga memilih untuk hidup lebih peduli. Lahir, besar, dan bekerja di Jakarta membuatnya merasa ‘rumahnya’ makin lama makin kotor. Supaya gundukan sampah tidak menumpuk, Arief menerapkan cara sederhana. Disimpannya dulu sampah di kantong atau tasnya bila tempat sampah tidak ditemukan.

Selain itu, Arief berupaya pula menjadi orang yang lebih positif. Internal auditor Bank Lippo itu sadar tanpa pikiran jernih hidup serta lingkungannya dapat makin berantakan. ”Saya mencoba lebih mengerti kondisi orang lain”, terangnya. ”Belajar untuk mendengarkan dan lebih toleran”, sambungnya. Bagi Arief ‘gaya hidupnya’ yang baru itu bukan tanpa sebab. Kepedulian terhadap satu sama lain yang makin tipis harus diperhatikan. Arief tidak sudi Jakarta menjadi kota tanpa budaya. Kalau ada yang menganggapnya aneh, Arief memilih bersikap cuek. ”Who cares. Apa yang gue lakukan belum seberapa”, katanya. Sebenarnya semua juga demi dirinya sendiri.

Andri Gilang juga lahir dan besar di Ibu Kota. Seumur hidupnya dia mendengar pujian dari masyarakat luar negeri tentang betapa ramahnya orang Indonesia. Terpatri sudah dalam otaknya bahwa ia adalah bagian dari masyarakat yang berbudaya ramah. Ketika melanjutkan pendidikan di Sydney, Australia, semua berubah. Gilang bingung. Para bule yang ditemuinya di Negara Kanguru itu bersikap jauh lebih toleran terhadap sesama. Mengapa orang Jakarta - yang katanya pintu masuk Indonesia - sering berlomba-lomba mengedepankan kepentingannya sendiri?

Gilang yang baru pertama kali menginjak tanah asing memang terkejut melihat kesopanan orang Barat. ”Kalau ada orang mau menyeberang jalan, dari jauh saja mobil sudah berjalan pelan”, kata dia. ”Di Jakarta, baru mau nyeberang aja udah diklakson-klakson”.

Perilaku warga Jakarta yang seenaknya sudah terbukti sisi merugikannya. Sampah yang dengan tidak pedulinya ditumpahkan di sungai membantu banjir mengalir lancar kala hujan deras. Angkutan umum berhenti seenaknya. Tanpa teguran petugas Dinas Perhubungan dan tanpa rasa bersalah dari si sopir menyebabkan antrean panjang kendaraan di belakangnya. Waktu terbuang. Emosi terkuras. Harta menjadi mubazir. Padahal, menaati peraturan justru memudahkan hidup. ”Kalau saya naik motor dan berhenti di belakang garis putih di lampu merah, saya pasti melaju terlebih dulu saat lampu berubah hijau,” kata Muhammad Rusdi Indradewa (24 tahun). Dia melanjutkan, ”Karena mereka yang berhenti di depan garis tidak lihat lampu yang berubah warna”.

Di mana salahnya sampai banyak orang Jakarta yang perilakunya ‘tidak berbudaya’? Rusdi yang juga warga Jakarta asli merasa kota ini membutuhkan perbaikan. ”Jakarta harus Para bule yang

ditemuinya di Negara Kanguru itu bersikap jauh lebih toleran terhadap sesama. Mengapa orang Jakarta - yang katanya pintu masuk Indonesia - sering berlomba- lomba

mengedepankan kepentingannya sendiri?

jadi lebih baik”, kata dia. Maka, Rusdi menggagas terbentuknya komunitas peduli Jakarta. Namanya Jakarta Butuh Revolusi Budaya. Kata revolusi, ujar Rusdi, mungkin dipandang orang lain tidak tepat. Tapi, Rusdi yakin kalau warga Jakarta tidak diberi terapi kejut perbaikan gaya hidup orang-orangnya lebih sulit terwujud. Perilaku lebih sadar lingkungan yang diterapkan anggota Jakarta Butuh Revolusi Budaya boleh jadi masih jauh ideal. ”Saya percaya kalau tidak dimulai dari sekarang solusinya tidak akan pernah ada”, ujarnya.

Gilang mengatakan meski hidupnya terikat dengan niatnya menjadi warga Jakarta yang lebih baik, bukan berarti ia melakoninya tanpa cela. Kesalahan tidak akan luput dari perilakunya sebagai manusia. Namun, setidaknya Jakarta Butuh Revolusi Budaya menjadi pengingat bagi Gilang untuk selalu berbudaya baik.

Begitu pun Arief. Mimpinya adalah melihat Jakarta yang teratur. Mengamati perkembangan Jakarta di bawah pemimpin yang, tidak asal bicara. Arief percaya tanpa banyak bicara, cukup dengan menunjukkan keseriusannya menjadi orang yang lebih baik banyak orang yang melihat itu. “Langkah Jakarta Butuh Revolusi Budaya masih jauh. Kalau saya bersikap positif mudah- mudahan teman dan keluarga bisa terpengaruh positif”, kata dia. (ind)

(Sumber: http://www.jakartabutuhrevolusibudaya.com)

2. Ringkas teks berjudul “Jakarta Butuh Revolusi Budaya yang Muda yang Berbudaya” dengan menggunakan kalimat yang singkat! Sebutkan pokok pikiran dari teks tersebut dan lakukan identifikasi terhadap fakta dan pendapat dalam teks tersebut! (Sertakan bukti dan alasan yang mendukung temuanmu) 3. Berikan solusi penyelesaian atas permasalahan yang terkandung

dalam teks tersebut! Perhatikan langkah-langkah yang harus kamu lakukan dalam memberikan solusi penyelesaian! (Laporkan bagian per bagian).

4. Sampaikan penyelesaian terhadap permasalahan yang telah kamu bahas (berkelompok) di depan kelas! Ajukan pertanyaan atas solusi yang diungkapkan temanmu dan berikan tanggapan dan saran atas solusi tersebut!

5. Cari teks berita dari media cetak dengan tema budaya yang mengandung permasalahan untuk diselesaikan! Diskusikan secara berkelompok untuk mendapatkan solusi yang terbaik! Perhatikan langkah-langkah memberikan solusi penyelesaian! Laporkan hasil analisis yang telah kamu lakukan dalam bentuk laporan tertulis!

Mimpinya adalah melihat Jakarta yang teratur. Mengamati perkembangan Jakarta di bawah pemimpin yang, tidak asal bicara.

Pada materi yang membahas tentang cerita pendek, sekilas telah dibahas tentang unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Itu artinya kamu telah sedikit memahami unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam sebuah cerita. Coba lakukan pemahaman kembali terhadap bagian- bagian yang ada dalam unsur intrinsik dan ekstrinsik pada materi pelajaran sebelumnya.

Unsur intrinsik dan ekstrinsik akan selalu ada dalam setiap cerita, baik yang dituturkan maupun yang disampaikan secara tertulis. Umumnya, unsur intrinsik maupun unsur ekstrinsik dikaitkan dengan karya sastra yang berbentuk prosa. Dalam perspektif karya sastra, unsur intrinsik diartikan sebagai rangkaian unsur yang ada di dalam karya sastra itu sendiri, yang meliputi tokoh dan penokohan, alur (jalan) cerita, setting (latar) cerita, point of view (sudut pandang penceritaan), teknik penceritaan, dan tema yang digunakan dalam cerita. Sedangkan unsur ekstrinsik merupakan rangkaian unsur yang ada di luar karya sastra, yang meliputi, nilai sosial dan budaya yang dimunculkan dalam cerita, status sosial tokohnya yang dimunculkan, aspek moralitas dan religius yang digunakan dan banyak lagi unsur- unsur lain (Sudjiman, 1988). Perhatikan penggalan cerita pendek yang dikutip dari Media Indonesia, 17 April 2005.

“Warga dengan sukacita ramai-ramai menjual tanah miliknya. Dan dalam waktu yang tidak begitu lama, hampir separuh tanah desa telah jatuh ke tangan investor. Orang-orang kaya baru bermunculan di desa yang sebelumnya dikenal terbelakang itu. Beberapa warga menggunakan uang hasil penjualan tanah untuk membiayai upacara ngaben yang tertunda, merenovasi rumah menjadi lebih modern.

...

Bukan cuma tanah adat milik warga yang diincar investor, tetapi juga tanah milik adat dan pelaba pura yang berlokasi di pinggiran pantai berpasir putih. Tanah pelaba pura seluas satu hektar itu sangat menggiurkan investor karena cocok dipakai untuk kawasan hotel. Tetapi, rencana investor terganjal oleh ketidaksediaan Mangku Teguh menandatangani surat pembebasan tanah itu. Padahal, satu minggu lalu dalam sebuah paruman desa tokoh-tokoh adat dan warga telah bersedia dan setuju menjual tanah adat dan pelaba pura yang ditaksir investor. Keputusan paruman itu juga yang membuat Mangku Teguh murung. Ia kecewa dengan tindakan tetua adat. Ia merasa dilangkahi dan disepelekan, merasa nasihatnya tidak didengar. Namun sebelum paruman tetua adat pun telah melakukan pendekatan pada Mangku Teguh agar bersedia menandantangani surat pembebasan tanah pelaba pura. Karena ia tetap kukuh pada pendiriannya bahwa tanah pelaba pura tidak bisa dijual, para tetua adat kecewa tidak melibatkannya dalam paruman.”

...

Mendengarkan Cerita dan Mengidentifikasi Unsur Intrinsik dan