• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

II.2. MARKER INFLAMASI 1 LEUKOSIT

II.2.2 C-REACTIVE PROTEIN

C-reactive protein (CRP) pertama kali ditemukan pada tahun 1930 oleh William Tillet dan Thomas Francis. Pada penelitian, di dalam darah pasien-pasien yang menderita infeksi akut Streptococcus pneumonia ditemukan serum yang membentuk presipitan dengan ekstrak dari bakteri streptokokus. Ekstrak ini mula-mula dinamakan fraksi C yang kemudian diketahui sebagai polisakarida. Oleh karena itu substansi dalam serum hasil dari reaktivitas C-polisakarida dari dinding sel streptokokus disebut CRP. Ikatan kalsium dari CRP yang berikatan dengan afinitas tinggi terhadap phoshocholine (unsur dasar membran sel phospholipid, phosphatidylcholine). Jika terjadi kerusakan sel maka phosphatidylcholine akan terekspos dan mudah terjangkau oleh CRP (Semple, 2006; Husain dkk, 2002).

C-Reactive Protein merupakan protein fase akut dengan struktur homopentametric dan ikatan kalsium yang spesifik untuk phospocholine (PCh). C-Reactive protein merupakan bagian dari famili pentraxin nonglikosilasi yang termasuk dalam “lectin fold superfamily”. Molekul human CRP terdiri dari 5 subunit polipeptida nonglikosilasi (promoter) yang berkeliling non kovalen, tersusun secara cyclic pentametric simetris dan dirakit keliling dengan sebuah poros sentral dengan konfigurasi seperti sebuah piringan. Setiap subunit mempunya massa 23,027 Da (terdiri dari 206 asam amino residu) dan secara keseluruhan massa human CRP adalah 115,135 Da (Pepys dkk, 2003; Hirschfield dkk, 2003).

Gambar 2. Struktur Molekuler dan Morfologi dari CRP

Dikutip dari : Mark B. Pepys and Gideon M. Hirschfield. 2003. C-reactive protein: a critical update. J. Clin. Invest; 111:1805–1812

C-Reactive Protein disintesa dalam bentuk pecahan dari hepatosit lalu disekresikan kedalam sirkulasi darah. Produksi dari CRP di induksi oleh sitokin pro inflamasi IL-1 dan IL-17 di hati. Sitokin menekan efek bilologisnya terhadap CRP dengan memberikan sinyal melalui reseptor pada sel hepatik dan mengaktivasi kinase dan fosfatase yang berbeda, mengarah paa translokasi dari berbagai faktor transkripsi pada gen promoter dan produksi dari CRP (Di Napoli dkk, 2011).

Konsentrasi CRP sistemik dikatakan normal bila kurang dari 5 mg/L namun konsentrasi rata-rata pada populasi umum dan sedentary adalah 2 mg/L. Tidak ditemukan perbedaan konsentrasi ada pria maupun wanita. Tidak ditemukan pula perbedaan konsentrasi diurnal ataupun berdasarkan musim (Semple, 2006).

Konsentrasi CRP serum akan meningkat dalam 4 – 6 jam setelah injury jaringan dimulai dan akan meningkat sampai ratusan kali lipat dalam

24-48 jam. Konsentrasi CRP akan tetap tinggi selama respon fase akut, dan akan kembali normal dengan pulihnya struktur dan fungsi jaringan. Kenaikan CRP bersifat eksponensial, dan menjadi dua kali lipat setiap 8– 9 jam. Waktu paruh (half-life) dari CRP kurang dari 24 jam. Pengukuran CRP dapat dilakukan secara langsung dan kuantitatif. Pengukuran CRP serial dapat digunakan sebagai alat diagnostik untuk infeksi, kemajuan pengobatan, atau deteksi awal peradangan ulang (Husain dkk,2002).

Fungsi utama CRP adalah berikatan dan detoksifikasi terhadap toksik endogen yang diproduksi sebagai hasil dari kerusakan jaringan. C- Reactive Protein juga membantu pemindahan sel yang mati, sel-sel asing (seperti mikroba) melalui ikatan fosfokolin pada permukaan sel, aktivasi sistem komplemen dan inisiasi, opsoniasi dan fagositosis (Volanakis,2001; Coric dkk, 2012).

II. 3 PROCALCITONIN

Procalcitonin adalah polipeptida yang terdiri dari 116 asam amino dan merupakan prohormon calcitonin. Calcitonin terdiri dari 32 asam amino, sedangkan PCT dibentuk oleh prePCT yang terdiri dari 141 asam amino dengan bobot molekul 16 kDa. Pemecahan terjadi di sel C kelenjar tiroid. Pemeriksaan semikuantitatif PCT sangat praktis dan dapat digunakan secara bed-side. Peningkatan PCT yang cukup besar terjadi bila terdapat reaksi peradangan sistemik yang disebabkan oleh endotoksin bakteri, eksotoksin, dan beberapa jenis sitokin. Beberapa

penyakit di luar infeksi yang dapat meningkatkan PCT antara lain malaria penyakit jamur,penyakit autoimun, bedah jantung, pankreatitis, luka bakar, penyakit Kawasaki dan syok kardiogenik. Terjadi peningkatan sedikit kadar PCT pada keadaan infeksi virus, neoplastik, dan penyakit autoimun, sedangkan pada infeksi bakteri kronik tanpa inflamasi, reaksi alergi, dan infeksi bacterial yang terlokalisasi tidak didapatkan peningkatan PCT. Konsentrasi normal PCT dalam serum/plasma di bawah 0,5 ng/ml. Pada keadaan inflamasi kronik dan penyakit autoimun, infeksi virus, dan infeksi lokal kadar PCT <0,5 ng/ml, sedangkan pada keadaan SIRS, multipel trauma, dan luka bakar kadar PCT 0,5–2 ng/ml dan kadar PCT >2 (paling sering 10–100) ng/ml merupakan prediktor infeksi berat, sepsis, dan kegagalan beberapa organ (multiple organ failure) (Iskandar dkk, 2010).

Pemeriksaan PCT merupakan surrogate marker untuk infeksi, dalam kaadaan normal PCT dimetabolisme menjadi kalsitonin, pada keadaan infeksi atau stres lain perubahan PCT menjadi kalsitonin terganggu sehingga kadar PCT meningkat (Iskandar dkk,2010).

Mekanisme tentang sintesa dan peran PCT setelah peradangan sampai sekarang sama sekali tidak diketahui. Selama infeksi mikroba, akan terjadi peningkatan ekspresi gen CALC-I yang menyebabkan pelepasan PCT dari seluruh jaringan parenkim dan seluruh sel terdiferensiasi di seluruh tubuh. Pelepasan PCT pada saat peradangan diinduksi dalam dua jalur utama yaitu: cara langsung diinduksi oleh toksin atau lipopolisakarida yang dilepaskan oleh mikroba, dan induksi tidak

langsung melalui respon immun pejamu yang bersifat cell-mediated yang dimediasi oleh sitokin inflamasi (seperti interleukin-1b [IL-1b], interleukin-6 [IL-6], tumor necrosis factor-α [TNF-α]) (Hatzizsilianou, 2011).

Pada infeksi bakteri, serum PCT nilainya akan meningkat 4 jam setelah onset infeksi bakteri, dan puncaknya antara 8 dan 24 jam (Kibe dkk,2011). Procalcitonin bukan hanya merupakan marker spesifik untuk infeksi, tetapi juga dapat digunakan sebagai monitoring respon penjamu terhadap infeksi dan pengobatan. Jika nilai PCT turun lebih dari 30% dari nilai awal setelah onset 24 jam pengobatan antibakteri, ini mengindikasikan bahwa pengobatan sesuai dan infeksi dapat dikontrol. Tetapi jika nilai PCT meningkat, ini menunjukkan pengobatan anti mikroba harus diganti. Jika nilai PCT secara terus menerus meningkat, ini menunjukkan respon penjamu untuk terserang infeksi sangat buruk dan sistem imun penjamu harus diperkuat (Hatzizsilianou, 2011).

Pada gambaran endokrin yang lalu, kalsitonin matur kebanyakan dihasilkan pada neuroendokrin sel C dari tiroid. Jika tidak ada infeksi, transkripsi ekstratiroid dari gen CALC-1 akan tertekan dan terbatas ekspresi selektif pada sel neuroendokrin yang dijumpai pada tiroid dan paru. Pada sel neuroendokrin, hormon yang matur akan diproses dan disimpan pada granul sekretoris. Jika ada infeksi mikroba akan menginduksi peningkatan dari ekspresi gen CALC-1 dan melepaskan PCT dari semua jaringan parenkim dan perbedaan tipe sel dalam tubuh (Christ- Crain M dan Müller B, 2005).

Dokumen terkait