• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN

A. Kerangka Teori

2. Campur Kode

a. Pengertian Campur Kode

Seseorang yang belum bisa berbahasa Indonesia dengan benar, biasanya masih memasukkan unsur-unsur bahasa lain ke dalam bahasa percakapan sehari-harinya, terutama pada masayarakat daerah seperti di Jawa, Sunda, dan lain sebagainya. Masyarakat di darah tersebut biasanya masih mencampurkan dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dengan bahasa daerahnya dalam berinteraksi. Sebelum membahas campur kode, sebaiknya kita mengetahui pengertian kode. Kode biasanya berbentuk

7

P. W. J Nababan, Sosiolingusitik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 3.

8

R. Kunjana Rahardi, Kajian Sosiolinguistik Ihwal Kode dan Alih Kode, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 16.

12 variasi bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi anggota suatu masyarakat bahasa. Kode bahasa ialah sistem bahasa dalam suatu masyarakat.

Campur kode merupakan terjemahan dan padanan istilah

code mixing dalam bahasa Inggris. Nababan menjelaskan campur kode adalah suatu keadaan berbahasa lain yaitu bilamana orang mencampur dua (atau lebih bahasa) atau ragam dalam suatu tindak berbahasa (speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu menuntut percampuran bahasa tersebut.9 Campur kode terjadi apabila seorang penutur bahasa, misalnya bahasa Indonesia memasukkan unsur-unsur bahasa daerahnya ke dalam pembicaraan bahasa Indonesia. Dengan kata lain, seseorang yang berbicara dengan kode utama bahasa Indonesia yang memiliki fungsi keotomiannya, sedangkan kode bahasa daerah yang terlibat dalam kode utama merupakan serpihan-serpihan saja tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode. Seorang penutur misalnya, yang dalam berbahasa Indonesia banyak menyelipkan kata-kata atau sedikit kalimat bahasa daerahnya, bisa dikatakan telah melakukan campur kode. Akibatnya, akan muncul satu ragam bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan (jika bahasa daerahnya adalah bahasa Jawa), kesunda-sundaan (jika bahasa daerahnya adalah bahasa Sunda), dan lain sebagainya.

Thalender berpendapat, perbedaan alih kode dan campur kode yaitu bila di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode, tetapi apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frasa-frasa yang digunakan terdiri dari klausa dan frasa campuran (hybrid cluses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak

9

13 lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode, bukan alih kode. Fasold juga menjelaskan perbedaan alih kode dan campur kode. Menurutnya, jika seseorang menggunakan satu kata atau frasa dari satu bahasa, dia telah melakukan campur kode. Tetapi apabila satu klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatikal satu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menurut struktur gramatikal bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.10 Artinya, campur kode terjadi apabila dalam berbicara terdapat dua bahasa dalam satu kalimat atau menggunakan beberapa kata bahasa lain dalam satu kalimat.

Wardaugh menjelaskan bahwa campur kode terjadi ketika seseorang menggunakan dua bahasa dengan sama fasihnya sehingga mereka dapat menggunakan kedua bahasa tersebut secara bergantian dalam sebuah tuturan tunggal.11 Hudson mendifinisikan campur kode sebagai cara untuk melambangkan situasi yang ambigu di mana tidak dapat dikatakan secara tepat dalam bahasa lainnya, sehingga untuk memperoleh efek yang tepat penutur menyeimbangkan bahasanya sebagai semacam “koktail bahasa” (linguistic cocktai).12 Campur kode juga bisa terjadi apabila tidak ada ungkapan yang tepat atau padanan kata yang lain, sehingga seseorang memasukkan unsur-unsur bahasa lain kedalam tuturannya.

Beberapa wujud campur kode adalah dapat berupa kata, frasa, klausa, singkatan, kalimat, dan penyisipan ungkapan atau idiom.

10

Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 115.

11

Ronald Wardaugh, An Introduction to Sosiolinguistics, (Oxford: Basil Blackwell, 1986), h. 101.

12

14 1). Kata

Kata dalam tataran morfologi adalah satuan gramatikal yang bebas dan terkecil. Dalam tataran sintaksis kata dibagi dua yaitu kata penuh (leksikal) dan kata tugas (gramatikal). Kata penuh adalah kata yang termasuk kategori nomina, verba, adjektiva, adverbial, dan numeralia, sebagai kata penuh memiliki makna leksikal masing-masing dan mengalami proses morfologi. Sebaliknya, kata tugas adalah kata yang berkategori preposisi dan konjungsi, tidak mengalami proses morfologi dan merupakan kelas tertutup, dalam peraturan tidak dapat berdiri sendiri.13 Dalam bahasa Indonesia, terdapat beberapa kelas kata. Kelas kata adalah perangkat kata yang sedikit banyak berperilaku sintaktis sama. Pembagian kelas kata dalam bahasa Indonesia yaitu:

a). Verba, dapat diketahui dengan mengamati perilaku semantis, perilaku sintaksis, dan bentuk morfologisnya. Contoh verba yaitu mati, jatuh, mengering, mengecil, dan meninggal.

b). Adjektiva adalah kata yang memberikan keterangan lebih khusus tentang sesuatu yang dinyatakan oleh nomina dalam kalimat. Contoh adjektiva yaitu aman, bersih, berat, ringan, merah, dan putih.14

c). Nomina adalah kategori yang secara sintaksis tidak mempunyai potensi untuk bergabung dengan partikel tidak, dan mempunyai potensi untuk didahului oleh partikel dari. Contoh

13

Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), Cet. Ke-2, h.222.

14

Hasan Alwi, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa dan Balai Pustaka, 2010), h. 91-177.

15 nomina yaitu batu, kertas, radio, udara, dan ketela.

d). Pronomina adalah kategori yang berfungsi untuk menggantikan nomina. Contoh pronomina yaitu kami-kami, dia, Pak Karta, memilikinya,

dengannya, dan aku.

e). Numeralia adalah kategori yang dapat mendampingi nomina dalam konstruksi sintaksis, mempunyai potensi untuk mendampingi numeralia lain, dan tidak dapat bergabung dengan tidak atau dengan sangat.

Contoh Numeralia yaitu Dua tambah dua sama dengan empat, gunung Semeru lebih dari 1000 kaki tingginya.

f). Adverbia adalah kategori yang dapat mendampingi ajektiva, numeralia, atau proposisi dalam konstruksi sintaksis. Contoh adverbia yaitu alangkah, agak, akan, amat, bisa, dan belum.

g). Introgativa adalah kategori dalam interogatif yang berfungsi menggantikan sesuatu yang ingin diketahui oleh pembicara atau mengukuhkan apa yang telah diketaui pembicara. Contoh introgativa yaitu apa, bila, kapan, mana, apakah, bagaimana, dan lain sebagainya.

h). Demonstrativa adalah kategori yang berfungsi untuk menunjukkan sesuatu di dalam maupun di luar wacana. Contoh demostrativa yaitu di sana, di sini, di situ, ini, dan lain sebagainya.

16 i). Artikula adalah kategori yang mendampingi nomina dasar (misalnya si kancil, sang dewa,

para pelajar), nomina deverbal (misalnya si

terdakwa, si tertuduh), pronomina (misalnya si

dia, sang aku), dan verba pasif (misalnya kaum

tertindas, si tertindas) dalam konstruksi ekosentris yang berkategori nominal.

j). Preposisi adalah kategori yan terletak di depan kategori lain (terutama nomina) sehingga terbentuk frase eksosentis direktif. Contoh preposisi yaitu ia tinggal dalam rumah, di antara mereka terjalin cinta kasih yang tulus, dan lain sebaginya.

k). Konjungsi adalah kategori yang berfungsi untuk meluaskan satuan yang lain dalam konstruksi hipotaktis dan selalu menghubungkan dua satuan lain atau lebih dalam konstruksi. Contoh konjungsi yaitu karena, maka, tetapi, dan lain sebagainya.

l). Kategori Fatis adalah kategori yang bertugas memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan komunikasi antara pembicara dan kawan bicara. Contoh kategori fatis yaitu kok, deh, selamat, -lah, dan pun.

m). Interjeksi adalah kategori yang bertugas mengungkapkan perasaan pembicara, dan secara sintaksis tidak berhubungan dengan kata-kata lain dalam ujaran.15

Jenis-jenis interjeksi adalah:

(1). Interjeksi kejijikan: bah, cih, cis, ih, idih.

15

Harimurti Kridalaksana, Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia, 2007), h. 51-124.

17 (2). Interjeksi kekesalan: brengsek, sialan,

buset, keparat, wah, yaa.

(3). Interjeksi kekaguman atau kepuasan:

aduhai, amboi, asyik, astaga, ai, hm, wah, yahud.

(4). Interjeksi kesyukuran: syukur, Alhamdulillah, nah.

(5). Interjeksi harapan: Insya Allah

(6). Interjeksi keheranan: aduh, aih, ai, loh, duilah, eh, oh, ah.

(7). Interjeksi kekagetan: astaga, astaghfirullah, masyaAllah.

(8). Interjeksi ajakan: ayo, mari.

(9). Interjeksi panggilan: hai, he, eh, halo.

(10). Interjeksi simpulan: nah.16

2). Frasa

Frasa adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat. Pembentukan frasa itu harus berupa morfem bebas, bukan berupa morfem terikat. Contoh belum mandi dan tanah tinggi adalah frasa, sedangkan tata boga dan interlokal bukan frasa, karena boga dan inter adalah morfem terikat.17

3). Klausa

Klausa adalah satuan sintaksis berbentuk rangkaian kata-kata yang berkontruksi predikatif, di dalam klausa ada kata atau frasa yang berfungsi sebagai predikat, dan yang lain berfungsi sebagai

16

Hasan Alwi, op. cit., 309.

17

18 subjek, sebagai objek, dan sebagai keterangan. Selain fungsi predikat yang harus ada dalam kontruksi klausa ini, fungsi subjek boleh dikatakan bersifat wajib, sedangkan yang lainnya bersifat tidak wajib.18

4). Singkatan

Singkatan ialah bentuk yang dipendekkan yang terdiri atas satu huruf atau lebih. Misalnya:

a). Sdr. : Saudara. b). S. Pd : Sarjana Pendidikan.

c). DPR : Dewan Perwakilan Rakyat. d). Dll : Dan lain-lain. e). Dsb : Dan sebagainya.19 5). Kalimat

Kalimat adalah satuan bahasa terkecil dalam wujud lisan ataupun tulisan yang mengungkapkan pikiran yang utuh. Dalam wujud lisan, kalimat diucapkan dengan suara naik turun dan keras lembut, disela jeda, dan diakhiri dengan intonasi akhir yang diikuti oleh kesenyapan yang mencegah terjadinya perpaduan ataupun asimilasi bunyi ataupun proses fonologis lainnya.20

6). Idiom

Idiom adalah bahasa yang teradatkan, artinya bahasa yang sudah biasa dipakai seperti itu dalam suatu bahasa oleh para pemakainya. Idiom ini sudah tidak dapat lagi menanyakan mengapa kata itu begitu dipakai, mengapa begitu susunannya, atau mengapa begitu artinya. Hubungan makna idiom itu bukanlah

18

Ibid., h. 231.

19

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Ejaan Bahasa Indonesia yang di Sempurnakan, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 23.

20

19 makna sebenarnya kata itu, idiom tidak dapat diartikan secara harfiah ke dalam bahasa lain. Misalnya, idiom duduk perut dalam bahasa Indonesia yang artinya „hamil‟ (Wanita itu sedang duduk perut) tak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa lain dengan mencari kamus kata duduk lalu perut, kemudian menjajarkannya seperti bahasa Indonesia itu.21

Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pada fenomena campur kode adalah seorang penutur pada dasarnya menggunakan sebuah varian suatu bahasa. Pada penggunaan itu, dia menggunakan serpihan-serpihan kode dari bahasa yang lain atau terjadinya peristiwa campur kode. Wujud campur kode tersebut dapat berupa kata, frasa, klausa, singkatan, kalimat, maupun idiom.

Campur kode merupakan fenomena yang terjadi karena masuknya serpihan unsur suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain. Hal ini tidak berarti bahwa tidak ada sebab terjadinya campur kode. Ada kemungkinan campur kode terjadi karena faktor individu, seperti ingin menunjukkan status, peran, dan kepakaran. Ada juga kemungkinan sebab kurangnya unsur bahasa yang digunakan.

Jadi, dapat disimpulkan campur kode adalah percampuran dua bahasa atau percampuran satu unsur kode ke kode lain yang digunakan oleh seseorang dalam berinteraksi yang berlatarbelakang kesantaian penutur atau situasi informal, tidak ada ungkapan yang tepat, dan ingin memamerkan kedudukannya atau keterpelajarannya.

b. Tipe Campur Kode

Suwito menyatakan, campur kode diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu campur kode bersifat ke dalam (intern) dan campur kode bersifat keluar (ekstern). Campur

21

J. S Badudu, Inilah Bahasa Indonesia yang Benar III, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 47-48.

20 kode ke dalam (intern) apabila bersumber dari bahasa asli dengan segala variasi-variasinya. Contoh campur kode ke dalam (intern) dalam dialog, sebagai berikut:

“nanti masnya matur dulu aja ke orangtua, kalo biayanya kurang lebih Rp. 300.000”

Kata matur dalam teks di atas adalah bentuk campur kode, penggunaan kata matur sebenarnya bisa dihindari sebab kata tersebut sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia, penggunaan kata matur sesuai dengan budaya yang berlaku di daerah tempat tuturan terjadi. Kata matur menunjukkan perwujudan kedaerahan, yaitu Jawa. Bahasa Jawa adalah bahasa yang hidup dalam wilayah politik sama dengan bahasa Indonesia. Bahasa Jawa juga memiliki hubungan genetis dengan bahasa Indonesia. Dengan demikian, teks di atas merupakan campur kode intern atau ke dalam.

Campur kode ke luar (ekstern) yaitu apabila serpihan bahasa tersebut bersumber dari bahasa asing. Dengan demikian, hubungan campur kode tipe ini adalah keasingan antar bahasa yang terlibat.

Contoh campur kode ekstern dalam dialog:

“data-data yang ada di phone memory kemungkinan akan hilang seperti nomor-nomor telepon, pesan, kalender, dan

catatan.”

Kata Phone memory dalam teks tersebut berasal dari bahasa Inggris. Bahasa Inggris tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan bahasa Indonesia, antara kedua bahasa tersebut juga tidak ada hubungan genetis. Oleh sebab itu tipe campur kode pada kata tersebut adalah tipe campur kode keluar atau ekstern.22

22

21 Jadi dapat disimpulkan, tipe campur kode terbagi menjadi dua yaitu campur kode ke dalam (intern code mixing), dan campur kode ke luar (ekstern code mixing). Campur kode ke dalam yaitu apabila bahasa tersebut masih memiliki hubungan kekerabatan secara geografis, seperti bahasa daerah dicampur dengan bahasa daerah yang lain. Campur kode ke luar yaitu apabila bahasa tersebut tidak memiliki hubungan kekerabatan secara geografis, seperti bahasa Indonesia dicampur dengan bahasa asing.

c. Latar Belakang Terjadinya Campur Kode

Ada empat faktor yang mempengaruhi terjadinya campur kode, yaitu:

1). Partisipan. Penutur yang melakukan campur kode terhadap lawan bicaranya adalah kerena mereka memiliki tujuan dan maksud tertentu. Apabila sekelompok orang berbicara dalam bahasa mereka, lalu kemudian masuk penutur dalam bahasa lain, maka mereka (kelompok bahasa pertama) akan mengalihkan kode (bahasa), topik atau bahkan keduanya. Melihat kepada sifat penutur bahasa pertama, ada maksud dan tujuan dari campur kode tersebut sebagaimana kelompok bahasa pertama akan mengubah situasi seketika tanpa ada jeda atau jarak waktu. Contoh:

A : Well I‟m glad I met you. Ok? M : Andale pues and do come again. (That‟s alright than, and do come again) “Ok kalau begitu, datanglah lagi”

(Campur kode antara bahasa Spanyol dan Inggris). Dengan menggunakan kutipan bahasa Spanyol, M memberi tanda kepada A bahwa dia menyadari relevansi dari percampuran latar belakang etnik mereka yang berbeda.

22 Kutipan tersebut menunjukkan penanda keakraban antara dua anggota kelompok etnis yang berbeda dimana percakapan sebelumnya dituturkan dalam bahasa Inggris.23 2). Solidaritas. Penutur dapat melakukan alih kode/campur kode

ke dalam bahasa lain sebagai penanda dari kelompok tertentu dan percampuran etnis dengan pendengar. Walaupun penutur tidak memiliki kemampuan yang memadai dalam bahasa kedua, namun ia mampu menggunakan kata-kata atau frasa-frasa yang singkat untuk tujuan tertentu yang dimilikinya. Contoh:

Sarah : I think everyone‟s here except Mere.

John : She said she might be a bit late but actually I think that‟s her arriving now.

Sarah : You‟re right. Kia ora Mere. Haere mai. Kie te pehea koe?

(Hi Mere. Come in. How are you?)

“Kamu benar. Hi Mere. Masuklah. Apa kabar?” Mere : Kia ora hoa. Kei te pai. Have you started yet? (Hello my friend. I‟m fine)

“Hai temanku. Saya baik-baik saja. Sudahkah anda mulai?”

Pada percakapan di atas, campur kode terjadi dalam percakapan bahasa Inggris sebagai bahasa utama, dan Maori sebagai kode yang dicampurkan. Beberapa orang terkadang melakukan campur kode dalam sebuah situasi sosial atau wilayah tertentu. Ketika terjadi suatu perubahan yang jelas dalam sebuah situasi, seperti datangnya seseorang yang baru, maka mudah dijelaskan mengapa campur kode tersebut terjadi.24

23

Janet Holmes, An Inroduction to Sociolinguistics, (New York: Longman, 1993), h. 42

24

23 3). Status. Peralihan kode juga dapat merefleksikan perubahan kepada dimensi yang berbeda, seperti hubungan status antara beberapa orang atau keformalitasan interaksi mereka. Semakin formal suatu hubungan, yang terkadang juga melibatkan perbedaan status, seperti dokter-pasien, administrator-klien, guru-murid. Status kedekatan menimbulkan kesenjangan sosial yang minim, seperti tetangga atau teman. Contoh:

Jan : Hello Petter. How is your wife now?

Petter : Oh she‟s much better thank you Jan. She‟s out of hospital and convalesching well.

Jan : That‟s good I‟m pleased to hear it. Do you think you could help me with this Pesky from? Iam having a great deal of difficult with it.

Petter : Of course. Give it there...

Percakapan tersebut terjadi di sebuah tempat di Hemnesberget, antara dua orang yang bertetangga, Jan dan Petter. Dalam percakapan tersebut terjadi perubahan topik diskusi yang pada akhirnya juga menimbulkan pengalihan kode. Kenyataannya perubahan topik di sini menyimbolkan hubungan yang berbeda antar laki-laki. Mereka mengalihkan peran dari seseorang yang saling bertetangga kepada peran mereka sebagai birokrat dan anggota masyarakat. Mereka merubah interaksi pribadi mereka kepada transaksi yang lebih formal.25

Dari pendapat Janet Holmes di atas, dapat disimpulkan latar belakang terjadinya campur kode yang pertama adalah partisipan, yaitu beberapa orang yang sedang berbicara, kemudian muncul seseorang dengan menggunakan bahasa lain, maka mereka akan mencampurkan kedua bahasa agar saling

25

24 mengerti maksud pembicaraan keduanya. Campur kode ini memiliki tujuan dan maksud tertentu. Kedua solidaritas, yaitu untuk menandakan seseorang dari kelompok tertentu. Ketiga status, yaitu karena kesenjangan sosial yang mengakibatkan pembicaraan semakin formal sehingga terjadinya campur kode.

Nababan menyatakan latar belakang terjadinya campur kode adalah sebagai berikut:

1). Kesantaian penutur dan kebiasaan penutur dalam situasi informal,

2). Tidak ada ungkapan yang tepat dalam bahasa yang sedang dipakai, dan

3). Ingin memamerkan keterpelajarannya/ kedudukannya.26 Dari penjelasan Nababan di atas, latar belakang terjadinya campur kode yaitu yang pertama adalah kesantaian penutur, hal ini disebabkan santainya penutur ketika berbicara dengan lawan tutur, sehingga terjadinya campur kode ketika mengucapkan beberapa kata atau kalimat dalam menggunakan bahasa asing atau bahasa daerah, yang tidak menuntut harus menggunakan satu bahasa saja. Kedua adalah situasi informal, yaitu situasi yang tidak resmi seperti di pasar, rumah, sekolah, dan lain sebagainya yang tidak mengharuskan untuk menggunakan bahasa resmi sehingga seseorang bebas untuk menggunakan dua bahasa (bilingual). Ketiga adalah kebiasaan penutur, yaitu seseorang terbiasa menggunakan serpihan bahasa asing atau bahasa daerah karena bahasa tersebut sering diucapkan dalam kehidupan sehari-hari, dalam pergaulan di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan dalam rumah. Terakhir, tidak ada ungkapan yang tepat untuk menggantikan bahasa yang sedang dipakai, maksudnya adalah seseorang memakai beberapa kata menggunakan bahasa Inggris atau bahasa daerah karena

26

25 tidak ada padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia, sehingga penutur memakai beberapa serpihan bahasa asing atau bahasa daerah ketika berkomunikasi dengan lawan tuturnya.

Dari beberapa pendapat di atas mengenai latar belakang terjadinya campur kode, peneliti menggunakan latar belakang terjadinya campur kode menurut Nababan yaitu kesantaian penutur, situasi informal, kebiasaan penutur, dan tidak ada ungkapan atau padanan kata yang tepat untuk menggantikan bahasa tersebut.

Dokumen terkait