• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cara Memasukkan dan Mengeluarkan Sangar – sangar

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

B. Cara Memasukkan dan Mengeluarkan Sangar – sangar

sarune.

Setelah kelima tahap di atas selesai dikerjakan, maka dapat dikatakan bahwa proses pembuatan sarune Pakpak yang merupakan alat musik tradisional Pakpak ini telah selesai, artinya setelah kelima bagian di atas disusun sesuai dengan tempatnya, maka sarune tersebut siap untuk dimainkan.

3.3.3 Pengklasifikasian Sarune Pakpak.

Untuk menentukan klasifikasi instrumen sarune Pakpak, penulis menggunakan atau mengacu pada pendapat Sachs dan Hornbostel serta sistem pengklasifikasian yang terdapat pada masyarakat pemilik instrumen ini.

Sachs–Hornbosterl mengatakan banwa pengklasifikasian alat musik dapat dikelompokkan ke dalam empat bagian yang besar, yakni Idiophones, yaitu kelompok alat musik yang sumber getarannya ditentukan oleh bentuk alami benda itu, atau bisa dikatakan bahwa suara yang dihasilkan berasal dari badan benda itu sendiri. Chordophones, yaitu kelompok instrumen musik yang sumber suaranya berasal dari senar yang terdapat pada alat itu sendiri. Membranophones, yakni alat musik yang sumber suaranya berasal dari membrane, atau kulit yang diregang pada alat musik tersebut, dan aerophones, yaitu alat musik yang sumber getar suaranya berasal dari udara, artinya suara yang diproduksi adalah melalui suatu getaran udara.

Berdasarkan pengklasifikasian di atas, dan setelah mengamati dari segi bentuk dan proses penghasilan bunyi pada sarune Pakpak, maka sarune Pakpak dapat diklasifikasikan kedalam aerophones berlidah ganda (doble reed), dan juga bisa digolongkan ke dalam aerophones berlidah empat (quartdouple) karena ada beberapa sarune yang reednya sebanyak empat lapis dengan jenis oboe.

Sementara jika berdasarkan pengklasifikasian alat musik yang dilakukan oleh masyarakat Pakpak, maka sarune Pakpak dapat digolongkan kedalam kelompok gotci, tapi juga bisa dikelompokkan kedalam oning-oningen. Hal tergantung kepada penyajiannya, yakni jika sarune Pakpak dimainkan bersamaan dengan alat musik tradisional Pakpak lainnya dalam bentuk ensambel, maka

dimainkan secara sendiri (solo/single atau tunggal), maka sarune Pakpak digolongkan ke dalam kelompok oning-oningen.30

No.

Selain berdasarkan penyajiannya, masyarakat Pakpak juga mengelompakkan alat musiknya berdasarkan cara memainkannya, sehingga berdasarkan cara memainkan, semua alat musik tradisional Pakpak dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu : Sipaluun, kelompok alat musik yang cara memainkannya adalah dipukul, sisempulen, yaitu alat musik yang cara memainkannya adalah dihembus atau ditiup, sipiltiken, yaitu alat musik yang dimainkan dengan cara dipetik. Dengan demikian sarune Pakpak dapat dikelompokkan kedalam jenis sisempulen (ditiup).

Tabel-1. Instrumen tradisional Pakpak dan pengelompokannya.

Nama Instrumen Gotci

oning-

oningen Sipalun Sipiltiken

Sisempul- en

1 Genderang (gendang 1 sisi) - - -

2 Gendang (gendang 2 sisi) - - -

3 Gerantung (gong chimes) - - -

4 Mbotul (sejenis talempong) - -

5 Gung (gong) - - -

6 Kalondang (silofon) - -

30

Selain sarune, alat musik lain yang dapat digolongkan kedalam oning-oningen adalah lobat, kecapi, suling, dan genggong. Artinya alat musik di atas dapat dipertunjukkan / dimainkan secara tunggal (solo). Sementara alat musik yang tidak pernah dipertunjukkan secara tunggal adalah Genderang, dan juga gung, sehingga kedua alat musik ini harus dikelompokkan kedalam

7 Kettuk (bamboo idiofon) - - - 8 Kecapi (lute) - - 9 Sarune (oboe) - - 10 Lobat (rekorder) - - 11 Gennggong (idio-aero chordo) - -

12 Tengtung (bamboo idiofon) - - -

BAB IV

KAJIAN FUNGSIONAL SARUNE PAKPAK

4.1 Penyajian Sarune Pakpak

Dalam hal penyajian sarune pada budaya Pakpak, penulis membagikannya kedalam empat tahap penyajian sesuai dengan perkembangan sarune yang berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari hasil penelitian di lapangan melalui wawancara dengan pemain musik tradisional yang cukup dikenal di masyarakat Pakpak Bharat. Keempat tahap tersebut adalah pertama (awal), tahap kedua, tahap ketiga adalah pada awal abad ke 20 (dua puluh), dan tahap yang keempat adalah pada masa setelah awal abad ke 20 (dua puluh).

4.1.1 Tahap Awal.

Seperti yang telah diuraikan dalam sejarah sarune yang tertera pada awal tulisan ini, bahwa pada awalnya penyajian sarune Pakpak bertujuan untuk menghibur orang lain yang sedang mengalami kesusahan dan juga untuk menghibur para petani yang tengah bekerja di ladang atau persawahan.

Berdasarkan sejarah pembuatannya, pada awalnya, sarune Pakpak ini diciptakan berdasarkan ilham dari beberapa jenis suara yang ada di lingkungan tempat tinggal masyrakat Pakpak. Suara yang dimaksud adalah seperti suara angin yang berhembus meniup daun-daun yang berada di hutan tepatnya ditempat sepasang suami istri bertempat tinggal, pada saat itu suasana yang sunyi dan sepi membuat hati sang istri merasakan sedih yang amat mendalam, namun mereka

harus tetap menjalani kondisi seperti itu dalam kehidupan mereka sehari-hari. Saat itu, hanya suara angin dan beberapa kicauan burunglah yang dapat menghibur mereka untuk beberapa saat. Namun suara angin dan kicauan burung tersebut tidak selalu ada untuk menghibur mereka, terkadang suara angin dan burung tidak datang disaat mereka membutuhkannya. Sehingga untuk mengatasi hal ini, sang suami menciptakan alat musik lobat yang terbuat dari bambu untuk menirukan suara burung yang sedang berkicau, dan ia menciptakan sarune untuk menirukan suara angin yang tengah berhembus.

Sehingga dari ceritera di atas, boleh dikatakan bahwa Sarune Pakpak pada saat itu diciptakan untuk menghibur orang yang tengah mengalami kesedihan, kesunyian, atau mungkin juga yang tengah mengalami kesulitan. Dengan dimainkannya alat musik ini diharapkan mereka dapat terhibur.

4.1.2 Tahap kedua.

Pada awalnya, sarune Pakpak tercipta hanyalah sebagai sebuah alat musik tiup yang yang dimainkan guna untuk menghibur seseorang yang sedah bersedih, namun pada beberapa tahun kemudian, alat musik ini digunakan sebagai alat yang dapat mempengaruhi pikiran orang lain, seperti seorang pemuda yang memainkan

sarune untuk memikat hati gadis yang disukainya. Melalui bunyi melodis yang

dihasilkan diyakini dapat membuat pikiran gadis yang dituju menjadi tergila-gila kepada pemuda yang memainkan sarune tersebut. Agar tujuan di atas bisa tercapai, alat musik ini akan dimainkan ditempat yang sepi, dimana sang gadis dapat mendengarnya. Menurut Hasran Manik (55 tahun), jika gadis yang

ditujunya dapat mendengar, biasanya gadis tersebut akan terhipnotis dan akhirnya datang menghampiri asal suara tersebut, lalu ia akan menawarkan bantuan atau suatu usaha yang lain yang dapat menyenangkan hati si pemain sarune tersebut.

Namun kondisi seperti ini, secara lambat laun semakin berkurang, terutama saat kolonialis Belanda datang dan memasuki wilayah Pakpak, pada saat itu, para penjajah dari Belanda tersebut memasukkan pengaruh kolonialisasinya di tanah Pakpak. Mereka mulai melarang orang Pakpak untuk memainkan segala alat musik, mereka juga melarang masyarakat Pakpak untuk menggunakan unsur magis, dan jika salah satu dari masyarakat Pakpak pada saat itu kedapatan sedang mempergunakan unsur magisnya, maka ia akan dihukum siksa oleh penjajah tersebut.

4.1.3 Tahap ke tiga (awal abad ke 20).

Pada awal abad ke 20, para tokoh adat dan tokoh musik dari Pakpak berniat untuk memasukkan sarune Pakpak ke dalam ensambel genderang (jenis ensambel musik adat Pakpak) yaitu dalam konteks upacara adat suka cita (kerja mbaik) dan upacara adat duka cita (kerja njahat). Hal ini didasari oleh pertimbangan bahwa pada masa itu hanya masyarakat Pakpaklah yang tidak memasukkan sarune kedalam ensambel musik adatnya, sementara pada suku Batak lainnya, seperti Batak Toba, Karo, Simalungun, dan Mandailing telah memasukkan alat musik

sarune ke dalam ensambel musik mereka yang dapat dilihat dari penyajian alat

Hal yang sama diungkapkan oleh Tender Sitakar (59 tahun), selain itu, ia juga menambahkan bahwa keinginan atau niat para tokoh adat dan tokoh musik Pakpak pada saat itu untuk memasukkan sarune Pakpak kedalam ensambel musik adat semakin besar setelah kelompok opera batak yang dipimpin oleh Tilhang Gultom sering mengadakan pertunjukan didaerah Pakpak, sehingga para tokoh adat dan tokoh musik Pakpak tersebut memtutuskan untuk memasukkan alat musik ini ke dalam ensambel musik Pakpak, dan hingga sekarang alat musik

sarune ini telah dipakai sebagai alat musik melodis pada ensambel musik Pakpak.

4.1.4 Tahap keempat (setelah awal abad ke 20).

Menurut Tender Sitakar, setelah gurunya Sonang Sitakkar31

31

Sonang Sitakkar adalah tokoh adat dan musisi tradisional Pakpak yang terkenal pada jamannya di Dairi (saat itu kabupaten Pakpak Bharat belum dimekarkan dan masih bahagian dari kabupaten Dairi). Selain sebagai tokoh adat dan musisi, beliau juga sangat dikenal sebagai seorang persukut-sukuten (ceritera rakyat) yang sering dipanggil ke berbagai tempat. Beliau juga pernah bergabung dengan opera yang dipimpin oleh Tilhang Gultom dan pernah beberapa kali melakukan pertunjukan di pulau Jawa, bahkan pernah bermain di Istana Negara ketika diundang

bergabung dengan kelompok opera batak Tilhang Gultom kegiatan musik adat Pakpak yang menggunakan sarune sebagai instrumen pembawa melodi disamping genderang semakin hari semakin berkurang. Hal ini disebabkan oleh keahlian Sonang Sitakar dalam memainkan hampir seluruh alat musik tradisional Pakpak yang menjadikan masyarakat Pakpak menutup mata terhadap pemain sarune (persarune) yang lain. Jika pun ada pemain sarune yang pandai bermain sarune, dia tidak terlalu dikenal oleh banyak orang (tidak setenar Sonang Sitakar), sehingga berawal dari sana kegiatan bermain musik adat tanpa sarune pun mulai berlangsung (seakan-akan

kembali ke tahap awal kedua, dimana sarune belum dimasukkan kedalam ensambel).

Akhirnya eksistensi sarune Pakpak pun menjadi semakin berkurang dikalangan masyarakat Pakpak saat itu, hal ini disebabkan oleh kegiatan musik adat yang tanpa memainkan sarune terus berlangsung dan semakin sering dilakukan yang menjadikan masyarakat Pakpak tidak mempertanyakan eksistensi alat musik ini lagi karena mereka sudah terbiasa mendengar genderang dimainkan tanpa sarune. Kalaupun sesekali sarune ikut dimainkan dalam genderang pada upacara adat, masyarakat Pakpak hanya menganggapnya sebagai pelengkap saja, dan jika seandainya pun sarune tidak ada, upacara adat akan tetap berlangsung saat genderang dimainkan. Artinya, Sarune sudah mulai terbaikan keberadaannya. Namun menurut J.H Kabeaken hal itu tidaklah menjadi masalah, sebab pada awalnya pun baik genderang sisibah (ensambel musik adat untuk kerja mbaik yang terdiri dari 9 (sembilan) buah genderang, 4 (empat) buah gong, dan sebuah pongpong), maupun genderang silima (ensambel adat untuk kerja njahat, yang terdiri dari 5 (lima) buah genderang, 4 (empat) buah gong, dan sebuah pongpong tidak pernah menggunakan sarune dalam penyajiannya. Jika pada akhirnya adapun sarune diikut sertakan dalam ensambel genderang sisibah dan genderang

silima, masyarakat Pakpak hanya menganggapnya sebagai pelengkap saja, artinya

jika sarune dan pemainnya ada, boleh ikut dimainkan dan jika tidak ada, itu tidak mempengaruhi musik upacara adat yang akan berlangsung.

Tetapi disisi lain, Pasang Manik berpendapat bahwa menurut beliau, kehadiran sarune dalam ensambel genderang baik genderang sisibah atau pun

genderang silima akan menambah keanggunan (mende, mbagak) terhadap suara

ensambel tersebut. Disamping itu, beliau juga menambahkan bahwa diikut sertakannya sarune Pakpak pada musik tradisional Pakpak, akan menambahkan

tuah (berkat) kepada orang yang melaksanakan upacara tersebut, sebab menurut

beliau bahwa bunyi atau suara yang dihasilkan oleh sarune adalah kata-kata yang mengandung unsur magis (elmu) sebagai jalan untuk berkomunikasi dengan

Debataguru (maha pencipta), Sumangan ni empung (roh kekuatan dari leluhur)

dan Braspati ni Tanoh (roh penguasa tanah).

Namun kenyataan yang ada saat ini tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa proses generasi sarune kenyataannya tidak pernah lagi terlaksana didalam kehidupan masyarakat Pakpak. Generasi muda tidak begitu tertarik dan menggemari alat musik ini, hal ini diakibatkan oleh tingkat kesulitan dalam memainkan alat musik ini dan juga cara membuatnya.32

Untuk membahas penggunaan dan fungsi sarune Pakpak, penulis mengacu kepada pendapat Alan P. Merriam yang mengatakan bahwa penggunaan menekankan pada situasi yang bagaimana musik dipakai pada kegiatan manusia, sedangkan fungsi adalah menyangkut alasan pemakaian dan tujuan digunakannya alat musik tersebut. (1964:210), selanjutnya dikatakan bahwa penggunaan dan

4.2 Penggunaan dan Fungsi Sarune Pakpak

32

Sejauh ini, penulis hanya menemukan satu orang pemuda saja yang mampu memainkan dan membuat sarune Pakpak dengan cukup mahir, dan dia juga telah diakui kehebatannya oleh masyarakat Pakpak Bharat, dia adalah Mardi Boangmanalu, oleh kepiawaiannya dalam memainkan sarune dan berbagai alat musik tradisional lainnya, dia telah sering bermain musik keluar kota, seperti berbagai festival di Jakarta, dan pesta danau Toba di Parapat.

fungsi adalah merupakan masalah yang sangat penting dalam kajian etnomusikologi karena menyangkut makna musik, fakta-fakta, dan aspek-aspek yang ditimbulkan terhadap manusia dan bagaimana efek musik itu terjadi.

Mengacu pada kedua teori di atas, penulis akan membahas secara rinci penggunaan dan fungsi sarune Pakpak.

4.2.1 Penggunaan Sarune Pakpak.

Musik adalah cipta rasa bagi pemain atau penyajinya. Cipta rasa tersebut selalu berkaitan dengan dua hal, yaitu : kegembiraan (lias ate) dan kesedihan, pelipur lara (ndaoh ate, melungun). Dalam hal ini, sarune sebagai alat musik tradisional Pakpak, sesuai dengan bentuk fisiknya dan bunyi yang dihasilkan sering dimainkan atau digunakan sebagai ungkapan kegembiraaan pada upacara adat perkawinan (merbayo), peresmian rumah adat atau tempat tinggal (mengket

mi bages ) dan lain-lain yang dikelompokkan kedalam bentuk kerja mbaik.33

Dalam berbagai hal dan situasi, terkadang beberapa orang akan mengungkapkan kesedihannya melalui nyanyian ratapan (ende tangis-tangis).

Dalam mengungkapkan rasa kegembiraan, biasanya sarune tidak dimainkan secara sendiri, melainkan akan dimainkan bersamaan dengan instrumen musik lainnya, yang mereka sebut sebagai gotci, seperti pada genderang sisibah, dan juga gerantung. Sedangkan dalam mengungkapkan kesedihan (ndaoh ate) atau pelipur lara (melungun), sarune biasanya akan dimainkan secara tunggal.

34

33

Kerja mbaik pada masyarakat Pakpak adalah segala kegiatan yang bersifat sukacita yang telah direncanakan jauh hari sebelumnya.

34

istilah ende atau tangis-tangis adalah ungkapan kesedihan untuk kaum wanita melalui nyanyian, sementara untuk kaum lelaki nyanyian ungkapan dukalara disebut sebagai odong-odong,

Namun karena pada umumnya orang Pakpak bersifat pemalu, mereka menjadikan alat musik melodis seperti sarune dan lobat sebagai sarana untuk mengungkapkan kesedihan mereka, sebab jika kesedihan mereka selalu dituangkan kedalam bentuk nyanyian atau ende, orang lain pasti akan mengerti apa yang dirasakan oleh penyanyi, sementara si penyanyi akan merasa malu (mela) jika orang lain mengetahui bahwa ia sedang menangisi kesedihannya. Hal tersebut terlihat saat sarune Pakpak digunakan dalam konteks ungkapan perasaan atau dukalara seperti yang telah disebut di atas, sarune akan selalu dimainkan di tempat yang sepi (jauh dari keramaian), selain karena adanya rasa malu pada diri sendiri (mela diri), hal itu juga dilakukan agar situasi penyajiannya dapat mendukung perasaan pemainnya, sehingga sarune ini sering dimainkan ditempat yang sepi, seperti pada siang hari (nggoling ari) di ladang atau di sawah, pada malam hari biasanya dimainkan di balai desa (bale) ketika suasana sedang sepi.

Penggunaan sarune dalam konteks ungkapan dukalara, biasanya akan selalu dikaitkan dengan kemiskinan, kemelaratan, keputusasaan (mendeles), ataupun kesedihan karena hidup sebatangkara (sada diri) tanpa ada tempat untuk mengadu. Selain karena duka lara tentang kesengsaraan hidup, sarune juga sering dimainkan sebagai ungkapan kesedihan karena percintaan yang gagal atau perkawinan yang kandas akibat kemiskinan atau kemelaratan. Dalam hal seperti ini, biasanya seseorang yang sedang putus asa tersebut akan merasa malu apabila kesedihannya diungkapkan dalam bentuk nyanyian, selain karena takut akan diejek, ia juga takut akan dicemooh oleh orang yang mendengarnya.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa pada masa dahulu, sarune sering dimainkan oleh anak muda (anak perana) untuk menyampaikan atau mengungkapkan rasa cintanya kepada seorang gadis. Untuk tujuan seperti ini, biasanya sarune akan diisi dengan pitunang (keci-keci memperkas), yaitu sejenis sugesti yang dipercaya dapat memikat hati seorang gadis pada jaman itu. Menurut Mansehat Manik, apabila gadis yang dituju mendengar bunyi sarune yang telah diisi keci-keci memperkas tersebut, biasanya si gadis akan gelisah dan bahkan tak jarang mereka akan berusaha menemui pemain sarune tersebut untuk memberikan penghiburan atau menawarkan bantuan kepada pemain sarune tersebut, sehingga dengan memanfaatkan keadaan, sipemain sarune tersebut akan mengungkapkan isi hatinya kepada gadis itu yang tak jarang, akhirnya bisa sampai ke jenjang pernikahan.

4.2.2 Fungsi sarune Pakpak

Beberapa fungsi sarune Pakpak sebagai tujuan dan akibat yang timbul dari penggunaannya yang telah disebutkan di atas, dapat ditelusuri melalui fungsi- fungsi berikut:

4.2.2.1 Fungsi pengungkapan emosional.

Sarune sebagai pengungkapan emosional dapat dilihat saat alat musik

tersebut dimainkan untuk mengungkapkan perasaan seperti rasa sedih dan juga rasa rindu kepada orang tua penyajinya yang telah meninggal dunia. Dorongan

emosional yang mengakibatkan kesedihan pada diri pemainnya, terutama karena kemelaratan dan penderitaan yang dialami.

4.2.2.2 Fungsi komunikasi.

Sarune berfungsi sebagai alat komunikasi, hal ini dapat dilihat ketika alat

musik ini digunakan oleh anak perana (pemuda) untuk mengkomunikasikan perasaannya kepada gadis yang dikasihinya. Tidak hanya itu, fungsi sarune sebagai alat komunikasi juga dapat terlihat pada saat ensambel genderang sisibah, yaitu repertoar genderang mulana. Pada reportoar ini, sarune adalah sebagai salah satu alat musik yang berperan mengkomunikasikan maksud dan tujuan kesukuten (pelaksana acara atau pesta) melalui pemain sarune-nya kepada Batara Guru (pencipta) agar apa yang diinginkan dapat terkabul.

Sarune sebagai ala komunikasi juga akan terlihat pada upacara adat merkata genderang, karena melodi yang dimainkan adalah merupakan kata-kata atau

permohonan kepada unsure-unsur yang dituju. Jika dikatakan merkata genderang, itu berarti bahwa didalamnya telah terkandung kata-kata dalam bentuk bunyi yang ditujukan untuk mengkomunikasikan sesuatu hal yang lain, sesuai dengan judul reportoar yang akan dimainkan.

4.2.2.3 Fungsi hiburan.

Berdasarkan legenda yang merupakan asal-usul sarune Pakpak, pada awalnya, alat musik ini digunakan sebagai alat untuk menghibur orang lain, dalam hal ini adalah menghibur istri dari pembuat sarune yang sedang bersedih.

Selanjutnya sarune telah digunakan sebagai alat untuk mengusir rasa jenuh, bosan, dan sunyi saat berada di ladang atau sedang memanen padi di sawah melalui ende-ende muro (nyanyian menjaga padi dan tanaman di sawah atau di ladang). Fungsi sarune sebagai hiburan juga terlihat pada saat genderang dimainkan untuk mengiringi tarian dembas (tarian suka cita dan pergaulan) dimalam bulan purnama.

Sebagai akibat yang ditimbulkan sarune sebagai pengungkapan emosional, maka timbul rasa puas, dimana pemainnya dapat mengungkapkan kesedihan hati dan pendeitaan yang selama ini telah mengganggu hati dan pikirannya. Kini telah tersalurkan yang walaupun kondisi seperti ini berlangsung hanya dalam waktu yang relatif singkat.

4.2.2.4 Fungsi kesinambungan kebudayaan.

Fungsi kesinambungan kebudayaan terlihat ketika sarune dimainkan sebagai alat untuk mengkomunikasikan perasaan seorang pemuda kepada seorang gadis melalui bunyi dan pitunang keci-keci memperkas35

35

Merupakan kekuatan magis yang telah diberi mantra dan sengaja dimasukkan ke dalam

sarune dengan maksud agar pemain sarune dapat memikat hati lawan jenisnya melalui suara sarune tersebut.

yang terdapat didalamnya. Berhasilnya cara tersebut hingga gadis yang dituju terpikat dan akhirnya pasangan tersebut dapat sampai ke jenjang pernikahan, maka secara otomatis mereka telah menjalin kesinambungan kebudayaan karena sesuai dengan tujuan utama pernikahan adalah untuk mendapatkan keturunan yang akan mengakibatkan kesinambungan kebudayaan dari generasi orang tua terhadap anak sebagai keturunannya.

Fungsi sarune sebagai kesinambungan kebudayaan juga terlihat pada saat ini, yaitu kesinambungan kebudayaan masa lalu ke masa kini. Dimana sarune sebagai alat musik tradisional masih digunakan di tengah-tengah kehidupan masyarakat Pakpak yang walaupun secara kuantitas sekarang ini jauh lebih minim dibanding pada jaman dahulu.

4.2.2.5 Fungsi perlambangan.

Fungsi sarune sebagai perlambangan terlihat sangat jelas dari segi bentuk fisiknya, dimana sarune merupakan lambang kehidupan yang dinyatakan dalam tiga unsur, yaitu : lendung (bayangan) yaitu yang terdapat pada sangar-sangar (resonator), daroh (darah) yang terdapat pada batang sarune, dan kesah (nafas) yaitu bunyi yang dihasilkan melalui tiupan sang pemain.

Selain ketiga unsur di atas, terdapat juga pinang muda dan pinang ntasak (pinang yang matang) yang terdapat pada ujung batang sarune dan pada sangar-

sangar. Kedua pinang tersebut adalah merupakan lambang dari kesempurnaan

suara atau maksud dan tujuan pemainnya.

4.3 Tempat Belajar Sarune Pakpak

Menurut Mardi Boangmanalu, tempat yang cocok untuk belajar sarune adalah tempat yang sepi, terhindar dari keramaian dan kebisingan, seperti di

pantar (dangau, gubuk atau rumah kecil yang berada di tengah sawah ataupun

4.3.1 Di pantar

Pantar merupakan gubuk kecil yang biasanya dibuat di tengah sawah atau

ladang dan kebun. Pantar dibuat karena antara tempat tinggal dan ladang atau sawah memiliki jarak yang cukup jauh. Pantar ini biasanya digunakan untuk tempat berteduh, beristirahat, dan juga sebagai tempat penimpanan alat dan bahan pertanian.

Namun selain itu, pantar juga sering digunakan sebagai tempat kegiatan untuk bermain musik, khususnya oning-oning (instrumen musik solo) yaitu pada saat beristirahat ataupun pada saat menjaga tanaman dari gangguan hewan-hewan seperti kera, babi hutan, atau burung yang sering memakan padi mereka. Pada saat seperti itu, kegiatan bermain musik yang dilakukan adalah sebagai pengungkapan perasaan pemainnya terhadap sesuatu hal yang mempengaruhi pikirannya atau pun untuk mengusir kebosanan dan kejenuhan dari orang yang memainkannya.

Dengan seringnya digunakan sebagai tempat bermain musik, maka proses

Dokumen terkait