• Tidak ada hasil yang ditemukan

Legenda Sejarah Sarune Pakpak

BAB III SEJARAH SARUNE PAKPAK &

3.1 Sejarah Sarune Pakpak

3.1.1 Legenda Sejarah Sarune Pakpak

Menurut Atur P. Solin, sejarah sarune Pakpak, baik dalam hal penciptaan maupun persebarannya belum pernah dituangkan dalam bentuk tulisan atau karya ilmiah, sehingga sejarah sarune Pakpak yang mereka ketahui saat ini didapat melalui sukut-sukuten (cerita rakyat, folklore) yang bisa digolongkan ke dalam bentuk legenda12

Atur P. Solin menceritakan bahwa sarune Pakpak terlahir dari sebuah ide seseorang untuk menghibur para petani yang sedang memanen padi mereka, dan boleh dikatakan bahwa fungsi sarune Pakpak saat itu adalah sebagai hiburan dan pemberi semangat bagi para petani yang tengah beristirahat disela-sela kesibukan . Oleh karena itu, penulis memutuskan untuk menuliskan beberapa cerita sejarah sarune Pakpak tersebut agar dapat dijadikan sebagai gambaran bagaimana sebenarnya asal-usul sarune Pakpak tersebut.

12

mereka bekerja. Pada awalnya, untuk menghilangkan rasa lelah yang tengah mereka rasakan saat itu, timbullah ide seseorang untuk membuatkan sebuah alat yang dapat menghasilkan bunyi-bunyian yang terbuat dari batang padi yang dalam bahasa Pakpak disebut nggala page13 . Nggala page ini dibentuk sedemikian rupa kemudian ditiup hingga menghasilkan bunyi. Alat yang terbuat dari nggala page ini mereka sebut pit14 sebagaimana bunyi dominan yang ditimbulkan oleh alat itu sendiri (onomatopeae). Konon, mendengar bunyian itu para petani yang sedang beristirahat merasa lebih bersemangat dengan rasa lelah yang sudah hilang. Ketika

pit itu dimainkan, ketika itu pula banyak burung camar (garo-garo15

Namun, setiap kali pit dimainkan, hujan selalu turun dan hal ini tentu menggangu pekerjaan untuk memanen padi. Pada masa itu masyarakat Pakpak ) yang beterbangan dilangit mengitari mereka, seakan-akan turut bergembira oleh bunyi- bunyian yang dihasilkan oleh pit tersebut. Oleh karena itulah, masyarakat Pakpak terinspirasi untuk membuatkan sebuah tarian garogaro sebagai ekspresi rasa gembira mereka saat sedang panen memotong padi (menabi page). Tarian ini disebut tatak garo-garo (tarian garo-garo). Sejak saat itu, setiap kali orang Pakpak bergotong royong dalam memanen padi akan selalu ada yang memainkan

pit ketika mereka sedang beristirahat, begitu juga dengan burung garo-garo

tersebut akan selalu beterbangan di atas mereka ketika pit sedang dimainkan. Kini,

tatak garo-garo sangat populer sebagai seni pertunjukan yang banyak ditampilkan

pada kegiatan-kegiatan kebudayaan masyarakat Pakpak.

13

Nggala page terdiri dari ruas-ruas dan buku-buku batang padi. 14

Alat musik musik sederhana yang terbuat dari nggala page. 15

Adalah sejenis burung camar yang banyak ditemui di kabupaten Dairi dan juga Pakpak Bharat.

percaya bahwa turunnya hujan adalah diakibatkan oleh bunyi pit yang dimainkan. Untuk menghindari kejadian tersebut, maka dicarilah kayu dari hutan untuk dijadikan alat musik tradisional yang nantinya diharapkan dapat menghasilkan bunyi yang sama seperti bunyi yang dihasilkan oleh pit, sehingga alat musik yang terbuat dari kayu tersebut mereka menyebutnya sarune. Namun ketika ditanya mengenai pemilihan nama, Bapak Atur P. Solin tidak mengetahui, mengapa instrumen tersebut disebut sebagai sarune.

3.1.2 Legenda sejarah sarune Pakpak menurut Hasran Manik.

Hasran Manik (55 tahun), menceritakan bahwa sejarah sarune Pakpak adalah sebagai berikut :

Pada jaman dahulu (tanpa diketahui kepastian waktunya) di sebuah desa yang terpencil, hiduplah sepasang suami istri yang sangat miskin. Mereka memiliki seorang anak yang sudah pemuda. Si anak sangat rajin bekerja membantu orang tuanya di sawah (sabah) ataupun di ladang (juma). Sadar akan kemiskinan, pemuda ini sangat jarang untuk bermain-main dengan pria sebayanya yang ada di pedesaan itu, ia hanya pergi ke sawah atau ladang setiap harinya. Seharian penuh si pemuda bekerja dan pada malam harinya beristirahat untuk mengumpulkan tenaga supaya memiliki tenaga yang cukup untuk bekerja kembali keesokan harinya. Kerap kali si pemuda (daholi) merasa minder (menderse) akan kehidupan mereka yang miskin itu, sehingga ketika sedang merasa minder, ia akan melampiaskan perasaan itu lewat nyanyian-nyanyian ratapan (ende-ende

(pantar

Suatu hari, ketika hari sudah mulai agak siang (nggoling ari

) yang biasa dibangun oleh petani di ladang-ladang maupun sawah. Kebiasaan seperti ini selalu ia lakukan untuk menghibur dan menyemangati dirinya sendiri.

16

16

Waktu nggoling ari adalah waktu ketika matahari mulai condong ke Barat, rentang waktu sekitar pukul 12.30 sd pukul 15.00 waktu setempat.

), si pemuda mendengar burung garo-garo (camar, atau sejenis burung elang pemakan tikus) berkicau di atas sebuah dahan disekitar tempat sipemuda itu melakukan pekerjaannya. Berkali-kali ia mendengar kicauan burung tersebut, sehingga semakin lama ia pun semakin menikmati kicauan itu dan merasa kicauan itu sangat merdu (ndalme) dan sedih (mlungun).

Selama beberapa hari, burung tersebut selalu datang dan selalu mengeluarkan kicauan yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Namun pada suatu hari burung tersebut tidak dating. Si pemuda itu menunggunya keesokan harinya, tapi pada saat itu burung tersebut juga tidak datang, begitu juga hingga hari-hari berikutnya burung itu tidak pernah datang lagi. Pada saat itu si pemuda tadi berniat untuk mengambil gala-gala page, nggala page (ruas batang padi) dan membentuknya sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan tiruan suara burung

garo-garo. Namun batang padi tersebut tidak dapat bertahan lama, batang padi itu

pun mulai layu dan akhirnya pecah, sehingga tidak dapat digunakan lagi. Tetapi si pemuda tidak menyerah, ia terus mencoba membuatnya berulang kali hingga menghabiskan beberapa batang padi sampai ia mampu dan mahir untuk membuatnya.

Setelah batang padi itu mulai bisa mengeluarkan bunyi, ia pun mulai memainkannya, tetapi ia merasa tidak puas karena nada yang dihasilkan hanya satu jenis saja, sementara bunyi yang dihasilkan batang padi itu dapat meniru kicauan burung garo-garo tadi.

Suatu hari ia mendapat ide untuk membuat batang padi tersebut mampu mengeluarkan nada yang berbeda-beda, yakni dengan cara membuat lubang nada (tone hole) pada batang padi tersebut sebanyak enam buah agar dapat meniru berbagai macam suara burung garo-garo maupun burung lainnya. Dari keenam lubang nada, ternyata yang digunakan hanya lima lubang saja, yaitu lubang kedua dari bawah hingga lubang keenam. Sedangkan lubang pertama adalah suara yang hanya menjadi milik burung garo-garo tersebut. Sejak saat itu, setiap kali beristirahat, ia selalu mengambil batang padi sebagai alat untuk menghiburnya, dan alat tersebut ia beri nama sarune sebagaimana ia mendengar suara burung garo-garo itu ketika berkicau.

Pada hari berikutnya, karena batang padi yang ia mainkan tidak bisa bertahan lama karena layu, ia pun berniat untuk menggantikan alat tersebut dengan alat yang dapat bertahan lebih lama, yaitu dengan bambu (buluh) yang prinsip bentuknya berdekatan dengan batang padi, namun ia pun merasa itu belum sempurna, karena setiap kali bambu itu mulai mengering, suaranya pun akan mulai berubah, sehingga ia pun mulai berpikir untuk menggantikannya dengan kayu, hingga alat yang terbuat dari kayu inilah yang disebut sebagai sarune hingga kini.

3.1.3 Legenda sejarah sarune Pakpak menurut Mansehat Manik

Pada jaman dahulu hiduplah sepasang suami istri yang tersesat di hutan belantara (kerangen longo-longo) ketika hendak mengambil kapur barus (merkebun) dan damar (merdamar) yang ketika itu banyak tumbuh di hutan itu. Berhari-hari kedua orang ini mengumpulkan kapur barus dan damar, hingga tidak sadar bahwa mereka telah semakin jauh masuk ke tengah hutan.

Ketika merek kapur barus dan damar yang dikumpulkan sudah cukup banyak, saatnya mereka untuk pulang membawa hasil tersebut, namun ketika mencari jalan keluar, mereka malah semakin tersesat jauh ke dalam hutan. Karena suami istri ini sudah capai mencari jalan keluar dan malam pun mulai tiba, akhirnya mereka memutuskan untuk mendirikan gubuk kecil yang terbuat dari bambu dan beratapkan daun-daunan untuk tempat mereka beristirahat. Pada keesokan harinya, mereka pun berniat untuk kembali mencari jalan keluar, namun ketika mereka hendak keluar dari gubuk itu, timbul kekhawatiran dalam benak mereka akan semakin tersesat jauh ke dalam hutan.

Setelah dipertimbangkan dengan matang, dengan lokasi yang dekat dengan sungai sebagai sumber air, akhirnya mereka pun memutuskan untuk tinggal dan menetap di tempat itu.17

Pada suatu hari terjadilah badai yang sangat besar, hingga gubuk yang mereka tempati hancur berantakan di tiup angin, semua harta benda yang mereka miliki pun ikut hancur. Ketika badai telah berlalu, sang istri pun merenung sedih Mereka mulai berusaha untuk menikmati kehidupan di tempat barunya, dan mulai bersahabat dengan hewan-hewan yang ada disana.

17

membayangkan penderitaan yang akan mereka hadapi tanpa tempat untuk mengadu. Suasana yang sunyi dan sepi menambah kesedihan hatinya, walaupun suaminya terus berusaha untuk menghiburnya, namun ia tetap dalam kesedihan. Pada saat kesedihannya sangat memuncak, ia mendengar bunyi-bunyian dari tetesan air yang jatuh menimpa reruntuhan gubuk mereka, dan juga tiupan angin yang berhembus meniup dedaunan, gemuruh air sungai, serta suara-suara binatang lain yang seakan-akan menghibur dirinya. Akibat terbawa suasana yang mulai menghibur itu, ia pun menggerak-gerakkan tubuhnya mengikuti irama suara-suara tersebut (tumatak). Namun kejadian tersebut tidak berlangsung setiap hari, sebab kicauan burung tidak dapat didengarnya, dan suara hewan yang lain pun tidak selalu terdengar setiap harinya, hanya suara sungai sajalah yang bisa ia dengar setiap hari. Hal ini membuat sang istri kembali termenung dalam kesedihan sebagaimana ketika badai terjadi dan memporakporandakan tempat tinggal mereka. Melihat istrinya yang selalu termenung, timbullah dalam niat suaminya untuk menciptakan sebuah alat yang mampu menirukan suara-suara hewan dan bermaksud agar istrinya bisa terhibur. Dia mengambil bambu (buluh) untuk meniru suara burung yang ada di hutan, serta kayu untuk meniru suara hembusan angin. Pada bambu serta kayu tersebut masing-masing diberi lubang agar suaranya dapat diatur dan diganti-ganti sesuai dengan karakter bunyi dari burung dan suara dari angin tersebut. Konon menurut cerita, bambu tersebut diberi nama lobat dan kayu tersebut diberi nama sarune.

Dokumen terkait