• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cardiac Pulmonary Edema (CPE) .1 Definisi

Edema Paru Kardiogenik adalah edema paru yang disebabkan oleh meningkatnya tekanan hidrostatik kapiler yang disebabkan karena meningkatnya tekanan vena pulmonalis. Edema Paru Kardiogenik menunjukkan adanya akumulasi cairan yang rendah protein di interstisial paru dan alveoli ketika vena pulmonalis dan aliran balik vena di atrium kiri melebihi keluaran ventrikel kiri (Ningrum, 2009)

2.1.2 Mekanisme Cardiac Pulmonary Edema

Edema Paru dapat terjadi oleh karena banyak mekanisme yaitu : I. Ketidak-seimbangan Starling Forces :

1. Peningkatan tekanan kapiler paru :

a. Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis mitral).

b. Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri.

c. Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteria pulmonalis (over perfusion pulmonary edema).

Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, protein-losing enteropaday, penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi.

3. Peningkatan tekanan negatif intersisial :

a. Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura (unilateral).

b. Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut bersamaan dengan peningkatan end-expiratory volume (asma).

4. Peningkatan tekanan onkotik intersisial.

Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.

II. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory Distress Syndrome)

a. Pneumonia (bakteri, virus, parasit).

b. Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, NO2, dsb).

c. Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-naphthyl thiourea).

d. Aspirasi asam lambung. e. Pneumonitis radiasi akut .

f. Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin). g. G Disseminated Intravascular Coagulation.

h. Imunologi:pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin. i. Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.

j. Pankreatitis Perdarahan Akut. III. Insufisiensi Limfatik : a. Post Lung Transplant.

c. C.Fibrosing Lymphangitis (silicosis). IV. Tak diketahui/tak jelas

a. High Altitude Pulmonary Edema. b. Neurogenic Pulmonary Edema. c. Narcotic overdose.

d. Pulmonary embolism. e. Eclampsia.

f. Post Cardioversion. g. Post Anesthesia.

h. Post Cardiopulmonary Bypass.

Dari klasifikasi di atas edema paru dapat disebabkan oleh banyak penyakit. Untuk pengobatan yang tepat tentunya harus diketahui penyakit dasarnya

2.1.3 Patofisilogi Cardiac Pulmonary Edema

Secara patofisiologis edema paru kardiogenik ditandai dengan transudasi cairan dengan kandungan protein yang rendah ke paru, akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru.Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada permeabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler, dan hasil akhir yang terjadi adalah penurunan kemampuan difusi, hipoksemia dan sesak nafas.

Secara patofisiologi penyakit dasar penyebab edema paru kardiogenik dibagi menjadi 3 kelompok :

1. Peningkatan Afterload (Pressure overload) :

Terjadi beban yang berlebihan terhadap ventrikel pada saat sistolik.Contohnya ialah Hipertensi dan Stenosis Aorta.

2. Peningkatan preload (Volume overload) :

Terjadi beban yang berlebihan saat diastolik.Contohnya ialah Insufisiensi Mitral, Insufisiensi Aorta, dan penyakit jantung dengan left-to-right shunt (Ventricular Septal Defect).

3. Gangguan Kontraksi Miokardium Primer :

Pada Infark Miokard Akut jaringan otot yang sehat berkurang, sedangkan pada Kardiomiopati Kongestif terdapat gangguan kontraksi miokardium secara umum

2.1.4 Patogenesis Cardiac Pulmonary Edema

Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat berbeda-beda, yaitu A. Dikatakan pada stage 1 distensi dan keterlibatan pembuluh darah kecil di paru

akibat peningkatan tekanan di atrium kiri dapat memperbaiki peningkatan udara di paru dan meningkatkan kemampuan difusi dan gas karbon monoksida. Pada keadaan ini akan terjadi sesak nafas saat melakukan aktiviatas fisik, dan disertai ronki inspirasi aakibat terbukanya saluran pernafasan yang tertutup.

B. Apabila keadaan berlanjut hingga derajat berikutnya atau stage 2, edema interstitial diakaibatkan peningkatan cairan pada daerah interstitial yang longgar dengan jaringan perivascular dan pembuluh darah besar, hal ini akan mengakibatkan hilangnya gambaran paru yang normal secara radiografik dari petanda vascular paru, hilangnya demarkasi dari bayangan hilus paru dan penebalan septa interlobular (garis Kerley B). pada derajat ini, akan terjadi kompetisi untuk memperebutkan tempat antara pembuluh darah, saluran nafas, dan akan terjadi pengisian lumen saluran nafas yang kecil menimbulkan reflex

bronkokontriksi. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi akan mengakibatkan terjadinya hipoksemia yang berhubungan dengan ventilasi yang semakin memburuk. Pada keadaan infark miokard akut misalnya, beratnya hipoksemia berhubungan dengan tingkat peningkatan tekanan baji kapiler paru. Sehingga seringkali ditemukan manifestasi klinis takipnu.

C. Pada proses yang terus berlanjut, atau tingkat menjadi stage 3 edema paru tersebut, proses pertukaran gas sudah menjadi abnormal, dengan epoksimea yang berat dan sering kali mejadi hipokapnea. Alveolar yang sudah terisi cairan ini terjadi akibat sebagian besar aluran nafas yang besar terisi cairan berbusa dan mengandung darah, yang seringkali dibatukkan keluar oleh pasien. Secara keselutuhan kapasitas vital dan volume paru semakin berkurang dibawah normal. Terjadi pirai dari dari kanan ke kiri pad intrapulmonary akibat perfusi dan alveoli yang telah terisi oleh cairan. Walaupun hipokapnea yang terjadi pada awalnya, tetapi akibat pabila keadaan semakin memburuk maka akan terjadi hipokapnea dengan asidosis espiratorik akut apalagi bila pasien sebelumnya telah menderita panyakit paru obstruktif kronik. Dalam hal ini terapi morfin, yang diketahui memiliki efek depresi pada pernafasan, bila akan dipergunakan harus dengan pemantauan ketat.

2.1.5 Pemeriksaan Pemeriksaan fisik

Dapat ditemukan frekuensi nafas yang meningkat, dilatasi alaemasi, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela intercostal dan fossa supraklavikula yang menunjukkan tekana negative intrapleura yang besar dibutuhkan pada saat

inspirasi. Pemeriksaan pada paru akan terdengar ronki basah kasar setengah lapangan paru atau lebih, sering disertai wheezing.

Pemeriksaan jantung dapat ditemukan protodiastolik gallop, bunyi jantung II pulmonal mengeras, dan tekanan darah meningkat.

Radiologis

Pada foto toraks menunjukkan hilus yang melebar dan densitas meningkat disertai tanda bendungan paru, akibat edema interstisial dan alveolar.

Laboratorium

Kelainan pemeriksaan laboratorium sesuai dengan penyakit dasar. Uji diagnostic yang dapat dipergunakan untuk membedakan dengan penyakit lain misalnya asma bronkial adalah pemeriksaan kadar BNP (brain natriunetic peptide) plasma. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan dapat menyingkirka penyebab dyspnea lain seperti asma brokial akut. Pada kadar BNP plasma yang menengah atau sedang dan gambaran radiologi yang tidak spesifik, harus dipikirkan penyebab lain yang dapat mengakibatkan terjadinya kegagalan jantung tersebut. Misalnya retriksi pada aliran darah mitral yang harus di evaluasi dengan pemeriksaan menunjang lain seperti ekokardiografi.

EKG

Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemia atau infark pada infarks hipertensi gambaran EKG biasanya menunjukkan gambaran hipertropi ventrikel kiri. Pasien dengan edema paru kardiogenik tetapi yang non-iskemik biasanya menunjukkan gambaran gelombang T yang lebar dengan QT memanjang yang khas, dimana akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam 1 minggu. Penyebab dari keadaan non iskemik

ini belum diketahui penyebabnya, antara lain : iskemia subendokardial yang berhubungan dengan peningkatantekanan pada dinding, peningkatan akut tonus simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal akibat perubahan metabolic atau katekolamin.

2.1.6 Terapi 1. Terapi oksigen

Pasien diposisikan dalam keadaan setengah duduk, untuk mengurangi rasa sesak.Oksigen (40-50%) diberikan sampai dengan 8L/menit, untuk mempertahankan PaO2, kalau perlu dengan masker. Jika kondisi pasienmakin memburuk, timbul sianosis, makin sesak, takipneu, ronki bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan >60mmHg dengan terapi O2, konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat, maka perlu dilakukan intubasi endotracheal, suction dan penggunaan ventilator.

2. Nitrogliserin sublingual atau intravena.

Nitrogliserin diberikan peroral 0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit. Jika tekanan darah sistolik cukup baik (>95 mmHg). Nitrogliserin intravena dapat diberikan dimulai dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB. Jika nitroglisern tidak memberi hasil yang memuaskan, maka dapat diberikan nitropusid

3. Morfin sulfat

Diberikan 3-5 mg.i.v, dapat diulangi tiap 15 menit. Sampai total dosis 15mg biasa cukup efektif.

4. Diuretic

Diberikan furosemid 40-80mg i.v bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan setelah 4 jam, atau dilanjutkan dengan drip kontiniu sampai dicapai produksi urin 1 ml/kgBB/jam

5. Obat untuk menstabilkan klinis hemodinamik

• Nitroprusid i.v dimulai dosis 0,1 mg/kgBB/menit diberikan pada pasien yang tidak memberikan respons yang baik dengan terapi nitrat atau pada pasien dengan regugitasi mitral, regugitasi aorta, hipertensi berat. Dosis dinaikkan sampai didapat perbaikan klinis dan haemodinamik, atau sampai tekanan darah sistolik 85-90mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah yang normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital.

• Dopamine 2-3 µg/kgBB/menit : atau dobutamin 2-10 mg/kgBB/menit. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis, dan kedua obat ini bila diperlukandapat diberikan bersama-sama.

• Digitalisasi bila ada fibrilasi atrium (AF) atau kardiomegali. 6. Obat trombolik

Obat trombolik atau revaskularisasi (urgent PTCA.CABG) pada pasien infark miokard akut

7. Intubasi dan ventilator

Pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis atau tidak berhasil dengan terapi oksigen

2.1.7 Prognosis

Hingga saat ini mortalitas akibat edema paru akut termasuk yang disebabkan kelainan kardiak masih tinggi.Setelah mendapatkan penanganan yang tepat dan cepat pasien pasien dapat membaik dengan cepat dan kembali pada keadaan seperti sebelum serangan.Kebanyakan dari mereka yang selamat mengatakan sangat kelelahan pada saat serangan tersebut.Diantara beberapa gejala edema paru ini terdapat tanda dan gejala gagal jantung.

Prognosis jangka panjang dari edema paru akut ini sangat tergantung dari penyakit yang mendasarinya, misalnya keadaan infark miokard akut serta keadaan komorbiditas yang menyertai seperti diabetes mellitus atau penyakit ginjal. Sedangkan predictor dari kematian dirumah sakit antara lain adalah : diabetes mellitus, disfungsi ventrikel kiri, hipotensi atau syok dan kebutuhan akan ventilasi mekanik. (Aru, W, dkk, 2009)

Dokumen terkait