• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBANGUNAN JEMAAT SEBAGAI TEORI ILMIAH

D. Pengamatan Situasi Sekarang dan Pengalaman Masa Depan

1. Catatan Pendahuluan Pertama: Polaritas antara Situasi

Tidak mengherankan bahwa akhir-akhir ini para teolog menempatkan Pembangunan Jemaat dalam perspektif yang lebih luas dari pada eklesiologi tradisional. Dalam usaha teologisnya tentang Pembangunan Jemaat Prof. R. Van Kessel menempatkan teologi mengenai Gereja tidak pada halaman depan, melainkan dibelakang. Karena lebih dahulu harus dimengerti masalah fundamental masa kini dan pokok-pokok inti Kabar Injil yang dapat membalas problem itu, karena pokok-pokok inti itu menyentuh tujuan Gereja sampai pada hakikatnya (Hooijdonk, 1996: 142).

2. Catatan Pendahuluan Kedua

Pembangunan Jemaat bersandar pada pengertian religius dan imani. Manusia harus meraba-raba serta mencari-cari juga bahwa Allah mempunyai

Pesan, Firman pembebasan dan penebusan bagi masalah fundamental masa kini, dan bahwa Pesan itu dapat diwujudkan dan dimengerti di tempat ini, dalam jemaat ini. Paul Zulehner berkata:

Fungsi dasar setiap jemaat ialah hidup di tempat tinggalnya (maka dalam ruang dan waktu) dan dengan demikian bagi orang lain memperagakan apa maksud Allah untuk semua manusia: yakni supaya manusia itu luput dari lingkaran ketakutan yang mematikan dan dibawah kuasa Kerajaan-Nya dan dalam suasana penuh kepercayaan akan menjadi manusia seperti Yesus – yang menjadi manusia seperti kita – dalam mana Allah sendiri menjadi manusia (Hooijdonk, 1996: 143).

Maka Zulehner mengaitkan Kabar Allah mengenai pembebasan dengan perwujudan Kerajaan Allah di dunia ini. Bertindak religius dan imani harus dihubungkan dengan pengertian dasar bertindak komunikatif dan pembangunan organisme gerejawi. Kaitan itu didasarkan pada keyakinan bahwa akan terjadi eklesiogenesis jikalau komunikasi religius dan hubungan kerja sama religius komunikatif yang baru mulai berakar di dalam umat Allah paroki dan lahir serta disuburkan oleh iman sendiri (Hooijdonk, 1996: 143).

3. Kenyataan yang Lebih Tinggi Dari Pada Gereja

Schillebeeckx, menyebut Gereja penampakan – Sôma (badan) kejasmanian Yesus yang telah dimuliakan. Akan tetapi pencurahan Roh Kudus pada Pentakosta merupakan asal dan sumber kehidupan Gereja (Hooijdonk, 1996: 144). Menurut L. Boff:

Kesatuan antara kedua unsur ini kita temukan dalan Yesus sendiri. Dia yang mati dan dibangkitkan menjadi kehadiran Roh Kudus yang terkuat di dunia; dan Roh Kudus di dalam Gereja sudah menjadi kehadiran Kristus yang bangkit dalam sejarah (Hooijdonk, 1996: 144).

Pandangan Kristologis lebih menekankan Pembangunan Jemaat lokal yang organis. Antara pandangan oganis itu ada yang mengaku adanya beraneka ragam karisma dan fungsi dalam Gereja. Gert Schneider melihat model Tubuh Kristus tidak sebagai model yang statis, melainkan dinamis. Katanya:

Jemaat baru dapat disebut jemaat dan baru terbentuk sebagai jemaat, kalau orang perorangan berpartisipasi pada keseluruhan yang dianggap sebagai organisme. Kesatuan terjadi dari praksis warga jemaat yang masing-masing mempunyai identitasnya sendiri (Hooijdonk, 1996: 145).

Gert Schneider berpendapat juga bahwa pandangan organis tentang Gereja tidak mengimplisitkan struktur hierarkis. Yesus Kristus adalah kepala, Tuhan Gereja. Maka di dalam jemaat tidak ada perbedaan antara yang menjadi Tuhan dan bawahan (Hooijdonk, 1996: 145). Pandangan hierarkis tidak bisa begitu saja dikaitkan dengan pandangan kristologis yang organis. Pandangan Pneumatologis (teologi mengenai Roh Kudus) menekankan Pembangunan Jemaat lokal menurut karisma. Pandangan pneumatologis tentang jemaat lokal bertolak pada kesamaan fundamental antara semua orang yang termasuk jemaat lokal itu. Kesamaan fundamental ini mengimani bahwa semua orang menerima Roh Kudus, yaitu dalam bentuk karisma yang berbeda satu sama lain.

Pandangan pneumatologis itu mencakup unsur hierarkis: ada karisma kepemimpinan dan kepengurusan, ada karisma untuk merintis dan menunjukkan jalan, ada karisma yang memprihatinkan kesatuan. Namun, Leonardo Boff, karisma ini tidak menempatkan seseorang beriman di atas atau di luar jemaat,

melainkan justru di dalam jemaat dan demi kesejahteraan jemaat (Hooijdonk, 1996: 146).

Sejak Konsili Vatikan II terjadilah perubahan yang fundamental dalam Gereja Katolik karena pelbagai gerakan dan cara berfikir terutama penyebaran teologi Umat Allah. Namun, mengenai paham Umat Allah pun ada tafsir yang berbeda-beda yaitu dari yang sangat konservatif (mempertahankan ajaran lama) terhadap status quo (mempertahankan keadaan seperti itu saja) sampai pendombrakkan dalam relasi antara imam dan awam (Hooijdonk, 1996: 146).

4. Kenyataan yang Lebih Jauh Dari Pada Gereja

Dalam jemaat lokal, orang beriman tidak diajak berkumpul hanya untuk saling mengingatkan akan tindakan Yesus, melainkan juga untuk melestarikan dan mengintensifkan keprihatinan dan pelayanan Yesus terhadap dunia. Berkenaan dengan hal itu ada dua cara pendekatan:

a. yang dikendaki dan dilakukan oleh Yesus dianggap sebagai norma bagi tindak-tanduk jemaat lokal. Sebaliknya, tindak-tanduk jemaat yang faktual dinilai dengan norma dan kriteria yang diambil dari cerita hidup Yesus (meniru Yesus).

b. Pendekatan kedua memperhitungkan konteks. Pendekatan itu mau mewujudkan kepengikutan (discipleship) Yesus kedalam konstelasi masyaakat ini, dalam realitas jemaat ini – eklesia (Gereja/jemaat) manusia – dan dalam konstelasi (kumpulan orang) masyarakat ini (mengikuti Yesus).

Diungkapkan fondasi kristologis (dasar yang kuat berkaitan ilmu tentang Kristus) dan pneumatologis (teologi tentang Roh Kudus) serta sifat apostolis (diutus Kristus) jemaat lokal. Namun, ada juga beberapa unsur fundamental (mendasar) baru:

a. Jemaat lokal sebagai subjek. Dalam teologi tentang jemaat yang baru muncul pemikian bahwa warga jemaat bersama-sama menjadi penanggung jawab dan pembawa tindak-tanduk jemaat lokal dalam hal mengajar, memelihara, melayani dan merayakan. Di tengah-tengah kebersamaan itu ada jabatan dalam jemaat lokal sebagai pelayanan kepada Pembangunan Jemaat lokal.

b. Pembangunan Jemaat bukanlah bangunan atas mana kita dapat merasa puas, seakan-akan sudah selesai. Pembangunan Jemaat merupakan tindak-tanduk yang senantiasa harus ditinjau ulang dan merupakan proses belajar yang terus menerus, agar bisa menjawab penugasannya dengan lebih baik: dalam kepercayaan bahwa perjanjian akan semakin menjadi nyata.

B. Pembangunan Jemaat adalah Tindakan Komunikatif

Dalam hubungan timbal balik antara praksis pastoral dan ilmu-ilmu komunikasi telah berkembang teori mengenai tindak-tanduk pastoral dan komunikatif yang dari sudut pengetahuan praktek dapat menjadi penting bagi teori tentang Pembangunan Jemaat sebagai tindak-tanduk komunikatif. Mewartakan, mengajar, memelihara, menggembalakan, melayani, merayakan dan juga membangun merupakan bentuk komunikasi.

Apa yang akhirnya dikehendaki Allah dalam seluruh umat manusia, ialah datangnya keadilan dan kedamaian bagi mereka yang berkekurangan, bagi orang yang lemah, yang miskin dan yang tertindas (Kessel 1997, 80-81). Yang khas bagi gambar penguji ialah bahwa Kerajaan Allah sejalan dengan kebutuhan asasi orang yang lemah dan tertindas di masa kini. Itulah sebabnya van Kessel mengawili studinya tentang Pembangunan Jemaat dengan analisis mengenai penghayatan kenyataan manusia modern. Sekaligus ia melihat perlunya mengubah bentuk hidup Gereja menjadi tindak-tanduk komunikatif dalam iman:

Kalau mengatakannya dengan tajam, hal ini berarti: Gereja mulai berada dimana orang spontan dengan jujur dan sungguh-sungguh saling menceritakan kisah perjumpaannya dengan Allah dan secara bersama-sama sampai kepada doa dengan menggunakan kata-kata dan gambar-gambar yang dipakai dalam kisah tersebut (Kessel, 1997: 74)

Kemudian Schneider melihat komunikasi sebagai struktur dasar jemaat (Hooijdonk, 1996: 150). Struktur dasar mencakup dialog, komunikasi dan kerja sama kooperatif mendasari tindakan Yesus dan pembentukan jemaat setempat atau Gereja-Gereja. Stuktur dasar komunikatif ini, menurut Schneider membawa komunikasi lebih lanjut. Dalam jemaat lokal, dialog dan komunikasi harus memungkinkan adanya hak berbicara dan membela kepentingan diri bagi pribadi atau kelompok. Jika demikian, memelihara kebutuhan menjadi tanggung jawab sendiri.

Secara prinsipal dan dengan memakai model tindakan yang teruji dalam praktek para ahli teologi tersebut mengolah pemikiran bahwa Pembangunan Jemaat adalah tindak-tanduk komunikatif. Tindak-tanduk komunikatif yang

dimaksud adalah campur tangan yang bertanggung jawab dalam berkomunikasi membangun jemaat . Tindakan komunikatif ini mengandaikan bahwa para warga gereja sendiri membawa kisah riwayat hidupnya dan mengungkapkan kebutuhan hidup mereka. Dengan memakai istilah sosial teoritis: Pembangunan Jemaat bersifat komunikatif dan intersubjektif. Atas dasar pengertian teoritis ini maka hal jemaat sebagai sesama subjek dalam Pembangunan Jemaat.

C. Pembangunan Jemaat adalah Pengembangan Organisme Gerejawi 1. Pengembangan

a. Oikodomè dan istilah agogis pengembangan

“Pengembangan” menambahkan sesuatu pada pengertian biblis oikodomè (pembangunan), yaitu aspek “bertindak” atau “bertindak-tanduk”. Pengembangan adalah pengertian agogis yang mencakup perubahan dan pendampingan menuju perubahan pada manusia. Ada hubungan dengan “pedagogi”, namun tidak menyangkut anak melainkan orang dewasa. Agogi mendampingi orang dewasa agar mereka bisa menentukan hidupnya sendiri dengan semakin matang.

b. Pembangunan serta pengembangan jemaat, pelayanan demi terwujudnya keadilan Allah

Pengembangan jemaat beriman berati bahwa jemaat itu sendiri mengambil inisiatif akan perubahan. Dalam rangka Pembangunan Jemaat seorrang lazim berbicara tentang mengaktifkan jemaat dan tentang meningkatkan patisipasi dalam segala bentuk, termasuk diciptakannya serta

berfungsinya dewan perunding dan pengurus. Dalam bahasa tindakan dapat dikatakan: jemaat merupakan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan dalam bidang personal, bidang meso-sosial gerejawi dan kemasyarakatan.

Pembangunan Jemaat sebagai pengertian agogis yang mencakup perubahan harus mengakui kenyataan bahwa orang beriman dan kelompok orrang beriman tidak hanya dapat menjadi subjek melainkan juga produk perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Pembangunan Jemaat sebagai tindak-tanduk agogis terarah pada pengaktifan jemaat lokal, agar jemaat itu bisa menjalankan kebijakannya sendiri dalam situasi mereka. Menurut Firet, menempatkan momen agogis ini dalam Teologis Praktis tentang tindakan pastoral dalam arti luas. Tindakan pastoral didefinisikan sebagai tindakan intermedier bagi kedatangan Allah dalam Firman (Hooijdonk, 1996: 155).

Tindakan pastoral dan tindakan agogis mempunyai kaitan makna yang sama yaitu, “mengadakan hidup” serta “membuatnya bertumbuh” (Hooijdonk, 1996: 155). Dalam arti ini dapat kita katakan bahwa antara Pembangunan Jemaat dan bertindak agogis ada kaitan makna yang sama yaitu: mendorong terjadinya keadilan, berusaha agar orang (kecil) bisa “menjadi orang” dalam sejarah manusia yang aktual ditengah relasi-relasi masyarakat lokal.

c. Pembangunan Jemaat, pengembangan dan pertobatan

Jemaat beriman berada dalam dunia sekular dimana manusia telah menemukan kemungkinan rasional serta moralnya. Van Kessel mengatakan bahwa Gereja-Gereja kurang mengerti arti kristiani proses sekularisasi (Kessel,

1997: 16). Gereja-Gereja terlalu lama hanya menekankan efek sampingan negatif dalam proses sekularisasi sebagai usaha legitim oleh manusia untuk mengembangkan diri sesuai dengan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya.

Dari sudut pandan teologis perubahan tidak sama dengan perkembangan atau pengadaan hidup. Kadang-kadang manusia justru menentang apa yang membawa hidup dan apa yang mendekatkannya kepada dirinya sendiri dan kepada Tuhan. Hal itu tidak hanya terjadi dalam masyarakat, melainkan juga dalam jemaat itu sendiri. hal itu tidak hanya terjadi dalam masyarakat, melainkan juga dalam jemaat itu sendiri. Untuk perubahan yang sebenarnya, perlu pertobatan dalam arti teologis penuh (Hooijdonk, 1996: 156).

Maka istilah pengembangan (dalam Pembangunan Jemaat) tidak hanya berarti “menghidupkan dan mengaktifkan jemaat” melainkan juga dan terutama menghidupkan jemaat sampai hidup baru, sampai metanoia, yaitu “pembalikan hati”. Maka pertobatan berarti perubahan arah sebagai mana wajar bagi jemaat yang telah masuk kedalam Tubuh Kristus, yang bangkit.

Metanoia mempunyai arti yang lebih luas. Dalam bahahasa Yunani berarti perubahan pikiran, dalam konteks teologis ditafsirkan sebagai pertobatan. Singkatnya, kita diajak mempererat hubungan satu sama lain sebagai persekutuan iman; bersama-sama kita menemukan inti pokok sebagai jemaat yaitu panggilan wahyu Allah dalam Kristus; jawaban kita ialah mengikuti

Kristus dalam Roh-Nya. Salib yang dimuliakan adalah simbol yang menghimpun kita dan menginspirasikan kehidupan kita secara mendalam.

d. Pengembangan: campuran dinamika dan struktur

Waktu menunjukkan dinamika bagi jemaat setempat; ruang menunjukkan struktur. Dinamika dalam hal ini merupakan sebuah interarksi dan struktur merupakan unsur-unsur yang berhubungan satu sama lain yang mempunyai sifat totalitas dan transformatif. Zwart, memakai istilah “pengembangan” agar kita dapat berpikir secara bertentangan: putih atau hitam, dinamika atau struktur, mempertahankan dan membuang. Paham pengembangan mencegah bahwa perubahan dalam jemaat berarti hubungan dengan masa lalu putus. Masa lalu dan masa depan jemaat harus dikaitkan dengan pengembangan masa kini. Yang baru terjadi oleh metamorfose bertahap dari yang lama (Hooijdonk, 1996: 157-158). Pembaharuan akan bertahan lama kalau terintegrasi dalam apa yang sudah ada.

Kesinambungan didasarkan pada iman akan apostolistas (tugas perutusan) jemaat. Kesinambungan didasarkan pula pada paham historis sosiologis bahwa jemaat beriman secara konsisten membawa diri sebagai paroki dalam arti gerejawi institusional, walaupun realitas sosial tidak selalu cocok dengan apa yang oleh hukum secara tertulis ditentukan. Diskontinuitas didasarkan pada paham historis sosiologis dan hermeneutis bahwa situasi kemasyarakatan dalam mana manusia hidup berubah terus-menerus.

e. Kesinambungan dan diskontinuitas

Zwart memperingatkan kita agar tidak mengira bahwa terjadinya perubahan besar merupakan tanda khas untuk masa kini. Perubahan merupakan tanda khas bagi keseluruhan sejarah manusia. Maka adanya perubahan adalah hal yang biasa dalam sejarah (Hooijdonk, 1996: 159).

f. Percepatan frekuensi perubahan dan keraguan untuk memutuskan Zwart memakai istilah percepatan perubahan: dalam arti bahwa interval waktu antara perubahan yang satu dengan perubahan yang lain makin pendek. Bersamaan dengan percepatan perubahan ini bertambahlah jumlah keputusan untuk mengadakan perubahan dan pembaharuan (Hooijdonk, 1996: 159).

Pengembangan ingin memperkuat kemampuan orang beriman serta jemaat lokal untuk mengambil keputusan mengenai masa depannya sendiri. Tetapi kesulitannya ialah bahwa keputusan mengenai masa depan itu harus diambil dalam konteks percepatan interval antara perubahan-perubahan. Akibat dari itu, bertambahlah ketidak pastian mengena masa depan. Dapat dikatakan bahwa secara global, dicukup banyak tempat di dunia sekarang, percepatan dan ketidak pastian tadi merupakan karakteristik yang mempengaruhi organisme sosial pada umumnya dan Gereja-Gereja pada khususnya.

g. Realisasi tujuan yang sistematis

Zwart bependapat bahwa perubahan organisme sosial terlaksana lewat pengembangan realisasi tujuan yang sistematis. Realisasi tujuan yang sistematis

itu tidak sama dengan planing. Planing merupakan fase awal saja dalam proses. Bertindak sistematis lebih dari melaksanakan rencana (Hooijdonk, 1996: 160). Proses penahapan berarti bekerja selangkah demi selangkah. Memperhitungkan kemampuan manusiawi, maka langkah itu harus bisa terjangkau.

Penahapan sistematis berarti bahwa langkah harus dapat dibedakan sebagai stadia; dan bahwa stadia itu mengikuti urutan waktu yang tidak bisa dibalik, kecuali kalau proses macet. Namun kalau macet maka proses juga tidak begitu saja dimulai dari permulaan. Memfasekan proses hanya lewat fase planing dan pelaksanaan tampak terlalu simplistis. Realisasi tujuan baru menjadi sistematis kalau manusia didinamisir dan penahapan distrukturkan. Hal ini tidak sama dengan planing.

h. Keterbukaan akan hari depan

Keuntungan konsep Pembangunan Jemaat sebagai pengembangan ialah bahwa hari depan jemaat lokal pada dasarnya terbuka. Pelayanan tindakan agogis (memimpin/membimbing) terhadap relatio auctifica (meningkatkan hubungan) dengan Allah menginplisitkan juga keterbukaan terhadap kedatangan Roh Allah sebagai subjek Pembangunan Jemaat dan juga keterbukaan terhadap kedatangan keadilan Allah dalam dunia sebagai tindakan eskatologis; tentu saja di dalam dan oleh aktivitas jemaat lokal.

2. Pengembangan Organisme Gereja

a. Oikodomè dan pengembangan organisasi gerejawi

Firet, menunjuk pada diskusi yang pernah diadakan diantara teolog-teolog protestan, mengenai pertanyaan apakah Gereja Perdana merupakan kolektivitas (perihal/keadaan), yang dibangun dari bawah tanpa kaitan yang sangat ketat; ataukah kenyataan sosial yang sudah terbentuk dahulu (Hooijdonk, 1996: 162). Diskusi itu mencapai konsensus bahwa sejak masa awal Gereja, para orang beriman diterima dalam jemaat yang sudah terbentuk. Diskusi itu memperkuat pengertian historis orang Katolik tentang kenyataan jemaatnya sendiri.

Pembangunan Jemaat sebagai pengembangan agogis (memimpin/ membimbing) ditujukan kepada jemaat secara keseluruhan. Dari sudut keseluruhan ini ditentukan arah proses dan siapa, orang dan kelompok, yang menjadi sasaran. Tanggung jawab sendiri, penentuan diri, dan relasi tujuan secara sistematis didekati dari totalitas jemaat lokal sebagai kenyataan sosial yang sungguh-sungguh berbeda.

Yang ingin dihindari ialah bahwa organisme dipakai secara psikologis yang menimbulkan kesan seakan-akan jemaat bertindak sebagai person individual, dengan pandangan, sikap dan kelakuan perorangannya. Jemaat orang beriman sebagai organisme adalah realitas sosial. Sebagai organisme jemaat itu merupakan kenyataan manusiawi dan spiritual. Oleh karena itu, perlu berbicara tentang identitasnya yang khas, norma serta nilainya yang khas dan spiritualitasnya yang khas (Hooijdonk, 1996:163).

D. Pengamatan Situasi Sekarang dan Pengalaman Masa Depan

1. Catatan Pendahuluan Pertama: Polaritas antara Situasi Sekarang dan Hari Depan

Pada umumnya dalam proses perubahan dibedakan antara masa kini dan masa depan. Demikian pula halnya dalam proses Pembangunan Jemaat. Kedua waktu itu dibedakan, agar perubahan yang terjadi dapat diamati dengan jelas. Dalam kutipan Jürgen Moltmann diungkapkan bahwa pengharapan menjadi penghubung antara kedua waktu tersebut.

Hanya pengharapan dapat disebut realistis, karena pengharapan sajalah secara serius memperhitungkan segala kemungkinan yang teresap dalam realitas. Kejadian dalam situasi oleh pengharapan tidak dianggap sebagai hal statis, melainkan sebagai hal yang bergerak dan berjalan dan yang mempunyai kemungkinan untuk berubah. Itulah sebabnya pengharapan serta antisipasi terhadap masa depan merupakan pengamatan yang realistis tentang apa yang mungkin demi masa depan. Pengharapan itulah yang menyebabkan semuanya bergerak dan bertahan dalam perubahan (Hooijdonk, 1996: 164)

Mengingat sifat komunikatif dan agogis (memimpin/membimbing) yang ada pada Pembangunan Jemaat perlu ditambahkan satu kata yaitu bersama. Maka dibicarakan tentang pengamatan situasi konkret bersama dan tentang pengamatan masa depan bersama.

2. Catatan Pendahuluan Kedua: Dinamika Ganda dalam Pembangunan Jemaat

Pembangunan Jemaat digerakkan oleh dinamika ganda:

a. Allah menugaskan jemaat untuk menggerakkan tindakan penyelamatan-Nya dan memperlihatkan bahwa ia bermaksud baik dengan manusia; penugasan ini

harus dijalankan dalam dunia masa kini, yaitu dalam konteks masyarakat yang historis (waktu) dan pluriform (ruang).

b. Dari pihak lain, manusiaa sendiri harus mengungkapkan kebutuhan dan kerinduan kita yang terdalam. Pembangunan Jemaat adalah tindakan komunikatif. Di dalam persekutuan jemaat, mengkomunikasikan bagaimana manusia sendiri mengalami tindak-tanduk Allah terhadap sesama dan membandingkannya dengan kebutuhan hidup pribadi sendiri yang paling fundamental.

Agar perantaraan penyelamatan serta relasi tujuan berhasil, perlu memperhatikan kebutuhan dan keinginan warga jemaat serta kemampuan mereka untuk menjalankannya. Itulah sebabnya, Pembangunan Jemaat berada dalam polaritas antara pengamatan situasi sekarang dan pengamatan masa depan. Intersubjektivitas dan komunikasi merupakan karakteristik bagi usaha berteologi. Berfikir secara teologis tidak merupakan privilise elite universiter (hak istimewa kaum terpilih di perguruan tinggi). Pengamatan kebenaran mengenai maksud Tuhan dalam situasi jemaat yang konkret adalah urusan semua anggota jemaat dan bukanlah urusan pakar teologi belaka.

3. Kontekstualisasi dalam Pengamatan Situasi dan Masa Depan

Kontekstualisasi tidak terutama berarti bahwa kita memperhatikan kebudayaan-kebudayaan dalam mana kristianitas dan Gereja memperoleh bentuknya. Yang disebut konteks ialah situasi sekarang yang ditentukan oleh banyak faktor: masa lalu, sekarang dan masa depan, termasuk faktor perubahan

nilai dan segala kekaburan yang menjadi akibatnya. Perlu menggaris bawahi bahwa kontekstualisasi itu merupakan aspek penting dalam Pembangunan Jemaat. Kontekstualisasi itu merupakan aspek penting dalam Pembangunan Jemaat. Kontekstualisasi membuat Pembangunan Jemaat menjadi proses yang relevan.

a. Apa yang dimaksudkan dengan kontekstualisasi?

Kontekstualisasi berarti bahwa lingkungan masyarakat, tempat jemaat berada akan mengungkapkan diri dan ikut berbicara; bahwa terjadi hubungan timbal balik antara pengertian tentang kenyataan manusia yang diberikan oleh masyarakat dan pengartian yang diberikan oleh tradisi kristiani dan gerejawi. Hubungan timbal balik itu tidak begitu saja terjadi oleh karena kedua pengartian itu dapat berbeda secara fundamental.

Konteks jemaat lokal dapat berbeda-beda coraknya kalau dipandang dari segi sosiologis. Yang spesifik bagi kebanyakan paroki dan jemaat ialah organisasinya yang mensosial, maka konteks jemaat lokal pun terutama berpengaruh pada nivo mesososial. Ada aspek konteks yang main peranan atau yang seharusnya main peranan, misalnya:

1) Konteks katolik dan ekumenis; hal itu berarti bahwa paroki dan jemaat mebagi-bagi katolisitasnya dengan paroki dan jemaat yang lain, serta dengan kelompok kristiani yang punya (atau tidak punya) hubungan dengan salah satu Gereja.

2) Konteks politik; politik itu ialah politik lokal atau efek politik provinsi terhadap situasi lokal, misalnya: politik transmigrasi, politik mengenai lokasi industri.

3) Konteks ekonomi; yang dimaksud ialah kegiatan lokal. Hal pengangguran dan kemungkinan untuk berhasil dalam „job hunting‟ (berburu pekerjaan) dinilai berdasarkan situasi lokal. Sejauh manakah paroki bisa mengembangkan wiraswasta kecil.

4) Konteks sosio agama; apakah pernah diselidiki sejauh manakah proses industrialisasi mempengaruhi religiositas jemaat kita?

Masih banyak lagi aspek konteks mesososial, yaitu: Konteks keadilan; makin banyak berita dalam surat-surat kabar mengenai orang kecil yang diperlakukan secara tidak adil oleh orang kuat. Jemaat dan paroki bergerak pada nivo mesososial. Maka memperhatikan hidup bermasyarakat dan hidup menggereja pada nivo mesososial pula. Hal yang paling inti itu ialah sikap terhadap orang yang tidak kuat, tidak berkuasa, yang lemah, kecil dan miskin.

Terhadap konteks lokal dengan banyak aspeknya, jemaat dipanggil untuk membenarkan diri sebagai umat Allah atau memperlihatkan identitas di atas. Maka jemaat diajak mendengarkan apa yang terjadi dalam konteks itu dan mempertimbangkanya.

b. Nivo makrososial

Dalam Gereja Katolik, paroki lokal tidak bisa dilihat lepas dari nivo (tantaran/tingkatan) makrososialnya seperti keuskupan, kepengurusan keuskupan, uskup sendiri. De facto pernyataan dan ungkapan uskup mempengaruhi pernyataan di jemaat. Kata van Kessel:

Apa saja yang berlaku bagi Gereja sebagai Gereja (makrososial), berlaku

Dokumen terkait