• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4 Diagnosa

4.7.7 Cekaman Suhu dan Stres

Selain itu, suhu berperan penting sebagai controlling factor. Metabolisme optimal akan terjadi pada suhu yang optimal. Setiap jenis ikan mempunyai batas toleran yang berbeda-beda. Menurut Tiara dan Muhananto (2011) ikan Koi dapat bertahan hidup pada suhu 26-28 C. Namun Effendy (2003) mengatakan bahwa ikan Koi dapat bertahan hidup pada kisaran suhu 8-30ºC, oleh karena ikan Koi dapat dipelihara di seluruh Indonesia, mulai dari pantai hingga daerah pegunungan. Suhu ideal untuk pertumbuhan ikan Koi adalah 15-25ºC. Menurut Tiara dan Murhananto (2011), ikan Koi mudah mengalami stres bila ada perubahan suhu hingga 5ºC dalam tempo singkat walaupun ikan termasuk dalam hewan poikilotermal.

Tinggi rendahnya suhu air sangat mempengaruhi kondisi kualitas air terutama pada kadar amonia dan nitrit. Suhu yang tinggi dapat meningkatkan kuantitas kadar amonia (NH3). NH3 bersifat toksik sehingga dapat membahayakan

bagi ikan yang berada dalam sistem tersebut. Kadar amonia yang tinggi dapat mempengaruhi permeabelitas ikan terhadap air dan mengurangi konsentrasi ion dalam tubuh, meningkatkan konsumsi oksigen pada jaringan, merusak insang dan mengurangi kemampuan darah dalam melakukan transport oksigen. Konsentrasi amonia yang tinggi pada lingkungan menyebabkan eksresi amonia dalam tubuh ikan menurun sehingga kadar amonia dalam darah dan jaringan meningkat. Pertumbuhan ikan akan terhambat bahkan tubuh menjadi peka terhadap penyakit bila ikan berada pada lingkungan dengan konsentrasi amonia yang tinggi secara terus-menerus(Effendy 2003).

Perubahan suhu air secara drastis dapat mempengaruhi homeostatis ikan Koi karena dapat menyebabkan suhu tubuh ikan seringkali berubah-ubah. Pada saat adaptasi suhu, ikan menggunakan energi yang berlebihan sehingga dapat mengganggu pertumbuhannya. Dalam rentan waktu yang lama, ikan mengalami stres. Ikan yang yang mengalami stres akan memperlihatkan perubahan behaviuor dan fisiologis. Perubahan behaviour pada ikan diawali dengan ketakutan, sifat yang agresif, kelelahan, hingga hipoaktif (Ross and Ross 1999). Sedang perubahan fisiologis berupa peningkatan hormon kortikosteroid, katekolamin,

denyut jantung dan pernafasan. Stres dapat mengakibatkan daya tahan tubuh ikan menurun bahkan kematian (Kaplan dan Sadock 1997).

Secara normal, tubuh akan merespon setiap stimulan dari dalam atau luar tubuh untuk mempertahankan homeostasisnya. Tubuh yang mengalami stres dapat menurunkan tekanan darah tubuh sehingga jaringan hipotalamus merangsang sistem saraf simpatis dan medula adrenal untuk menstimulasi sekresi katekolamin (Kaplan dan Sadock 1997).

Pada saat stres, pelepasan ACTH dan kortisol akan terstimulasi serta terjadi hipertropi adrenal (Kaplan dan Sadock 1997). Kortisol berfungsi untuk membantu katekolamin memobilisasi asam lemak dan gliserol dari sel lemak yang dibutuhkan oleh jantung dan hati. Kortisol melakukan katabolisasi protein menjadi asam amino yang akan simpan di hati dan akan digunakan untuk reparasi dan regenerasi jaringan. Kortisol sebagai prekursor dari proses glukoneogenesis

sehingga terbentuk glukosa yang akan masuk ke dalam darah maka kadar gula darah meningkat. Glukosa secara maximum akan digunakan oleh otak dan jantung sehingga suplai glukosa pada otot dan jaringan perifer menurun (Ross and Ross 1999).

Sekresi kortisol oleh hipotalamus yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya ulkus lambung dan dalam waktu relatif singkat dapat menurunkan nafsu makan ikan. Selain itu, kortisol menekan produksi leukosit dan atropi kelenjar limfe sehingga daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun (Mardiati, 2000). Level kortikosteroid dalam darah yang tinggi dapat menekan produksi interferon, antibodi dan Cell mediated immunity (CMI) sehingga tubuh menjadi lebih peka terhadap infeksi virus (Malole 1988).

Interferon adalah sitokin berupa glikoprotein yang diproduksi makrofag yang diaktifkan, sel NK dan berbagai sel yang mengandung nukleus kemudian dilepas sebagai respon terhadap infeksi virus. Antibodi adalah zat kebal tubuh berupa globulin yang diproduksi oleh sel mononuklear, limfosit, netrofil dan trombosit, receptor sel B dan basofil, lomfosit dan sel mast. CMI adalah respon

imun yang melibatkan makrofag, sel NK, antigen-specific cytotoxic T-

Interferon bekerja melalui induksi sistem protein double stranded RNA

activated inhibitor of translation (DAI). Setelah virus menginfeksi sel inangnya,

virus menginduksi produksi interferon melalui kehadiran sel makrofag. Interferon berada di epitel mencegah virus masuk ke dalam sel sehingga tidak terjadi replikasi virus. Sebaliknya ketika interferon tidak dapat menjalankan fungsinya. Virus mudah menginfeksi sel dan bereplikasi didalamnya sehingga virus baru dapat diproduksi dan dilepaskan dari sel (Baratawidjaja 2006).

Pada penelitian ini, berdasar hasil pengamatan dan pemeriksaan gejala klinis, perubahan makroskopis dan uji nested PCR terhadap ikan coba bahwa ikan coba dari beberapa kelompok ikan telah terinfeksi KHV baik ikan coba yang sengaja diinjeksi maupun yang dikobitasikan. Kelompok ikan yang positif terdedah penyakit KHV adalah 1A, 1B, 2A, 2B dan kelompok kontrol positif (4A), sedang kelompok lainnya adalah 3A, 3B dan kelompok kontrol negatif (4B) tidak terdedah penyakit KHV. Hal ini membuktikan bahwa kondisi lingkungan yang buruk misal pancaroba iklim atau perubahan suhu yang ekstrim dan kondisi kualitas air merupakan faktor predileksi virus KHV untuk menginfeksi ikan coba. Perubahan suhu air secara ekstrim dan kondisi kualitas air yang buruk telah menyebabkan daya tahan tubuh ikan turun sehingga mudah terinfeksi oleh virus KHV. Selain itu, kuantitas copies DNA, dosis infeksi dan kondisi fisik ikan itu sendiri menjadi syarat utama virus KHV untuk menginfeksi inangnya.

Ikan coba yang terinfeksi tersebut mampu menularkan Koi herpesvirus

pada ikan sehat-kohabitasi melalui cemaran air dalam akuarium dan/atau kontak langsung. Hal ini dibuktikan pada kelompok ikan sehat yang dikohabitasikn, ikan- ikan tersebut telah terinfeksi virus KHV. Ikan kohabitasi yang terinfeksi adalah dari kelompok 1B sebanyak 2 ekor dari 5 ekor ikan kohabitasi dan kelompok 2B sebanayk 3 ekor dari 5 ekor ikan kohabitasi.  

Interpretasi dari penelitian ini adalah isolat virus KHV berkode D143, D144 dan M628 lebih virulen dibanding D139. Walau demikian, ikan coba yang diinjeksi D139 diduga bersifat latent dan akan muncul gejala sakit bila ada faktor pendukungnya.  

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait